BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peran auditor dalam penyajian informasi keuangan sangatlah besar. Auditor merupakan orang yang ada di belakang informasi keuangan yang disajikan oleh sebuah perusahaan. Informasi inilah yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Sabrina dan Januarti, 2012). Untuk dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan maka informasi keuangan harus disajikan secara relevan dan reliabel. Akuntan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan pelaporan informasi keuangan tersebut sudah semestinya dapat dipercaya sebagai orang yang berperilaku professional dan etis sehingga hasil pekerjaannya dapat dipercaya relevansi dan keandalannya (Herawaty dan Susanto, 2009). Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.2 dalam Hafifah dan Fitriany, 2012, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk dapat mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan keuangan perlu diaudit oleh auditor untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia (Trisnaningsih, 2010). Untuk mencapai karakteristik 1
2 relevan dan reliabel maka diperlukan audit yang dilakukan oleh akuntan publik (Herawaty dan Susanto, 2009). Perlunya dilakukan audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya perbedaan kepentingan antara pihak manajemen dan pihak diluar manajemen, sehingga diperlukan pihak yang independen untuk menilai kewajaran atas laporan keuangan. Kedua, ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam laporan keuangan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Ketiga, menimbulkan keyakinan para pengguna laporan keuangan bahwa laporan keuangan telah terbebas dari salah saji material dan telah sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (Febrianty, 2012). Besarnya kepercayaan pengguna laporan keuangan pada Akuntan Publik ini mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas auditnya. Ironisnya, kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan kepada akuntan publik seringkali diciderai dengan banyaknya skandal. Skandalskandal keuangan tersebut melibatkan perusahaan-perusahaan besar dan Kantor Akuntan Publik (KAP) besar (Futri dan Juliarsa, 2014). Kualitas audit menjadi harapan dari pengguna jasa audit terutama publik atau pemegang saham yang menaruh harapan tinggi bahwa laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP tentunya merupakan laporan keuangan yang bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan (Futri dan Juliarsa, 2014). Nyatanya banyak kasus keuangan yang terjadi mengakibatkan kualitas audit dipertanyakan, diantaranya adalah kasus
3 mark up yang dilakukan PT. Kimia Farma, PT Great River Internasional, Tbk dan kasus laporan keuangan ganda yang dimiliki oleh Bank Lippo. Kesalahan auditor dalam ketiga kasus ini diduga adalah karena auditor terlambat menyadari dan melaporkan ketidakberesan yang telah dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan (Hafifah dan Fitriany, 2012). Dalam melaksanakan tugasnya, Kantor Akuntan Publik harus mematuhi norma-norma yang berlaku untuk semua auditor. Akuntan publik dapat mengetahui tingkat mutu atau kualitas auditnya melalui tingkat tercapainya kepuasan klien (Trisnaningsih, 2010). Oleh karena itu seorang akuntan publik harus mampu meningkatkan kualitas auditnya (Futri dan Juliarsa, 2014). Kepuasan yang dirasakan oleh klien akan menimbulkan kepercayaan terhadap kemampuan yang dimiliki oleh akuntan publik. Kepercayaan yang besar itu mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya (Nugraha, 2012). Untuk dapat mencapai mutu dan kualitas audit yang baik tentunya hal yang dipertimbangkan salah satunya adalah pertimbangan tingkat materialitas (Trisnaningsih, 2010). Menurut Standar Audit Seksi 312 (Risiko Audit dan Materialitas Dalam Pelaksanaan Audit) materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya dapat mengakibatkan perubahan atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu. Konsep materialitas akan
