BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

dokumen-dokumen yang mirip
Prinsip keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan. perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1 UNIVERSITAS INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintahan Kota Surakarta) dalam penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II URAIAN TEORITIS. materil maupun spiritual (GBHN), pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Purnomo (2015) melakukan penelitian tentang Penilaian Kinerja Berbasis

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

ketentuan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KLATEN DILIHAT DARI PENDAPATAN DAERAH PADA APBD

tercantum dalam salah satu misi yang digariskan GBHN yaitu perwujudan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Desentralisasi merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Indonesia telah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini merupakan hasil pemekaran ketiga (2007) Kabupaten Gorontalo. Letak

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan desentralisasi yang ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dengan dikeluarkannya undang-undang (UU) No.32 Tahun 2004

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB II KINERJA SEKTOR PUBLIK. hendak dicapai. Tujuan tiap-tiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

Rasio Kemandirian Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = x 100 Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIKLUS ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH

Transkripsi:

3. Bagi masyarakat, memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan keuangan di Provinsi Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 4. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut. 1. Tanggung jawab (accountability) Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. 3. Kejujuran

Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. 4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. 5. Pengendalian Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai 5. Dasar hukum keuangan daerah Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah di mana merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, selain berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku juga berdasarkan pada : a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom;

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan; f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang Informasi Keuangan Daerah. 6. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang selama periode tertentu (satu tahun) (Jones & Pendlebury, 1996). Anggaran ini digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai, sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi

pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Dengan demikian APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 4. Sistem Pengelolaan Pendapatan daerah dan Belanja Daerah Menurut artikel yang dilansir oleh egovetime.com sistem pengelolaan pendapatan daerah adalah sistem yang membantu Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemungutan pendapatan daerah dan koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian pemungutan pendapatan daerah. Berbeda dari Sistem Keuangan, sistem ini membantu Eksekutif Daerah untuk secara cepat mengetahui potensi pendapatan Pemda dari semua sumber pendapatan yang ada guna penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah yang lebih baik lagi. Dan sesuai dengan Surat Edaran No 903/2429/SJ tentang Penyusunan APBD, maka pendapatan daerah terdiri dari : a. Pendapatan Asli Daerah 1) Penetapan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah agar berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah; 2) Hasil penggunausahaan atau penjualan kekayaan milik daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai

akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa, serta sumbangan pihak ketiga dianggarkan dalam kelompok Lain-lain PAD yang sah; 3) Setiap rincian objek pendapatan asli daerah yang dianggarkan harus mencantumkan dasar hukum pemungutan/penerimaan dan target dari potensi pungutan yang direncanakan. b. Dana Perimbangan 1) Penerimaan dana perimbangan dianggarkan pada pos belanja sekretariat daerah atau satuan kerja pengelola keuangan daerah. 2) Sambil menunggu penetapan dana perimbangan tahun anggaran yang berkenaan, pemerintah daerah dapat menggunakan pagu dana perimbangan yang ditetapkan dalam tahun anggaran sebelumnya. Penyesuaian angka Dana Alokasi Umum Tahun yang berkenaan yang sesungguhnya dapat dilakukan dalam Perubahan APBD tahun anggaran berkenaan. c. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Pendapatan daerah yang tidak dapat dikelompokan dalam jenis pendapatan asli daerah dan dana perimbangan dianggarkan pada lain-lain pendapatan daerah yang sah seperti dana otonomi khusus, dana penyesuaian, hibah dan dana darurat. Sistem pengelolaan belanja daerah adalah sistem yang membantu Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pengeluaran belanja daerah dan koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian pengeluaran belanja daerah. Menurut Pasal 20 PP No. 58 tahun 2005, belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum, Daerah yang

mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari: a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan. Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. b. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara. Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: 1) pelayanan umum; 2) ketertiban dan keamanan; 3) ekonomi; 4) lingkungan hidup; 5) perumahan dan fasilitas umum; 6) kesehatan; 7) pariwisata dan budaya; 8) agama;

9) pendidikan; serta 10) perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari: a. belanja pegawai; b. belanja barang dan jasa; c. belanja modal; d. bunga; e. subsidi; f. hibah; g. bantuan sosial; h. belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan i. belanja tidak terduga. 5. Pengertian efisiensi, efektivitas Efisiensi adalah hubungan antara input dan output. Efisiensi merupakan ukuran apakah penggunaan barang dan jasa yang dibeli oleh organisasi untuk mencapai output tertentu. Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian antara lain :

a. efisiensi pada sektor usaha swasta ( private sector efficiency), dijelaskan dengan konsep input output yaitu rasio output dan input; b. efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat ( public sector efficiency) adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dengan pengorbanan seminimal mungkin; c. suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang diinginkan. Beberapa cara untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan meningkatkan output dengan input yang sama, atau dengan menaikan output dengan proporsi yang besar dengan kenaikan ouput yang proporsional, atau juga dengan menurunkan input dengan proporsi yang besar dan menurunkan ouput secara proporsional. Pengertian efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditentukan.efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-sepatnya (Devas, dkk, 1989). Faktor penentu efisiensi dan efektivitas sebagai berikut.

