BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang cacat tubuh pada dasarnya sama dengan manusia normal lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

Penguatan Peran Keluarga dan Pekerja Sosial untuk Anak dengan Disabilitas. Rini Hartini Rinda A. (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kecacatan dalam fisik menetap. Menurut Assjari, istilah tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh ( Anak_

BAB I PENDAHULUAN. PMKS secara umum dan secara khusus menangani PMKS anak antara lain, anak

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

PERAN DUKUNGAN SOSIAL IBU PADA PENCAPAIAN PRESTASI PENYANDANG CACAT TUBUH. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan upaya yang lebih sinerji, memadai, terpadu dan berkesinambungan

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. (sumber:kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) 2. Menurut pakar John C. Maxwell, difabel adalah

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Konsep perencanaan dan perancangan

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

I. PENDAHULUAN. perbedaan kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah mengenai kependudukan merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN PASUNG DI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditambah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

ABSTRAK PERSEPSI APARATUR PEMERINTAH DESA TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI DUSUN SRIMULYO I. (Evi Meriani, Berchah Pitoewas, Yunisca Nurmalisa)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Singgih D. Gunarso mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. sosial lainnya. Krisis global membawa dampak di berbagai sektor baik di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka

merupakan unit terkecil dari ruang lingkup masyarakat. Kesejahteraan suatu

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB 1 PENDAHULUAN. 2011). Retardasi mental juga memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak normal pada

Pendahuluan Landasan Hukum Hak-Hak Anak Batasan Usia Anak

MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA KESEHATAN JIWA YANG TERINTEGRASI, KOMPREHENSIF,

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja

PANDUAN PELASANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Realita Kehidupan Difabel dalam Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kekhasannya sendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 57 / HUK / 2010 TENTANG PENDIRIAN TAMAN ANAK SEJAHTERA

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN ANAK SEJAHTERA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : kerja Bagi Penyandang Disabilitas Netra. dapat dinyatakan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

13 PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK ASUH DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia (SDM). Ketersediaan pangan yang cukup belum dapat digunakan sebagai

Bab I PENDAHULUAN AUTISM CARE CENTER

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Ensiklopedia Umum (1977 : 129), disebutkan bahwa efektivitas

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama meskipun mereka kembar. Hal tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan non fisik yang merupakan keadaan wajar. Setiap orang dalam banyak hal seperti warna kulit, bentuk jasmani, minat, potensi atau kecerdasan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari disamping individu yang secara fisik normal, ada pula individu yang memiliki fisik tidak normal, yang sering dikenal penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas menyadarkan kita secara nyata bahwa mereka merupakan sesosok manusia yang diberikan kekurangan secara fisik, namun bukanlah orang yang berbeda. Kita secara sadar memandang dan bersikap empati terhadap mereka. Mereka pun tidak ditempatkan sebagai makhluk asing yang dipandang berbeda, namun harus diperlakukan dengan penuh empati dan rasa kasih sayang, sama seperti makhluk Tuhan lainnya. Kesetaraan merupakan tujuan penting bagi penyandang disabilitas karena tidak sedikit diskriminasi yang dilekatkan bagi mereka. Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 1 ayat 3 yaitu : Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dan Pasal 6 ayat 6 mengatakan bahwa setiap penyandang cacat berhak atas hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Di Indonesia, populasi penyandang disabilitas secara kuantitas cenderung meningkat dan diperkirakan akan terus bertambah karena berbagai sebab seperti, kecelakaan lalu lintas,

kecelakaan pabrik (tempat kerja), efek samping dari obat- obatan, gizi buruk, gaya hidup dan sebagainya. Kementerian Sosial Republik Indonesia (2010) mencatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 1.163.508 jiwa, dan data ini digunakan dalam Renstra Kemensos RI dan PRJMN 2010-2015. Data tersebut mungkin masih jauh dari yang sebenarnya. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai disabilitas menjadi penyebab yang menyulitkan pendataan penyandang disabilitas dan terlebih lagi masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang mempunyai disabilitas terutama di pedesaan. Selain itu, penyandang disabilitas kurang terwakili dalam sistem perlindungan. Mereka kesulitan menjangkau pendidikan (Escape Survey, 2004), dan hampir 90% penyandang disabilitas di negara berkembang tidak akses ke sekolah (United Nations, 2006). Menurut estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, hanya 10 % penyandang disabilitas yang akses ke sistem pendidikan. Data Susenas 2009 menunjukkan (43.87 %) penyandang disabilitas usia sekolah usia (7-17 tahun) belum pernah mengikuti pendidikan, sepertiganya (35.87 %) sedang sekolah dan sekitar (20.26 %) berstatus tidak sekolah lagi. Selain itu, menurut hasil pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Kementerian Sosial (2009) di 24 propinsi, terdapat 65.727 anak, yang terdiri dari 78.412 penyadang disabilitas dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 penyandang disabilitas dengan kedisabilitasan sedang dan 46.148 penyandang disabilitas dengan kedisabilitasan berat (Pusat Pengkajian Data Pengolahan Data dan Informasi vol.iii.no.2/ii/p3di/desember/2011). Jumlah penyandang disabilitas di Sumatera Utara diperkirakan mencapai ribuan hingga jutaan. Namun perhatian pemerintah terhadap mereka terasa masih sangat minim. Padahal, sebagai rakyat Indonesia, mereka juga berhak mendapatkan fasilitas yang memadai seperti rakyat Indonesia lainnya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID)

