BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

1. Pendahuluan 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang cacat tubuh pada dasarnya sama dengan manusia normal lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pendengaran merupakan sensori terpenting untuk perkembangan bicara

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

- 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG PENERBITAN KARTU PENYANDANG DISABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

1.7 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara. dalam Mencapai Kemandirian di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1991 TENTANG PENDIDIKAN LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas umum Pemerintahan dan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial dan keagamaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO remaja adalah tahapan individu yang mengalami pubertas

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

2 Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak-anak penyandang tuna daksa (memiliki kecacatan fisik), seringkali

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya suatu komunikasi yang baik. Salah satunya cara yang digunakan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. norma yang mengatur kehidupannya menuju tujuan yang dicita-citakan bersama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 86 / HUK / 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di bawah pengawasan guru. Ada dua jenis sekolah, yaitu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Devi Sari Peranginangin, 2013

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG

Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang yang

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS OLEH LEMBAGA DI BIDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan melakukan aktivitas secara mandiri. pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG

Karakteristik Anak Usia Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN)

BAB I PENDAHULUAN. retardasi mental atau keterbelakangan mental. Sekitar 48 kepala keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan serta dinikmati oleh manusia. Ketika seorang manusia lahir kedunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Deniaty Sinaga, 2015

BAB I PENDAHULUAN. keadaan bangsa mendatang tergantung dari usaha yang dilakukan bangsa tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh suatu negara pada

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai pihak diantaranya adalah guru dan siswa. Pembelajaran adalah pembelajaran yang

SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (SLB YPAC) DI SEMARANG. (Penekanan Desain Arsitektur Post Modern) IDA ASTRID PUSPITASARI L2B

BAB I PENDAHULUAN. masa depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Dunia pendidikan di

BAB 1 PENDAHULUAN. dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis sesuai tahapannya

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN.

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

3/8/2017. Dita Rachmayani, S.Psi., M.A dita.lecture.ub.ac.id / PENGGUNAAN ISTILAH

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, sakit dapat menyebabkan perubahan fisik, mental, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 / HUK / 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak awal adanya kehidupan manusia, kodrati manusia sebagai makhluk sosial telah ada secara bersamaan. Hal ini tersirat secara tidak langsung ketika Tuhan menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling membutuhkan satu sama lain dan kehidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk hidup layak. Seorang bayi misalnya, tentu sangat memerlukan bantuan dan kasih sayang dari ibu dan ayahnya. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, hubungan antar manusia merupakan suatu kebutuhan yang pokok untuk menunjang keberlangsungan hidup manusia. Kebutuhan itulah yang menimbulkan adanya suatu proses interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran.

(http://id.wikipedia.org/wiki/interaksi_sosial diakses pada tanggal 30 Mei 2013, pukul 14:10) Pentingnya kontak dan komunikasi bagi terwujudnya interaksi sosial dapat diuji terhadap suatu kehidupan terasing (isolation). Kehidupan terasing yang sempurna ditandai dengan suatu ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain. Sudah tentu seseorang yang hidup terasing sama sekali dapat melakukan tindakan-tindakan, misalnya terhadap alam sekitarnya, tetapi hal itu tak akan mendapat tanggapan apa-apa. Terasingnya seseorang dapat disebabkan oleh karena cacat pada salah satu inderanya. Seseorang sejak kecil buta dan tuli misalnya, mengasingkan diri dengan sendirinya dari pengaruh-pengaruh kehidupan yang tersalur melalui kedua indera tersebut. Dari beberapa hasil penyelidikan, ternyata kepribadian orang orang tersebut mengalami banyak penderitaan sebagai akibat kehidupan terasing oleh karena cacat indera itu. Orang-orang cacat tersebut akan mengalami perasaan rendah diri oleh karena kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang, dan bahkan tertutup sama sekali. (Basrowi, 2005: 141). Stigma yang melekat pada kecacatan, yang menyebabkan apa yang disebut Goffman identitas sosial ternoda atau rusak, berarti juga dapat menjadi identitas pengecualian, termasuk menonaktifkan orang dari partisipasi penuh dalam masyarakat, karena mereka menghadapi misalnya, hambatan fisik yang tidak perlu di gedung-gedung dan jalan-jalan, diskriminasi dalam pekerjaan, perawatan medis yang tidak memadai, penggambaran negatif di media, dan mengejek, sikap merendahkan atau meremehkan dari orang lain. (Ken Browme, 2008: 95)

