BAB II DASAR TEORI SISTEM PERINGATAN DINI TERHADAP TSUNAMI 2.1 Pengertian Tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang dimana Tsu berarti pelabuhan serta Nami berarti gelombang. Tsunami merupakan gelombang laut yang terjadi akibat gempa yang terjadi di dasar laut. Penyebab tsunami adalah terjadinya rekahan di dasar laut akibat gempa. Gempa tersebut dapat diakibatkan oleh penunjaman lempeng, pergerakan patahan, letusan gunung api bawah laut, atau tumbukan benda luar angkasa. Untuk dapat menimbulkan tsunami, rekahan yang terjadi harus sangat lebar dan panjang. Rekahan yang terjadi secara tiba-tiba akan menyedot air laut dalam jumlah yang sangat besar ke dalamnya. Namun, karena permukaan laut akan segera menemui ketinggian normalnya kembali, air di sekitarnya dalam volume besar akan mengisi penurunan permukaan tersebut. Proses yang terjadi secara tiba-tiba tersebut yang menciptakan efek gelombang yang disebut tsunami [1]. Tidak semua gempa berpotensi menimbulkan tsunami. Gempa yang terjadi harus bersumber di laut, berarah vertikal, dan memiliki kekuatan minimal 5 Skala Richter untuk dapat menimbulkan rekahan. Jika tidak terbentuk rekahan, maka tsunami pun tidak akan terjadi. Semakin besar rekahan yang terjadi maka akan menghasilkan tsunami dengan kekuatan yang semakin besar juga. Selain itu, posisi terjadinya gempa juga menentukan besar kecilnya tsunami yang terjadi. Makin dekat rekahan yang terjadi dengan daratan, efek tsunami yang ditimbulkan akan semakin besar.
Ada dua tanda besar yang muncul sebelum terjadinya tsunami. Pertama, surutnya muka air pantai secara drastis yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter. Penyusutan ini umumnya diiringi adanya gempa besar yang terlebih dahulu terjadi. Tanda yang kedua yaitu munculnya suara dentuman yang keras dari arah laut dan disertai munculnya kabut (semacam awan) yang memanjang ke atas. Dentuman ini tidak selalu ada, namun tanda kedua ini memperkuat yang pertama. Setelah terjadi penyusutan air laut secara drastis akan muncul air laut dalam volume yang besar. Tsunami akan menuju daratan dengan kecepatan yang bisa mencapai 970 km/jam hingga mencapai titik maksimal dan kemudian berbalik ke laut. Kecepatan tsunami sangat dipengaruhi oleh kedalaman laut yang dilaluinya. Kecepatan sebanding dengan akar kuadrat dari kedalaman air (h) dikalikan percepatan gravitasi (g), V = (gh) 1/2. Gambar 2.1 Kecepatan Gerak Tsunami Semakin mendekati daratan, kecepatan tsunami akan berkurang namun tingginya akan bertambah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Di perairan yang dalam, tsunami sulit untuk dilihat karena tingginya hanya sekitar 1 m. Ketika mencapai pantai, amplitudo tsunami
akan meningkat bahkan hingga 10 kalinya. Tsunami yang naik ke darat memiliki energi yang sangat besar dan dapat mencapai daratan melalui sungai yang bermuara langsung ke laut. Hal ini menyebabkan tsunami dapat mencapai daratan hingga beberapa kilometer. 2.2 Sistem Peringatan Dini terhadap Tsunami Dibandingkan dengan gempa, tsunami memiliki potensi merusak yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara untuk mendeteksi terjadinya tsunami sebelum mencapai daratan. Hingga kini, pendeteksian tsunami masih sulit untuk dilakukan karena sulit memprediksi adanya gempa yang terjadi. Selain itu, kecepatan rambat gelombang yang terlalu cepat menyebabkan sensor-sensor yang digunakan tidak mampu mengukur perubahan ketinggian air laut. Dalam proses pendeteksian tsunami, terdapat beberapa sistem yang saat ini digunakan. Salah satunya adalah model DART II yang bekerja dengan menggunakan sensor tekanan yang diletakkan di dasar laut [1]. Ada beberapa komponen yang membangun sistem ini. Komponen utama yang dibutuhkan antara lain tsunameter, surface buoy, dan warning center seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Desain model DART II ini menggunakan metode komunikasi dua arah yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara sistem yang diletakkan di lepas pantai dengan warning center.
Gambar 2.2 Sistem DART II Tsunameter merupakan komponen DART II yang diletakkan pada dasar laut. Bagian ini berfungsi untuk mengukur perubahan tekanan dasar laut kemudian mengirimkan data real-time ke permukaan. Sensor tekanan yang digunakan pada DART II adalah sensor model 410K Digiquartz yang diproduksi oleh Paroscientific, Inc. Sensor ini bekerja pada range 0-10.000 psi. Transduser yang digunakan berupa kristal quartz yang sangat tipis [2]. Osilator terhubung dengan tabung Bourdon yang salah satu ujungnya terbuka langsung ke laut untuk mengukur tekanan [1].
Gambar 2.3. Tsunameter yang baru diangkat dari dasar laut Sensor tekanan merupakan bagian utama dari tsunameter. Sensor tekanan ini memonitor perubahan tekanan dasar laut secara terus menerus dan ketika terjadi perubahan di atas ambang batas normal akan mentransmisikannya ke surface buoy. Pendeteksian yang paling penting untuk dilakukan adalah mengukur perubahan tekanan yang biasanya sangat kecil pada kedalaman 6000 meter. Perubahan ketinggian air ketika terjadi tsunami biasanya kurang dari 1 cm. Oleh karena itu, sensor tekanan harus mampu mendeteksi perubahan tekanan hingga 1 milimeter [3].
Gambar 2.4 Struktur Sensor Tekanan yang Digunakan Sistem komputer yang digunakan adalah mikrokontroller Motorola 68332, 32-bit berbahasa C. Komputer ini didesain agar efisien dalam konsumsi energi dari baterai. Komponen komputer terdiri dari 4 Mb memory flash, 12 bit A/D converter dengan 8 channel masukan, dua channel RS232, perangkat watchdog timer, jam real-time, dan RAM 512 bytes [3]. Sistem ini berguna untuk menjalankan dan mengatur fungsi utama dari tsunameter dan bagian di permukaan laut. Fungsi yang dijalankan antara lain transmisi dan komunikasi data, algoritma pendeteksian, penyimpanan data ketinggian air, melakukan pengecekan, dan menghidupkan mode darurat secara otomatis. Transfer data dari tsunameter ke surface buoy di permukaan dilakukan dengan akustik modem ATM-880 Telesonar produksi Benthos dengan AT-421LF transducer. Modem mentransmisi data digital via MFSK sinyal suara termodulasi. Transduser berguna untuk mengurangi gangguan (noise) yang muncul ketika data ditangkap oleh surface buoy [3]. Tiap tsunameter dilengkapi sensor posisi. Sensor ini bertujuan untuk menentukan posisi akustik transduser ketika sistem diletakkan pada dasar laut. Jika posisi sensor melebihi 10 derajat dari surface buoy, maka posisi tsunameter harus diperbaiki. Sumber energi sistem tsunameter dan pengukuran tekanan berasal dari baterai Alkaline D-Cell dengan kapasitas 1580 watt-jam. Baterai ini didesain untuk bertahan hingga empat tahun di dasar laut berdasarkan asumsi banyaknya kejadian yang mungkin terjadi dan volume permintaan data dari darat. Diperlukan pemantauan kondisi baterai agar sistem dapat terus berjalan maksimal.
Untuk menghasilkan pengukuran data yang akurat, tsunameter yang digunakan tidak boleh hanya diletakkan pada satu tempat. Semakin banyak tsunameter yang diletakkan di beberapa wilayah pantai yang langsung terbuka ke laut lepas dan di wilayah pemukiman masyarakat, maka pengukuran dapat semakin baik. Selain itu, posisi dan daerah yang memiliki kemungkinan dihantam tsunami dapat diperkirakan. Hal ini sangat membantu proses evakuasi masyarakat ke tempat aman dalam waktu yang lebih singkat. Surface Buoy merupakan komponen kedua dari sistem DART II yang berada di permukaan laut. Bagian ini berfungsi untuk me-relay informasi serta perintah dari tsunameter dan warning center melalui jaringan satelit. Buoy memiliki dua sistem elektronik yang identik sebagai cadangan ketika salah satu sistem gagal atau rusak. Gambar 2.5 merupakan gambar buoy yang siap untuk diletakkan di dasar laut. Gambar 2.5. Surface Buoy dari DART II yang akan ditempatkan di perairan
Blok diagram buoy ditunjukkan pada Gambar 2.6. Komputer dengan tipe yang sama pada tsunameter digunakan untuk memproses pesan baik dari tsunameter maupun satelit. Akustik modem berguna untuk transmisi data menggunakan akustik modem ATM-880 Telesonar produksi Benthos dengan AT-421LF transducer. Transduser dipasang pada dengan arah menghadap ke bawah, dan diletakkan di kedalaman 1.5 m dari permukaan laut [1]. Gambar 2.6. Blok Diagram Surface Buoy DART II Pengiriman dan peneriman data dilakukan dengan Transceiver Motorola 9522 L-Band Iridium dari NAL Research via jaringan satelit Iridium. Komputer buoy terhubungkan dengan tranceiver menggunakan RS232 serial port. Proses pengiriman data pada mode strandar membutuhkan
waktu sekitas 30 detik, termasuk waktu yang dibutuhkan untuk melakukan koneksi, mengirimkan data dan memutuskan koneksi [4]. Buoy power supply terdiri dari baterei alkaline D-Cell. Komputer dan transceiver Iridium membutuhkan baterai 2,560 watt-jam; modem akustik menggunakan baterai 1,800 watt-jam. Baterai-baterai ini mampu menyuplai energi buoy hingga 2 tahun. Buoy didesain untuk dapat mengurangi gas hidrogen yang keluar dari sel alkalin. Desain standar harus memiliki getters gas hidrogen, katup pelepas tekanan, dan komponen bebas percikan seperti fiberglass atau platik. Penambat buoy di permukaan menggunakan fiberglass dengan diameter 2.5 m yang diletakkan tepat di permukaan laut di bawah buoy dengan berat 4000 kg. Tali penambat berupa 8 untai tali nilon yang masing-masing untai berdiameter 19 milimeter. Tali ini mampu menahan beban hingga 7100 kg maksimal. Tali nilon berfungsi untuk menahan buoy agar tidak terbawa arus dan berada di posisi yang tepat di atas tsunameter [1]. Komponen utama ketiga dari sistem DART II adalah warning center. Warning Center merupakan pusat pengendali sistem DART II yang terletak di darat. Dari tempat ini, tsunameter dan surface buoy dikontrol untuk dapat menghasilkan pengukuran tekanan dasar laut dengan baik. Proses komunikasi data berupa pengiriman dan penerimaan data juga dikendalikan oleh bagian ini. Analisis dan perhitungan dilakukan untuk mengetahui terjadinya tsunami dan memberi peringatan bagi masyarakat. Pada warning center, data hasil pengukuran akan disimpan di sebuah server. Data ini kemudian akan dioleh dengan algoritma khusus untuk mengetahui kondisi dasar laut dan tsunami yang akan terjadi. Tsunami dapat diprediksi ketinggian, kecepatan, dan kekuatannya sebelum mencapai daratan. Dengan demikian, rute evakuasi dapat ditetapkan dengan cepat dan aman.
