TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Sosia et al., 2014). Ekosistem mangrove merupakan ekosistim pesisir yang sangat penting untuk mendukung keberlangsungan hidup berbagai biota laut. Pada dasarnya ekosistim ini merupakan hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang sangat di pengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut (Suriadikusumah et al., 2011). Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam, hutan pantai yang tidak terganggu termasuk hutan bakau, hutan littoral dan hutan rawa gambut yang ditandai dengan tegakan padat, spesies campuran dan struktur memainkan peran penting dalam
perlindungan pesisir terhadap tsunami. Oleh karena itu, vegetasi pesisir diperlukan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan kapasitas produksi sebagai bagian dari vegetasi pelindung yang berkelanjutan dan tahan lama (Onrizal dan Mansor., 2016). Kawasan mangrove merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga kawasan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dilihat dari fungsi fisik, maka dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh, kawasan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya (Nanlohy, 2014). Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya lahan basah yang terletak di wilayah pesisir yang mengalami tekanan-tekanan pembangunan baik secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu pengelolaannya harus merupakan bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) secara keseluruhan (Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, 2013). Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Luas dan Kekayaan Flora Hutan Mangrove Total luas hutan mangrove dunia pada tahun 2000 adalah 137.760 km 2 dari 118 negara dan wilayah. Total Kawasan hutan mangrove menyumbang 0,7% dari total luas hutan tropis dunia. Sejauh ini luas terbesar mangrove ditemukan di Asia 42%, diikuti oleh Afrika (20%), Amerika Utara dan Tengah (15%), Oceania (12%), Amerika Selatan (11%) dan 22,6% diantaranya berada di Indonesia yaitu 3.112.989 Ha (Giri et al., 2011). Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate mangrove). Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian 1-2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera- Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 m (Noor et al., 2006). Kerapatan Vegetasi Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang ditetapkan terhadap citra (biasanya pada citra multisaluran) untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya. Secara praktis, indeks vegetasi ini merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa
saluran sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representative dalam menyajikan fenomena vegetasi (Danoedoro, 2012). Rentang nilai NDVI adalah antara -1,0 hingga +1,0. Nilai yang lebih besar dari 0,1 biasanya menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0,1 umumnya merupakan karakteristik dari bebatuan dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan mengindikasikan awan es, awan air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0,1 untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0,8 untuk daerah hutan hujan tropis (Tinambunan, 2006). Indeks vegetasi adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menganalisa keadaan vegetasi dari suatu wilayah. Perbedaan luas kawasan di suatu wilayah berdasarkan kelas kerapatan NDVI dikarenakan terjadinya penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantauan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima oleh sensor satelit oleh kanal-kanal tersebut akan jauh berbeda (Maryudi et al., 2015). Pada daratan non vegetasi, termasuk diantaranya adalah wilayah perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong atau lahan terbuka, dan wilayah dengan kondisi vegetasi yang rusak, tidak akan menjukkan nilai rasio yang tinggi. Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat dengan kondisi sehat, kanal tersebut akan sangat tinggi (Wardana et al, 2014). Semakin besar nilai indeks vegetasi yang diperoleh mengindikasikan adanya vegetasi yang berumur tua dengan vegetasi yang lebat dan kondisi tanaman yang sehat (Purba et al., 2015).
