BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan

dokumen-dokumen yang mirip
PERILAKU MENCONTEK DITINJAU DARI EKSPEKTANSI KESUKSESAN DAN PROKRASTINASI AKADEMIK SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi

Prilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Aat Agustini, MKM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4)

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar perkembangan manusia melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian. pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA).

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimana sistem pendidikan tidak dijalankan secara proporsional. Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat menjadi generasi-generasi yang tangguh, memiliki komitmen terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan terus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah melalui sekolah menengah kejuruan (SMK). Pendidikan kejuruan adalah bagian sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu perubahan yang dialami oleh individu dalam masa emerging

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menyontek tidak dapat ditemukan secara langsung, kata menyontek dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin mengedepankan pendidikan sebagai salah satu tolak ukur dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dyah Kusuma Ayu Pradini, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

belajar itu sendiri (Syah, 2011). Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. Tinggi. Selain itu, pada tanggal 4 Mei 2011 juga ada penanda-tanganan Deklarasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi anak usia sekolah tidak hanya dalam rangka pengembangan individu, namun juga untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan. dalam perkembangan anak (Suryosubroto, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. belajar baik di sekolah maupun di kampus. Hasil survey Litbang Media Group

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Elsa Sylvia Rosa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan jujur. Namun hingga saat ini, masih ada masalah ketidakjujuran mahasiswa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia

Juara 1 Lomba Essay LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, pendidikan merupakan hal yang penting bagi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan, Desain dan Teknik Pengumpulan Data. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif yang dilengkapi

BAB I PENDAHULUAN. penanaman nilai-nilai yang baik dan luhur. Menurut UU No. 20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai suatu sarana mendidik anak bangsa untuk menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa merupakan suatu tahapan pendidikan formal yang menuntut

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, setiap orang dituntut untuk memiliki keahlian

PENGARUH EXPECTANCY DAN TASK VALUE TERHADAP HASIL BELAJAR EKONOMI PADA MATERI AKUNTANSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang mengutamakan

BABI PENDAHULUAN. Era global temyata membawa dampak bagi kehidupan manusia. Di satu

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan seseorang. Bahkan pendidikan menawarkan sejuta harapan bagi yang menginginkan peningkatan kesejahteraan, penghormatan dan jaminan hidup yang lebih layak. Al-Qur`an surat Al-Mujaadilah ayat 11 menyatakan: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Menurut Asmani (2011) pendidikan adalah pilar yang menyangga kejayaan suatu bangsa; sebab salah satu faktor yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan. Pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan. Generasi yang diharapkan lahir dari proses pendidikan adalah generasi yang berkepribadian kuat, tangguh, cerdas baik secara inteligensi, emosi maupun spiritual; seperti cita-cita pendidikan Indonesia yang tercantum dalam UndangUndang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, 1

2 kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Indonesia tersebut, dalam setiap proses pendidikan membutuhkan adanya tindakan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan yaitu pencapaian tujuan. Evaluasi juga diperlukan guna mengetahui tingkat pemahaman individu pada suatu materi, membantu perbaikan dan pengembangan sistem pendidikan. Singkatnya evaluasi telah diterima secara luas dalam pendidikan dan bidang-bidang lainnya yang relevan. Evaluasi merupakan proses pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non tes (Zainul & Nasution, 2001), disebut juga dengan ujian. Ujian sekolah di Indonesia mengalami pergerakan baik sistem, standar dan mutunya. Di antara kebaikan-baikan dari kebijakan tentang ujian yang bergulir, terselip sebuah gejala yang akan membahayakan kehidupan pendidikan jika dijadikan budaya, yakni degradasi pemahaman akan esensi pendidikan dengan adanya mencontek. Ujian hanya dipahami untuk mendapatkan nilai yang baik agar dapat diterima di sekolah lanjutan yang lebih tinggi, sehingga perilaku mencontek atau disebut cheating dimaafkan dan dianggap sebagai hal biasa (Hartanto, 2011). Mencontek bukan fenomena yang baru dalam dunia pendidikan. Praktik mencontek adalah setua usia pelaksanaan penilaian pendidikan. Jika penilaian