Sumut menyebutkan, tercatat sedikitnya ada 3.000 anak penyandang cacat di daerah ini. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah setiap tahun. Tidak hanya karena bertambahnya jumlah kelahiran bayi, namun jumlah kasusnya juga cenderung meningkat setiap tahun. Sayangnya, jumlah tersebut tidak diimbangi dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tersedia di daerah ini. Hingga akhir tahun lalu, tercatat hanya ada 16 sekolah Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan hanya dua Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) di Sumatera Utara. Beberapa diantaranya ada di Kota Medan. Jumlah tersebut jelas tidak sebanding dengan jumlah anak disabilitas yang mencapai 3000 anak (http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/02/03/76670/peduli_disabilitas/#.uzwpeailmd diakses pada tanggal 3 april 2014 pukul 14.32). Kajian Kementrian Sosial tahun 2008 menunjukkan sebagian besar penyandang disabilitas berada dalam keluarga miskin, yang faktanya menunjukkan mereka sulit mendapatkan hak dasarnya sebagai anak secara wajar dan memadai. Banyak situasi seperti pada keluarga miskin tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi, tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan khusus sesuai dengan kedisabilitasannya dari orangtua atau keluarga, kondisi khas karena berbagai keterbatasan kemampuan keluarga miskin. Orientasi orangtua lebih prioritas pada upaya untuk memenuhi kelangsungan hidup keluarga, dan mengabaikan keperluan anaknya yang disabilitas karena sumber dana yang terbatas. Kehadiran penyandang disabilitas merupakan bagian dari keseluruhan komunitas masyarakat yang memerlukan perhatian dari seluruh elemen terkait di dalamnya baik dalam suatu keluarga dan lingkungan sosial secara sosiologis terkadang menimbulkan masalah yang mengakibatkan ketidakberfungsian sosial keluarga dan lingkungan serta perlakuan salah

terhadap mereka. Sehingga memerlukan penanganan serta pelayanan yang terpadu, terarah, berkesinambungan serta profesionalisme. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, maka penyandang disabilitas masuk ke dalam kategori penyandang cacat fisik, yang merupakan individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau mengalami kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh. Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut, membuat penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik. Bagi individu yang mengalami cacat fisik sering mendapatkan perlakuan yang berlebihan dan lingkungan sekitar seperti rasa belas kasihan yang membuat individu yang mengalami cacat tubuh menjadi sulit untuk mengembangkan kemandirian (Ashriati, Alsa & Suprihatin, 2006:32) Keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas, ayah dan ibunya ada yang merasa malu. Akibatnya mereka tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anakanak pada umumnya, sehingga anak tersebut tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya.dan kemudian mereka menjadi beban keluarganya. Selain itu. para penyandang disabilitas kerap menghadapi beban dan hambatan tersendiri. Terutama dalam hal bersosialisasi dan pengembangan diri. Mereka sering dihinggapi perasaan inferior, minder, tidak percaya diri, dan tak berdaya. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerimaan lingkungan terhadap kaum disabilitas yang terkesan masih sangat diskriminatif dan memandang sebelah mata. Banyak masyarakat masih memandang kaum disabilitas sebagai individu yang lemah, invalid, terbatas, tidak produktif,

dan bahkan ada yang menganggap parasit karena bergantung pada bantuan manusia yang berfisik normal. Sikap dan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang negatif, menyebabkan mereka merasa kurang percaya diri menjadi rendah diri dan merasa tidak berguna, bagi mereka memiliki hubungan dengan orang lain yang sering tidak baik dikarenakan penyandang disabilitas merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya. Penyandang disabilitas juga menjadi orang yang sangat sensitive terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cendrung conform terhadap orang lain atau grup karena adanya tekanan group yang akhirnya membuat tidak percaya diri (Ryff & Singer, 2008:23). Pengembangan potensi kepribadian penyandang disabilitas yang terhambat mengakibatkan penyandang disabilitas menjadi pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain (Lauster, 2002:16) Tingkat pendidikan ibu bapak yang rendah, mengakibatkan ketidaktahuan ibu bapak tentang bagaimana mengasuh atau memberi stimulus yang tepat bagi perkembangan anaknya yang disabilitas. Kondisi lain ada ibu bapak secara sosial dan psikologis belum siap menerima anak penyandang disabilitas, bahkan ada ibu bapak menolak kehadiran anaknya penyandang disabilitas. Stigma masyarakat terhadap anak disabilitas terkadang masih kuat pada kumpulan masyarakat ini, karena rendahnya pengetahuan dan faktor sosial budaya (Byrne, 2002:28 ). Greenspan (dalam Hallahan & Kauffman, 2006:23) mengatakan bahwa penyandang disabilitas sangat peduli pada body image, penerimaan diri teman- temannya. Kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian prestasi. Karena body imade