2.3 Sistem Pengolah Data Sistem pendeteksi tsunami harus memiliki beberapa karakteristik utama: 1. Akurat dalam pengukuran dan perhitungan 2. Kecepatan transfer data tinggi 3. Realtime 4. Reabilititasnya tinggi Data yang dihasilkan dari pengukuran haruslah memenuhi kriteria di atas. Tekanan yang terukur harus akurat dan dapat ditransmisikan ke darat dalam waktu yang sangat singkat. Proses transmisi data real-time dilakukan agar tidak terjadi delay (penundaan) dalam pengiriman data tersebut. Pengolahan data yang dilakukan juga harus sangat akurat agar tidak terjadi kesalahan perhitungan yang dapat berakibat fatal bagi masyarakat yang berada di zona rawan tsunami. Alat ukur yang digunakan pada DART II telah memiliki kemampuan untuk mendeteksi tsunami tanpa perlu perintah dari warning center. Algoritma pendeteksi tsunami pada perangkat lunak alat ukur (sensor) bekerja dengan cara memperkirakan perubahan amplitudo tekanan dalam pita frekuensi tsunami, kemudian membandingkan hasil amplitudo tersebut dengan nilai ambang batas. Nilai amplitudo dihitung dengan mengurangi nilai tekanan hasil pengukuran dengan hasil prediksi. Nilai ini akan diperbaharui setiap 15 detik sekali, disesuaikan dengan waktu sampling DART. Warning center melakukan pengawasan dan pemeriksaan agar data aliran data dari buoy melalui satelit tetap real-time dan terintegrasi. Data yang diperoleh kemudian akan diproses untuk mengetahui kondisi ketinggian air laut. Hasil pengukuran kemudian akan dimasukkan ke dalam
website sehingga dapat dilihat oleh setiap orang. Ketika kondisi tekanan di laut yang terukur berubah drastis, data yang diperoleh akan mengaktifkan algoritma pendeteksi tsunami. Algoritma pendeteksi tsunami ini akan mengukur tekanan yang diperoleh dari tsunameter dan membandingkannya dengan database. Ketika hasil yang ditunjukkan menunjukkan kemungkinan terjadinya tsunami, warning center akan mengirimkan pesan ke tsunameter melalui surface buoy untuk mengirimkan data secara kontinu dan mengirimkan pula data kondisi di dasar laut sebagai verifikasi perhitungan. Kondisi ini akan terus berlangsung hingga tsunameter tidak lagi mendeteksi adanya perubahan tekanan yang drastis. Peringatan akan adanya tsunami harus dikirimkan secepatnya agar proses evakuasi dapat dilakukan Gangguan (noise) yang berasal dari lautan digunakan untuk menentukan nilai deteksi minimal. Misal, berdasarkan hasil penelitian, nilai ambang batas untuk terjadinya tsunami di Pasifik Utara adalah 3 cm (atau 3 mm). Jika amplitudo yang diperoleh melebihi ambang batas tersebut maka sensor akan langsung mengaktifkan modus darurat dan langsung mengukur dan mengirimkan data perhitungan tentang kemungkinan terjadinya tsunami. Tsunameter akan tetap berada dalam modus ini hingga 4 jam. Tsunameter dapat menggunakan data pengukuran tekanan terbaru untuk perbandingan dengan hasil prediksi. Akan tetapi, nilai selanjutnya digunakan untuk dapat mendeteksi nilai tekanan ketika terjadi spike atau kenaikan tekanan secara mendadak. Hal ini berguna agar algoritma pendeteksi tidak mengalami kegagalan perhitungan. Nilai batas yang ditetapkan untuk kondisi spike adalah 100 mm.