BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat di dunia. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke 16 di dunia dan dalam waktu 34 tahun mendatang diproyeksikan akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke delapan di dunia[1]. Pertumbuhan ekonomi ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya kegiatan industrialisasi di Indonesia. Sehingga dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang meningkat maka kegiatan sektor industri juga diproyeksikan akan meningkat. Kegiatan industri merupakan kegiatan yang padat energi sehingga membutuhkan pasokan energi yang mencukupi. Kebutuhan energi di Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik dari meningkatnya industrialisasi maupun dari bertambahnya jumlah penduduk, perlu diimbangi dengan pemenuhan dan pemerataan energi yang baik agar ketahanan energi tetap terjaga. Berdasarkan data PLN, Pada periode tahun 2015 sampai dengan 2024, kebutuhan tenaga listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 219,1 TWh menjadi 464,2 TWh dengan pertumbuhan rata-rata 8,7% per tahun[2]. Indonesia masih bergantung pada energi fosil sebagai sumber energi utama dan jumlah pemakaiannya meningkat dari tahun ke tahun. Bahan bakar fosil merupakan energi yang tidak terbarukan, oleh sebab itu perlu dipertimbangkan penggunaan energi alternatif untuk mensubstitusi pemakaian energi fosil yang jumlahnya semakin sedikit. Terdapat dua sumber energi alternatif yang dapat dipertimbangkan pemakaiannya di Indonesia, yaitu energi terbarukan dan energi nuklir. Potensi energi terbarukan di Indonesia cukup besar mengingat letak geografis yang berada di garis khatulistiwa dan cincin api sehingga potensi tenaga surya dan panas bumi yang melimpah. Sedangkan untuk energi nuklir, Indonesia memiliki potensi cadangan (spekulatif) uranium di Indonesia tercatat sebesar 59.200 ton atau
ekuivalen dengan 6,5 GWe. Sedangkan total cadangan (spekulatif) thorium tercatat sebesar 1.500 ton atau ekuivalen dengan 1.850 MWe untuk 30 tahun operasi[3]. Energi nuklir merupakan salah satu energi potensial masa depan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang semakin meningkat. Salah satu masalah yang dihadapi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) konvensional adalah kekhawatiran akan sistem keselamatan dan keamanannya serta ketersediaan bahan bakar nuklir fisil yang semakin terbatas. Sehingga dikembangkan PLTN generasi IV yang mampu mengatasi masalah tersebut. PLTN generasi IV perlu memenuhi empat persyaratan utama yaitu berkelanjutan (sustainability), keekonomian (economics), keamanan dan keandalan (safety and reliability) serta resistansi proliferasi dan proteksi fisik (proliferation resistance and physical protection)[4]. Terdapat banyak jenis reaktor generasi IV, antara lain: Very High Temperature Reactor (VHTR), Sodium Fast Reactor (SFR), Super-critical Water cooled reactor (SCWR), Lead Cooled Fast Reactor (LFR), dan Molten Salt Reactor (MSR). Saat ini ada berbagai prototype VHTR yang dikembangkan semisal HTR-PM yang dikembangkan di Tiongkok, NGNP yang dikembangkan di USA, GT-MHR dan GTHTR300C yang dikembangkan oleh USA dan Rusia[5]. HTR-PM adalah reaktor generasi IV yang perkembangannya paling pesat di antara reaktor yang lain. HTR-PM disebut-sebut akan menjadi HTGR pertama di dunia yang akan beroperasi di tahun 2017. HTR-PM adalah pengembangan lebih lanjut dari HTR-10 yang beroperasi pada tahun 2000. HTR-PM menawarkan keselamatan pasif dan melekat yang lebih handal daripada reaktor generasi sebelumnya. Salah satu fitur keselamatan yang diunggulkan dari HTR-PM adalah kemampuannya untuk memindahkan panas peluruhan (decay heat) dari dalam teras reaktor hanya dengan konduksi dan radiasi, tanpa menggunakan konveksi. Dengan fitur ini kecelakaan nuklir yang berakibat pada kehilangan pendingin, seperti yang terjadi pada Fukushima, akan mampu diatasi dengan baik tanpa menyebabkan reaktor overheat dan selanjutnya mencegah terjadi pelelehan pada teras reaktor[6].
HTR-PM termasuk golongan Small Modular Reactor (SMR). HTR-PM cocok digunakan di Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau. Menurut data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), rasio elektrifikasi Indonesia masih belum merata dan saat ini rasio elektrifikasi nasional pada tahun 2012 adalah 75,8%[3]. Rasio elektrifikasi indonesia ini masih terbilang tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN yang lainnya. Wilayah Indonesia bagian timur adalah wilayah yang paling tertinggal dalam hal kebutuhan listriknya. Dari semua instalasi pembangkit listrik yang ada di Indonesia, hanya 9% instalasi pembangkit listrik yang terpasang di wilayah Indonesia bagian timur. Menurut data PLN, kebutuhan listrik di daerah timur Indonesia akan meningkat dari 22,6 TWh menjadi 57,1 TWh. Akan tetapi kebutuhan listrik ini tersebar di berbagai wilayah, seperti Sulawesi bagian utara (sulbagut) membutuhkan tambahan daya 2x50 MW, Palu 2x50 MW, Kendari 2x50 MW, Lombok 2x25 MW, dan seterusnya[2]. Oleh karena itu perlu penyesuain daya termal HTR-PM untuk menyesuaikan dengan kebutuhan listrik di beberapa wilayah di Indonesia. HTR-PM 150 MWt adalah reaktor nuklir yang berdaya ideal untuk digunakan sebagai pembangkit listrik di Indonesia. Untuk kebutuhan listrik yang lebih besar, dapat disesuaikan dengan peningkatan jumlah modul teras HTR-PM yang digunakan. Penggunaan thorium sebagai bahan bakar perlu dipertimbangkan mengingat jumlah uranium dunia yang semakin sedikit. Thorium telah digunakan sebagai bahan bakar pada HTGR lebih dari 50 tahun yang lalu. Thorium adalah salah satu nuklida fertil yang menjanjikan untuk digunakan karena kelimpahan thorium di kerak bumi lebih melimpah tiga sampai empat kali daripada kelimpahan uranium. Selain itu juga karena thorium memiliki tampang lintang serapan yang besar sehingga thorium memiliki konversi rasio yang besar.
I.2 Perumusan Masalah Permasalahan pada penelitian ini diantaraya: 1. Berapa nilai heavy metal loading, pengayaan uranium, dan fraksi Th/U optimum untuk mendapatkan nilai discharge burnup mendekati 150 MWd/kgHM? 2. Berapa nilai radius dan tinggi teras aktif optimum untuk mendapatkan nilai discharge burnup mendekati 150 MWd/kgHM? 3. Berapa nilai pass optimum untuk mendapatkan PPF sesuai dengan HTR- PM default dan discharge burnup mendekati 150 MWd/kgHM? Penelitian ini memiliki enam batasan masalah, yaitu: 1. Reaktor yang digunakan adalah HTR-PM 150 MWt. 2. Discharge burnup optimum didapatkan dari variasi heavy metal loading, pengayaan 235 U, dan Fraksi Th/U. 3. Discharge burnup maksimum yang diperbolehkan untuk tiap pebble adalah 150 MWd/kgHM, untuk menjaga integritas pebble tetap terjaga. 4. Daya yang dibangkitkan tiap pebble tidak melebihi nilai 4,5 kw/pebble, untuk menjaga integritas pebble tetap terjaga. 5. Densitas daya rerata reaktor adalah 3,22 W/cc dengan densitas daya maksimum 6,57 W/cc, mengacu pada densitas daya rerata dan densitas daya maksimum HTR-PM default. 6. Perhitungan termohidraulik diabaikan. I.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk optimasi discharge burnup (maksimal burnup) reaktor dengan cara memvariasikan heavy metal loading, pengayaan 235 U (wt), fraksi 232 Th/ U (wt). Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan ukuran geometri teras yang sekecil mungkin (densitas daya
maksimum) dengan cara memvariasikan jumlah pass dan geometri dari HTR- PM 150 MWt. I.4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu dijadikan studi awal untuk optimasi burnup bahan bakar dan geometri HTR-PM 150 MWt dalam hal kajian secara neutronik.