KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

DINAMIKA INDIKATOR EKONOMI MAKRO SEKTOR PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1)

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

LAPORAN AKHIR ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN PERIODE TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

BADAN PUSAT STATISTIK

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BERITA RESMI STATISTIK

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN II-2015

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. pertiga penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar masih

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

Transkripsi:

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 A. Produk Domestik Bruto Pertanian Dua fenomena besar, yaitu krisis ekonomi dan El-nino, yang melanda Indonesia telah menimbulkan goncangan pada hampir semua sektor perekonomian, termasuk Sektor Pertanian. Fenomena tersebut telah menimbulkan pesimisme yang besar bagi pembangunan pertanian, namun seiring dengan upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan, keragaan Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan selama periode 2000-2004 telah mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, secara agregat PDB pada seluruh subsektor pertanian meningkat dengan rata-rata 1,7 4,7 persen/tahun (Tabel 1). PDB Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan naik menjadi 2,88 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis (1998-1999) yang hanya mencapai 0,44 persen, bahkan dibanding periode tahun 1993-1997 (sebelum krisis ekonomi) yang mencapai 1,97 persen. Subsektor Tanaman Bahan Makanan menunjukkan kinerja yang semakin baik, dimana laju pertumbuhannya naik 2,24 persen, bahkan pada tahun 2004 meningkat pesat menjadi 7,22 persen.. Hal yang sama juga terjadi pada Subsektor Perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi daripada periode sebelum krisis yang tumbuh sebesar 4,50 persen. Sedangkan Subsektor Peternakan pertumbuhannya masih dibawah periode sebelum krisis (4,69 persen/tahun) dan kurang stabil, namun terdapat kecenderungan yang semakin baik. Kondisi tersebut dipandang cukup baik mengingat selama masa krisis ekonomi (1998 1999) Sektor Pertanian telah terperosok ke dalam perangkap spiral pertumbuhan rendah. Laju pertumbuhan Sektor Pertanian total pada masa krisis hanya tumbuh sebesar 0,40 persen/tahun, bahkan pada beberapa subsektor justru tumbuh negatif. Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun 1999. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami kontraksi luar biasa, yaitu tumbuh negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada tahun 2003. Selain jauh lebih mampu bertahan, kedua subsektor tersebut juga mampu pulih jauh lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun demikian, pertumbuhan kedua subsektor tersebut pada pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil. VI-212

Tabel 1. Tingkat (Rp milyar) dan Laju Pertumbuhan (%/Tahun) PDB Sektor Pertanian, 1992 2004 Tahun Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Pertanian dan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertanian, Peternakan, Kehutanan,Perikanan Total PDB (1) (2) (3) (4) = 1+2+3 (5) (6) (7) = 4+5+6 (8) 1992 108235 28399 19839 156474 20725 17129 194328 1030150 1993 107524 30203 20781 158509 20999 18041 197549 1104868 1994 105227 31733 21615 158575 21110 18961 198647 1188175 1995 110400 33209 22747 166356 21119 19862 207338 1285843 1996 112730 34693 23899 171321 21590 20935 213846 1386372 1997 109518 35167 25071 169756 24088 22146 215991 1451530 1998 109538 32302 24626 167557 17714 27844 213115 1308338 1999 111714 32918 26145 171264 16927 29534 217724 1318687 2000 111324 31720 25627 168672 17215 30945 216831 1389770 2001 113020 34845 27770 175635 17610 32441 225686 1442985 2002 114045 36819 29334 180197 17957 33768 231922 1504381 2003 120139 38192 30727 185928 18118 35900 243076 1572159 2004 124579 39920 32158 196657 18396 37900 252953 1660579 Rata-rata : 1993-1997 109080 33001 22823 164903 21781 19989 206674 1283358 1998-1999 110626 32610 25386 169411 17321 28689 215420 1313513 2000-2004 116621 36299 29123 181418 17859 34191 234094 1513975 Trend(%/th): 1993-1997 0,71 4,37 4,69 1,97 2,39 5,08 2,31 7,07 1998-1999 0,99-3,30 2,10 0,44-17,64 14,39 0,40-4,80 2000-2004 2,24 4,50 4,67 2,88 1,68 4,95 3,20 4,47 2000-0,35-3,64-1,98-1,51 1,70 4,78-0,41 5,39 2001 1,52 9,85 8,36 4,13 2,29 4,83 4,08 3,83 2002 0,91 5,67 5,63 2,60 1,97 4,09 2,76 4,25 2003 1,88 6,30 4,32 3,18 0,11 4,04 3,07 4,51 2004 7,22 2,00 5,09 5,77 2,33 7,88 5,82 5,62 VI-213