NDVI (Normalized Defference Vegetation Index) adalah salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk mengidentifikasi kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metode ini cukup berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman hijau pada data multispectral penginderaan jauh. Secara definisi matematis, dengan menggunakan NDVI, maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif. Sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif. Cahaya dari permukaan tanah dapat mempengaruhi nilai NDVI dengan tingkat yang besar. Hal ini menjadi perhatian dalam aplikasinya pada rangeland karena banyak lingkungan yang semi-gersang maupun gersang cenderung memiliki tutupan lahan kosong yang lebih tinggi dan terekspos batu dibandingkan habitat beriklim tropis atau habitat lainnya. Konversi Lahan Mangrove Mangrove adalah salah satu lingkungan tropis terancam utama di dunia. Namun, Aktivitas yang berkontribusi terhadap penipisan ini berlanjut. Padahal, kawasan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara Menurun 59,68% dari 103.425 ha pada tahun 1977 menjadi 41.700 ha pada tahun 2006. Faktor utama kerusakan mangrove dalam kurun waktu tersebut adalah konversi menjadi tambak. Perluasan akuakultur kolam dan ekstraksi kayu dan kayu bakar merupakan faktor terpenting dalam deforestasi dan degradasi hutan mangrove (Onrizal., 2010). Pada pesisir timur Sumatera Utara, Onrizal et al., (2009) melaporkan bahwa kehilangan dan kerusakan mangrove telah menyebabkan menurunannya pendapatan nelayan hampir 50%.
Konversi dan pemanfaaatan hutan mangrove dengan cara menebang hutan dan mengalihkan fungsinya ke penggunaan lain akan membawa dampak yang sangat luas. Pengambilan hasil hutan dan konversi hutan mangrove dapat memberikan hasil kepada pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja. Namun di pihak lain, terjadi penyusutan hutan mangrove, dimana pada gilirannya dapat mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitarnya (Mayudin, 2013). Kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami tekanantekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota-kota dan pemukiman pantai, perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti menjadi faktor faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat lagi dengan terjadinya pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan (Depertemen Kehutanan, 2005). Meningkatnya kecenderungan pengrusakan ekosistem hutan mangrove seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat lokal seperti penebangan pohon mangrove yang dijadikan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga tanpa memperhatikan daya dukung dan daya pulihnya (Kusmana, 2005). Kerusakan ekosistem mangrove akibat terjadinya penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi beberapa bentuk pemanfaatan secara ekonomi misalnya usaha pertambakan, pertanian,
perindustrian, pemukiman, pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan. Fakta ini merupakan kondisi umum di kawasan pesisir Sumatera Utara. Persepsi Masyarakat Hutan dalam perspektif budaya masyarakat desa hutan tidak hanya sebatatas sebagai tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup saja. Hutan dalam perspektif antropologi ekologi memiliki fungsi sosial, budaya, dan religiusitas. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya. Hutan merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang hidup disekitarnya. Hutan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, baik untuk pemenuhan ragawi maupun rohani (Nanlohy, 2014). Peningkatan produksi perikanan, peningkatan jasa lingkungan, peningkatan income masyarakat baik dari kayu maupun non kayu mangrove, motivasi keterlibatan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove merupakan aspekaspek sosial-ekonomi yang juga perlu diteliti (Rencana Penelitian Integratif, 2010). Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan suatu kawasan sangat penting demi keberhasilan upaya pengelolaan kawasan tersebut. Analisis persepsi masyarakat pesisir akan sangat menentukan apakah masyarakat mengerti tentang kawasan mangrove bagi kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan pesisir dalam kaitan dengan pengelolaan kawasan mangrove tersebut agar tetap lestari. Pelestarian hutan mangrove penting karena berbagai alasan, termasuk pencegahan erosi pantai, intrusi air laut, penyediaan pemijahan, pembibitan, mencari makan dari biota laut yang beraneka ragam, untuk penggunaan langsung
(seperti kayu bakar, arang, dan konstruksi bangunan) semua yang menguntungkan keberlanjutan masyarakat lokal (Malik et al., 2016). Peran serta masyarakat yang hanya terkait dengan kegiatan pemanfaatan tanpa memperhatikan kelestarian hutan mangrove, dapat merusak ekosistem hutan mangrove. Pengetahuan ekologi dapat digunakan untuk mengisi kesenjangan informasi pada masyarakat. Gangguan manusia yang tidak diinginkan dapat diminimalkan dengan mendorong partisipasi masyarakat. Ini dapat dipastikan dan dipertahankan dengan memfasilitasi mata pencaharian masyarakat pesisir (Biswas et al., 2009).