BAB I PENDAHULUAN. Di zaman era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang ditemukan pada remaja,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar lawan

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Rogers dan Kincaid, seorang ilmuwan komunikasi (dalam. Cangara, 2000) komunikasi adalah proses pertukaran informasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Perkembangan Sepanjang Hayat

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana individu mengungkapkan informasi tentang dirinya sendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas yang tersedia. Salah satu fasilitas tersebut adalah internet. Dengan internet manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. biasa atau persahabatan yang terjalin dengan baik. Kecenderungan ini dialami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

penyelesaiannya. Salah satunya adalah karena individu tidak mau atau tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

PERBEDAAN SELF DISCLOSURE TERHADAP PASANGAN MELALUI MEDIA FACEBOOK DI TINJAU DARI JENIS KELAMIN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial yang setiap harinya menjalin hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sosial di lingkungan sekolah. Dalam melaksanakan fungsi interaksi sosial, remaja

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tahap remaja melibatkan suatu proses yang menjangkau suatu

BAB V PENUTUP. Pemberian telepon genggam oleh orang tua kepada anak di SDN. Ungaran 01 pada dasarnya sebagai alat komunikasi mereka untuk dapat

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berada direntang usia tahun (Monks, dkk, 2002). Menurut Haditono (dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing.

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. prenatal sampai fase lanjut usia. Di antara rentang fase-fase tersebut salah

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Dipercayai bahwa salah satu kunci keberhasilan hidup manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang ditemukan pada remaja, dimulai dari pergaulan bebas hingga tawuran antar pelajar. Untuk mengatasi pengaruh negatif bagi remaja diperlukan adanya sistem pendidikan yang memiliki fokus utamanya pada pembentukan karakter peserta didik melalui pembiasaan dalam menjalankan rutinitas seharihari. Salah satu strategi yang potensial untuk meminimalkan pengaruh negatif dari lingkungan, adalah melalui pendidikan, yaitu mengadakan program asrama yang menjamin siswa memiliki interaksi positif. Oleh karena itu dunia pendidikan melakukan inovasi dan kreasi. Salah satu alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas adalah sekolah berasrama (Boarding School) (Barnes dan Farrell, 1992; Chilcoat dan Anthony, 1996; Dishion dan McMahon, 1998). Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah bermutu untuk meningkatkan kualitas anak didik, karena selama 24 jam anak didik berada di bawah pengawasan para guru pembimbing (Maknun, 2006). Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan asrama seperti pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya. Pembinaan mental siswa secara khusus dilaksanakan dengan memantau ucapan, perilaku dan sikap siswa, menciptakan nilai-nilai kebersamaan dalam komunitas siswa, membangun komitmen para siswa dan guru-gurunya agar dapat saling mengingatkan mengenai kesabaran, kebenaran, kasih sayang, dan 1

2 penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, tanggungjawab, kepatuhan dan kemandirian (Maksudin, 2006). SMP X merupakan salah satu boarding school yang berada di kota Bandung. SMP X memiliki tujuan menciptakan generasi yang berakhlak dan berprestasi. Untuk dapat mewujudkan generasi yang berahlak dan berprestasi SMP X memiliki nilai - nilai yang ditanamkan kepada siswa siswi nya yaitu kemandirian, kejujuran, kedisiplinan, kemampuan untuk mengeluarkan pendapat, serta tanggung jawab. Untuk menciptakan kemandirian, bagi siswa siswi kelas 1 diwajibkan untuk tinggal di asrama selama 1 bulan, setelah itu diizinkan pulang 2 minggu sekali. Selain berpisah dari orang tua siswa siswi diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan kamar sendiri, menyiapkan perlengkapan sekolah sendiri, serta merapikan barang barang pribadi sendiri. Segala aktivitas dari mulai sekolah, tempat bermain, belajar, hingga tempat untuk tidur menjadi bagian terbesar pada sekolah berasrama. Kehidupan asrama menuntut siswa untuk mengikuti penjadwalan terhadap rutinitas sehari-hari, salah satunya siswa memiliki jadwal kapan mereka harus bangun atau tidur, jadwal untuk makan, dan kapan siswa harus berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi. Selain itu siswa-siswi harus dapat mengatur bagaimana, kapan, dan di mana mereka dapat menyelesaikan pekerjaan rumah mereka, standar untuk menjaga fasilitas yang mereka gunakan agar tetap rapi dan bersih, serta batasan mengenai waktu untuk mengakses telepon dan komputer (Cookson, 2009; Cree, 2000; BR Lee & Barth, 2009; Williams, 2011). Permasalahan yang sering dialami oleh siswa siswi boarding school di SMP X Bandung berkaitan dengan peraturan sekolah. Peraturan yang diterapkan SMP X adalah adanya pembatasan penggunaan barang barang elektronik berupa handphone dan laptop.

