HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

HASIL DAN PEMBAHASAN

5 KINERJA REPRODUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2012 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Panduan Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka 2 Ibid

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

BAB II GAMBARAN KEBUN BINATANG MEDAN. Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka.

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

*36116 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 1999 (7/1999) TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

6/7/2013. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan Tapir asia sudah tersebar di kebun binatang di seluruh dunia meliputi Amerika, Asia Tenggara, Jepang, China, Eropa, Australia, bahkan Afrika Selatan melalui proses peminjaman maupun pemindahan. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan diantaranya pembatasan perkembangan populasi sebagai akibat dari keterbatasan ruang dan dana pemeliharaan, tetapi alasan utama adalah untuk menghindari perkawinan sedarah (inbreeding) sebagai akibat dari terbatasnya populasi yang dimiliki oleh hampir setiap kebun binatang. Menurut informasi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007), populasi Tapir asia di Lembaga Konservasi ex-situ di tercatat sebanyak 17 ekor yang tersebar di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Cisarua, Taman Safari Prigen, Kebun Binatang Gembira Loka, dan Kebun Binatang Taman Sari Bandung. Populasi tapir yang terdapat di alam belum diketahui, namun diduga terus menurun. Dengan semakin meningkatnya jenis satwa liar yang mengalami kepunahan, pengembangan populasi pada tingkat penangkaran seringkali menjadi upaya penyelamatan terakhir yang dapat dilakukan. Pada tingkat internasional, pola penyelamatan semacam ini telah diakui sebagai bagian dari proses konservasi yang sering membuahkan hasil yang positif. Pola Musim Kawin Fahey (1999) menyebutkan bahwa musim kawin pada tapir biasanya terjadi pada bulan April dan Mei, sedangkan dalam Huffman (2004) disebutkan bahwa pada tapir yang terdapat di Malaysia, perkawinan biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni. Periode kehamilan pada Tapir asia berlangsung sekitar 390 hingga 403 hari (Huffman 2004) atau sekitar 13 bulan, yang berarti pola kelahiran dapat terjadi pada bulan April hingga bulan Juni.

18 Bulan Kelahiran Desember November Oktober September Agustus Juli Juni Mei April Maret Februari Januari Subtropis Tropis 0 20 40 60 Jumlah Kelahiran (ekor) Gambar 6 Pola bulan kelahiran Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Sumber: Prastiti (2009) Gambar 6 menunjukkan pola bulan kelahiran Tapir asia dalam kebun binatang di seluruh dunia yang dibagi menjadi 3 wilayah yaitu, luar daerah tropis, dan luar daerah subtropis. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kelahiran Tapir asia terbanyak di terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 4 dari 14 kelahiran atau sekitar 28,57%, sedangkan kelahiran Tapir asia di luar daerah tropis sebagian besar tersebar merata pada bulan Februari, Maret, April, Juni dan September dengan masing-masing persentase kelahiran sebanyak 11,24%, dan kelahiran di luar daerah subtropis sebagian besar terjadi pada bulan September dengan persentase kelahiran sebanyak 11,56%. Data pola kelahiran pada gambar di atas memperlihatkan bahwa kelahiran Tapir asia terjadi sepanjang tahun, sehingga hewan tersebut memiliki pola reproduksi nonseasonal atau tidak mengikuti musim tertentu. Fahey (1999) menyebutkan bahwa musim kawin pada tapir biasanya terjadi pada bulan April dan Mei, sedangkan dalam Huffman (2004) disebutkan bahwa pada tapir yang terdapat di Malaysia, perkawinan biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni. Data tersebut berbeda dengan data yang didapat pada gambar

19 diatas. Hal ini dapat disebabkan karena perkawinan yang terjadi dalam penangkaran merupakan perkawinan terkontrol, artinya bahwa pencampuran dan pemisahan jantan dari betina dilakukan berdasarkan keputusan masing-masing tempat penangkaran. Hal ini didasarkan pada alasan untuk membatasi perkembangan populasi terkait dengan terbatasnya carrying capacity dan menghindari terjadinya inbreeding atau perkawinan sedarah. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan merupakan kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang (Soemarwoto 1997). Tingkatan daya dukung lingkungan yang paling baik adalah daya dukung optimum, dimana terdapat keseimbangan antara jumlah hewan yang terdapat di daerah tersebut dengan jumlah makanan yang tersedia. Dilampauinya batas daya dukung akan menyebabkan keambrukan kehidupan, karena tidak tersedianya sumber daya, hilangnya kemampuan degradasi limbah, meningkatnya pencemaran dan timbulnya gejolak sosial yang merusak struktur dan fungsi tatanan ekologi. Tabel 2 Pola bulan perkawinan Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Bulan Tropis Subtropis jumlah persentase jumlah persentase jumlah Persentase Januari 1 7,14% 10 11,24% 26 6,53% Februari 1 7,14% 10 11,24% 26 6,53% Maret 0 0,00% 10 11,24% 27 6,78% April 2 14,28% 9 10,11% 33 8,29% Mei 1 7,14% 10 11,24% 40 10,05% Juni 0 0,00% 5 5,61% 37 9,30% Juli 0 0,00% 7 7,65% 35 8,79% Agustus 2 14,28% 10 11,24% 46 11,56% September 1 7,14% 3 3,37% 34 8,54% Oktober 0 0,00% 6 6,74% 34 8,54% November 2 14,28% 6 6,74% 34 8,54% Desember 4 28,57% 3 3,37% 26 6,53% Jumlah 14 100,00% 89 100,00% 398 100,00% Periode kehamilan tapir betina berlangsung selama 13 bulan, sehingga berdasarkan pola bulan kelahiran pada Gambar 6, didapat pola bulan perkawinan

20 seperti pada Tabel 2. Daerah dengan iklim tropis hanya memiliki dua musim, dimana fluktuasi suhu yang terjadi tidak berbeda jauh, sehingga hewan pada daerah tropis memiliki karakteristik reproduksi nonseasonal atau tidak bermusim. Daerah dengan iklim subtropis memiliki empat musim dengan fluktuasi suhu yang sangat jauh, sehingga hewan yang hidup pada iklim subtropis akan menyesuaikan dirinya untuk melakukan perkawinan pada musim tertentu agar dapat melahirkan anaknya pada musim semi atau musim panas dimana terdapat banyak makanan dan suhu yang tepat untuk menjamin kelangsungan hidup anaknya. Tapir asia memiliki habitat asli di hutan tropis, sehingga pola reproduksinya tidak mengikuti musim tertentu atau nonseasonal. Penangkaran tapir yang terdapat di luar daerah subtropis biasanya telah menyesuaikan kandang dengan habitat aslinya. Barongi (1993) menyatakan bahwa terdapat beberapa syarat untuk pembuatan kandang tapir meliputi terdapatnya 2 ruangan kandang yaitu kandang dalam dan kandang luar. Persyaratan kandang dalam yaitu ukuran kandang minimal 3x3 meter, ukuran dinding kandang minimal 6 kaki, suhu ruangan 65,0 85,0 o Fahrenheit (sekitar 18,3-29,5 o Celcius), sumber air minum yang tersedia setiap saat, kolam atau tempat mandi di dalam ruangan, dan kebersihan dalam kandang. Persyaratan kandang luar yaitu luas areal minimal 61 meter 2, pembuatan parit untuk batas dengan pengunjung, adanya tempat berteduh atau bernaung, terdapat tanah padat atau rumput, akses menuju kolam, dan topografi area yang datar. Kemampuan Induk Menghasilkan Anakan Tabel 3 Kemampuan induk Tapir asia dalam menghasilkan anakan di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Tempat Nomor studbook induk betina Jumlah anak Jakarta 1) Yogyakarta 1) 837 553 3 3 Kuala Lumpur 2) Unk 12 San Diego 3) 34 15 1), 2) luar daerah tropis, 3) luar daerah subtropis