3 hasil pendidikan atau ujian telah dilakukan sejak manusia melaksanakan usaha mendidik, maka sejak itu pulalah perilaku mencontek telah ada (Alhadza, 2004). Strom dan Strom (2007) mengutip survei Josephson Institute of Ethics di Amerika dengan responden 36.000 siswa Sekolah Menegah Pertama menemukan bahwa 60% siswa menerima dan mengakui pernah mencontek pada saat ujian dan pengerjaan tugas. The Epoch Time tahun 2005 m el apo r kan b ah wa 83% dari 900 mahasiswa mengaku pernah mencontek ketika pelaksanaan tes atau ujiannya. Sedangkan penelitian Vinski dan Tryon (2009) pada 109 siswa SMA Riverhead, New York melaporkan bahwa mayoritas siswa (88%) berperilaku mencontek pada saat ujian, dengan 42% (n = 45 dari 108) melakukan beberapa kali, dan 16% (n = 17 dari 108) sering kali melakukan. Penelitian Lin dan Wen di Taiwan (2006) pada 2.068 mahasiswa menyebutkan bahwa perilaku ketidakjujuran kalangan mahasiswa adalah 61,72% dengan cara mengerjakan tes atau tugas untuk siswa lain, memberikan bantuan kepada orang lain pada tugas mereka, menyalin tugas orang lain, memberikan jawaban kepada siswa lainnya, dan menyalin jawaban dari siswa lain, Survei di Indonesia yang berhubungan dengan kebiasaan mencontek juga dipaparkan oleh Hendra (2012) di antaranya kasus mencontek masal siswasiswi SD di Surabaya pada ujian nasional Mei 2011, siswa SMP menyontek tanpa malu-malu sebanyak 89% (hasil poling harian Jawa Pos), dan hasil poling Pabelan Pos tahun 2010 sebanyak 80% siswa SMA menyontek, dan di lingkungan universitas angka mencontek mencapai 75%,.

4 Hal ini juga terjadi di sebuah SMA swasta di Surakarta. Berdasarkan data hasil survei di sekolah tersebut tahun 2012/2013 bahwa rata-rata sebanyak 36% dari 749 siswa melakukan praktik mencontek pada ujian tengah semester 1. Pada ujian semester 1 perilaku mencontek terulang lagi dengan 36,07% dari 749 siswa dengan 64% siswa pria dan 36% siswa wanita. Mencontek atau cheating merupakan salah satu bentuk dari ketidakjujuran dalam akademik (academic dishonesty) dan perbuatan curang, seperti didefinisikan oleh Bower (dalam Kautsar, 2011) bahwa cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure), yang berarti mencontek adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Akan tetapi alasan seseorang mencontek sangat beragam. Hartanto (2011) menyebutkan bahwa perilaku mencontek merupakan fenomena yang multifaced atau beraneka ragam sebab dan bentuknya. Salah satunya, seseorang mencontek disebabkan adanya dorongan harapan dan keyakinan untuk sukses dalam akademik atau disebut expectancy for academic succes. Eccles dan Wigfield (2000) memberikan definisi ekspektansi kesuksesan (expectancy for success) sebagai keyakinan individu tentang apa yang akan mereka lakukan dengan baik pada tugas mendatang, baik dalam waktu dekat atau jangka panjang.

5 Penelitian Sieman (2009) pada 4.462 mahasiswa menyebutkan bahwa tujuan dan harapan siswa untuk berprestasi merupakan prediktor yang signifikan (0,952) sebesar 18,3% dalam perilaku mencontek siswa pada saat ujian. Semakin tinggi harapan dan tujuan untuk sukses dalam akademik, maka semakin besar dorongan untuk berperilaku mencontek pada saat ujian. Hal ini sejalan dengan pendapat Malinowski dan Smith (Gusman, 2002) bahwa seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi lebih menyukai mencontek daripada yang memiliki motivasi rendah. Ekspektansi merupakan salah satu komponen motivasi berprestasi menurut Pintrich, dkk (2012). Hal senada juga diungkapkan oleh Lawanto, dkk (2012) dalam penelitian pada 113 siswa kelas 9-12 dengan R²= 0,758 yang berarti dapat disimpulkan bahwa harapan untuk sukses merupakan salah satu komponen motivasi yang mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia memiliki potensi untuk berhasil menyelesaikan tugas. Penelitian Hasibuan (2008) menguatkan hal tersebut bahwa terdapat hubungan yang positif antara ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi (rxy = 0,523) yang berarti bahwa semakin tinggi ekspektansi siswa akan keberhasilan akademiknya maka semakin tinggi pula motivasi dan prestasi yang diraih. Harapan kesuksesan akan mendorong usaha-usaha seorang siwa untuk menguasai ilmu yang dipelajari sehingga meningkatkan prestasi akademiknya. Giglioti dan Sacrest (dalam Nainggolan, 2008) menyatakan bahwa ekspektansi kesuksesan adalah faktor penting dalam prestasi siswa, serta dapat

6 mempengaruhi jenis kegiatan siswa, tingkat usaha siswa (misalnya waktu belajar) dan ketekunan setelah kegagalan (Lenney dalam Nainggolan, 2008). Keberhasilan secara akademik saat ini dipandang sebagai hal pencapaian kesuksesan pendidikan bagi sebagian remaja. Keberhasilan yang dimaksud adalah keberhasilan dalam perolehan nilai juga dalam penguasaan materi pelajaran. Pintrich, dkk (2012) menyatakan siswa yang berorientasi pada penguasaan materi pelajaran (mastery goals) akan memfokuskan tujuannya pada pengembangan kemampuan, dan berusaha untuk memahami setiap tugas yang diberikan oleh para guru, dan selalu meningkatkan kompetensi diri. Sebaliknya siswa yang berorientasi pada penunjukan kemampuan (performance goals) lebih memfokuskan pada bagaimana orang lain menilai kemampuan yang dimilikinya, dalam wujud kelulusan atau peningkatan atau mempertahankan nilai. Siswa yang memiliki motivasi sukses dalam akademik dari perolehan nilai saja akan banyak melakukan kecurangan atau mencontek, baik siswa yang under achievement maupun siswa high achievement. Sebuah survei pada 89 responden siswa kelas matematika dan kelas IPA yang termasuk siswa gifted dan siswa high achievement dilakukan oleh Geddes (2011) menunjukkan bahwa 57% siswa mencontek karena keinginan mempertahankan nilai bagus, 68% karena beratnya tugas-tugas, dan 67% karena keinginan menolong teman. Tetapi yang menarik, 81% siswa menolak anggapan bahwa mereka tidak mampu apabila tanpa mencontek. Sedangkan penelitian Lambert, dkk (2004)

7 pada 850 mahasiswa Midwestern University juga menunjukkan bahwa mahasiswa melakukan kecurangan dalam ujian berhubungan positif secara signifikan dengan alasan untuk mendapat nilai bagus (B= 1,89) dan untuk lulus (B= 2,26). Menurut Anderman dan Murdock (2007) berdasarkan perspektif motivasi, siswa mencontek karena sangat fokus pada nilai atau rangking di kelas. Ketika siswa merasa bahwa tujuan akhir dari belajar adalah untuk mendapatkan nilai bagus, mereka lebih cenderung melihat kecurangan sebagai perilaku, diterima dan dibenarkan (Kohn, 2008). Sehingga siswa yang mempunyai harapan berprestasi tinggi tetapi mencontek, hal ini karena orientasi siswa tersebut adalah pada hasil yaitu nilai yang tinggi agar dapat lulus, bukan berorientasi pada proses belajar atau penguasaan materi pelajaran. Perilaku mencontek ini akan dilakukan berulang, dan berulang. Tuntutan untuk memperoleh nilai yang baik juga menghantui para siswa, salah satunya adalah tuntutan dari orang tua agar anak mereka mendapatkan hasil terbaik (rangking) di kelas (Anderman & Murdock, 2007). Didukung pula sistem pendidikan Indonesia sekarang ini yang mengukur keberhasilan seseorang dari nilai akhir atau raport tanpa melihat bagaimana proses studi yang mereka lakukan (Gusman, 2002). Selanjutnya dalam penelitian Roig dan DeTommaso (Roig & Caso, 2005) dinyatakan bahwa mencontek juga dapat disebabkan oleh siswa yang mengalami masalah prokrastinasi akademik. Penelitian Clariana, dkk (2012) pada 171 siswa