3 Peraturan seperti ini membuat siswa merasa tidak nyaman, namun siswa-siswi seringkali tidak berani menyampaikan pendapatnya mengenai kebutuhan penggunaan smartphone dan laptop meskipun mereka diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan situasi dan interaksi yang dikondisikan pada sekolah berasrama dapat menggambarkan pengalaman asrama bagi siswa setiap hari. Lingkungan asrama memberikan pengaruh yang berbeda dalam proses sosialisasi dari siswa. Bronfenbrenner (1970) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa anak-anak ''kolektif'' (yaitu, pengelompokan dalam sekolah asrama) memainkan peran utama dalam proses sosialisasi. Dalam lingkungan sekolah berasrama, peran kelompok ini adalah penting tidak seperti siswa pada sekolah non-asrama, pengaruhnya melampaui lingkungan kelas yang khas yang dapat masuk kedalam semua aspek kehidupan anak. Hasil penelitiannya menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan terutama dengan aturan sosialisasi tunggal lebih mungkin untuk menyesuaikan diri dengan tekanan sosial di lingkungan mereka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X mengenai permasalahan yang dialami saat awal masuk sekolah diantaranya sebanyak 10 siswa (67%) merasa sedih harus berpisah dengan orang tuanya dalam jangka waktu yang lama dan mereka kesulitan untuk membangun hubungan yang dekat dengan teman asrama karena takut tidak disukai. Akibatnya siswa menjadi bingung harus bercerita kepada siapa dan membuat siswa memendam masalah mereka sendiri. Hal tersebut membuat siswa sulit untuk mengungkapkan dan membagi hal-hal yang mereka rasakan kepada teman teman asrama. Sifat dari program sekolah berasrama memastikan bahwa siswa akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sekolah mereka dalam pengaturan yang diawasi secara

4 terstruktur. Diharapkan dengan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sekolah akan membantu siswa dalam menciptakan keberhasilan interaksi diantara sesama siswa. Oleh karena itu program sekolah berasrama bisa mengintensifkan "pengaruh teman" yang merupakan hasil selama mengikuti program sekolah berasrama. Namun bagi siswa siswi boarding school di SMP X Bandung mereka seringkali mengalami perselisihan antara teman sekamar atau teman yang berkunjung ke kamar mereka. Permasalahan terkait dengan pola kebiasaan yang dimiliki masing-masing siswa, seperti ketika satu orang membersihkan kamar, tetapi teman yang lainnya justru membuat kamar menjadi berantakan, atau ketika ada teman yang berkunjung ke kamar dan menggunakan barang barang pribadi milik siswa yang lain membuat siswa merasa tidak nyaman, namun takut untuk menegur temannya sehingga terjadi perselisihan antar teman di asrama. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswa siswi diperlukan adanya kemampuan untuk mengeluarkan pendapat, seperti ketika terjadinya konflik dengan teman sekamar ataupun dengan teman yang berkunjung ke kamar, siswa siswi diharapkan mampu untuk menyelesaikan konflik mereka dengan menyampaikan secara langsung hal hal yang memicu timbulnya perselisihan. Namun kenyataannya tidak semua siswa siswi mampu untuk berbicara secara langsung menyampaikan hal hal yang memicu munculnya konflik diantara mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterbukaan diri siswa siswi untuk menyampaikan hal hal yang mereka rasakan kepada orang lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan mereka tidak suka dengan kebiasaaan teman-teman yang ada di lingkungan asrama yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka, tetapi mereka tidak berani untuk menyampaikan secara langsung kepada teman mereka karena merasa takut jika nantinya teman mereka akan salah paham.

