BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

ABSTRAK PATOGENESIS DAN PROGRESIVITAS GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) OLEH KAFEIN DALAM KOPI

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

Definisi. Kelainan ini tidak diturunkan dan memerlukan waktu bertahuntahun hingga menimbulkan gejala

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

Factors Associated with The Success of GERD Therapy

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS. HARRY A. ASROEL Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dantelinga Universitas Sumatera Utara

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

Materi 13 KEDARURATAN MEDIS

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Askep GERD Gastroesophageal Reflux Disease

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) OLEH : PUTU KRISNA SIANTARINI

BAB. I PENDAHULUAN UKDW. Global Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan bahwa hampir 300

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

TUGAS NEONATUS. Pengampu : Henik Istikhomah, S.SiT, M.Keb POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA JURUSAN KEBIDANAN TAHUN AJARAN 2013/2014

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

Keluhan-keluhan Selama Kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

154 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS)

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah modal utama bagi manusia, kesehatan

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. batuk, mengi dan sesak nafas (Somatri, 2009). Sampai saat ini asma masih

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN. penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

HUBUNGAN ANTARA LAMA SENAM ASMA DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan prioritas tertinggi dalam Hirarki Maslow, dan untuk manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan nafas.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Refluks Gastroesofageal RGE merupakan fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-waktu. Pada orang normal refluks ini biasanya terjadi pada posisi tegak sewaktu makan atau pada posisi berbaring setelah makan. Pada saat terjadi refluks, esofagus akan berkontraksi untuk membersihkan lumen dari material refluks tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara isi lambung dan mukosa esofagus. Refluks yang sejenak seperti ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala oleh karena itu disebut refluks fisiologis.refluks dikatakan patologis bila terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama dan dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa, keadaan ini disebut sebagai Penyakit Refluks Gastroesofageal (Djojoningrat, 2002. Manan, 2001). Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE) didefenisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Istilah Esofagistis Refluks berarti kerusakan mukosa esofagus akibat refluks cairan lambung seperti erosi dan ulserasi epitel esofagus. Pada kondisi terdapat gejala refluks tanpa kelainan mukosa esofagus pad pemeriksaan endoskopi disebut Asymtomatic Gastro-Esophageal Reflux atau Non-Erosiv Reflux Disease (NERD). Kelainan ini timbul akibat hipersensitivitas mukosa

esofagus terhadap asam yang dihubungkan dengan peningkatan persepsi nyeri (Makmun, 2006). Keadaan ini umum ditemukan pada populasi di Negara-negara Barat,namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara Asia dan Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluks (heartburn dan atau regurgitasi ) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara dinegara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1.5% di China dan 2.75 di korea ). Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22.8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksan endoskopi atas indikasi dispepsia (Syafrudin 1999) (Makmun, 2006). 2.2 Patofisiologi RGE Esofagus yang biasa dikenal sebagai pipa saluran makanan, merupakan suatu saluran berotot yang sempit dengan panjang sekitar sembilan setengah inci. Esofagus tersebut dimulai dari di bawah lidah, dan berakhir pada lambung. Jika seseorang menelan makanan, esofagus akan menggerakkannya ke dalam lambung dengan kerja peristaltik, yang merupakan kontraksi otot yang bergelombang. Di dalam lambung, lemak dan protein di dalam makanan dipecah oleh asam dan berbagai jenis enzim, terutama asam hidroklorida dan pepsin. Lambung memiliki selapis mukus yang tipis yang melindunginya dari cairan lambung tersebut jika