Meskipun dewasa ini banyak masyarakat yang sudah mulai memahami tentang apa dan bagaimana tindakan terbaik yang harus dilakukan terhadap anak yang menyandang kelainan atau kecacatan, namun demikian tidak sedikit yang masih sulit untuk menghindarkan perlakuan atau penyikapan terhadap penyandang cacat secara wajar dan edukatif. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, terutama di lingkungan keluarga anak penyandang cacat itu sendiri. Penyikapan dan perlakuan lingkungan keluarga memiliki kontribusi sangat kuat terhadap perkembangan anak penyandang cacat. Tidak bisa dipungkiri, tak mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan, apalagi untuk pertama kalinya. Perasaan kecewa akan muncul setelah mengetahui bahwa anak yang dilahirkannya tidak memenuhi harapannya. Tumbuh-kembangnya penyikapan orangtua disebabkan anggaran masyarakat bahwa kehadiran anak berkelainan dapat menurunkan martabat atau gengsi orang tua dan keluarga. Atas dasar ini, terdapat kecenderungan sikap penolakan pada orang tua. Umumya sikap penolakan ini terwujud dalam tindakan diskriminatif walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan, ataupun tidak mendapat pendidikan sesuai dengan perkembangan anak seusianya. Sampai saat ini, belum ada data yang valid mengenai populasi anak penyandang cacat di Indonesia. Dirjen Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial tahun 1991 (dalam Effendi, 2006: 12) menyebutkan bahwa diketahui ada 5.576.815 orang (tanpa menyebutkan usia) jumlah penyandang cacat di Indonesia, dengan jumlah penyandang cacat tuna rungu wicara sebesar 9,97% atau 555.898 orang. Berikut disajikan data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang dikutip peneliti dari berbagai sumber:

1. Pusdatin, Depsos 2009 (Sumber: http://www.ausaid.gov.au/publications/pdf/pwd-sit-bahasa.pdf Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:05) 2. Data Kementerian Sosial RI per Desember 2010. Jumlah Penyandang Cacat di Indonesia: 11.580.117 orang, terdiri dari: a. Tuna Netra : 3.474.035 orang b. Tuna Daksa : 3.010.830 orang c. Tuna Rungu : 2.547.626 orang d. Cacat Mental : 1.389.614 orang e. Cacat Kronis : 1.158.012 orang (http://www.kumham- jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/391-mengupas-

implementasi-ketentuan-pasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor- 4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:08) 3. Data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI per Desember 2010. Jumlah Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Indonesia: 7.126.409 orang, terdiri dari: a. Tuna Netra : 2.137.923 orang b. Tuna Daksa : 1.852.866 orang c. Tuna Rungu : 1.567.810 orang d. Cacat Mental : 712.641 orang e. Cacat Kronis : 855.169 orang (http://www.kumham-jogja.info/karyailmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/391-mengupas-implementasi-ketentuanpasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor-4-tahun-1997-tentangpenyandang-cacat Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:08) 4. Berita Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 pada website Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial menyebutkan bahwa penyandang tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602. 784 jiwa, tuna daksa 1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 jiwa. (http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=news&file=article&sid=1 420 Diakses pada tanggal 17 Desember 2013 pukul 17:03) Manusia bagaimanapun keadaaannya adalah makluk individu dan makhluk sosial. Demikian pula anak tuna rungu, sesuai dengan kodratnya mereka senantiasa

mengadakan interaksi dengan yang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat komunikasi. Alat komunikasi yang mereka gunakan telah mereka sepakati, walaupun menggunakan komunikasi dalam arti sederhana sehingga mereka dapat mengerti yang satu dengan yang lainya. Penyandang cacat tuna rungu wicara memang belum begitu mendapat perhatian dari masyarakat karena kekurangan yang mereka alami tidak tampak dari luar. Sekilas, mereka tampak seperti manusia pada umumnya. Kita baru akan mengetahuinya ketika melihat mereka berkomunikasi dengan bahasa atau gerak isyarat. UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar merupakan salah satu panti yang memberikan pelayanan sosial kepada penyandang cacat tuna rungu wicara. Kebanyakan penyandang cacat tuna rungu wicara yang ada di panti ini berasal dari luar kota, tapi masih dalam kawasan provinsi Sumatera Utara. Hasil observasi sementara yang telah dilakukan penulis selama masa praktikum lapangan menunjukkan bahwa intensitas interaksi antar sesama tuna rungu wicara dan juga tehadap lingkungan di sekitar cukup tinggi. Secara umum, ada kecengerungan pada masyarakat yang menganggap bahwa keberadaan anak penderita tuna rungu wicara adalah aib dan beban keluarga. Bahkan dari informasi yang penulis dapatkan di panti sosial tersebut, ada pula orang tua dari salah satu warga binaan social yang menganggap bahwa anak yang dilahirkannya bukanlah seorang penderita tuna rungu wicara. Parahnya, dalam kehidupan sosial, masyarakat di sekitar panti cenderung mengabaikan keberadaan mereka. Stigma negatif sudah melekat pada mereka. Mereka adalah sekelompok orang yang selalu membutuhkan bantuan yang hanya akan menyusahkan orang lain.

