BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Knowledge-based economy adalah sebuah istilah yang luas digunakan untuk mendeskripsikan ekonomi global masa kini (Ting dan Lean, 2009). Knowledge-based economyditandai dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, persaingan dan pertumbuhan inovasi yang ketat. Hal ini mengakibatkan banyak perusahaan mengubah cara berbisnisnya dari bisnis yang berbasis tenaga kerja (Labor-based business) menjadi bisnis berdasarkan pengetahuan (Knowledge-based business), agar dapat bertahan dalam persaingan bisnis (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri, sejalan dengan penetapan manajemen pengetahuan (knowledge management). Yudianti (2000) menyatakan bahwa perubahan proses bisnis, munculnya pemahaman baru mengenai proses produksi, peran konsumen dan juga pandangan perusahaan terhadap peran penting sumber daya manusia memiliki dampak pada pelaporan keuangan. Ada hal lain yang perlu disampaikan kepada para pengguna laporan keuangan yang bisa menjelaskan nilai lebih yang dimiliki perusahaan seperti inovasi, penemuan, pengetahuan dan keterampilan SDM, relasi dengan konsumen dan sebagainya. Area ini menarik perhatian baik akademisi maupun praktisi terkait dengan kegunaan Intellectual Capital sebagai salah satu instrumen untuk menentukan
nilai perusahaan (Edvinsson dan Malone, 1997; Sveiby, 2001 dalam Ulum, 2009). Hal ini menjadi isu yang berkepanjangan, di mana beberapa penulis menyatakan bahwa manajemen dan sistem pelaporan yang telah mapan selama ini secara berkelanjutan kehilangan relevansinya karena tidak mampu menyajikan informasi yang esensial bagi eksekutif untuk mengelola proses yang berbasis pengetahuan (knowledge-based processes) dan intangible recources (Bornemann dan Leitner, 2002 dalam Ulum, 2009). Praktik akuntansi tradisional hanya mampu mengakui intellectual property sebagai aset tidak berwujud dalam laporan keuangannya, seperti hak paten, merk dagang, dan goodwill. Meningkatnya perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan telah menarik perhatian para peneliti untuk menyelidiki nilai yang hilang (hidden value) pada laporan keuangan perusahaan. Lev (2001) dalam Chen et al. (2005) memcatat bahwa selama tahun 1977-2001, dalam US Standard and Poors (S&P) 500, rasio nilai pasar terhadap nilai buku perusahaan meningkat dari 1 sampai 5. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa sekitar 80% nilai pasar perusahaan tidak tercermin dalam laporan keuangan. Menurut Edvinsson dan Malore (1997) dalam Chen et al (2005), perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan adalah nilai Intellectual Capital (IC). Intellectual Capital merupakan konsep yang kompleks dan bahkan sulit untuk didefinisikan. Hal ini terbukti dari sejumlah definisi yang berbeda dalam literatur. Klein dan Prusak (1994) memberikan definisi awal atas IC. Mereka menyatakan bahwa Intellectual Capital adalah material yang telah disusun,
ditangkap, dan digunakan untuk menghasilkan nilai aset yang lebih tinggi. Stewart (1997) mendefinisikan IC sebagai packaged useful knowledge. Intellectual Capital (IC) menurut Sullivan (2000) adalah pengetahuan yang dapat diubah menjadi profit. Intellectual Capital tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan dari para karyawan, melainkan juga termasuk infrasruktur perusahaan, relasi dengan pelanggan, sistem informasi, teknologi, kemampuan berinovasi, dan berkreasi. Hernandez (2010) menyatakan bahwa Intellectual Capital dianggap sebagai hidden value di dalam organisasi. Tujuan dari ketiga komponen Intellectual Capital (human capital, customer capital, dan structural capital) adalah untuk menilai intangible assets dan untuk menilai kembali pengetahuan yang digunakan untuk memperbaiki keunggulan bisnis. Di Indonesia penilaian dan pengungkapan IC belum dinyatakan secara eksplisit, tetapi secara tidak langsung disinggung dalam PSAK No. 19 yang menjelaskan mengenai aset tidak berwujud (intangible assets). Menurut PSAK No. 19 (revisi 2010), aset tidak berwujud adalah aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan adminisratif. Beberapa contoh intangible asset antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan merek dagang (termasuk merek produk). Pengetahuan yang dimaksud dapat termasuk
Intellectual Capital sebagai alat ampuh dalam kompetisi perusahaan (Ulum, 2009).. Praktik pengungkapan informasi Intellectual Capital (IC) di dalam laporan tahunan perusahaan telah menjadi tema yang menarik banyak peneliti di berbagai negara. Tema ini menjadi menarik karena IC diyakini sebagai faktor penggerak dan pencipta nilai perusahaan (value driver and creation). Hal tersebut ditandai dengan adanya beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa IC berkontribusi signifikan terhadap kinerja perusahaan (Ulum, 2009; Tan et al., 2007; dan Chen et al., 2005). Para peneliti berusaha menemukan cara yang dapat diandalkan untuk mengukur intangible assets dan Intellectual Capital. Bertolak belakang dengan meningkatnya pengakuan IC dalam mendorong nilai dan keunggulan kompetitif perusahaan, pengukuran yang tepat terhadap IC perusahaan belum dapat ditetapkan. Misalnya, Pulic (1998; 1999; 2000) tidak mengukur secara langsung IC perusahaan, tetapi mengajukan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil dari kemampuan intelektual perusahaan (VAIC). Pulic mengembangkan metode yang paling populer untuk mengukur efisiensi nilai tambah dengan kemampuan intellectual perusahaan (Value Added Intellectual Coefficient VAIC). VAIC dapat dibedakan karena secara tidak langsung mengukur Intellectual Capital (IC) melalui human capital (Human Capital Efficiency HCE), structural capital (Structural Capital Efficiency SCE), dancapital employed (Capital Employed Efficiency CEE).