asam dan enzim pencernaan tersebut naik kembali ke esofagus. Namun lapisan tersebut hanya memberikan perlindungan yang lemah. Esofagus dilindungi oleh otot-otot yang spesifik dan berbagai faktor lainnya. Struktur yang paling penting yang melindungi esofagus adalah sfingkter esofagus bawah (Lower Esophageal Sphincter = LES). LES merupakan otot yang melingkari bagian bawah di mana esofagus berhubungan dengan lambung. Jika tahanan barier tidak mencukupi untuk mencegah terjadinya regurgitasi, dan asam lambung naik kembali ke esofagus (refluks), maka kerja peristaltik esofagus berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tambahan dan mendorong kembali isi esofagus kembali ke dalam lambung (gambar 1)( Mittal, 1997). Gambar 1. Anatomi Esophagogastric Junction. (Devault, 2003) RGE terjadi bilamana tidak ada keseimbangan antara mekanisme antirefluks pada LES dan kondisi lambung. Gangguan mekanisme anti refluks pada LES dapat berupa tonus yang melemah dan adanya relaksasi sfingter yang abnormal. Melemahnya tonus LES akan berakibat refluksat mudah masuk ke esofagus secara berulang kali dan biasanya disertai berkurangnya peristaltik esofagus dengan akibat kontak antara refluksat dan mukosa esofagus akan

berlangsung lebih lama. Peran refluksat sebagai faktor agresif terutama dipengaruhi asam lambung. Makin rendah ph lambung, tingkat agresifitas refluks akan lebih meningkat.sehingga dalam kondisi motilitas yang cukup baik disertai LES normal dapat terjadi kelainan pada mukosa.pada pemeriksaan ph esofagus 24 jam didapatkan ph kurang dari 4. Dari fakta tersebut terbukti faktor refluksat lebih dominan dibandingkan faktor motilitas, hal tersebut sangat menentukan cara pemberian terapi pada kasus-kasus RGE (Manan, 2001.Tarigan, 2001). Sedangkan kondisi lambung yang berperan adalah sekresi asam lambung atau cairan lambung yang lainnya yang berlebihan, lambatnya pengosongan lambung, paska operasi lambung, peningkatan tekanan dalam lambung seperti pada obesitas, kehamilan, asites dan adanya hiatus hernia (Devault, 2003. Manan, 2001. Smout, 1998. Tarigan, 2001) 2.3 Gejala Klinis RGE Adanya gejala pada RGE didasari adanya kontak asam lambung pada dinding esofagus serta berat ringannya gejala berkorelasi dengan lamanya pajanan asam dan pepsin tersebut dengan dinding esophagus (Manan, 2001). Simtom RGE akan timbul bila sudah terdapat kelainan pada mukosa esofagus. Gejala yang ditimbulkan adalah bervariasi baik yang khas maupun yang tidak khas. Gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heart burn dan regurgitasi. Bila kedua simtom ini paling dominan dikeluhkan penderita maka diagnosa PRGE memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95% (Kahrilas, 2002. Lodi, 1997. Tarigan, 2001). Sedangkan yang tidak khas yaitu nyeri dada non kardiak, mengi, batuk pada malam hari, aspirasi pneumoni, bronkitis, suara

serak, disfagia, sendawa dan gangguan pada gigi (Devault, 2003. Manan, 2001. Smout, 1998. Tarigan, 2001) Manifestasi klinis dijumpai berupa: Erosive Reflux Esophagitis dimana secara endoskopi ditemukan lesi mukosa esofagus, Non Erosive Reflux Disease (NERD) jika tidak adanya refluks esofagitis secara endoskopi dan Extra Esophageal Reflux Disease yaitu adanya manifestasi diluar saluran cerna (Devault, 2003. Manan, 2001.Tarigan, 2001) Karena pentingnya gejala klinis ini guna mendukung atau bahkan dapat menegakkan diagnosa maka berikut ini akan dipaparkan hanya gejala khas dari RGE yaitu Heartburn dan regurgitasi : 2.3.1 Heartburn Heartburn merupakan gejala khas dari RGE yang paling sering dikeluhkan oleh penderita. Gejala ini merupakan gejala primer pada RGE dan paling kurang terjadi pada 75% kasus (Djojoningrat, 2002. Tarigan, 2001). Kualitas hidup setiap individual akan merasa terganggu bila frekwensi heartburn minimal 3 kali seminggu (Manan, 2001). Heartburn adalah sensasi rasa nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalaran umumnya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang dan bahkan kelengan kiri yang menyerupai keluhan angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit serta merasa cepat kenyang. Bila simtom heartburn & regurgitasi yang paling