menggambarkan keseluruhan mengenai dirinya, hal ini akan membentuk kepercayaan diri yang dimiliki individu penyandang disabilitas. Kepercayaan diri setiap individu bersifat individual artinya, setiap individu mempunyai ukuran percaya diri yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh pengalaman masa lampau yang terdiri dari keberhasilan atau kegagalan individu dan menjalani kehidupannya hal ini yang dipengaruhi oleh sejauhmana penerimaan masyarakat pada individu. Jika mereka merasa dirinya diterima maka akan muncul perasaan aman dan nyaman untuk melakukan segala hal yang mereka inginkan (Santock, 2003:13). Kepercayaan diri terbentuk melalui dukungan sosial dari dukungan orang tua dan dukungan orang sekitarnya. Kesadaran keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu dukungan keluarga khususnya orang tua sangat dibutuhkan, orang tua menjadi hal yang mendasar dari pembentukan kepercayaan diri seorang individu dimana dengan peran orang tua individu akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis terhadap dirinya, dengan menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis terhadap dirinya, dengan adanya komunikasi dan hubungan yang hangat antara orang tua dengan anak akan membantu anak dalam memupuk kepercayaan dirinya (Rini, 2002:15). Dukungan orang tua, keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya sangat berperan penting terhadap pembentukan kepercayaan diri pada penyandang disabilitas. Seseorang akan menghargai diri sendiri apabila lingkungannya pun menghargainya, misalnya : orang tua maupun mayarakat yang menunjukkan sikap menolak pada penyandang disabilitas dan dianggap oleh masyarakat tidak berdaya akan merasa dirinya bahkan tidak berguna dan dapat mengakibatkan penyandang disabilitas merasa rendah diri, merasa tidak berdaya, merasa tidak pantas, merasa frustasi, merasa bersalah dan merasa benci (Somantri, 2006:19)

Penyandang disabilitas yang mendapatkan dukungan merasa tidak sendiri dalam penderitaannya karena lingkungan sosial akan menjadi stimulant untuk mengurangi rasa takut dan menolong mereka dalam membangun kepercaayan diri. Dengan demikian dukungan yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan dan timbul rasa percaya diri dan kompeten. Di Kota Medan terdapat panti sosial yang melayani para penyandang disabilitas agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yaitu Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara. Sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 25/HUK/1998 tanggal 15 April 1998 secara resmi dikukuhkan menjadi salah satu Unit Pelaksanaan Teknis di lingkungan Kanwil Departemen Sosial Sumatera Utara dengan program rujukan regional pelayanan dan rehabilitasi sosial khusus bagi penyandang disabilitas dari daerag Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan Riau (Profil Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara, 2011). Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara mempunyai misi yaitu melakukan perlindungan, peningkatan harkat dan martabat, serta kualitas hidup penyandang disabilitas serta mengenmbangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat. Adapun kegiatan yang telah dilakukan sampai saat tahun 2014 meliputi bimbingan fisik, mental dan keterampilan yaitu pembinaan fisik, mental psikologis dan mental keagamaan dan juga mendapatkan bimbingan keterampilan. Selanjutnya para penyandang disabilitas yang ada didalam panti tersebut diberikan resosialisasi maksudnya untuk mempersiapkan para penyandang disabilitas terjun ke masyarakat, keluarga maupun disalurkan ke lapangan kerja yang tersedia atau instansi pengirim. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis tertarik meneliti Dukungan keluarga Bagi Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas Di Panti

Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara sebagai judul penelitian saya yang akan dituangkan dalam skripsi. 1.2 Perumusan Masalahan Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, maka masalahyang dapat dirumuskan oleh penulis dalam penelitian ini adalah Bagaimana dukungan keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara?. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dukungan keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka: a. Pengembangan konsep dan teori teori yang berkenaan dengan dukungan keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas b. Pengembangan kebijakan dan model pemberdayaan penyandang disabilitas. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaan penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitandengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangkapenelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umumlokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti BAB V : ANALISI DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh darihasil penelitian dan analisisnya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.