Kehilangan pendengaran pada anak memang sangat mengganggu perkembangan mental dan interaksi sosial mereka pada masa pertumbuhan. Inilah alasan yang menimbulkan kenyataan bahwa penyandang tuna rungu wicara sangat miskin akan kosa kata dan sulit dalam berinteraksi dengan dunia luar. Pengalaman pribadi penulis sangat menguatkan hal ini. Mereka hanya mampu menuliskan katakata umum biasa dalam mengerjakan soal-soal bertema cerita. Bahkan susunan kata yang mereka tulis dalam membentuk kalimat sangat tidak beraturan. Hal ini memang memprihatinkan. Padahal kemampuan berkomunikasi merupakan saluran yang sangat penting dalam belajar, bermain dan membangun hubungan dengan orang lain. Kondisi dan kesulitan penyandang cacat tuna rungu wicara dalam berinteraksi dengan orang lain memang cukup memprihatinkan, apalagi pada anak dengan kondisi tuna rungu wicara yang tergolong masih ringan, pasti membutuhkan tingkat konsentrasi yang lebih baik ketika melakukan komunikasi dengan orang normal. Selain itu, untuk berinteraksi dengan orang lain, bahasa dan cara yang mereka gunakan adalah bahasa isyarat yang cenderung sulit untuk dipahami oleh orang biasa. Anak tunarungu wicara secara umum menggunakan bahasa atau gerak isyarat, dan isyaratnya sangat bervariasi sebagaimana isyarat lokal yang dikenal. Adapun orang-orang pada umumnya menggunakan penuturan lisan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian anak tunarungu menggunakan caranya sendiri dan orang pada umumnya menggunakan caranya sendiri dalam berkomunikasi. Anak tunarungu tidak dapat dipaksakan dengan mudah melakukan komunikasi lisan dan orang pada umumnya tidak mudah dipaksakan mengikuti komunikasi isyarat sebagaimana isyaratnya anak tunarungu.

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana anak tunarungu belajar komunikasi lisan dan bagaimana orang umum belajar komunikasi isyarat, sehingga komunikasi diantara keduanya lancar dan dapat saling memahami arti atau maknanya. Berbagai kenyataan dilapangan yang telah penulis alami sangat mendukung masalah interaksi ini. Konsekwensinya memang sudah dapat diduga, saluran komunikasi yang menjadi kendala, sangat menghambat proses interaksi antara penulis dan penyandang tuna rungu wicara. Terkadang mereka memiliki prasangka yang buruk terhadap penulis, ketika sedang memperbincangkan atau bahkan menertawakan sesuatu. Berbicara tentang komunikasi isyarat anak tuna rungu wicara, barangkali orang-orang pada umumnya tidak begitu banyak permasalahan. Namun sangat berbeda dengan anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi lisan atau oral. Anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi lisan tentu banyak kendala. Kendala ini terutama berhubungan dengan kondisi penderita tuna rungu wicara itu sendiri, seperti tidak berfungsinya dari pendengaran sehingga menyebabkan minimnya kosakata yang dimiliki. Selain itu, kemampuan mereka untuk berbahasa verbal (lisan) sangat buruk, mengingat kondisi dan ketidakmampuan oral dalam berbicara sebagaimana orang secara umum. Sebagai dampak dari tuna rungu wicara yang diderita seseorang terutama yang terjadi sejak lahir, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi penyandang khususnya dan masyarakat sekitar panti pada umumnya dalam hal interaksi sosial. Bagaimanapun bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia sebagai makhluk sosial. Tuna rungu wicara yang menjadi bawaan lahir dan tidak mendapatkan tindakan-tindakan penyembuhan sebagai upaya perbaikan tentu akan

memperparah kondisi penyandang tuna rungu wicara sebagai individu yang terlahir dengan keterbatasan komunikasi ini. Kondisi tuna rungu wicara akan berdampak pada kemiskinan bahasa dan komunikasi dan pula pada sempitnya dunia penyandang tuna rungu dalam berinteraksi di masyarakat sekitar panti. Penyandang cacat tuna rungu wicara memang merupakan realitas sosial yang tidak terbantahkan. Interaksi mereka juga lebih dominan dan terbatas hanya pada kelompok mereka sendiri, sebagai warga binaan sosial di dalam panti. Gangguan pendengaran dan penggunaan bahasa atau gerak isyarat dalam berkomunikasi sepetinya telah membentuk dunia mereka sendiri, walaupun mereka berada di dalam lingkungan sosial yang luas sekalipun. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis tertarik untuk meneliti serta mengetahui interaksi dan kehidupan sosial warga binaan tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. Oleh karena itu, penulis akan merangkum penelitian ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk studi kasus dengan judul: "Pola Interaksi Sosial Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar).

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Bagaimana pola interaksi sosial tuna rungu wicara?" 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui pola interaksi sosial penyandang tuna rungu wicara, khususnya di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. 2. Untuk mengetahui kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dalam hubungannya dengan kemampuan komunikasi dan bahasa dalam berinteraksi. 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka : 1. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan penyandang cacat tuna rungu wicara dan masalah-masalahnya. 2. Memberikan kontribusi pemikiran dan masukan kepada pihak-pihak terkait, khususnya pada tahap pendekatan awal dan tahap assesmen, sehubungan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan sosial tuna rungu wicara.

1.4 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan secara teoritis variabel-variabel yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep, dan definisi operasional. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, dimana penulis melakukan penelitian. BAB V ANALISIS DATA Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh peneliti dari hasil penelitian dan analisanya. BAB VI PENUTUP Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian