1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terkaya kedua di dunia di tinjau dari biodiversitas tumbuhan setelah negara brazil yang mempunyai hutan terluas di dunia. Diperkirakan diseluruh bumi terdapat 40.000 species tumbuhan, 30.000 species tumbuhan hidup di kepulauan Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 940 species tumbuhan sebagai obat dan beberapa telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Muhlisah, 1999). Penggunaan bahan alam sebagai sumber bahan baku kebutuhan hidup baik pangan, obat-obatan maupun perabotan rumah tangga semakin luas. Dalam dua dasa warsa terakhir perhatian dunia terhadap obat-obatan dan bahan alam menunjukan peningkatan baik di negara berkembang maupun negara maju. Menurut data yang dihimpun oleh Conventional on Biological Diversity, pada tahun 1993 penjualan global obat herbal diperkirakan mencapai nilai US$ 11,6 juta dan naik US$ 60 milyar pada tahun 2000 (Tabuti et al., 2002). Kecenderungan adanya peningkatan penggunaaan obat-obat dari alam (herbal) untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit dilatar belakangi oleh adanya perubahan lingkungan hidup, perilaku manusia serta perkembangan pola penyakit. Ada sejumlah aspek positif dari penggobatan obat-obat herbal yang telah diidentifikasi yaitu : lebih beragam dan fleksibel, lebih mudah di dapat dan relatif memerlukan teknologi yang lebih sederhana (Aspan, 2004). 1
2 Salah satu kelompok tanaman obat tersebut adalah empon-empon. Empon-empon berasal dari bahasa jawa, asal katanya adalah empu yang berarti rimpang induk atau akar tinggal. Kata ini digunakan untuk menyebut kelompok tanaman yang mempunyai rimpang atau akar tinggal. Tanaman yang termasuk kelompok ini umumnya adalah tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional dan bumbu-bumbu masakan. Sejalan dengan kemajuan zaman, kini penggunaan empon-empon meluas dalam industri makanan, minuman, kosmetika, bahan pewarna, dan untuk diambil minyak atsirinya (Muhlisah,1999). Perbukitan Menoreh adalah kawasan perbukitan yang membentang diwilayah barat laut Kabupaten Kulon Progo, sebelah timur Kabupaten Purworejo, dan sebagian Kabupaten Magelang, sekaligus menjadi batas alamiah bagi ketiga kabupaten tersebut. Pada perbukitan tersebut khususnya di Kabupaten Kulon Progo, terdapat etnis Jawa yang hidup turun temurun dengan kehidupan budayanya. Pengetahuan berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan pangan, ramuan obat, bahan industri dan berbagai upacara adat kebudayaan sudah sejak lama dimiliki masyarakat Jawa. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan untuk keperluan hidup seharihari adalah tumbuhan empon-empon yang juga dikenal dengan tanaman herbal. Herdiana (2012), menyebutkan jenis tanaman herbal yang umum dikembangkan oleh masyarakat Kulon Progo sebagai bagian dari agroforestri antara lain: kunyit, jahe, temulawak, kapulaga, temu mangga, temu putih, temu ireng. Budi (2012) mengatakan bahwa hadirnya jenis herbal yang dikembangkan pada pekarangan
3 dan tegalan sebagai bentuk eksistensi pengetahuan masyarakat dalam penentuan jenis tanaman bawah pada hutan rakyat. Penggolongan nama empon-empon sebagai tanaman herbal tidak dilakukan berdasarkan klasifikasi ilmiah tertentu. Nama tersebut lebih merujuk kepada penggolongan tanaman tertentu yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Empon-empon didominasi oleh tanaman dari famili Zingiberaceae walaupun masih banyak tanaman lain dari family ini tergolong dalam empon-empon yang tidak dimanfaatkan rimpangnya, misalnya bunga kana (Muhlisah, 1999). Kondisi ini menunjukkan terdapat pemaknaan empon-empon yang spesifik berdasarkan pengetahuan lokal etnis Jawa. Lebih lanjut dikatakan Muhlisah dari sekitar 283 jenis tanaman rimpang, ada 12 jenis tanaman yang paling sering dipakai. Dua belas jenis tanaman itu ialah temu lawak, jahe, lempuyang gajah, cabe jawa, kedawung, lengkuas, lempuyang wangi, kencur, pula sari, kunyit, bangle dan adas. Dalam teknik budidaya tanaman rimpang, budidaya dilakukan pada lahan terbuka tanpa naungan. Penanaman dilakukan secara monokultur untuk menghindari persaingan hara dengan tanaman lainnya. Berbeda dengan masyarakat di perbukitan Menoreh, selama ini mengembangkan empon-empon dibawah tegakan hutan yang lembab dengan penyinaran yang kurang. Perwujudan sistem penggunaan lahan tersebut adalah melalui sistem agroforestri di lahan tegalan dan pekarangan. Awang et al., (2001) mengatakan pekarangan dan tegalan yang memiliki potensi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu disebut hutan rakyat. Sistem agroforestri herbal di hutan rakyat ini menggunakan