5 Salah satu tujuan dari sekolah berasrama adalah agar siswa-siswi dapat memiliki interaksi yang positif dengan lingkungannya, termasuk dengan teman-teman asrama. Untuk dapat menentukan keberhasilan siswa siswi dalam berinteraksi dan membangun hubungan interpersonal dengan teman-teman di asrama adalah self disclosure. Menurut Wheeless & Grotz (1976) self-disclosure (pengungkapan diri) adalah pesan apapun tentang diri yang dikomunikasikan kepada orang lain. Akibatnya setiap pesan mungkin memiliki potensi yang bervariasi dalam tingkat pengungkapan diri tergantung pada persepsi dan pesan yang disampaikan. Menurut Lumsden (1996) self-disclosure dapat membantu seseorang berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta hubungan menjadi lebih akrab. Selain itu, self-disclosure dapat melepaskan perasaan bersalah dan cemas (Calhoun dan Acocella, 1990). Self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu siswa dalam mencapai penyesuaian diri. Apabila siswa siswi tidak memiliki kemampuan self disclosure, maka dia akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya ketika siswa merasakan kondisi mood yang tidak baik dan tidak mampu untuk menceritakan kepada teman temannya, sering terjadi kesalahpahaman karena sikap mereka yang menjadi kurang bersahabat. Kemudian ketika siswa tidak mampu untuk mengemukakan keluhannya mengenai peraturan yang berkaitan dengan penggunaan smartphone karena merasa takut jika dianggap menentang peraturan, guru menganggap bahwa peraturan dapat diterima oleh siswa dan tidak menjadi masalah bagi siswa, padahal menurut siswa hal tersebut merupakan masalah bagi mereka. Hal hal tersebut menunjukkan adanya komunikasi yang kurang efektif yang disebabkan oleh kurang adanya keterbukaan diri (self disclosure). Kurang adanya keterbukaan diri dapat dilihat dari gejala gejala seperti tidak bisa mengeluarkan

6 pendapat, tidak mampu mengemukakan ide atau gagasan yang ada pada dirinya, merasa waswas atau takut jika hendak mengemukakan sesuatu (Johnson, 1990). Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X Bandung, sebanyak 7 siswa (47%) mengatakan mereka tidak ingin bercerita kepada siapapun mengenai masalah mereka karena merasa takut tidak ditanggapi oleh orang lain dan khawatir masalah mereka akan diketahui oleh banyak orang. Sisanya sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan mereka lebih banyak bercerita mengenai masalah yang mereka hadapi kepada teman teman di asrama, dan 3 siswa (20%) mengatakan mereka hanya bercerita kepada orang tua dan wali asuh di asrama mengenai masalah yang mereka hadapi. Self disclosure dapat dilihat berdasarkan gambaran perilaku dari lima dimensi nya yaitu dimensi pertama positive-negative valence. Pada dimensi positive negative valence pengungkapan diri yang positif termasuk pernyataan mengenai dirinya yang dapat dikategorikan sebagai pujian sedangkan pengungkapan diri yang negatif merupakan kritikan tentang dirinya sendiri. Berdasarkan wawancara kepada 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X, sebanyak 10 siswa (67%) mengatakan bahwa mereka dapat dengan mudah mengungkapkan pengalaman keberhasilan mereka di masa lalu seperti ranking yang pernah di dapatkan, serta prestasi prestasi yang pernah mereka raih. Kemudian sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan bahwa mereka terkadang dapat dengan mudah menceritakan kepada teman-teman asrama mengenai hal-hal yang menjadi kritikan orang lain mengenai diri mereka, seperti kritikan orang lain tentang kebiasaan siswa siswi yang tidak disukai, mereka akan menceritakan hal-hal itu kepada teman teman asrama. Kemudian dimensi yang kedua adalah depth, yaitu pengungkapan informasi mengenai diri secara mendalam yang berisi keunikan dan penyebab seseorang menjadi rentan atau lemah, tujuan seseorang secara spesifik dan kehidupan intim. Berdasarkan wawancara yang

7 dilakukan kepada 15 siswa siswi boarding school di SMP X sebanyak 11 siswa (73%) merasa kesulitan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pribadi dan masalah keluarga, serta mereka hanya menceritakan kegiatan sehari-hari kepada teman-teman asrama, atau hanya menceritakan mengenai hobi mereka kepada teman-teman yang memiliki hobi yang sama. Sedangkan sebanyak 4 siswa (27%) mengatakan mereka dapat menceritakan mengenai masalah pribadi dan mengungkapkan perasaan mereka mengenai pacar atau mengenai orang yang sedang mereka sukai. Selanjutnya yang ketiga adalah amount, yaitu Self-disclosure dapat dilihat dalam jumlah total informasi yang diberikan. Dari wawancara yang dilakukan kepada 15 siswa siswi boarding school di SMP X sebanyak 10 siswa (67%) mengatakan bahwa mereka jarang untuk menceritakan perihal diri mereka kepada teman teman asrama karena merasa kurang nyaman dan takut bila orang lain banyak mengetahui tentang diri mereka, mereka hanya menceritakan sedikit mengenai diri mereka kepada teman teman asrama. Sedangkan sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan bahwa mereka setiap hari menceritakan hal-hal yang mereka alami kepada teman teman asrama, mereka dapat menceritakan mengenai diri mereka kepada siapapun dan mengenai hal apapun yang ingin mereka ungkapkan. Kemudian yang selanjutnya adalah intentionally, yaitu pada saat memberikan informasi, apakah seseorang sadar akan informasi yang disampaikan kepada orang lain atau sedang bercampur dengan emosi atau hal lainnya, sehingga membuat dirinya tidak sadar dengan apa yang disampaikan kepada orang lain. Dari 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X, 9 siswa (60%) mengatakan bahwa ketika mereka mengungkapkan hal hal mengenai diri mereka kepada teman teman di asrama, mereka menyadari informasi apa yang telah mereka ungkapkan, sehingga mereka dapat memilih hal hal mengenai diri mereka yang ingin diceritakan kepada teman teman di asrama. Sedangkan sebanyak 6 siswa (40%)

8 mengatakan bahwa mereka terkadang tidak menyadari hal hal yang telah mereka ceritakan kepada teman teman asrama, karena terbawa oleh perasaan mereka saat mereka bercerita dan tidak dapat memilih informasi yang akan mereka ceritakan mengenai diri mereka kepada teman teman asrama. Dan yang terkahir adalah dimensi honesty accuracy, yaitu pengungkapan diri dapat dilihat dari kejujuran seseorang pada saat memberikan pesan atau informasi kepada orang lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X sebanyak 11 siswa (73%) mengatakan mereka menceritakan pengalaman menyenangkan yang benar-benar mereka alami kepada teman-teman, kemudian sebanyak 4 siswa (27%) mengatakan mereka terkadang menutupi pengalaman memalukan yang mereka alami karena menilai hal tersebut sebagai aib. Bedasarkan survey yang dilakukan kepada 15 orang siswa siswi boarding school di SMP X, terlihat beberapa gambaran mengenai dimensi-dimensi self-disclosure dalam interaksinya di lingkungan asrama. Maka dari itu Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai gambaran dari dimensi-dimensi self-disclosure yang dilakukan siswa siswi boarding school di SMP X. 1.2 Identifikasi Masalah Bagaimana siswa siswi boarding school di SMP X Kota Bandung dapat melakukan self disclosure.

9 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Dari penelitian ingin mengetahui bagaimana gambaran dimensi dimensi self-disclosure pada siswa siswi boarding school di SMP X Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Mengetahui derajat dimensi self-disclosure yang terdiri dari positive-negative valence, depth, amount, intentionall, dan honesty-accuracy pada siswa dan siswi yang mengikuti boarding school di SMP X Kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan lebih lanjut bagi para peneliti lain agar dapat memberi manfaat yang berkaitan dengan masalah sosial yang muncul pada pengungkapan diri yang dilakukan oleh siswa siswi yang mengikuti boarding school. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1) Sebagai informasi kepada para siswa dan siswi mengenai pentingnya melakukan pengungkapan diri sebagai salah satu cara membangun relasi yang baik dengan sesama teman di asrama. 2) Sebagai masukan bagi sekolah untuk menyelenggarakan seminar mengenai pentingnya self disclosure. 3) Sabagai bahan pertimbangan bagi sekolah untuk mengadakan training yang berkaitan dengan self disclosure bagi siswa siswi.

10 1.5 Kerangka Pikir Masa remaja merupakan periode transisi dalam hal biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Tahap perkembangan pada remaja dibagi menjadi tiga tahap; yaitu early adolescence (10-13 tahun), middle adolescence (14-18 tahun), dan late adolescence (19-22 tahun) (Steinberg, 2002). Remaja pada tingkat Sekolah Menengah Pertama berada dalam tahap perkembangan early adolescence. Erikson (dalam papalia, 2008) mengatakan bahwa tugas utama masa remaja adalah memecahkan krisis identitas versus kebingungan identitas. Untuk membentuk identitas remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan, kebutuhan, ketertarikan dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam konteks sosial yaitu dengan melakukan pengungkapan diri (Erikson, dalam Papalia 2008). Oleh karena itu setiap siswa sisiwi yang mengikuti boarding school di SMP X Kota Bandung diharapkan mampu menemukan identitas dirinya dengan pengungkapan diri. Para siswa siswi yang mengikuti boarding school di SMP X Kota Bandung sedang mengalami masa penyesuaian yang signifikan terhadap perubahan fisiologis, kognitif, psikologis, dan sosial yang membedakan perilaku masa kanak-kanak dari perilaku orang dewasa. Perubahan sosial dimulai dari intensitas dan nilai penting pertemanan bagi siswasiswi. Siswa siswi mulai lebih menyandarkan dukungan dan intimasi kepada teman daripada orang tua, dan mereka berbagi rahasia lebih banyak dari yang dilakukan anak yang lebih muda. Penekanan pada intimasi, loyalitas dan berbagi menandai transisi ke pertemanan orang dewasa (Bern & Perry, 1990; Buhrmester, 1990; Hartup & Stevens, 1999; Lauren, 1996, dalam Papalia, 2008). Intimasi dengan teman sejenis akan meningkat pada remaja awal sampai pada remaja madya dan menurun ketika keintiman dengan lawan jenis meningkat (Laursen, 1996. Dalam Papalia, 2008). Peningkatan intimasi pertemanan remaja merefleksikan perkembangan kognitif dan emosional. Pada saat ini remaja mampu