Pulic (1998) mengatakan bahwa tujuan utama dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added. Dan untuk menciptakan value added dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital (yaitu dana-dana keuangan) dan intellectual potential (dipresentasikan oleh karyawan dengan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki seluruh karyawan). Lebih lanjut Pulic (1998) mengatakan bahwa VAIC menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential) telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan. Kinerja perusahaan (business performance) yang baik merupakan salah satu tujuan perusahaan. Di dalam sistem kontrol formal ukuran kinerja meliputi ukuran financial dan non financial. Indikator kinerja perusahaan yang baik antara lain dapat berupa meningkatnya produktivitas, pertumbuhan penjualan, peningkatan laba, dan unggul dalam persaingan. Dalam merealisasikan kinerja perusahaan yang baik tersebut dibutuhkan suatu inovasi yang dapat menjadi keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Intellectual Capital (yang terdiri dari human capital, structural capital,dan customer capital) dapat menghasilkan inovasi yang mendorong peningkatan kinerja bagi perusahaan. Appuhami (2007) mengatakan semakin besar nilai modal intelektual (VAIC) perusahaan, maka semakin efisien penggunaan modal perusahaan tersebut dalam menciptakan value added bagi perusahaan. Physical Capital sebagai bagian dari modal intelektual menjadi sumber daya yang menentukan kinerja perusahaan. Jika Intellectual Capital merupakan sumber daya yang terukur dengan competitive advantages, maka Intellectual Capital akan memberi kontribusi pada kinerja
perusahaan.intellectual Capital yang efisien diyakini dapat berperan penting dalam peningkatan nilai perusahaan maupun kinerja perusahaan. Metode yang digunakan dalam mengukur Intellectual Capital adalah metode yang dipopulerkan oleh Pulic (VAIC). Alasannya adalah karena seluruh informasi dalam perusahaan telah tersedia dalam laporan keuangan. Penelitian ini menggunakan sampel dari perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dimana perusahaan manufaktur merupakan perusahaan yang memanfaatkan inovasi di setiap segi aktivitasnya. Alasan ROA yang dipilih karena kita dapat merefleksikan keuntungan bisnis dan efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan total aset. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mengambil judul PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP RETURN ON ASSET PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka masalah penelitian ini selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah Value Added Intellectual Coefficient (VAIC) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 2. Apakah Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Efficiency (SCE), dan Capital Employed Efficiency (CEE) memengaruhi Return on Asset (ROA)? 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis pengaruh Value Added Intellectual Coefficient (VAIC) terhadap Return on Asset (ROA). 2. Untuk menganalisis pengaruh Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Efficiency (SCE), dan Capital Employed Efficiency (CEE) terhadap Return on Asset (ROA). 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian mengenai Intellectual Capital (IC) ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Dapat menjadi bahan tambahan referensi dan bahan pengembangan penelitian selanjutnya mengenai faktor-faktor Intellectual Capital (IC) terhadap kinerja suatu perusahaan. 2. Sebagai referensi untuk menilai kinerja Intellectual Capital (IC) perusahaan manufaktur di Indonesia sehingga (calon) investor dapat menggunakannya sebagai indikasi perusahaan tersebut memiliki competitive advantage yang lebih. 3. Sebagai petunjuk bagi manajer dalam mengelola Intellectual Capital (IC) yang dimiliki sehingga dapat menciptakan nilai bagi perusahaan (firm s value creation).