21 Tapir asia biasanya hanya melahirkan 1 ekor anak setiap kali melahirkan, dengan periode kehamilan berlangsung selama 400 hari atau sekitar 13 bulan. Tapir betina akan menunjukkan estrus postpartum dan memungkinkan untuk kembali bunting pada waktu satu hingga tiga bulan setelah melahirkan (Barongi 1993). Data yang diperoleh dari International Malayan Tapir Studbook menunjukkan bahwa satu ekor induk tapir betina dapat menghasilkan hingga 15 ekor anak dalam hidupnya. Tapir betina dengan nomor studbook 34 tersebut lahir pada Januari 1960, melahirkan anak pertama pada Agustus 1966 dan melahirkan anak terakhir pada Maret 1991. Bila diasumsikan bahwa tapir tersebut mengalami dewasa kelamin pada usia 2 tahun, maka dapat diperlihatkan dari data tersebut bahwa seekor tapir betina dapat bereproduksi hingga umur 30 tahun dan memiliki umur reproduktif hingga 27 tahun. Tapir betina biasanya mengalami dewasa kelamin pada umur 2 hingga 4 tahun, atau paling lambat 5 tahun pada betina yang berada dalam penangkaran. Kusuda et al (2007) menyatakan bahwa panjangnya siklus estrus pada Tapir asia berdasarkan profil progesteron dalam serum berkisar antara 21 hingga 84 hari dengan rata-rata sekitar 43 hari. Tapir jantan akan mengawini betina satu kali dalam periode tersebut dengan kopulasi yang dapat terjadi selama 15 20 menit. Siklus estrus yang tercatat selama dua hingga tiga bulan dapat merupakan tingkah laku seksual yang tidak terdeteksi atau adanya silent estrus. Pengamatan pada profil progesteron dan perubahan visual pada vulva merupakan metode yang efektif untuk menentukan siklus estrus pada Tapir asia. Pengembangbiakan Tapir asia dalam penangkaran dapat ditingkatkan dengan mengandangkan tapir jantan dan tapir betina yang sedang estrus. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan menyesuaikan terhadap perilakunya di alam liar. Jumlah Kelahiran Jumlah Tapir asia yang hidup di seluruh dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 adalah 921 ekor, dengan jumlah tapir yang berhasil lahir dalam penangkaran sebanyak 540 ekor. Sebagian lainnya merupakan tapir yang berasal dari alam liar untuk kemudian dipelihara dalam

22 habitat ex-situ. Data tersebut kemudian dipilah berdasarkan parameter reproduksi yang diperlukan. Jumlah Kelahiran (ekor) 250 200 150 100 50 0 Jantan Betina Tidak diketahui Tropis Subtropis Jenis Kelamin Gambar 7 Jumlah kelahiran Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Sumber: Prastiti (2009) Gambar tersebut menunjukkan jumlah kelahiran Tapir asia di seluruh dunia yang dibagi dalam tiga wilayah, yaitu, luar daerah tropis, dan luar daerah subtropis. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. Tabel 4 Rata-rata per tahun jumlah kelahiran Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Keterangan Tropis Subtropis Jumlah kelahiran (ekor) 16 96 429 Lama keberadaan (tahun) 34 42 93 Rata-rata jumlah kelahiran per tahun (ekor) 0,5 2,28 4,61 Hasil analisis menunjukkan bahwa Tapir asia yang lahir dalam 4 kebun binatang di berjumlah 16 ekor yaitu sebanyak 9 ekor jantan dan 7 ekor betina. Kelahiran Tapir asia di kebun binatang di mulai tercatat dalam International Malayan Tapir studbook dari tahun 1974 hingga tahun 2008, sehingga dapat diasumsikan bahwa hewan tersebut telah berada di kebun binatang di selama 34 tahun dengan jumlah kelahiran sebanyak 16 ekor. Hal ini