11 mengekspresikan pemikiran dan perasaan pribadi mereka. Pertemanan memberikan tempat untuk mengemukakan pendapat, pengakuan kelemahan dan mendapatkan bantuan dari masalah (Buhrmester, 1990). Kapasitas intimasi terkait kepada penyesuaian psikososial dan kompetensi sosial. Berbagi rahasia dan dukungan emosional tampaknya lebih vital pada pertemanan remaja perempuan daripada pertemanan remaja laki-laki. Pertemanan anak laki-laki lebih fokus kepada aktivitas bersama daripada percakapan, biasanya olahraga dan permainan kompetitif (Blyth & Foster- Clark, 1987; Bruhrmester, 1996; Bukowski & Kramer, 1986). Remaja perempuan akan merasa lebih nyaman ketika telah menceritakan pengalaman mengecewakannya kepada temannya, sedangkan remaja laki-laki mungkin mengekspresikan dukungan dengan menghabiskan waktu bersama untuk melakukan sesuatu (Denton & Zarbatany, 1996). Siswa-siswi boarding school memiliki waktu yang lebih banyak untuk dihabiskan bersama teman-teman. Hal ini memungkinkan siswa-siswi untuk memiliki keintiman dalam pertemanan. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi keselarasan antara pribadi remaja dengan lingkungan asrama, sehingga remaja bisa dengan nyaman tinggal di lingkungan asrama. Agar remaja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial di asrama, maka remaja membutuhkan keterampilan sosial. Self disclosure merupakan salah satu aspek keterampilan sosial yang penting bagi siswa dan siswi boarding school di SMP X untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan asrama serta menunjang keberhasilan siswa siswi dalam bergaul dengan lingkungan asrama. Self disclosure menurut Wheeless & Grotz (1976) adalah pesan apapun tentang diri yang dikomunikasikan kepada orang lain. Akibatnya setiap pesan mungkin memiliki potensi

12 yang bervariasi dalam tingkat pengungkapan diri tergantung pada persepsi dan pesan yang disampaikan. Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, penelitian yang dilakukan Wheeless & Grotz (1976) telah menemukan lima dimensi self disclosure atau yang biasa disebut pengungkapan diri, yaitu positive negative valence, depth, amount, intentionally and honesty accuracy. Dimensi yang pertama ialah positive negative valence, yaitu pengungkapan diri yang positive dari siswa siswi boarding school di SMP X termasuk dengan mengungkapkan pernyataan mengenai dirinya yang berisi kelebihan dan hal-hal yang menjadi kekuatannya. Sementara pengungkapan diri yang negative berisi informasi mengenai kelemahan mengenai dirinya sendiri yang mereka ungkapkan kepada teman maupun guru di asrama. Contohnya siswa siswi boarding school di SMP X dapat mengungkapkan bahwa dirinya dapat menjaga fokus saat mengerjakan sesuatu atau mengungkapkan bahwa mereka adalah orang yang membosankan. Pengungkapan diri yang negatif yang dilakukan oleh siswa siswi boarding school di SMP X dapat memberikan masalah bagi orang lain yang melihatnya jika hal tersebut dilakukan secara ekstrim. Pengungkapan informasi yang positif atau negatif yang dilakukan siswa siswi boarding school di SMP X kepada teman teman dan guru di asrama, terkait dengan tingkat keintiman atau ketidakintiman informasi yang diungkapkan. Kemudian dimensi yang kedua yaitu depth, merujuk pada pengungkapan diri yang dilakukan apakah dalam atau dangkal. Informasi yang diberikan siswa siswi boarding school di SMP X mengenai aspek dari dalam diri di mana berisi keunikan dan hal-hal yang menjadi penyebab dirinya menjadi rentan atau lemah, termasuk hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak banyak orang lain mengetahuinya, pengungkapan diri ini dianggap dalam. Pengungkapan diri yang dangkal termasuk pernyataan-pernyataan mengenai diri sendiri yang