Tabel 2. Tingkat (Rp milyar) dan Proporsi (%) PDB Subsektor Pertanian Triwulanan, 2003 2005 Sektor/Subsektor 2003 2004 2005 Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Total Pertanian 61.407 62.607 65.163 53.898 243.076 64.412 65.015 68.627 54.900 252.954 64.690 Tanaman Bahan Makanan 35.527 31.730 30.415 22.467 120.139 36.974 33.227 32.485 21.894 124.579 36.152 Perkebunan 6.389 9.436 13.187 9.180 38.192 6.628 9.749 13.659 9.884 39.920 6.993 Peternakan 7.858 7.602 7.558 7.709 30.727 8.090 7.855 7.956 8.257 32.158 8.561 Kehutanan 3.519 4.925 4.666 5.008 18.118 4.123 4.791 4.619 4.864 18.396 3.925 Perikanan 8.114 8.915 9.337 9.534 35.900 8.596 9.393 9.908 10.002 37.900 9.060 Persentase PDB per sub sektor Sektor/Subsektor 2003 2004 2005 Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Total Pertanian 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Tanaman Bahan Makanan 57,86 50,68 46,68 41,68 49,42 57,40 51,11 47,34 39,88 49,25 55,88 Perkebunan 10,40 15,07 20,24 17,03 15,71 10,29 14,99 19,90 18,00 15,78 10,81 Peternakan 12,80 12,14 11,60 14,30 12,64 12,56 12,08 11,59 15,04 12,71 13,23 Kehutanan 5,73 7,87 7,16 9,29 7,45 6,40 7,37 6,73 8,86 7,27 6,07 Perikanan 13,21 14,24 14,33 17,69 14,77 13,35 14,45 14,44 18,22 14,98 14,01 VI-214

Perbaikan kinerja pemulihan ekonomi tersebut juga terlihat dari indeks PDB Pertanian (Gambar 1), yang menunjukkan peningkatan secara konsisten sejak tahun 2000, dan mulai tahun 2003 Sektor Pertanian sedang menuju pertumbuhan berkelanjutan. Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan telah terlepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah yang berlangsung selama periode tahun 1998 1999, dan pada tahun 2003 tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Perkembangan indeks PDB tersebut menunjukkan bahwa kedua subsektor tersebut adalah yang paling ringan terkena dampak krisis dan mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan. 120 110 100 90 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Pertanian dan Peternakan Total Pertanian Total PDB Gambar 1. Indeks PDB sektor Pertanian pada Harga Konstan 2000 (1996 = 100) Sumber: BPS Bila dilihat dari struktur PDB masing-masing subsektor (Tabel 2), subsektor Tanaman Bahan Makanan masih memberikan sumbangan devisa yang paling tinggi diantara subsektor pertanian yang lain. Proporsi Subsektor Tanaman Bahan Makanan (TBM) ini masih berkisar 40-50 % dari total sumbangan sektor pertanian. Pada triwulan I tahun 2005, proporsi subsektor TBM ini adalah 55,88 persen, turun dibandingkan periode yang sama pada tahun 2004 (57,40 persen). Penurunan tersebut sedikit banyak menggambarkan turunnya insentif dari usahatani tanaman pangan di tingkat lapangan. Semakin meningkat biaya VI-215

