1 PENDAHULUAN Latar Belakang Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki era globalisasi yaitu, era dimana pertukaran budaya, seni, dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi sangat pesat dan bebas. Salah satu hal yang perlu dipersiapkan adalah memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tidak hanya dari segi IQ (Intelligence Quotient) melainkan juga EQ (Emotional Quotient), kesehatan yang prima, handal, serta berdaya saing tinggi. Proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai dari kegiatan sehari-hari dalam keluarga dengan menjalankan fungsi sosialisasi dan pengasuhan anak. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peranan penting sebagai pendidik pertama dan utama setiap anak. Namun demikian, kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini menunjukkan orang tua yang hanya memikirkan cara untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual anak (IQ) dan sedikit mengabaikan aspek kecerdasan emosional (EQ). Padahal menurut Goleman (2007) EQ menyumbang 80 persen bagi keberhasilan hidup di masa dewasa sedangkan IQ hanya menyumbang 20 persen dari keberhasilan hidup seseorang. Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosional tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, minuman keras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Sekarang ini dapat dilihat bahwa orang yang memiliki IQ tinggi belum tentu sukses dan hidup bahagia. Orang dengan IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan mudah marah sering keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup karena tidak dapat berkonsentrasi. Emosi yang tidak berkembang dan terkuasai akan menimbulkan berbagai konflik. Emosi yang kurang terolah juga menyebabkan seseorang tidak konsisten terhadap keputusannya (Goleman 2007). Disisi lain, beberapa orang yang tidak memiliki IQ tinggi, karena ketekunan dan emosinya yang seimbang akan sukses dalam belajar dan bekerja. Orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan berupaya menciptakan
2 keseimbangan diri dan lingkungannya, mengusahakan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri, dapat mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik, serta mampu bekerja sama dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang beragam. Kecerdasan emosional dapat dipelajari dan guru pertama yang dapat mengajarkan mengenai emosi kepada anak adalah orang tua. Pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing, dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orang tua dengan anaknya. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dalam keluarga sangat penting bagi anak karena pengaruhnya sangat besar pada kehidupan anak di masa depan. Pola asuh yang keliru dapat menjadikan anak bermasalah (Gottman & DeClaire, 1997). Lingkungan keluarga merupakan tempat orang tua melakukan bimbingan, pengasuhan, dan pemberian kasih sayang secara langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak yang cukup besar terhadap perkembangan moral anak. Kondisi lingkungan keluarga dengan model pola asuh tertentu akan memengaruhi cara bertutur kata, cara bersikap, dan pola tingkah laku anak termasuk perkembangan jiwanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pola asuh orang tua (parenting style) memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak (Collins & Kuczaj, 1991). Orang tua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional anak dengan memberikan pelatihan emosi pada anak yang disebut dengan istilah emotion coaching. Anak yang orang tuanya secara baik dan stabil memraktekkan emotion coaching akan memperoleh nilai yang lebih tinggi secara akademik bila dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak secara baik dan stabil dalam memberikan emotion coaching (Gottman & DeClaire, 1997). Hasil penelitian lain menunjukkan kecerdasan emosional bisa dijadikan prediktor kuat atas keberhasilan akademik karena kecerdasan emosional berkaitan dengan kompetensi individual yang mengarah pada perilaku yang task-oriented atau berorientasi pada tugas (Schickedanz 1995). Kecerdasan intelektual anak (IQ) dalam hal ini dibahas sebagai capaian prestasi akademik. Kualitas mahasiswa dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan
3 ataupun kemampuan akademik yang bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan tetapi karena adanya situasi atau kegiatan belajar, sehingga prestasi akademik dapat dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa. Hasil penelitian Abimsara (2000) menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik. Hal ini juga ditunjang oleh hasil penelitian Low dan Nelson (2004) yang mengatakan tingkat kecerdasan emosional menjadi faktor kunci dalam pencapaian prestasi akademik seseorang. Perumusan Masalah Saat ini tuntutan globalisasi semakin mendesak bangsa Indonesia untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama di bidang pendidikan baik laki-laki maupun perempuan. HDI (Human Development Index) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara termasuk negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang. HDI Indonesia pada tahun 2011 menempati peringkat 124 dari 187 negara yang menggambarkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara asia tenggara lainnya, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Maulia, 2011). Pola pembangunan SDM di Indonesia selama ini terlalu mengedepankan IQ (kecerdasan intelektual) dalam hal ini prestasi akademik dan materialisme tetapi mengabaikan EQ (kecerdasan emosional). Pada umumnya masyarakat Indonesia memang memandang IQ paling utama dan menganggap EQ hanya sebagai pelengkap. Fenomena ini sering tergambar dalam pola asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan juga instansi pendidikan. Hal tersebut menjadikan banyak remaja yang memiliki prestasi akademik baik tetapi tidak stabil secara emosi dan berperilaku menyimpang. Ketidakseimbangan antara EQ dan IQ bisa menimbulkan beberapa masalah seperti kenakalan pelajar. Kenakalan pelajar adalah perilaku menyimpang dari aturan dan norma yang berlaku secara umum dimana kenakalan itu bisa berupa pelanggaran lalu lintas, narkoba, seks bebas, mencuri atau merampas barang milik orang lain, dan sebagainya. Data populasi kenakalan remaja di Indonesia pada tahun 2004 berkisar 193.115 anak dan
4 terdapat pelaporan kenakalan remaja setiap 28,17 menit di daerah Jabodetabek (Kusuma 2006). Remaja sebagai generasi penerus memang dihadapkan pada tuntutan intelektual, selalu berperilaku baik, dan tuntutan untuk memenuhi harapan dari lingkungan sekitarnya. Disinilah pentingnya para remaja mengembangkan kecerdasan emosional secara baik dan tidak hanya mementingkan prestasi akademiknya agar remaja bisa sukses dalam hidupnya baik dalam pekerjaan maupun keluarga. Berdasarkan permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana karakteristik mahasiswa dan keluarganya? 2. Bagaimana gaya pelatih emosi yang diterapkan orang tua? 3. Bagaimana kecerdasan emosional mahasiswa Institut Pertanian Bogor? 4. Bagaimana prestasi akademik mahasiswa Institut Pertanian Bogor?
5 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya pelatih emosi ayah ibu hubungannya dengan kecerdasan emosional dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi gaya pelatih emosi yang diterapkan ayah ibu menurut persepsi contoh 2. Mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) 3. Mengukur prestasi akademik contoh 4. Menganalisis hubungan gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk memelajari fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah agar bermanfaat bagi orang banyak. 2. Bagi para orang tua, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu kajian mengenai gaya pengasuhan pelatih emosi dan kecerdasan emosional serta hubungannya dengan prestasi akademik remaja. 3. Bagi remaja, sebagai sumber informasi tentang kecerdasan emosional dan prestasi akademik yang dimilikinya untuk dapat digunakan dalam membantu meningkatkan kualitas dirinya. 4. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan prestasi akademik mahasiswa. 5. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi yang berkaitan dengan hubungan gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional dengan prestasi akademik remaja sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.