13 dangkal dan tidak intim. Contohnya siswa siswi boarding school di SMP X mengungkapkan ketertarikannya pada lawan jenis, ketidaksukaan terhadap seseorang, atau suatu rahasia dari pengalaman masa lalunya yang tidak banyak diketahui orang lain, hal tersebut termasuk dalam pengungkapan diri yang dalam. Sedangkan pengungkapan diri yang dangkal yaitu siswa siswi boarding school di SMP X mengungkapkan informasi umum berupa hobi, kegiatan sehari hari yang dilakukan, serta pengalaman yang tidak memiliki resiko ketika orang lain mengetahuinya. Selanjutnya dimensi yang ketiga adalah amount, yaitu dilihat dalam jumlah total informasi yang diberikan oleh siswa siswi boarding school di SMP X. Setiap siswa siswi tidak mengungkapkan jumlah informasi yang sama tentang diri mereka. Ada beberapa siswa - siswi yang relatif tidak mengungkapkan tentang dirinya, namun ada juga siswa - siswi yang mengungkapkan segala hal mengenai pengalamannya, situasinya saat ini, dan tujuan masa depannya. Ketika siswa - siswi boarding school di SMP X melakukan pengungkapan diri dengan banyak informasi yang diberikan maka orang yang diberikan informasi pun akan secara bebas dapat melakukan pengungkapan diri juga. Namun, ketika siswa siswi boarding school di SMP X kurang terbuka dalam mengungkapkan diri maka orang yang mendapat informasi harus berhati-hati untuk melakukan pengungkapan diri. Contohnya siswa siswi boarding school di SMP X dapat dikatakan melakukan pengungkapan diri dengan memberikan informasi dalam jumlah yang tinggi apabila mereka setiap hari selalu menceritakan peristiwa, perasaan dan pikiran apapun yang mereka alami. Sedangkan jika siswa siswi boarding school di SMP X melakukan pengungkapan dengan jarang menceritakan mengenai pikiran dan perasaan mereka serta hal-hal yang dialami kepada teman-teman di asrama, maka siswa siswi melakukuan pengungkapan diri dalam jumlah yang rendah.

14 Dimensi yang keempat adalah intentionally, yaitu kesadaran pada saat memberikan informasi atau pesan tentang dirinya kepada orang lain. Siswa siswi boarding school di SMP X yang sadar akan informasi yang disampaikan kepada orang lain, akan dapat mengontrol informasi mengenai dirinya yang akan diungkapkan. Namun disisi lain siswa siswi boarding school di SMP X yang sedang bercampur dengan emosi atau hal lainnya, membuat dirinya tidak sadar dengan apa yang disampaikan kepada orang lain. Contohnya ketika sedang kesal dengan seseorang, mereka menceritakan kekesalannya itu kepada siapapun orang yang ditemuinya, tanpa menyadari tujuan dari pengungkapan diri yang mereka lakukan, sehingga mereka tidak menyadari maksud dari pengungkapan diri yang dilakukan. Sedangkan jika siswa siswi boarding school di SMP X mengetahui maksud dari pengungkapan dirinya, maka mereka akan menyadari bahwa perasaan kesal yang mereka ungkapkan memiliki tujuan dan mereka tidak akan menyesali telah mengungkapkan perasaan kesal yang mereka alami. Dan dimensi yang terakhir adalah honesty - accuracy, yaitu pengungkapan diri dapat dilihat dari kejujuran siswa siswi boarding school di SMP X pada saat memberikan informasi yang mereka ceritakan kepada teman teman maupun guru di asrama. Selain itu, dilihat juga dari ketepatan yaitu informasi yang disampaikan oleh siswa siswi boarding school di SMP X benar-benar terjadi atau sesuai dengan apa yang terjadi atau yang dirasakan oleh siswa siswi tersebut. Contohnya, saat siswa siswi boarding school di SMP X menceritakan peristiwa, perasaan dan pikiran mereka pada saat liburan. Hal yang mereka ceritakan benar-benar terjadi pada diri mereka bukan dari pengalaman orang lain. Sedangkan jika siswa siswi boarding school di SMP X tidak jujur dalam mengungkapkan informasi, mereka akan melebih-lebihkan informasi mengenai pengalaman yang mereka alami serta

