BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Dinamika dominasi..., Ely Nurmaily, FIB UI, 2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 POSISI DAN DOMINASI KUASA PARA TOKOH DI HOGWARTS

BAB 2 SEKOLAH PENYIHIR HOGWARTS: SEBUAH ARENA KONFLIK ANTARKELOMPOK

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi mempengaruhi kompleksitas sistem sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. terdengar tuturan-tuturan yang diucapkan ketika penutur dan lawan tutur

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman yang telah dialaminya sendiri atau pengalaman yang dialami oleh orang

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. alam, atau aktifitas mendaki. Mendaki Gunung merupakan suatu olahraga ekstrem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Kaum buruh merupakan klas baru dalam tatanan sosial dengan semangat

BAB I PENDAHULUAN. Semakin maju suatu Negara maka semakin dirasakan pentingnnya dunia

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA

BAB I PENDAHULUAN. Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki

I. PENDAHULUAN. Penyimpangan sosial di kalangan pelajar, terutama yang berada di jenjang

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

Sinopsis: Unsur Intrinsik :

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH POLA CERITA NOVEL TERJEMAHAN HARRY POTTER TERHADAP NOVEL NIBIRU DAN KESATRIA ATLANTIS: KAJIAN SASTRA BANDINGAN.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat.di mana pengalaman-pengalaman yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. secara etimologi berarti keberagaman budaya. Bangsa Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Undang-undang Sistem. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK).

Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan, karena. kesenian dan kekriyaan. Kesenian dan kebudayaan dapat mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah bentuk dari proses pembelajaran manusia mengenai

dari modernitas ke postmodernitas secara historis.

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SOSIOLOGI STANDAR KOMPETENSI GURU KOMPETENSI INTI GURU KOMPETENSI GURU MATA PELAJARAN

BAB III MAKNA FILOSOFI BUSHIDOU DI DALAM SIKAP AIKIDOUKA. 3.1 Filosofi Gi (Kebenaran) di dalam Sikap Aikidouka

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGOPTIMALKAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam keberagaman sering kali lupa terhadap nilai-nilai kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. dan tanggung jawab. Karya sastra lahir dari seorang pengarang yang

BAB VII KESIMPULAN. masyarakat suku Makassar telah difungsikan oleh pencerita atau pasinrilik sebagai

2. Peran Daerah dalam Kerangka NKRI saat ini

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdiri diatas keberagaman suku,

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu hasil cipta rasa dan karsa manusia yang

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. Banyak pelajaran tentang pengalaman hidup yang dapat menginspirasi

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pengetahuan, nilai, sikap, dan kemampuan terhadap empat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang utama untuk membentuk karakter siswa yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Arti Penting Ideologi bagi Suatu Bangsa dan Negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBENTUKAN LAFAL MANTRA DALAM CERITA FIKTIF HARRY POTTER (ANALISIS STRUKTURAL FD SAUSSURE)

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Untuk memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata

APA KATA ORANG TENTANG HERNOWO

BAB I PENDAHULUAN. Penerjemahan kalimat pada suatu karya tulis biasanya diterjemahkan secara

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di

Mengubah Budaya Kerja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dipisahkan dengan proses pembelajaran. Di dalam proses pembelajaran, guru

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, segala sesuatu berkembang secara pesat dan sangat cepat.

K13 Revisi Antiremed Kelas 11 SOSIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada

ARTIKEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULRAL MELALUI MODUL DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI SUPLEMEN PELAJARAN IPS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya sastra merupakan suatu gambaran dari kehidupan nyata. Oleh

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945

MISTERI DAN KEKELAMAN PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER AND THE CHAMBER OF SECRETS

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya

REALITAS SOSIAL TINGKAT MIKRO

IDEN WILDENSYAH BERMAIN BELAJAR

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

Transkripsi:

78 BAB 4 KESIMPULAN Rowling di dalam salah satu wawancaranya bersama O Malley dalam Connie Ann Kirk mengatakan bahwa sekolah penyihir yang ia ciptakan merupakan analogi dari sebuah arena potensi atau kekuatan yang dimiliki oleh setiap individu sebagai pelaku sosial. Potensi atau kapital yang dimaksudkan di sini dapat mengacu pada kekuatan diri, baik secara ekonomi, kultural, sosial dan simbolik, yang dimiliki oleh setiap individu demi tercapainya posisi sosial dan kuasa di dalam komunitasnya pada arena sosial. Sarana sihir yang terdapat di dalam kisah fantastik ini merupakan alat atau fasilitas yang dimiliki oleh para tokoh untuk memenangkan kuasa sosial di dalam sebuah arena, khususnya sebagai perangkat pertarungan antarasrama. Sekolah yang kemudian dihadirkan oleh Rowling sebagai sumber konflik di dalam kisah HPPS dapat disebut sebagai sebuah arena, yaitu tempat bersaing antara satu individu dengan individu lainnya dengan strategi perjuangannya masing-masing. Pola hidup di ruang sekolah berasrama seperti sebuah pola hidup pada masyarakat dalam ruang lingkup kecil dengan didukung oleh beragam potensi di dalamnya. Persaingan tidak dapat dihindarkan di dalamnya, baik bersifat terstruktur maupun tidak terstruktur. Posisi-posisi sosial pun dapat dilihat melalui sekolah penyihir Hogwarts. Kelas sosial beserta tatanan sosialnya pun terlihat melalui beragam habitus pada tiap-tiap asrama. Gerak para pelaku sosial yang memiliki kapital akan terasa, sehingga menunjukkan siapa yang berhak atau layak mendapatkan kuasa dan posisi di dalam komunitasnya. Kelayakan inipun terkait dengan keberpihakkan Rowling atas tokoh yang menjadi poros dalam kisah berseri ini, yaitu Harry Potter. Rowling mengukuhkan kemenangan tokoh yang memiliki ragam kapital atau dengan kata lain keistimewaan yang didapatkan berdasarkan kepemilikan beragam potensi di komunitas sosialnya. Kelas-kelas sosial dengan potensipotensi yang terkait dengan kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik terlihat

79 bersaing sehingga mereka mendapatkan posisi dan dominasi kuasa. Harry Potter memiliki empat kapital tersebut. Meskipun tokoh utamanya, Harry Potter, tidak berambisi untuk meraih kuasa, namun gerak prestasi dan prestise yang didapatkan bersama kedua sahabatnya menghasilkan suatu bentuk dominasi kuasa untuknya yang berdampak langsung pada posisi peringkat dan kedudukan kuasa asramanya, yaitu asrama Gryffindor. Sekolah yang secara umum berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan yang terdiri dari para siswa dan guru beserta para pengurusnya sebagai penduduknya adalah sebuah mikro kosmos masyarakat. Struktur sosial yang tercipta di dalam sekolah penyihir Hogwarts, persaingan, proses penanaman (indoktrinasi,) dan gerak generatif, dilakukan oleh para tokoh secara turun temurun dan terus menerus. Keberadaan struktur dan sistem tersebut yang kemudian dapat membentuk habitus kelompok. Habitus kelompok dalam hal ini yaitu habitus asrama, antara lain habitus asrama Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin, yang membentuk ethos (prinsip) dan hexis (cara bersikap) bagi siswa-siswinya. Ethos Gryffindor adalah kesatria, ethos Hufflepuff adalah pekerja keras, ethos Ravenclaw adalah cendekiawan dan Slytherin adalah licik (cunning). Hal inilah yang terjadi di dalam sekolah penyihir Hogwarts, ibarat sebuah tempat yang di dalamnya terdapat struktur dan tatanan sosial masyarakat yang juga menyimpan konflik kepentingan (kelompok), Hogwarts memang layak disebut sebagai sebuah arena. Arena yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh dengan strategi perjuangan dan persaingan serta kapital berusaha mempertahankan dan meraih posisi sosial di dalamnya. Tidak ubahnya di dalam sebuah struktur dan tatanan sosial masyarakat yang terbentuk oleh habitus kelompok, persaingan ataupun konflik tidak dapat dihindarkan. Meskipun mereka dapat beriringan di dalam sebuah tempat dengan kelompok yang berbeda-beda, namun ketika ada masalah yang terkait dengan ideologi ataupun prinsip kelompok, maka konflik tidak dapat dihindarkan.