dominan dikeluhkan penderita maka diagnosa PRGE memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95% (Kahrilas, 2002. Lodi, 1997. Mittal, 1995). Bahan makanan yang sifatnya mengiritasi dianggap sebagai pencetus heartburn misalnya : anggur merah, bawang putih, makanan berlemak, coklat, jeruk sitrum, bumbu kari. Keluhan heartburn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan, berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Jika rasa terbakar didada yang timbul sewaktu berolah raga, perlu pemeriksaan yang cermat untuk memastikan apakah gejalanya berasal dari iskemia koroner (Smout, 1998). 2.3.2 Regurgitasi (Devault, 2003. Djojoningrat, 2002. Roussos, 2003) Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung dari esofagus atau lambung yang sampai kerongga mulut. Obstruksi dari esofagus bagian distal dan keadan stasis seperti pada akalasia atau divertikulitis dapat sebagai penyebabnya. Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkann aspirasi laringeal, batuk yang terus menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pnemonia. Peningkatan tekanan intra abdominal yang

imbul karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi. Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak, mulut bau pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum. 2.4 Faktor Predisposisi RGE Pada Asma Walaupun hubungan yang kuat antara RGE dengan asma telah dilaporkan berulang kali, namun hubungan di antaranya masih belum jelas. Berbagai data yang telah dipublikasikan mendukung dan menentang hipotesa yang menyatakan bahwa RGE menyebabkan asma, asma menyebabkan RGE, dan pengobatan dengan bronkodilator menyebabkan RGE. Walaupun adanya data yang saling bertentangan, namun minat mengenai hubungan antara kedua keadaan tersebut semakin meningkat. Penelusuran melalui PubMed dengan menggabungkan kata asma dan RGE menghasilkan > 500 kutipan dari literatur medis, dengan rata-rata 2 kutipan per tahun antara tahun 1966 dan 1980, dua puluh kutipan per tahun antara 1991 hingga 1995, dan 79 kutipan hanya pada tahun 2000 saja. Hubungan yang kuat antara RGE dan asma, dan juga laporan-laporan yang menyebutkan bahwa RGE menyebabkan timbulnya gejala-gejala pernafasan pada penderita asma telah membawa banyak peneliti untuk menduga bahwa hubungan tersebut merupakan yang disebabkan karena RGE menyebabkan asma (Tanjung, 2003).

Faktor-faktor yang berperan menimbulkan RGE pada penderita asma meliputi disregulasi otonom, peningkatan tekanan gradien antara esofagus dan lambung,gangguan fungsi krural diafragma, dan penggunaan obat-obat bronkodilator. Penderita asma memiliki bukti adanya suatu disregulasi otonom. Pada uji fungsi otonomik terhadap 73 penderita asma dengan RGE (Lodi dkk 1997), didapat 20 orang dengan respon yang normal, respon hipervagal pada 37 orang, respon hiperadrenergik pada 6 orang, dan respon campuran pada 10 orang. Data tersebut menunjukkan bahwa penderita asma dengan RGE memiliki respon vagal yang tinggi. Disregulasi otonomik akan menurunkan tekanan LES dan relaksasi sementara LES, suatu mekanisme utama yang berperan pada RGE (Lodi, 1997). Faktor penyebab kedua adalah peningkatan tekanan gradien antara esofagus dan lambung. Pada saat akhir ekspirasi tekanan gradien antara lambung dan esofagus 4-5 mmhg. Untuk itu suatu tekanan LES yang normal 10-35 mmhg pada akhir ekspirasi adalah cukup untuk menetralkan tekanan gradien walaupun dengan obstruksi aliran udara, suatu tekanan pleura yang lebih negatif dapat meningkatkan tekanan gradien lalu mengakibatkan refluks (Lodi, 1997). Faktor ketiga adalah perubahan pada fungsi krural diafragma. Diafragma krural mempengaruhi tekanan LES (Lodi, 1997). Para peneliti telah mendapatkan bahwa relaksasi sementara LES dan diafragma krural bertanggung jawab terhadap terjadinya RGE. Hiperinflasi sehubungan dengan bronkospasme menempatkan diafragma krural menjadi merugikan oleh karena pendataran geometrik (Mittal, 1995). Faktor terakhir adalah pemberian bronkodilator.sebenarnya banyak obat yang menurunkan tekanan LES (tabel 1) (Devault, 2002). Suatu penelitian,

pemberian infus isoproterenol menurunkan tekanan LES pada binatang ataupun manusia (Goyal dkk 1973, Zfass dkk 1970). Namun pada penelitian lain ternyata inhalasi β agonis tidak menyebabkan perubahan prevalensi RGE atau motilitas esofagus yang signifikan (Michoud, 1991.Schindlbeck, 1988). Tabel 1. Daftar obat yang menurunkan tekanan LES (Susanto, 2005) Aminofilin Antikolinergik β-agonis adrenergik α-antagonis adrenergik Benzodiazepin Klorpromazin Kalsium channel blockers Derivat Nikotin Nitrogliserin Teofilin meningkatkan sekresi a sam lambung dan menurunkan tekanan LES, namun ada perdebatan mengenai kepentingan klinis dari hasil tersebut. Pada suatu penelitian acak tersamar ganda pada 16 penderita asma (Hubert, 1988) malah tidak mendapatkan adanya perbedaan signifikan pada hasil pemeriksaan ph esofagus 24 jam baik terhadap penderita asma yang mendapat Teofilin oral atau plasebo, dan tak ada perbedaan episode refluks atau waktu keterpaparan asam total, dan saat bersamaan fungsi paru membaik. Namun demikian Ekstrom dan Tibling pada tahun 1988 meneliti 25 penderita asma ringan - sedang dengan riwayat RGE pada uji single-blind plasebo terkontrol.pasien lalu menjalani 2 kali pemeriksaan ph esofagus 24 jam, satu dengan dan satu lagi tidak dengan dosis teofilin biasa mereka. Didapati peningkatan refluks 24% pada siang hari selama terapi teofilin sementara gejala refluks meningkat 170% dimana gejala respiratorik dan fungsi

paru membaik dengan terapi teofilin tersebut (Ekström, 1998). Sontag dkk malah mendapatkan tidak ada perbedaan prevalensi esofagitis (Sontag, 1992) dan ph esofagus yang signifikan baik pada penderita yang mendapat atau tidak pengobatan bronkodilator (Sontag, 1992). Sementara Field dkk menemukan tidak ada obat-obatan asma yang berhubungan dengan suatu peningkatan kemungkinan mengalami heartburn atau regurgitasi (Field, 1996). Ini menimbulkan suatu kontroversi yang berkepanjangan tentang pengaruh obat bronkodilator terhadap terjadinya RGE pada penderita asma. 2.5 Faktor RGE Sebagai Pencetus Asma 2.5.1 Refleks vagal Trakeobronkial dan esofagus sama-sama berasal dari embrionik foregut dan dipersarafi secara otonom melalui nervus vagus. Pada studi terhadap hewan didapati bahwa asam esofagus menyebabkan suatu peningkatan resistensi pernafasan yang menghilang bila dilakukan vagotomi (gambar 2) (Harding, 1999). Juga didapati bahwa asam esofagus menyebabkan suatu penurunan nilai PEF tanpa bukti terjadinya mikroaspirasi dan inflamasi mukosa esofagus yang diperiksa dengan tes Bersntein yang positif (Harding, 1995). Pada 136 subjek tersebut didapati asam esofagus menyebabkan penurunan denyut jantung, FEV1, dan saturasi oksigen (Harding, 1999). Kemudian respon tersebut menghilang dengan pemberian atropin sehingga disimpulkan bahwa nervus vagus memegang peranan.

2.5.2 Peningkatan reaktifitas bronkus (Harding, 1999). Pada pemeriksaan uji tantangan metakolin terhadap 105 penderita asma didapati suatu korelasi signifikan (R = 0.56; P = 0.05) antara jumlah dosis metakolin yang dibutuhkan untuk penurunan FEV1 20% dengan jumlah episode refluks. Ini menunjukkan bahwa asam esofagus memegang peranan utama sehingga jika penderita asma terpapar faktor pencetus lain maka mereka akan mengalami peningkatan reaktifitas bronkus. 2.5.3 Mikroaspirasi (Harding, 1999). Pada penelitian terhadap hewan, sejumlah asam trakea menyebabkan peningkatan lima kali lipat resistensi paru, dimana 10 ml asam esofagus hanya menyebabkan peningkatan 1-1.5 kali lipat saja. Menariknya bronkokonstriksi yang disebabkan mikroaspirasi menghilang dengan vagotomi ini. menunjukkan bahwa nervus vagus memiliki peranan yang utama pada mikroaspirasi. Selanjutnya hasil studi pada manusia mendapatkan bahwa episode refluks berhubungan dengan terjadinya penurunan ph esofagus dan trakea yang ditunjukkan dengan perubahan yang nyata pada nilai PEF.

Gambar 2 : Mekanisme patofisiologi asam esofagus menginduksi bronkokonstriksi (Harding, 1999). 2.5.4 Inflamasi Neurogenik (Harding, 1999) Pada percobaan hewan didapati asam esofagus menyebabkan pelepasan substansi P yang menyebabkan terjadinya edema aliran nafas pada paru. Edema jalan nafas tersebut diinhibisi oleh suatu reseptor antagonis substansi P. Asam esofagus menyebabkan pelepasan takikinin dan substansi P dari saraf sensorik melalui jalur akson & vagal (gambar 2). 2.6 Gejala Klinis PRGE Pada Penderita Asma Gejala yang sangat spesifik untuk RGE adalah heartburn, regurgitasi atau keduanya dan sering timbul setelah makan (terutama dalam jumlah besar atau yang berlemak ). Asma malam atau timbul batuk malam hari, rasa tercekik, mengi pada saat bangun tidur perlu dipikirkan terdapat episode RGE pada saat tidur (Devault, 2003. Manan, 2001.Sontag, 1990). Pasien asma dengan RGE sering mengeluh sesak nafas, nafas pendek, mengi dan batuk setelah episode refluks,

setelah makan makanan tinggi lemak, kopi, coklat, alkohol serta pada posisi terlentang. RGE sebagai pencetus asma perlu dipikirkan jika gejala asma yang timbul mungkin sulit dikontrol dengan obat-obat asma yang biasa dipakai (Devault, 2003. Harding, 1999) Karakteristik asma yang dicetuskan oleh refluks antara lain timbul pada usia dewasa, bukan perokok, bukan tipe alergenik, gejala batuk menetap, lebih dominan pada malam hari, memburuk setelah makan, tidak respon dengan pengobatan asma dan respons dengan pengobatan anti sekretori asam Devault, 2003). Gejala klinis PRGE pada asma dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Gejala klinis PRGE pada Asma Gejala Khas Heartburn Regurgitasi Water Brash Disfagia/sulit menelan Gejala Tidak Khas Suara Parau Sakit Tenggorokan Nyeri Leher Nyeri telinga Nyeri Dada Rasa Tercekik Perburukan Asma pada Saat Tidur Makan Minum Alkohol Posisi terlentang/bernaring Penggunaan obat Bronkodilator Teofilin Agonis β2 adrenergik sistemik Asma Yang Timbul Usia dewasa Reflux Associated Resp. Symtoms Silent Reflux 2.7 Pendekatan Diagnosa PRGE Pada Penderita Asma. Semua penderita asma harus dianamnese secara teliti mengenai manifestasi esofagus dan ekstraesofagus dari PRGE. Pertanyaan-pertanyaan yang spesifik harus menyertakan apakah gejala asma muncul setelah makan dalam porsi yang banyak atau makan makanan yang berlemak, atau dengan makanan yang diketahui dapat menurunkan tekanan LES. Juga akan bermanfaat untuk

mengetahui apakah batuk, sesak nafas, atau apakah penderita menggunakan inhaler saat mengalami gejala-gejala PRGE. Field dkk telah menerbitkan suatu kwesioner mengenai asma dan PRGE yang dapat disertakan dalam penatalaksanaan penderita (Field, 1996). Jika riwayat penderita sejalan dengan PRGE, tidak diperlukan penjajakan diagnostik tambahan lainnya, dan pemberian terapi antirefluks yang agresif harus segera dimulai. Penjajakan diagnostik tambahan lainnya direkomendasikan pada penderita yang dengan terapi empiris untuk PRGE tidak menunjukkan hasil atau pada mereka yang memiliki gejala yang menunjukkan adanya PRGE yang mengalami komplikasi seperti esofagitis, striktur esofagus, Barrett s esofagus atau neoplasma. Pada mereka yang dicurigai adanya komplikasi PRGE, penjajakan yang seharusnya dilakukan adalah dengan endoskopi, karena dapat memberikan visualisasi secara langsung pada mukosa esofagus, dapat mengambil spesimen biopsi, dan lebih sensitif dibandingkan dengan esofagogram Barium dalam mendeteksi esophagus (Harding, 1997). Pemeriksaan ph esofagus 24 jam memainkan peranan penting dalam menegakkan diagnosa PRGE, terutama pada penderita asma tanpa gejala-gejala klasik refluks atau pada mereka yang sulit untuk diobati. Irwin et al meneliti sekelompok penderita asma yang sulit dikontrol, yang didefinisikan sebagai mereka yang memerlukan > 10 mg prednisone setiap selang sehari selama minimal 3 bulan dalam setahun, menemukan bahwa PRGE didapati silent secara klinis pada 24%. Mereka menemukan bahwa pengobatan dosis tinggi terhadap PRGE bermanfaat dalam mengubah penderita yang asmanya tadinya sulit dikontrol menjadi penderita yang asmanya tidak lagi sulit ditangani Devault, 1995). Para peneliti tersebut akhirnya menganjurkan dilakukannya pemeriksaan

ph esofagus 24 jam pada seluruh penderita asma yang dengan keadaan sulit dikontrol atau yang mendapatkan terapi prednisone jangka panjang. American Gastroenterological Association sendiri merekomendasikan pemeriksaan ph esofagus hanya untuk penderita asma yang dicurigai menderita asma yang dicetuskan oleh refluks (Irwin, 1993). 2.8 Penanganan Penderita Asma Dengan PRGE. PRGE merupakan suatu penyakit yang kronis. Pengobatan PRGE yang agresif dapat merupakan suatu komitmen yang seumur hidup dan mahal biayanya. Seluruh penderita harus di-edukasi mengenai terapi gaya hidup, termasuk penghentian merokok, peninggian bagian kepala dari tempat tidur, menghindari makanan dengan porsi besar, dan penurunan berat badan jika diperlukan. Penderita seharusnya makan makanan rendah lemak, dan menghindari makanan yang menurunkan tekanan LES, termasuk kafein, coklat, pepermint dan alkohol. Jika memungkinkan, pengobatan yang menurunkan tekanan LES harus dihindari. Jika PRGE mencetuskan asma, maka seharusnya pengontrolan refluks akan memperbaiki hasil akhir asma pada sekelompok penderita. 2.8.1 Terapi medis Terapi medis temasuk yang berikut ini: antasida, yang dapat digunakan untuk menghilangkan keluhan simptomatis, antagonis H2 yang secara parsial menghambat sekresi asam lambung, penghambat pompa proton (PPI) yang dapat secara langsung menghambat sekresi asam lambung pada jalur akhir bersama, dan obat prokinetik yang memperbaiki kontraktilitas esofagus, meningkatkan tekanan LES dan meningkatkan

pengosongan lambung. Intervensi bedah menurunkan waktu perawatan dan pemulihan; namun tindakan ini mungkin lebih mahal dan keefektifan jangka panjangnya tidak diketahui (Kahrilas, 1996). Banyak penelitian menggunakan regimen obat (antasida, simetidin, ranitidin dan omeprazole) yang hingga saat ini hanya sedikit menolong mengontrol keluhan PRGE. Kebanyakan penelitian-penelitian tersebut memiliki dua kesalahan rancangan penelitian. Yang pertama adalah kurangnya pencatatan penekanan asam yang adekuat dengan terapi medis. Hal ini terutama penting karena kebanyakan obat-obat tersebut menekan refluks asam sebesar 50%. Yang kedua, lamanya pengobatan mungkin tidak mencukupi untuk memperbaiki asma (Ekstrom, 1989. Goodall, 1981. Harper, 1987. Kjellen, 1981. Nagel, 1988). Penghambat pompa proton adalah obat yang paling baik yang ada untuk mengobati PRGE karena dapat menurunkan refluks asam sebesar > 80%, dan dapat menyembuhkan esofagitis pada 80-85% penderita (Maton, 1996). Depla dkk melaporkan seorang penderita asma dengan PRGE yang menunjukkan perbaikan yang bermakna pada bronkospasme jika diobati dengan omeprazole 20 mg / hari setelah gagal untuk memberikan respon dengan regimen medis antirefluks lainnya, termasuk ranitidin 750 mg / hari (Depla, 1998). Meier dkk meneliti 15 subjek dengan plasebo dan omeprazole 20 mg dua kali sehari selama masing-masing 6 minggu. Dengan menggunakan perubahan FEV1 yang > 20% dari baseline terhadap akhir dari setiap periode pengobatan, empat (29%) dari 14 penderita merupakan penderita asma yang responsif terhadap omeprazole (Meier, 1994). Ford et al memeriksa 11 penderita dengan asma nokturnal

dan PRGE, membandingkan pemberian omeprazole 20 mg selama 4 minggu terhadap plasebo pada suatu penelitian cross over yang meneliti gejala asma dan APE. Mereka tidak mendapatkan adanya perbedaan yang bermakna (Ford, 1994. Harding, 1996). Kedua penelitian tersebut memiliki kekurangan karena penekanan asam yang tidak adekuat dengan omeprazole dosis tetap dan juga lamanya penelitian yang terlalu singkat. Masih ada banyak pertanyaan mengenai hubungan dan penangan yang sesuai terhadap PRGE yang sehubungan dengan asma. Suatu penelitian yang besar dan multisentra diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut. Harding menganjurkan penggunaan penghambat pompa proton (omeprazole 40 mg bid, atau lansoprazole 60 mg bid), dan mungkin dengan menambahkan antagonis H2 pada saat hendak tidur malam untuk menghasilkan kontrol sekresi asam nokturnal yang lebih baik. Cara ini akan menghindarkan titrasi individual dengan serangkaian pemeriksaan ph yang akan tidak mungkin dilakukan pada suatu penelitian yang besar. Lamanya penelitian tersebut seharusnya paling tidak selama 6 bulan. Akhirnya penelitian mengenai analisa biaya dan kualitas hidup diperlukan untuk menjajaki untung ruginya dari segi biaya (mahalnya pengobatan antirefluks dibandingkan lebih sedikitnya obat-obat asma yang digunakan), perbaikan dalam kualitas hidup, dan penggunaan sarana kesehatan pada penderita-penderita tersebut (Harding, 1996). 2.8.2 Terapi pembedahan Sontag dkk melakukan pembedahan antirefluks pada 13 penderita dengan PRGE dan asma, menemukan bahwa enam penderita menunjukkan