4 satu prinsip, yaitu menciptakan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang berkelanjutan sebagai sistem kombinasi tanaman berbasis kayu (Nair, 1993). Agroforestri empon-empon merupakan sistem pengelolaan lahan yang cukup menarik dan telah lama dikembangkan oleh masyarakat Jawa. Pengetahuan masyarakat yang telah membudaya, sejarah, mitos dan teknologi yang dimiliki menciptakan sistem agroforestri masyarakat meliputi penentuan jenis, jumlah tanaman, struktur populasinya serta dinamika hutan dan manusia. Hubungan manusia dan tanaman ini melahirkan pengetahuan budidaya empon-empon di hutan rakyat. Pengetahuan budidaya tersebut melahirkan ilmu bahwa kondisi hutan rakyat yang didominasi oleh tanaman kayu menciptakan kondisi iklim mikro yang spesifik, sehingga tanaman empon-empon yang dikembangkan dapat tumbuh dengan subur dan tanaman tersebut dikatagorikan sebagai jenis tanaman yang tahan naungan atau butuh naungan. Sebagai komoditi hasil pengelolaan hutan rakyat maka empon-empon dapat dikatakan sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu dari suatu bentuk pengusahaan hutan. Pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Indonesia mengalami peningkatan selama kurun waktu 35 tahun ini, bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar yang terbatas pada pangan, sandang dan perumahan, tetapi juga pada kebutuhan lain seperti ilmu pengetahun, rekreasi dan sebagainya. Hal tersebut mendorong masyarakat melakukan banyak upaya untuk memanfaatkan dan melestarikan HHBK. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budidaya sampai dengan pelestariannya yang melibatkan berbagai
5 disiplin ilmu, diantaranya Taksonomi, Etnobotani dan Bioteknologi (Santhyami dan Sulistyawati, 2008). Satu diantara isu yang menarik saat ini dalam konsep pembangunan berkelanjutan adalah perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat lokal, khususnya dalam pengobatan tradisional (Adimihardja, 2004). Kecenderungan masyarakat global untuk kembali ke alam (back to nature) khususnya dalam pengobatan telah menyebabkan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan masyarakat lokal semakin meningkat. Perlindungan hukum terhadap kekayaan yang dihasilkan oleh masyarakat lokal ini menjadi sangat penting guna melindungi hak-hak mereka (Correa, 2001). Correa (2001) mengemukakan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional diperlukan karena mengingat hal-hal berikut: a. Melindungi keaslian budaya tradisional dari ancaman ekonomi, psikologis, dan budaya pihak asing. b. Kemungkinan ekspropiasi (pengambilalihan), bukan hanya terhadap objek fisik, tetapi juga dokumentasi dan photographic record dari suatu komunitas tradisional. c. Masalah kompensasi dan pembagian keuntungan (benefit sharing). d. Masalah pemeliharaan budaya atau cultural health. Untuk mengatasi masalah melindungi budaya tradisional dari ancaman ekonomi, psikologi dan budaya pihak asing, maka perlidungan pengetahuan etnis Jawa terhadap tanaman empon-empon di hutan rakyat perbukitan Menoreh dilakukan dalam bentuk penelitian. Sudah banyak penelitian yang dilakukan di
6 bidang tanaman tradisional, tetapi pengetahuan yang selama ini dihasilkan hanya terpusat pada satu jenis produk, lokasi dan kelompok pengguna sehingga pemanfaatannya sangat terbatas. Sebaliknya, tulisan ini lebih memusatkan kajiannya terhadap pengetahuan lokal beberapa jenis tanaman yang termasuk dalam kelompok empon-empon secara mendalam sebagai upaya menjelaskan dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari (lebenswel). Dengan demikian, penemuan ini akan membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang hubungan etnik Jawa dengan tanaman empon-empon serta peran yang sesungguhnya sebagai alat dalam upaya pembangunan dan konservasi di berbagai kondisi situasi dan strategi. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan akan menghasilkan pengalaman sebagai akibat dari ditemuinya fenomena-fenomena alam yang terjadi secara berulang. Pengalaman tersebut diceritakan secara turun-temurun dan diakui kebenarannya oleh masyarakat sehingga menjadi tradisi. Tradisi-tradisi tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang terus menerus dilakukan dan dipercaya memiliki nilai-nilai yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sosial mereka. Tradisi-tradisi yang telah melembaga dalam tingkah laku kehidupan bermasyarakat dalam suatu komunitas etnis yang bersangkutan menghasilkan nilai-nilai budaya sebagai dasar gerak langkah mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alamnya (Wiati, 2011). Saat ini terjadi penurunan minat gadis Jawa dalam memanfaatkan empon-empon sebagai bahan