a. Faktor sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja, maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan. b. Faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan baik itu struktural maupun fungsional. c. Faktor tehnologi pelaksanaan pekerjaan. d. Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaanya baik pimpinan maupun masyarakat. e. Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud. B. Tinjauan Peneliti Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas ditinjau dari aspek sistem pengelolaan keuangan daerah memang telah banyak dilakukan. berdasarkan hasil penelitian (Hakim,1995) menyatakan bahwa meningkatnya kemandirian daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan kinerja komponen-komponen terkait secara mantap dengan efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan semua aspek yang ada dapat memberikan hasil yang optimal dengan demikian nantinya pemerintah daerah akan dapat membiayai dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Khan, 1994) mengemukakan bahwa penelitian terhadap Value For Money (VFM) juga dapat melihat lebih jauh keefektivan dari sistem dan prosedur pengawasan internal. Di Indonesia ketergantungan pemerintah daerah terhadap subsidi atau bantuan pemerintah pusat telah menjadi topik penelitian yang cukup menarik untuk daerah tingkat I tercatat satu penelitian yang cukup baik yaitu penelitian (Kuncoro, 1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya PAD sehingga

ketergantungan keuangan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Untuk mengurangi beban subsidi pemerintah pusat dianjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang cukup luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangannya sendiri dan memanfaatkannya secara optimal. (Insukindro, dkk, 1994) melakukan penelitian di beberapa daerah kabupaten/kota yaitu: Padang, Lampung Tengah, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Kediri, Sumenep, Bandung, Barito Kuala dan Sidrap, untuk mengkaji peranan dan pengelolaan keuangan daerah dan usaha peningkatan PAD. (Miller, dan. Russek, 1997) menganalisis struktur fiskal dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat negara bagian dan pemerintah lokal dengan mengembangkan dan membandingkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Penelitian lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan oleh (Medi, 1996) bahwa untuk mencapai efektifitas perlu menggali sumber-sumber pendapatan baru sedangkan untuk mencapai efisiensi pengelolaan keuangan agar pengeluaran-pengeluaran yang tidak bermanfaat sedapat mungkin dikurangi. (Mardiasmo, 1999) membahas pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik menyimpulkan bahwa line-item dan incrementalis sebaiknya diganti dengan model yang lebih baik, agar anggaran daerah lebih dekat dengan gerak dinamis kebutuhan dan prioritas masyarakat. Aspek manajemen keuangan daerah, memberdayakan internal auditor (inspektorat) dan pengembangan mekanisme horizontal accountability merupakan prasyarat untuk meningkatkan akuntabilitas anggaran daerah. Dari berbagai penelitian tersebut di atas diharapkan dapat memberikan masukan dalam penelitian pengelolaan keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah terutama kaitannya dengan penentuan alat analisis dan pemecahan masalah yang telah mereka lakukan,dan penelitian ini

mengembangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Supratman (2001) tentang Efisiensi dan Efektivitas Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah di Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini perbedaan penelitian ini dengan peneliti sebelumnya adalah lokasi penelitian dan periode penelitian. C. KERANGKA KONSEPTUAL PENGELOLAAN APBD PEMPROVSU PENDAPATAN DAERAH BELANJA DAERAH TINGKAT EFFISIENSI DAN EFEKTIVITAS (Mardiasmo, 2000) Perubahan yang fundamental dalam sistem tata pemerintahan dan system keuangan pemerintah pusat dan daerah dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 adalah pada sistem pemerintahan, perubahan yang terjadi adalah berupa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas dan nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah. Di mana pemerintah daerah dituntut untuk kesiapannya menyiapkan diri secara kelembagaan, sumber

daya manusia dan tehnologi dalam mewujudkan otonomi dan desentralisasi secara nyata, bertanggungjawab dan dinamis. Pada sistem keuangan perubahan yang terjadi adalah dengan dilakukannya reformasi anggaran, sistem pembiayaan, sistem akuntansi, sistem pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah serta sistem manajemen keuangan daerah. Dalam sistem keuangan tuntutan pembaharuan yang dilakukan adalah dikelolanya uang rakyat secara transparan dengan didasarkan pada value for money (VFM) agar terciptanya akuntabilitas publik. Value for money merupakan tiga elemen dasar yaitu: ekonomis, efisien dan Efektifitas, untuk itu maka pengelolaan keuangan daerah merupakan issue utama dalam pencapaian tujuan pemerintahan yang bersih, dan manajemen pengelolaan keuangan yang baik adalah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Menurut Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996 tentang pedoman penilaian dan kinerja keuangan dimana secara kuantitatif tingkat efisiensi dapat diukur dengan rasio antara output/keluaran dan input/masukan sekunder, dalam pengelolaan keuangan daerah yaitu membandingkan antara realisasi anggaran belanja daerah dengan penerimaan daerah dikalikan dengan seratus dalam persentase. Penilaian dikatakan sangat efisien apabila hasil perhitungan di bawah 60 (enam puluh) persen. Demikian juga untuk pengukuran tingkat efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan suatu organisasi yaitu dengan membandingkan realisasi penerimaan dengan target dikalikan dengan seratus dalam persentase. Penilaian dikatakan sangat efektif apabila hasil perhitungan diatas 100 (seratus) persen.