BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock, 2007). Erikson (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa pada masa ini, seseorang sedang mencoba mencari identitas diri, mengenali siapa dirinya dan mengenali apa perannya dalam masyarakat. Pada masa remaja dikatakan sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Statusnya yang sedang dalam masa peralihan ini mengharuskan remaja meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku baru sebagai seseorang yang lebih dewasa. Havighurst (dalam Jari & Nurmi, 2004) mengatakan bahwa seorang remaja akan merasa bahagia saat berhasil melakukan tugas perkembangannya. Sebaliknya, apabila tidak berhasil dalam menjalankan tugas perkembangannya, seorang remaja akan mengalami kesedihan, merasa tidak diterima oleh lingkungan dan merasa kesulitan dalam menjalani tahap perkembangan selanjutnya. Hall (dalam Santrock, 2007) menyebut masa remaja sebagai fase storm and stress. Pada masa ini remaja mengalami berbagai tekanan saat menjalani berbagai perubahan yang berdampak pada perkembangan emosi yang tidak stabil. Ketika remaja tidak dapat menghadapi berbagai tekanan dengan baik, hal tersebut dapat menjadi beban dan menguatkan emosi negatif dalam diri remaja, seperti rasa takut, khawatir dan sedih. Fierdrich (dalam Fuhrmann, 1990) mengatakan bahwa remaja akan mengalami stres ketika menghadapi tekanan dan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Akibatnya stres yang berlangsung terus menerus dapat memunculkan depresi (Santrock, 2007). Pendapat tersebut diperkuat oleh Hurlock (2006), bahwa pada masa
remaja kurangnya pengertian, perhatian dan kasih sayang dapat menyebabkan remaja mengalami stres dan tidak sedikit pula yang mengalami depresi. Depresi adalah gangguan yang paling banyak diderita manusia karena dapat menyerang masyarakat dari segala jenis usia, jenis kelamin, status sosial maupun status ekonomi (Steinberg, 2011). Depresi merupakan kondisi hilangnya kemampuan untuk mengontrol suasana hati dan pengalaman subjektif terhadap stres (Burns, 1988). Selanjutnya Burns menjelaskan bahwa pada kondisi tersebut ditandai dengan munculnya beberapa simtom seperti hilangnya keinginan untuk melakukan aktivitas, rendahnya harga diri, hilangnya selera makan dan kesulitan tidur. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Fergusson dan Woodward (dalam Barlow & Durand, 2011), menunjukkan bahwa simtom depresi meningkat mulai dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Tanda meningkatnya depresi muncul antara usia 14 hingga 16 tahun dan mencapai puncaknya usia antara 17 hingga 21 tahun. Steinberg (2011) mengatakan bahwa terjadinya depresi pada remaja disebabkan oleh semakin banyaknya kejadian menekan yang dialami disertai dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik fisik, psikis, sosial maupun kognitif. Kejadian depresi pada remaja ini akan sangat berbahaya karena dapat berakibat pada sulitnya konsentrasi, turunnya daya ingat, turunnya prestasi, hilangnya semangat dan perilaku-perilaku buruk di sekolah, seperti sering tertidur, tidak konsentrasi di kelas, serta sering tidak masuk sekolah. Hal tersebut juga seringkali diikuti dengan keluhan fisik, seperti sakit kepala dan sakit perut (www.merdeka.com, 2012). Di Indonesia, depresi menjadi perhatian khusus Kementrian Kesehatan, karena banyak diantara perilaku menyimpang pada remaja seperti tawuran, kekerasan serta bunuh diri terjadi dikarenakan depresi (http://buk.depkes.go.id, 2012). Kasus bunuh diri terutama pada remaja banyak terjadi di Indonesia, menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan, Diah Dewi Utami (dalam Kompas,
2012) bunuh diri pada kalangan remaja disebabkan oleh beberapa hal, seperti masalah orangtua yang pilih kasih, pacaran tidak direstui, putus cinta, tidak naik kelas atau terlambat membayar uang sekolah. Masalah-masalah yang tampak sepele tersebut bagi remaja bisa menjadi suatu hal yang sangat menekan dan menimbulkan stres pada remaja, sehingga menyebabkan remaja mengalami depresi dan muncul keinginan untuk bunuh diri. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi ganggguan mental emosional remaja sebesar 5,6%. Gangguan mental emosional ini merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan individu sedang mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut, seperti gejala gangguan kognitif, kecemasan, depresi dan penurunan energi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Apabila pada tahun 2013 remaja yang berusia 15-24 tahun sebanyak 42.612.927 jiwa, maka secara absolut di Indonesia terdapat sekitar 2.386.323 jiwa remaja yang mengalami gangguan mental emosional. Roberts dan Bishop (2005) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya depresi pada remaja adalah keluarga. Di dalam keluarga, anak untuk pertama kalinya mendapat pembelajaran yang diperlukan dalam hidupnya. Seseorang mulai mempelajari nilai, moral, membentuk watak dan tingkah laku dari lingkup yang paling kecil. Oleh karena itu, peran orangtua sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan remaja, termasuk pola asuh yang diterapkan (Berns, 2007). Pola asuh adalah cara orangtua dalam merespon kebutuhan dan permintaan anak. Maccoby dan Martin (dalam Berns, 2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa macam pola asuh yang biasanya diterapkan oleh orangtua, yaitu pola asuh indulgent (permisif), otoriter, autoritatif, dan uninvolved (tidak terlibat). Orangtua yang permisif tampak memiliki peran sebagai orangtua yang lemah, menerapkan disiplin secara tidak konsisten, serta mendorong anak untuk mengekspresikan keinginannya secara bebas. Orangtua yang