produksi dan rendahnya harga output karena panen raya merupakan penjelas yang dapat diterima terhadap penurunan pangsa subsektor tersebut. Sayangnya, kondisi yang semakin baik ini belum sepenuhnya stabil. Data statistik menunjukkan bahwa pada triwulan II tahun 2005 laju PDB Sektor Pertanian menurun. Pada triwulan II tahun 2005, laju PDB turun 1,63 persen bila dibandingkan dengan triwulan I tahun 2005 atau turun 0,96 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2004. Namun demikian, secara agregat PDB sektor pertanian semester I tahun 2005 masih meningkat 0,33 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahunh 2004. B. Kesempatan Kerja Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah defisit neraca pembayaran (balance of payment) dan pengangguran kronis. Kebijakan yang paling superior untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor karena kebijakan tersebut mampu mengatasi defisit neraca pembayaran sekaligus mampu pula menurunkan pengangguran. Kebijakan ekspansif melalui peningkatan output justru akan menambah defisit neraca pembayaran dan sebaliknya kebijakan kontraktif akan gagal mengatasi pengangguran. Tingkat dan laju pengangguran di Indonesia cukup tinggi. Sebelum periode krisis (1992-1997) rata-rata pengangguran terbuka adalah 4,2 juta orang dengan laju 16,84 persen, meningkat menjadi 5,5 juta orang dengan laju 17,20 persen pada saat krisis (1998-1999) dan meningkat lagi menjadi 8,9 juta orang dengan laju 11,08 persen dalam masa pemulihan (2000-2005) (Tabel 3). Peningkatan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia yang tinggi, selain disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang besar juga karena laju peningkatan angkatan kerja yang lebih besar dibanding kesempatan kerja yang tersedia. Pada periode 1992-1997, rata-rata jumlah angkatan kerja mencapai 87 juta orang meningkat menjadi 105 juta orang pada periode 2000-2005. Pada periode sebelum krisis (1992-1997), laju angkatan kerja per tahun 2,65 persen lebih besar dibanding laju kesempatan kerja yang hanya mencapai 2,08 persen. Begitu juga pada periode 2000-2005 dimana laju angkatan kerja per tahun 1,9 persen lebih besar dibanding laju kesempatan kerja yang hanya mencapai 1,1 persen. VI-216

Fenomena tidak berimbangnya antara laju kesempatan kerja dan angkatan kerja ini terlihat nyata pada tahun 2004 dan 2005 sehingga menyebabkan tingkat penganguran semakin tinggi. Tingkat partisipasi kerja pada tahun 2005 tumbuh positif sebesar 0,70 persen/tahun, jauh lebih tinggi dibanding tahun 2004 yang justru turun sebesar 0,35 persen/tahun. Tingkat pengangguran terbuka naik sebesar 4,06 persen/tahun, selisih 1,03 persen dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2004. Tabel 3. Perkembangan Kesempatan Kerja di Indonesia, 1992 2005 (orang) Bekerja Pengangguran Total Angkatan Tahun Terbuka Kerja 1992 78518372 2185602 80703974 1993 79200542 2245536 81446078 1994 82038109 3737524 85775633 1995 80110060 6251201 86361261 1996 85701813 4407769 90109582 1997 87049756 4275155 91324911 1998 87672449 5062483 92734932 1999 88816859 6030319 94847178 2000 89837730 5813231 95650961 2001 90807417 8005031 98812448 2002 91647166 9132104 100779270 2003 92810791 9820011 102630802 2004 93722036 10251351 103973387 2005 94948118 10854254 105802372 Rata-rata (orang) 1992-1997 82820056 4183437 87003493 1998-1999 88244654 5546401 93791055 2000-2005 92295543 8979330 101274873 Trend (%/tahun): 1993-1997 2.08 16.84 2.65 1998-1999 1.00 17.20 1.89 2000-2005 1.10 11.08 1.90 2000 1.15 (3.60) 0.85 2001 1.08 37.70 3.31 2002 0.92 14.08 1.99 2003 1.27 7.53 1.84 2004 0.98 4.39 1.31 2005 1.31 5.88 1.76 Sumber : Keadaan Angkatan Kerja, BPS VI-217