80 Para tokoh yang dimunculkan pada konflik perebutan batu bertuah 64 tidak terlepas dari kemampuan yang dimilikinya, baik secara simbolik maupun fisik. Sekolah penyihir Hogwarts menjadi sebuah arenanya atau sumber terjadinya konflik para tokoh yang saling bertolak belakang, yaitu antara asrama Gryffindor dan asrama Slytherin. Obsesi yang mengacu pada keserakahan untuk menduduki puncak kuasa dengan menguasai semesta dimiliki oleh Lord Voldemort (penguasa kegelapan) dalam novel HPPS. Dinamika yang dimaksudkan di sini adalah gerak persaingan antartokoh di dalam sebuah arena, tempat perjuangan untuk meraih kekuasaan atau kehormatan, dengan berbekal beragam kapital, baik ekonomi, kultural, sosial maupun simbolik. Rowling menempatkan posisi Harry Potter sebagai anak yang mendapatkan tempat dan perlakuan istimewa melalui potensinya, yang selalu bergerak dinamis bersama kedua sahabatnya di sekolah penyihir Hogwarts. Potensi dibaca sebagai kapital yang dimiliki Harry Potter, antara lain: (1) kapital ekonomi yang berupa warisan dari kedua orangtuanya, (2) kapital sosial, yaitu posisinya sebagai hero di Hogwarts, serta hubungan dan kerjasama baiknya bersama sahabat maupun pihak lain, (3) kapital simbolik, yaitu hak istimewa karena ia adalah keturunan penyihir terhormat di Hogwarts. Kapital tersebut terlihat selama proses pembelajaran di sekolah penyihir Hogwarts yang memberikan pengaruh besar bagi posisi dan dominasi kuasanya. Setidaknya perlakuan istimewa dan keberpihakan sekolah; kepala sekolah, pimpinan asrama dan juru kunci Hogwarts, memiliki andil terhadap posisi dan dominasi kuasa yang diperoleh Harry Potter. 64 Batu bertuah menjadi simbol alat untuk mencapai kekuasaan, yang juga merupakan tantangan besar bagi para tokoh dalam sekolah Hogwarts untuk merebut dan mempertahankannya. Tokoh yang ingin merebutnya adalah ia yang menginginkan kekuasaan sepenuhnya berada ditangannya, sehingga ia dapat menguasai dunia. Ia adalah Lord Voldemort. Sedangkan para tokoh yang ingin mempertahankan batu tersebut dan melakukan perlawanan adalah trio Gryffindor yang memiliki prinsip dan ideologi kesatria.

81 Sementara itu, Draco Malfoy yang menjadi pesaing utamanya, hanya memiliki dua kapital, antara lain (1) kapital ekonomi, ia berasal dari keluarga kelas atas (upper class family), dan (2) kapital kultural, ia memiliki kecerdasan namun licik dalam penerapannya. Proses di dalam arena sekolah Hogwarts adalah proses yang dilalui oleh para siswa didik yang dapat menciptakan posisi dan kelas sosial. Posisi dan kelas sosial tersebut terbentuk karena gerak, kebiasaan dan kemampuan yang dimiliki oleh para siswa yang dilakukan secara dinamis dan terus menerus serta dapat terjadi lagi pada generasi-generasi berikutnya. Jika siswa hanya bermodalkan kecerdasan saja namun tidak aktif di dalam lingkungannya, ia akan menjadi monoton dan pasif sehingga posisi sosial dalam lingkungannya pun tidak begitu terlihat seperti yang terjadi pada asrama Hufflepuff dan Ravenclaw di novel HPPS ini. Akhirnya kekuasaan akan didominasi oleh mereka yang terlibat aktif di dalam komunitasnya atau dinamis dalam berjuang. Kedinamisan tersebut harus didukung oleh keragaman potensi atau kapital tersebut di atas, seperti yang dilakukan oleh para tokoh asrama Gryffindor dan Slytherin. Para tokoh Gryffindor; Harry Potter, Hermione Granger dan Ronald Weasley serta adanya Neville Longbottom menunjukkan kepada pembaca tentang gerak dan proses yang dinamis untuk menjadi seorang kesatria, yaitu pantang menyerah (brave at heart) dan berani (daring) menghadapi setiap tantangan dengan sikap kesatria yang jujur dan santun (chivalry). Di samping itu, tokoh Draco Malfoy yang berprinsip pada kelicikan dalam bertindak pun berproses untuk semakin mengukuhkan habitus dirinya sesuai dengan ideologi asrama Slytherin (cunning), dan merasa eksklusif dengan arogansi yang ditunjukannya. Secara moral dan konvensional, Rowling menyuguhkan perjuangan anak-anak pada usia 11 tahun untuk dapat bertahan dan mengembangkan kekuatan dan potensi yang ada dalam dirinya. Bahkan kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh anak-anak pun ada yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya seperti tercermin pada Draco Malfoy yang berasal dari asrama Slytherin. Pesan moralnya