8 perempuan dari sekolah negeri dan swasta di Barcelona (Spanyol) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara prokrastinasi dan perilaku mencontek (r = 0,28). Prokrastinasi akademik adalah suatu kecenderungan menunda untuk memulai maupun menyelesaikan tugas-tugas secara keseluruhan dengan melakukan aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga tugas-tugas menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta sering terlambat mengikuti pertemuan kelas (Steel, 2007). Santrock (2009) juga menyebutkan bahwa masalah prestasi sering muncul ketika individu menundanunda, menjadi kewalahan oleh kecemasan, atau mencoba untuk melindungi diri mereka dengan menghindari kegagalan. Siswa yang suka menunda-nunda pekerjaan (prokrastinastik) tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi tugas dan ujian yang diberikan oleh guru. Prokrastinasi yang dilakukan oleh siswa dalam penelitian ini adalah penundaan dalam belajar untuk ujian. Penundaan ini lebih sering disebabkan waktu mereka lebih banyak untuk kegiatan di luar belajar. Mereka tidak memiliki perencanaan dan tidak dapat menepati waktu belajar yang telah dibuat. Penundaan waktu untuk belajar karena datang terlambat menyebabkan siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk memahami suatu materi, sehingga ketika diadakan evaluasi atau ujian, siswa menempuh jalan pintas dengan mencontek. Perilaku mencontek yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah praktek menyontek dalam ujian atau testing yang merupakan alat evaluasi

9 pendidikan. Penelitian Passow, dkk (2006) bahwa kecurangan dalam ujian diprediksi 36% lebih banyak dibanding kecurangan dalam tugas Pekerjaan Rumah (14%). Selain itu alasan peneliti mengambil tempat di SMA hal ini dikarenakan praktek mencontek lebih banyak terjadi di lingkungan SMA (Anderman,dkk, 1998). Lebih lanjut, dari data Clariana, dkk (2012) menunjukkan bahwa tahun transisi dari sekolah menengah ke universitas (usia 18 dan 19) adalah yang terburuk dalam hal kecenderungan siswa untuk mencontek, karakteristik yang secara signifikan berkontribusi untuk melemahkan pembelajaran akademis. Berdasarkan uraian dan data empiris, maka ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik dapat menjelaskan terjadinya perilaku mencontek di sekolah, sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik dengan perilaku mencontek? Berangkat dari pemikiran tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik dengan perilaku mencontek pada siswa SMA. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris: 1. Hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik dengan perilaku mencontek siswa. 2. Hubungan antara ekspektansi kesuksesan dengan perilaku mencontek siswa. 3. Hubungan antara prokrastinasi akademik dengan perilaku mencontek siswa.

10 C. Manfaat Penelitian Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi para orang tua, memberikan informasi tentang perilaku mencontek siswa di sekolah karena lebih berorientasi pada nilai akademik.. 2. Bagi para pendidik dan pengasuh, memberikan gambaran tentang perilaku mencontek yang disebabkan oleh ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik untuk mengantisipasi perkembangan kepribadian siswa yang tidak sehat. 3. Bagi siswa, memberi informasi tentang pengaruh ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik terhadap prestasi belajar. 4. Bagi pembuat kebijakan, khususnya kementrian pendidikan nasional, memberikan gambaran agar disusun suatu sistem evaluasi bagi siswa yang dapat mengukur keadaan siswa sesungguhnya dengan mempertimbangkan proses belajar. Manfaat secara teoritis, memberikan masukan penting terhadap ilmu pengetahuan khususnya Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sosial tentang perilaku mencontek siswa ditinjau dari ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik. D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang perilaku mencontek telah banyak dilakukan, diantaranya penelitian Anderman, Cupp, dan Lane, pada tahun 2010 dengan