menerapkan pola asuh otoriter, memperlakukan anak dengan keras, tidak responsif, kurang hangat, kaku dan cenderung menggunakan hukuman dalam mengontrol tingkah laku anak. Berbeda dengan orangtua yang otoriter, pada orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif, anak diperlakukan dengan penuh kehangatan, responsif serta memberikan batasan yang tepat bagi anak. Terakhir adalah orangtua yang tidak terlibat, yaitu orangtua yang memperlihatkan sikap acuh tak acuh dan mengabaikan anak. Setiap pola asuh yang diterapkan akan memberikan dampak tersendiri bagi perkembangan dan perilaku, termasuk pada munculnya depresi pada remaja. Seperti yang disebutkan oleh Menteri Kesehatan Indonesia, bahwa kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi dengan baik dalam keluarga dan komunitas merupakan komponen pencegahan depresi yang utama (dalam http://buk.depkes.go.id, 2012). Dalam penelitian Blondin, Cochran, Taylor dan Williams (2011) mengatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua sering kali menyebabkan anak menjadi depresi, ketergantungan alkohol, obesitas dan gangguan pola makan serta adanya konsep diri yang negatif. Begitu pula dalam penelitian tentang pola asuh orangtua dan tanda-tanda depresi, bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi tanda-tanda depresi pada remaja (Lipps, Lowe, Gibson, Halliday, Morris, Clarke & Wilson, 2012). Selain dipengaruhi oleh faktor keluarga seperti pola asuh yang diterapkan orangtua, depresi juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu seperti karakteristik personal. Adanya kemampuan dalam menghadapi situasi yang dapat menekan dan menimbulkan stres merupakan salah satu hal yang dapat memunculkan depresi. Beck (dalam Carr, 2002) mengatakan bahwa depresi muncul karena adanya skema negatif tentang pengalamanpengalaman yang dialami. Pada seorang remaja yang memiliki kepribadian tangguh akan memiliki skema yang positif dalam dirinya. Remaja dengan kepribadian yang tangguh akan menginterpretasikan kejadian sehari-hari ke arah positif. Maddi (2013) mengatakan
bahwa kepribadian yang tangguh mempengaruhi cara remaja menilai dan menyikapi permasalahan yang dihadapi. Maddi juga mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kepribadian tangguh lebih tahan terhadap stres karena mereka memilih untuk menghadapi kondisi-kondisi sulit dalam hidupnya. Kobasa mengatakan bahwa orang-orang dengan kepribadian tangguh akan merespon kesulitan sebagai suatu peluang. Sementara itu, orang-orang yang tidak memiliki kepribadian tangguh akan mundur dan menghindari kesulitan yang dialaminya (dalam Maddi, 2013). Kobasa juga mendefinisikan kepribadian tangguh sebagai suatu kepribadian yang memiliki tiga karakteristik dalam menghadapi sebuah kesulitan, yaitu sebagai kontrol, komitmen dan tantangan. Ketiga karakteristik kepribadian tangguh juga memiliki peran penting dalam meredakan efek negatif dari fenomena psikologis yang mungkin muncul dalam remaja, seperti depresi (Sinha & Singh, 2009). Penelitian di Kent State University menyebutkan bahwa ada hubungan yang negatif antara kepribadian tangguh dengan depresi (Pengilly & Dowd, 2000). Selanjutnya, penelitian pada anggota militer di Norwegia juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara rendahnya kepribadian tangguh dengan tingginya penggunaan alkohol sebagai akibat dari depresi (Bartone, Hystad, Eid, & Brevik, 2012). Berdasarkan permasalahan mengenai depresi pada remaja yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin mengetahui hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kepribadian tangguh dengan depresi pada remaja. Apakah persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kepribadian tangguh berhubungan dengan depresi pada remaja?
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kepribadian tangguh dengan depresi pada remaja. C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama pada ilmu Psikologi Klinis dan Psikologi Perkembangan yang berhubungan dengan persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kepribadian tangguh dengan depresi pada remaja. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi tentang depresi pada remaja dalam kaitannya dengan persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kepribadian tangguh.