4 mempengaruhi aplikasi seluruh standar, khususnya pada pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dalam merencanakan audit, auditor harus menggunakan pertimbangannya dalam menentukan tingkat risiko audit yang cukup rendah dan pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas. Hal ini perlu dilakukan untuk dapat mendapatkan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Tingkat materialitas mencakup tingkat yang menyeluruh untuk masing-masing laporan keuangan pokok. Auditor harus melihat sifat, saat dan lingkup pekerjaan dalam membuat suatu pertimbangan. Sehingga harus memperhatikan faktorfaktor seperti ukuran dan kerumitan entitas yang akan diaudit, pengalaman auditor mengenai entitas dan pengetahuannya tentang bisnis entitas yang bersangkutan (Herawati dan Susanto, 2009). Tingkat materialitas yang ditetapkan oleh auditor mempunyai peranan terhadap hasil pemeriksaan. Penetapan materialitas membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, maka akan lebih banyak bahan bukti yang harus dikumpulkan (Herawati dan Susanto, 2009). Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan professional dan dipenguruhi oleh presepsi auditor tentang kebutuhan yang beralasan dari laporan keuangan (Kuene and Johnstone, 2012). Profesionalisme, pengalaman dan etika profesi auditor menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan fungsi pemeriksaan karena selain
5 mematangkan pertimbangan dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaan, juga untuk mencapai harapan yakni kinerja yang berkualitas (Futri dan Juliarsa, 2014). Gambaran tentang Profesionalisme seorang auditor menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009) tercermin dalam lima hal yaitu: (1) pengabdian pada profesi, (2) kewajiban sosial, (3) kemandirian, (4) kepercayaan terhadap peraturan profesi dan (5) hubungan dengan rekan seprofesi. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi seorang auditor (Herawaty dan usanto, 2009). Dengan profesionalisme yang tinggi kebebasan auditor akan terjamin (Lestari dan Utama, 2013). Profesionalisme harus ditanamkan kepada auditor dalam menjalankan fungsinya dapat melalui pendidikan, latihan, seminar dan pelatihan secara berkelanjutan (Muhammad, 2013). Profesionalisme dapat diartikan bahwa auditor tidak dapat diintimidasi oleh orang lain dan tidak tunduk karena tekanan yang dilakukan oleh orang lain guna mempengaruhi sikap dan pendapatnya. Semakin tinggi profesionalisme maka semakin baik kualitas auditnya (Baotham, 2007; Ussahawanitchakit, 2008; Mayasari, 2012 dan Futri dan Juliarsa, 2014) begitu juga dengan pertimbangan tingkat materialitasnya (Herawati dan Susanto, 2009; Febrianty, 2012;Sinaga dan Isgiyarta, 2012; Lestari dan Utama, 2013; Utami dan Nugroho, 2014), Namun terdapat hasil penelitian yang berbeda menyatakan bahwa profesionalisme tidak berpengaruh terhadap kualitas audit (Nugraha, 2012) dan pertimbangan tingkat materialitas (Entuu dkk, 2013)
6 Selain profesionalisme, seorang auditor juga harus mempunyai pengalaman yang cukup agar dapat membuat keputusan dalam laporan auditan. Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani (Gusti dan Ali, 2008). Auditor yang memiliki pengalaman yang berbeda, akan berbeda pula cara pandang dalam menanggapi informasi yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan dan juga dalam memberi kesimpulan audit terhadap obyek yang diperiksa berupa pemberian pendapat. Pengalaman kerja akan memberikan dampak pada setiap keputusan yang diambil dalam pelaksanaan audit sehingga diharapkan setiap keputusan yang diambil adalah merupakan keputusan yang tepat. Judgment dari auditor berpengalaman akan lebih intuitif dibanding dengan auditor yang kurang berpengalaman sebab pembuat judgment lebih mendasarkan kebiasaan dan kurang mengikuti proses pemikiran dari judgment itu sendiri (Slovic et al, 1972 dalam Hastuti, 2003, Libby dan Frederick dalam Hafifah dan Fitriany, 2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin lama masa kerja yang dimiliki auditor dan banyak tugas pemeriksaan yang dilakukan auditor, maka akan semakin baik pula kualitas audit yang dihasilkan (Sukriah dkk, 2011; Saripudin dkk, 2012; Badjuri, 2012; Hutabarat, 2012 dan Samsi dkk, 2013) dan pertimbangan tingkat materialitas (Yen, 2012, Rachmawati, 2013 dan Yunitasari dkk, 2014). Namun terdapat hasil penelitian yang berbeda