23 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kelahiran Tapir asia di per tahun adalah sebanyak 0,5 ekor. Kebun binatang di luar daerah tropis memiliki tingkat kelahiran Tapir asia yang lebih tinggi dibandingkan kebun binatang di. Di daerah tersebut, hewan ini lahir sebanyak 96 ekor di 9 tempat yaitu yaitu 52 ekor jantan, 42 ekor betina, dan 2 ekor tidak diketahui jenis kelaminnya pada saat pendataan. Kelahiran Tapir asia di luar daerah tropis mulai tercatat dari tahun 1966 hingga tahun 2008. Dapat diasumsikan bahwa Tapir asia telah berada di kebun binatang di luar daerah tropis selama 42 tahun dengan jumlah kelahiran sebanyak 96 ekor, sehingga rata-rata jumlah kelahirannya per tahun adalah sebanyak 2,28 ekor. Tapir asia yang lahir di 87 kebun binatang di luar daerah subtropis terdata sebanyak 429 ekor yaitu 198 ekor jantan, 229 ekor betina, dan 5 ekor tidak diketahui jenis kelaminnya pada saat pendataan. Kelahiran Tapir asia di daerah ini tercatat dari tahun 1915 hingga tahun 2008. Dapat diasumsikan bahwa hewan tersebut telah berada dalam kebun binatang di luar daerah subtropis selama 93 tahun dengan jumlah kelahiran sebanyak 429 ekor, sehingga rata-rata jumlah kelahirannya per tahun adalah sebanyak 4,61 ekor. Jumlah kelahiran Tapir asia per tahun yang terbesar terdapat di luar daerah subtropis. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah populasi tapir di daerah tersebut memang jauh lebih banyak dibandingkan populasi tapir yang terdapat di maupun di luar daerah tropis, sehingga jumlah indukan yang akan dikawinkan juga lebih banyak dan dapat menghasilkan keturunan yang juga lebih banyak. Jumlah kelahiran juga dapat dipengaruhi oleh carrying capacity yang ditentukan oleh pembatas lingkungan dan potensi biotik yang ada (Miller & Spoolman 2008). Dalam pengembangan populasi di tingkat penangkaran haruslah juga ditetapkan suatu kebijakan bahwa satwa yang dipelihara mampu untuk terus berkembang biak secara alami dan memiliki arti konservasi dari segi keragaman genetiknya. Salah satu yang menjadi kekhawatiran dari upaya penyelamatan secara penangkaran dengan sumber populasi yang terbatas adalah hilangnya variasi genetik serta perkawinan sedarah. Terjadinya perkawinan sedarah dengan

24 intensitas tinggi dapat menghasilkan keturunan dengan kualitas yang rendah, seperti dalam daya reproduksi, ketahanan tubuh, dan penampilan tubuh. Daya Hidup Anakan Tabel 5 Daya hidup anakan Tapir asia yang lahir di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Keterangan Tropis Subtropis Jumlah (persentase) Jumlah (persentase) Jumlah (persentase) Lahir mati (0 hari) 0 (0%) 2 (2,11%) 34 (7,93%) Umur < 30 hari 0 (0%) 4 (4,21%) 19 (4,43%) Umur > 30 hari 16 (100%) 90 (93,68%) 376 (87,53%) Jumlah 16 (100%) 96 (100%) 429 (100%) Berdasarkan data yang didapat pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa kejadian stillbirth atau lahir mati pada Tapir asia cukup rendah. Di, kejadian stillbirth terdapat sebanyak 0%, di luar daerah tropis terdapat sebanyak 2,11%, dan di luar daerah subtropis sebanyak 7,93%. Mortalitas atau tingkat kematian pada tapir muda sebelum mencapai umur 1 bulan dalam habitat ex-situ di terdapat sebanyak 0%, di luar daerah tropis sebanyak 4,2 %, dan di luar daerah subtropis sebanyak 4,43%. Sisanya merupakan tapir yang dapat hidup hingga mencapai umur dewasa. Kematian pada tapir muda dapat terjadi karena pengelolaan penangkaran yang kurang baik maupun pemberian pakan yang kurang memenuhi. Kematian pada umur aktif reproduksi merupakan akumulasi dari kematian karena umur tua dan umur dewasa. Beberapa data mengindikasikan juga terjadinya kematian pada kelompok umur dewasa adalah sebagai akibat dari pemindahan lokasi yang cukup jauh sehingga tapir menjadi stres.