perbaikan yang sempurna dari asmanya. Dari 11 penderita yang memerlukan terapi bronkodilator jangka panjang sebelum pembedahan, ternyata empat penderita mampu untuk menghentikan pengobatannya, enam orang dapat menurunkan penggunaan obat-obatan, dan seorang tidak menunjukkan perubahan penggunaan obat-obatan. Dari tujuh penderita asma yang tergantung steroid, dua orang tidak lagi memerlukan steroid, dan tiga orang di-tappered off steroid-nya (Sontag, 1987). Perrin-Fayole dkk melaporkan follow up selama 5 tahun dari pembedahan antirefluks pada 44 orang penderita asma, di mana 20 orang di antaranya tergantung pada steroid. Dua puluh lima persen menunjukkan resolusi total dari gejala asmanya, 16% menunjukkan perbaikan yang bermakna, 25% menunjukkan perbaikan yang sedang, dan 34% menunjukkan tak adanya perbaikan. Penderita yang paling menunjukkan perbaikan adalah mereka yang dengan asma intrinsik dan PRGE yang berat, dan mereka dengan onset refluks sebelum gejala asma (Perrin, 1989). Tardif dkk melakukan pembedahan pada 10 orang penderita asma dengan PRGE, menemukan bahwa 5 orang menunjukkan perbaikan pada status parunya. Hasil gabungan secara keseluruhan dari penelitianpenelitian pembedahan menunjukkan bahwa 34% penderita bebas dari gejala asma setelah pembedahan, 42% menunjukkan perbaikan, dan 24% tidak menunjukkan perubahan. Banyak penderita mampu untuk menurunkan atau menghentikan terapi kortikosteroid oral (Perrin, 1989. Sontag, 1987. Tardiff, 1989).

2.8.3 Pendekatan Terapi PRGE Pada Penderita Asma Harding et al mengajukan prosedur pendekatan terapi PRGE pada penderita asma dengan gejala refluks (gambar 2). Kuncinya adalah perubahan gaya hidup dan percobaan pengobatan selama 3 bulan dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari sementara dilakukan penilaian terhadap gejala pernafasan, fungsi paru dan APE. Mereka merekomendasikan dosis tersebut karena sekitar 30% penderita asma dengan refluks tidak memiliki supresi asam yang adekuat dengan omeprazole 20 mg per hari (Harding, 1996). Selama percobaan pengobatan, penderita harus memonitor APE dan gejala asma. Jika kondisi pasien tidak menunjukkan perbaikan, maka Penderita asma tanpa simptom GER Penderita asma dengan simptom GER ph Esofagus 24 jam Monitor Preterapi: variabilitas,simptom, penggunaan obat, spirometri ph (-): GER tdk berhub asma ph (+): Silent GER Uji 3 bulan OMZ 20 mg BID atau lansoprazole 30 mg BID, teruskan monitor Asma membaik Mulai terapi maintenans antirefluks spt; PPI, H2 bloker Prokinetik, Evaluasi bedah Asma tdk membaik Lakukan tes ph 24 jam esofagus sementara anti refluks diteruskan ph (+) : Tingkatkan terapi anti refluks atau rujuk ke gastroenterologis ph (-): GER tdk berhub asma Gambar 3. Pendekatan penanganan RGE pada penderita asma (Harding, 1999).

kemungkinannya bahwa asma penderita tersebut tidak berhubungan dengan PRGE. Jika APE dan gejala asma menunjukkan perbaikan dengan penekanan asam, terapi harus dipertimbangkan. Terapi maintenans dapat menyertakan PPI seperti omeprazole atau lansoprazole,sedangkan dosis tinggi antagonis H2 atau obat prokinetik seperti metoclopramide atau cisapride biasanya digunakan dalam kombinasi dengan obat-obat lainnya. Semua pasien yang memerlukan PPI untuk mengontrol PRGE -nya harus ditanyakan mengenai pilihan pembedahan, terutama pada penderita dengan usia muda, karena masih didapatinya pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab mengenai keamanan jangka panjang dari PPI (Depla, 1998. Klinkenberg, 1994). Yang penting dalam keberhasilan pembedahan antirefluks adalah preservasi fungsi esofagus dan ahli bedah yang berpengalaman. Keuntungan utama dari terapi pembedahan adalah kemampuannya untuk menyembuhkan penyakit tersebut, walaupun biaya sekali waktunya cukup mahal. Keterbatasan tindakan pembedahan meliputi kemungkinan mortalitas (<1%), miditas dan angka rekurensi yang diperkirakan antara 10 dan 20% (Kahrilas, 1996).