11 judul Impulsivity and Academic Cheating. Penelitian ini melibatkan 583 remaja Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa impulsif berhubungan dengan kecurangan akademik. Penelitian lain berjudul Reasons Not to Cheat, AcademicIntegrity Responsibility, and Frequency of Cheating oleh Miller, Shoptaugh dan Wooldridge (2011) menunjukkan bahwa tanggung jawab integritas akademik berhubungan dengan penurunan perilaku mencontek. Meskipun siswa berpendapat bahwa perilaku mencontek bukan perilaku positif, namun sebagian besar siswa mengakui pernah mencontek dan tidak pernah tertangkap. Hal ini merupakan hasil penelitian Vinski dan Tryon (2009) dengan judul Study of a Cognitive Dissonance Intervention to Address High School Students Cheating Attitudes and Behaviour. Roig dan Caso (2005) dalam Lying and Cheating: Fraudulent Excuse Making, Cheating, and Plagiarism menyimpulkan bahwa mahasiswa berperilaku curang selama di perguruan tinggi setidaknya satu kali, dan perilaku curang tersebut adalah mencontek dan menjiplak (plagiat). Penelitian di Indonesia yang berhubungan dengan kebiasaan menyontek di antaranya penelitian Alhadza (2004) yang dikenakan pada 60 mahasiswa Universitas Negeri Jakarta dengan judul Masalah Menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan, menunjukkan bahwa beragam alasan mahasiswa melakukan tindakan mencontek. Penelitian Arjanggi (2010) pada 126 siswa di salah satu SMA Negeri di Semarang dengan judul Perilaku Mencontek ditinjau dari Perilaku Konformitas dan Jenis Kelamin menemukan bahwa siswa laki-laki lebih banyak mencontek dari pada siswa perempuan. Selanjutnya penelitian Hendra (2012)

12 dengan judul Hubungan antara Efikasi Diri dan Orientasi Akademik dengan Perilaku Menyontek Siswa pada Mata Pelajaran Matematika SMA 1 Wonosari menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara efikasi diri dan orientasi akademik dengan perilaku mencontek pada pelajaran matematika. Perilaku mencontek secara signifikan juga berhubungan negatif dengan konsep diri sesuai penelitian Muktamam (2010) dengan judul Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Menyontek. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri seseorang maka perilaku mencontek akan makin rendah. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada tujuan penelitian, karakteristik subyek, waktu dan tempat (lokasi). Subyek dalam penelitian ini adalah siswa remaja pada sebuah SMA swasta di Surakarta; dan perilaku yang diteliti adalah praktek mencontek pada saat ujian, sedangkan peneliti terdahulu kebanyakan fokus pada siswa SD, SMP, Perguruan Tinggi, dan perilaku yang diteliti adalah praktek mencontek selama menuntut ilmu pada jenjang pendidikan tersebut, baik mencontek saat membuat tugas, mengerjakan PR atau saat melaksanakan ujian. Penelitian Passow, dkk (2006) menunjukkan bahwa kecurangan dalam ujian diprediksi 36% lebih banyak dibanding kecurangan dalam tugas Pekerjaan Rumah (14%), sehingga penelitian ini fokus pada perilaku mencontek pada saat pelaksanaan ujian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain juga dapat dilihat dari variabel bebas yang mempengaruhi perilaku mencontek, yaitu hubungan secara

13 bersama-sama antara ekspektansi kesuksesan, prokrastinasi akademik dengan perilaku mencontek, dimana peneliti terdahulu hanya mengukur mencontek dari salah satu variabel bebas, perilaku mencontek dengan ekspektansi kesuksesan atau perilaku mencontek dengan prokrastinasi akademik. Selain itu, penelitian ini mencoba mengungkap aspek mana yang paling berpengaruh dari variabel bebas (ekspektansi kesuksesan dan prokrastinasi akademik) terhadap perilaku mencontek sehingga akan lebih melengkapi dan menguatkan penelitianpenelitian sebelumnya.