7 jamu dan obat-obatan, mereka cenderung memanfaatkan obat-obatan kimia untuk mempercantik dan menyehatkan tubuhnya. Kondisi ini terlihat dengan semakin tingginya pemakaian produk-produk kosmetik dan obat-obatan kimiawi yang laris dipasaran dalam Negeri. Disisi lain pada tahun 2010 terjadi peningkatan produksi tanaman obat-obatan di Kabupaten Kulon Progo. Lima komoditas andalan tanaman obat-obatan adalah kunyit, kencur, jahe, temulawak, dan laos (BPS Kulonprogo,2011). Herdiana (2012), menyebutkan, daerah pengembangan agroforestri herbal utama berada di sepanjang perbukitan Menoreh, yang meliputi Kecamatan Girimulyo, Samigaluh, Kokap, Pengasih dan Kali Bawang. Berdasarkan kondisi tersebut maka penulis ingin mengetahui gejala-gejala sosial dibalik kondisi menurunnya minat generasi muda dalam memanfaatkan empon-empon serta meningkatnya produksi tanama obat di Kabupaten Kulon Progo, apakah telah terjadi peningkatan ataupun penurunan pengetahuan lokal terkait pengetahuan empon-empon?. Alcorn (1984) dalam Yirga (2010) menyebutkan pengetahuan adat berkembang dan berubah dalam dimensi waktu dan ruang karena melibatkan diagnosis tradisional yang rentan terdistorsi. Oleh karena itu pengetahuan tersebut dapat dideskripsikan melalui pemberian makna empon-empon oleh masyarakat Jawa, sebagai upaya menemukan hakikat masyarakat dibalik gejala-gejala sosial tersebut. Hakikat masyarakat dalam pemanfaatan empon-empon memberi pemahaman bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk dalam proses yang terus menerus yang mengarah pada bentuk-bentuk penghayatan. Peningkatan pengetahuan lokal
8 dapat dilihat melalui tindakan manusia dalam menginterpretasikan apa yang menjadi pengetahuannya. Di era desentralisasi penting untuk melihat dan mengkaji pengetahuan lokal masyarakat etnis Jawa di Kulon Progo dalam memanfaatkan empon-empon sebagai upaya melindungi (conservation) pengetahuan itu sendiri dan sebagai landasan membangun strategi pengelolaan empon-empon berbasis pengetahuan lokal. Perlindungan pengetahuan ini tidak hanya dengan mendokumentasikan makna pengetahuan lokal namun juga menggambarkan interaksi manusia dan tumbuhan yang terjadi sebagai akibat perubahan orientasi pasar dan ekonomi yang akan mengancam keberadaan pengetahuan itu sendiri. Peningkatan produktivitas merupakan salah satu tujuan yang diutamakan, namun di sisi lain akan terjadi penurunan biodiversitas yang dikembangkan. Oleh karena itu pengetahuan lokal diharapkan mampu memberi kontribusi pada inovasi teknologi, upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, perlindungan spesies dan area, serta untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dari uraian tersebut, maka beberapa pertanyaan yang dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana arti, definisi, karakteristik tentang empon-empon menurut etnis Jawa di Kulon Progo. 2. Bagaimana pengetahuan empon-empon pada masyarakat etnis Jawa diperbukitan Menoreh. 3. Bagaimana pengaruh pengetahuan empon-empon terhadap keberlanjutan ekonomi dan lingkungan di daerah penelitian.
9 1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada latarbelakang dan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menemukenali dan menjelaskan arti, definisi, karakteristik empon-empon menurut etnis jawa di Kulon Progo. 2. Mendesripsikan pengetahuan lokal tanaman empon-empon etnis Jawa di Kulon Progo sebagai upaya perlindungan spesies serta untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. 3. Menjelasan dampak pengetahuan tanaman empon-empon terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat di daerah penelitian. 4. Mendeskripsikan pengetahuan lokal tanaman empon-empon yang penting dilindungi dan peluang pengembangannya. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai : 1. Salah satu referensi terkait hubungan manusia dengan tanaman khususnya empon-empon di Kabupaten Kulon Progo. 2. Rujukan bagi unit manajeman hutan dalam mengembangkan empon-empon di bawah tegakan hutan rakyat. 3. Informasi kekayaan budaya yang dimiliki etnis Jawa sebagai modal pembangunan pariwisata di pemda DIY pada umumnya dan pemda Kulon Progo khususnya.