25 Jumlah 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Lahir mati (0 hari) Umur <30 hari Umur >30 hari daerah tropis daerah subtropis Gambar 8 Daya hidup anakan Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hinga tahun 2009 Sumber: Prastiti (2009) Faktor kematian dapat mengurangi kepadatan populasi. Angka kematian yang terlampau tinggi akan menimbulkan penurunan kepadatan populasi yang sangat drastis. Jika dibiarkan terus tanpa adanya usaha perbaikan, dapat menyebabkan kepunahan populasi yang bersangkutan (Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar 2011). Dapat dilihat berdasarkan Gambar 8 bahwa Tapir asia memiliki tingkat kematian yang cukup rendah dan potensi reproduksi yang cukup tinggi, sehingga apabila dikelola dengan baik maka populasinya dapat ditingkatkan. Umur Harapan Hidup Menurut Fahey (2009), Tapir asia merupakan jenis yang terbesar dan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan jenis tapir lainnya. Anak tapir disapih pada umur 6 hingga 8 bulan, kemudian menjadi dewasa pada umur tiga tahun dan dapat hidup hingga mencapai 30 tahun. Berdasarkan data yang didapat dari International Malayan Tapir Studbook, umur rata-rata Tapir asia tertinggi terdapat di yaitu selama 16,8 tahun. Hal tersebut dapat disebabkan karena merupakan habitat alami dari Tapir asia, sehingga hewan tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam kebun binatang di. Tapir asia adalah hewan yang memiliki

26 habitat alami berupa hutan tropis. Untuk beradaptasi dalam lingkungan buatan yang baru merupakan hal yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Tabel 6 Umur harapan hidup Tapir asia di kebun binatang di dunia berdasarkan International Malayan Tapir Studbook hingga tahun 2009 Umur (tahun) Tropis Subtropis 0 1 2 28 134 >1 10 3 38 133 >10 20 1 25 96 >20 30 2 12 37 >30 40 1 4 20 >40-50 0 0 1 Umur rata-rata 16,8 13,23 12,69 Umur terlama terdapat pada Tapir asia yang hidup di kebun binatang di luar daerah subtropis, yaitu di Italia, selama 47 tahun. Hal ini dapat disebabkan karena kebun binatang di daerah tersebut memiliki sarana prasarana yang lebih memadai sehingga perawatan dan pemeliharaan tapir dapat dilaksanakan secara lebih optimal. Proses pemindahan dengan jarak tempuh yang cukup jauh juga dapat mempengaruhi umur harapan hidup pada tapir. Proses pemindahan dan keharusan untuk beradaptasi dalam habitat yang baru dapat menimbulkan stress dan menurunkan sistem imun, sehingga mudah terkena penyakit bahkan dapat menimbulkan kematian. Beberapa tapir mati di dalam peti pengiriman karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik (Barongi 1993). Pemindahan tapir dari satu penangkaran ke penangkaran yang lain dapat dilakukan dalam rangka breeding loan (peminjaman atau pemindahan tapir dari satu tempat ke tempat lainnya untuk dikawinkan) maupun karena alasan carrying capacity yang terbatas. Pemberian pakan yang sesuai dapat menjaga umur harapan hidup pada tapir yang berada dalam penangkaran. Dalam Khan (1997) disebutkan bahwa tapir adalah jenis hewan herbivora yang selektif memilih makanannya. Hewan ini biasanya memakan daun-daun muda dari beberapa spesies tanaman tertentu. Novarino (2000) mengatakan bahwa keberadaan salt lick sangat berperan bagi kelestarian tapir. Seperti satwa liar lainnya, tapir memenuhi kebutuhan mikro

27 nutrien (garam mineral seperti kalium dan magnesium), dengan mengunjungi sesapan atau salt lick. Dalam habitat aslinya di hutan Taratak, Sumatra, tapir mengunjungi salt lick yang terdapat di pinggir sungai tiap dua minggu sekali (Novarino 2005).