7 menyatakan bahwa pengalaman tidak berpengaruh terhadap kualitas audit (Samsi dkk, 2012 dan Futri dan Juliarsa, 2014) dan pertimbangan tingkat materialitas (Ríos-Figueroa dan Cardona, 2013). Selain harus memiliki sikap profesionalisme dan pengalaman, setiap auditor juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), agar situasi persaingan tidak sehat dapat dihindarkan (Entuu dkk, 2013). Di Indonesia, etika akuntan menjadi isu yang sangat menarik. Hal ini seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan, baik akuntan independen, akuntan intern perusahaan maupun akuntan pemerintah (Futri dan Juliarsa, 2014). Sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut yang biasa disebut sebagai kode etik (Futri dan Juliarsa, 2014). Kode etik harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat luas (Entuu dkk, 2013). Tanpa etika, profesi akuntansi tidak akan ada karena fungsi akuntansi adalah penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Di samping itu, profesi akuntansi mendapat sorotan yang cukup tajam dari masyarakat (Hafifah dan Fitriany, 2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi etika yang dimiliki maka semakin baik pula kualitas auditnya (Hutabarat, 2012; Futri dan Juliarsa, 2014) dan keputusan yang dihasilkan oleh seorang auditor dalam mempertimbangkan
8 tingkat materialitas akan lebih independen dan objektif (Herawati dan Santoso, 2009), Namun terdapat hasil penelitian yang berbeda menyatakan bahwa etika profesi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit (Samsi dkk, 2012) dan pertimbangan tingkat materialitas (Lestari dan Utama, 2013; Entuu dkk, 2013; dan Utami dan Nugroho, 2014). Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Sukriah dkk (2011) dan Futri dan Juliarsa (2014). Perbedaan dengan penelitian terdahulu terletak pada: 1) penambahan variabel dependen yaitu pertimbangan tingkat materialtias dan melakukan pengujian variabel independen profesionalisme, pengalaman dan etika profesi terhadap variabel dependen pertimbangan tingkat materialtias (Herawaty dan Susanto, 2009; Yen, 2012; Rachmawati, 2013 dan Yunitasari dkk, 2014) dan 2) penambahan pengujian kualitas audit terhadap pertimbangan tingkat materialitas (Trisnaningsih, 2010). Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kualitas audit dan pertimbangan materialitas akuntan publik. Oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Audit Dan Dampaknya Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas.
9 B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas diatas, maka masalah yang dapat penulis rumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh professionalisme terhadap kualitas audit? 2. Apakah terdapat pengaruh pengalaman terhadap kualitas audit? 3. Apakah terdapat pengaruh etika profesi terhadap kualitas audit? 4. Apakah terdapat pengaruh professionalisme terhadap pertimbangan tingkat materialitas? 5. Apakah terdapat pengaruh pengalaman dengan terhadap pertimbangan tingkat materialitas? 6. Apakah terdapat pengaruh etika profesi dengan terhadap pertimbangan tingkat materialitas? 7. Apakah terdapat pengaruh kualitas audit terhadap pertimbangan tingkat materialitas? C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menguji pengaruh professionalisme terhadap kualitas audit. 2. Untuk menguji pengaruh pengalaman terhadap kualitas audit. 3. Untuk menguji pengaruh etika profesi terhadap kualitas audit. 4. Untuk menguji pengaruh professionalisme terhadap pertimbangan tingkat materialitas
10 5. Untuk menguji pengaruh pengalaman dengan terhadap pertimbangan tingkat materialitas 6. Untuk menguji pengaruh etika profesi dengan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. 7. Untuk menguji pengaruh pengaruh kualitas audit terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada beberapa pihak antara lain: 1. Bagi Akademik Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang berhubungan dengan permasalahan mengenai profesionalisme, pengalaman auditor dan Etika Profesi terhadap kualitas audit dan dampaknya terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan. 2. Bagi Peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 3. Bagi Profesi Auditor Penelitian dapat memberikan kontribusi bagi Auditor dalam meningkatkan kinerja secara keseluruhan dengan meningkatkan profesionalisme, pengalaman dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi
11 untuk menghasilkan kualitas audit dan pertimbangan yang baik dalam setiap pelaksanaan proses audit. 4. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada akuntan publik dalam melakasanakan audit.