15 tidak dapat menentukan saat yang tepat untuk mengungkapkan pengalaman mereka kepada orang lain. Pada self disclosure, pengaruh jenis kelamin bermula dari perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak yang disebabkan karena perbedaan jenis kelaminnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Berry, dkk (1999) bahwa perbedaan kategori biologis antara laki-laki dan perempuan juga menghasilkan praktik kultural yang berupa pola pengasuhan anak, peran, stereotip gender, dan ideologi peran seks yang mengarah pada tindakan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga terdapat pada cara berkomunikasi antara keduanya, (Tanen dalam Santrock, 2012) bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tipe pembicaraan yang berbeda. Laki-laki lebih memilih terlibat dalam pembicaraan yang report talk (percakapan yang disusun untuk memberikan informasi), memiliki kemampuan dalam berbicara seperti menyampaikan cerita atau lelucon. Perempuan lebih menyukai rapport talk (cara menjalin hubungan dan bernegosiasi), dan menyenangi percakapan pribadi, perempuan juga sering merasa terganggu karena laki-laki kurang tertarik dengan rapport talk. Selain itu perempuan lebih suka mengungkapkan diri mengenai kelemahannya atau dengan kata lain hal yang negatif mengenai dirinya (Hacker, dalam Derlega, 1987). Selain tipe pembicaraan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, perbedaan yang terlihat juga pada karakteristik kepribadian perempuan yang lebih terbuka (Archer, 1979 dalam Derlega, 1987). Selain pengaruh jenis kelamin, hal lainnya yang berpengaruh terhadap self disclosure adalah kepribadian. Derlega (1987) mengatakan bahwa self-disclosure dipengaruhi oleh kepribadian atau personality seseorang. Individu yang memiliki karakteristik kepribadian yang terbuka akan lebih mudah melakukan perilaku self-disclosure dibandingkan dengan orang yang memiliki kepribadian yang tertutup. Kemudian individu dengan tingkat sociable

16 yang tinggi memiliki keinginan dan suka jika berada di dekat banyak orang, individu tersebut juga menampilkan perilaku agar bisa berinteraksi dengan banyak orang. Kebalikannya, individu dengan tingkat sociable yang rendah tidak memiliki keinginan dan tidak suka berada di dekat banyak orang, individu tersebut menampilkan perilaku agar tidak berinteraksi dengan orang banyak. Ciri-ciri komunikasi yang terbuka dan tertutup menurut Derlega sejalan dengan ciri-ciri extraversion. Ciri-ciri individu dengan extraversion tinggi sejalan dengan ciri-ciri perilaku komunikasi yang tergolong terbuka, sedangkan ciri-ciri individu dengan extraversion rendah sejalan dengan ciri-ciri perilaku komunikasi yang tergolong tertutup.

17 Bagan kerangka Pikir Faktor yang mempengaruhi: 1. Jenis Kelamin 2. Personality Siswa siswi boarding school di SMP X Bandung Self Disclosure Dimensi positivenegative valence Positif Negatif Tinggi Dimensi depth Rendah Tinggi Dimensi Amount Rendah Dimensi Tinggi Intentionally Rendah Dimensi honesty - Tinggi accuracy Rendah

18 Bagan 1.1 Kerangka Pikir 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka terdapat asumsi sebagai berikut : 1. Siswa siswi membutuhkan self-disclosure untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan lingkungan asrama. 2. Dalam menyampaikan informasi mengenai diri siswa-siswi, perilaku self-disclosure dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu positive negative valence, depth, amount, intentionally dan honesty accuracy. 3. Perilaku Self-disclosure dipengaruhi oleh jenis kelamin. Siswa laki-laki dan siswi perempuan cenderung melakukan perilaku self-disclosure yang berbeda. Secara rinci pada dimensi positive negative valence siswa laki-laki lebih positif dalam melakukan pengungkapan diri dibandingkan siswi perempuan. Pada dimensi intentionally, siswa laki-laki lebih sadar dibandingkan siswi perempuan dalam mengungkapkan diri. Pada dimensi depth, siswa laki-laki lebih dangkal dibandingkan siswi perempuan dalam mengungkapkan diri. Pada dimensi amount siswa laki-laki lebih jarang mengungkapkan diri dibandingkan siswi perempuan. Pada dimensi honesty accuraccy, siswi perempuan lebih jujur dan akurat mengenai informasi yang disampaikan dibandingkan siswa laki-laki. 4. Perbedaan perilaku self-disclosure bisa dipengaruhi oleh kepribadian. Siswa siswi yang memiliki extroversion tinggi akan cenderung lebih terbuka. Siswa siswi yang memiliki extraversion rendah akan cenderung tertutup.