82 adalah setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan melebihi manusia lainnya dengan terus bergerak dan berjuang melalui berbagai macam strategi dan potensi. Dengan kata lain, posisi dan kelas sosial dapat diperjuangkan dengan dinamika gerak potensi yang dimilikinya. Kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian simpulan di atas adalah bahwa perbedaan potensi atau kapital yang terbentuk di dalam sebuah arena dapat menciptakan persaingan antarindividu. Persaingan yang terus bergerak antarindividu yang sekaligus menjadi representasi habitusnya, tidak terlepas dari potensi atau kapital yang dimilikinya. Tujuannya adalah agar ideologi atau prinsip habitusnya dapat diterapkan ke masyarakat dengan skala yang lebih luas dan memperoleh prestise serta pengakuan. Seperti gerak dinamis yang telah dilakukan oleh trio Gryffindor di sekolah penyihir Hogwarts. Dengan demikian jika sistem dan habitus yang terdapat di dalam asrama Gryffindor dapat diterapkan di masyarakat luas, maka eksklusivisme golongan dan kelas tertentu (upper class) tidak akan terjadi. Selain itu, Rowling menekankan sisi moralitas tinggi yang bergerak melalui kekuatan yang dimiliki oleh setiap individu. Oleh karena itu, kriteria untuk memenangkan kuasa adalah mereka yang memiliki nilai-nilai hidup seorang kesatria, yaitu pantang menyerah, berani menghadapi tantangan dan sanggup menyelesaikan masalah, bukan sebaliknya, kelas atas yang bersikap licik dan merasa eksklusif. Hal ini tidak ubahnya seperti yang terjadi pada sistem dan ideologi asrama Slytherin dan Gryffindor yang saling bertolak belakang di dalam arena sekolah penyihir Hogwarts. Eksklusivisme dan diskriminasi golongan tertentu tertanam di dalam ideologi asrama Slytherin, sehingga hanya kalangan tertentu saja, katakanlah kelas atas yang dapat memasukinya, yaitu kalangan yang dianggap memiliki kuasa strata ekonomi dan sosial di masyarakat. J.K Rowling dalam hal ini menempatkan asrama Gryffindor sebagai sistem sekolah asrama dengan

83 berprinsip seperti seorang kesatria yang berpikir secara plural yang membela dan mementingkan kepentingan umum di dalam masyarakat yang multikultural. Novel HPPS di sini menghadirkan dinamika dominasi kuasa dan pertarungan kapital dalam arena sekolah penyihir Hogwarts yang menekankan aspek kapital dalam diri individu untuk pencapaian kuasa dalam skala yang lebih luas di dalam ruang sosial. Gerak, persaingan individu dan konflik antarkelompok menjadi poros aktifitas sehingga tercapai posisi kuasa yang tertinggi. Kuasa yang tertinggi dalam hal ini, terkait dengan kelompok yang saling bersaing untuk mencapai posisi tertinggi. Dengan demikian jika posisinya tertinggi, ideologinya dapat berlaku, yaitu seperti ideologi asrama Gryffindor yang humanis dan multikultural, yang terbuka bagi seluruh latar belakang golongan, ras, dan kelas di dalam ruang sosial. Dengan kata lain JK. Rowling ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca HPPS bahwa kemenangan ataupun dominasi kuasa dapat diraih oleh pihak yang terus bergerak memacu potensi yang dimilikinya dengan pantang menyerah.