Sebagai gambaran lebih rinci, sebaran penyerapan tenaga masing-masing sektor pembangunan dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tebel tersebut terlihat bahwa selama periode 2001-2005, sektor pertanian masih merupakan sektor dengan pangsa penyerapan tenaga kerja terbesar. Pangsa penyerapan sektor pertanian berkisar 45 persen dari total penduduk yang bekerja dengan laju pertumbuhan 1,01 persen/tahun.. Bila dibandingkan proporsi penyerapan tenaga kerja antara tahun 2004 dan 2005 terhadap total angkatan kerja terlihat bahwa pada tahun 2004 penyerapan tenaga kerja di pertanian proporsinya tumbuh negatif sebesar -5,66 persen/tahun, namun naik kembali pada tahun 2005 menjadi sebesar 2,97 persen/tahun.. Proporsi penyerapan tenaga kerja kedua terbesar adalah Sektor Perdagangan. Penyerapan di sektor ini sekitar 20 persen dari total penyerapan tenaga kerja. Sektor ini pada periode 2001-2005 mampu tumbuh 2,29 persen per tahun, bahkan pada tahun 2004 (year on year) pertumbuhan tersebut mencapai 10,84 persen/tahun. Namun proporsi yang besar tersebut turun drastis pada tahun 2005, dimana sektor tersebut justru tumbuh negatif sebesar -1,16 persen/tahun. Belum kondusifnya iklim berusaha dan kondisi makroekonomi membuat sektor ini mengalami penurunan dalam menyerap tenaga kerja. Seiring dengan perbaikan ekonomi nasional, kemampuan penyerapan tenaga kerja Sektor Pertanian meningkat cukup mengesankan yaitu dari 37,35 juta orang per tahun sebelum masa krisis (1992-1997) menjadi 41,08 juta orang, atau naik 1,19persen/ tahun pada masa pemulihan (2000-2005) (Tabel 5). Peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja Sektor Pertanian ini merupakan bukti tak terbantahkan bahwa Sektor Pertanian sudah lepas dari cengkeraman krisis ekonomi sejak tahun 2000. Kemampuan penyerapan tenaga kerja Sektor Pertanian tersebut adalah sekitar 45 persen angkatan kerja nasional hanya berasal dari kegiatan Sektor Pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang sistem vertikal usaha agribisnis. Apabila tenaga kerja yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya diperhitungkan, maka kemampuan Sektor Pertanian tentu akan lebih besar lagi. Walaupun kemampuan Sektor Pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional sangat besar, di sisi lain justru menjadi beban bagi Sektor Pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, Departemen Pertanian telah mengupayakan semaksimal mungkin untuk menciptakan nilai tambah di luar kegiatan pertanian primer yang mampu dinikmati VI-218

Tabel 4. Proporsi (%) dan Pertumbuhan (%/tahun) Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja Utama 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 Proporsi (%) Growth (%/th) Lapangan Usaha Utama 2001 2002 2003 2004 2005 2001-2005 2004 2005 1 Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 43.77 44.34 46.38 43.33 44.04 1,01-5,66 2,97 2 Industri Pengolahan 13.31 13.21 12.39 11.81 12.27-1,63-3,70 5,26 3 Bangunan 4.23 4.66 4.37 4.84 4.65 3,42 11,97-2,71 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan 19.24 19.42 18.59 20.40 19.90 2,29 10,84-1,16 4 Hotel 5 Angkutan Pergudangan dan Komunikasi 4.90 5.10 5.32 5.85 5.85 6,03 10,95 1,31 Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan 1.24 1.08 1.41 1.20 1.10-0,31-13,89-7,31 6 Bangunan, Rumah dan Jasa Perusahaan 7 Jasa Kemasyarakatan 12.12 11.30 10.60 11.22 11.14-0,64 6,89 0,58 8 Lainnya* 1.20 0.88 0.95 1.35 1.05 2,61 42,78-21,17 Total Angkatan Kerja 90807417 91647166 92810791 93722036 94948118 1,12 0,98 1,31 VI-219

Tabel 5. Perkembangan Kesempatan Kerja Pertanian dan Nonpertanian di Indonesia, 1992 2003 (orang) Tahun Bekerja Total Angkatan Pertanian Non Pertanian Kerja 1992 42153205 36365167 80703974 1993 40071850 39128692 81446078 1994 37857499 44180610 85775633 1995 35233270 44876790 86361261 1996 37720251 47981562 90109582 1997 35848631 51201125 91324911 1998 39414765 48257684 92734932 1999 38378133 50438726 94847178 2000 40676713 49161017 95650961 2001 39743908 51063509 98812448 2002 40633627 51013539 100779270 2003 43042104 49768687 102630802 2004 40608019 53114017 103973387 2005 41814197 53133921 105802372 Rata-Rata (orang) 1993-1997 37346300 45473756 87003493 1998-1999 38896449 49348205 93791055 2000-2003 41086428 51209115 101274873 Trend (5/tahun) 1993-1997 (3.04) 6.68 2.65 1998-1999 3.41 (0.75) 1.89 2000-2003 1.19 1.02 1.90 2000 5.99 (2.53) 0.85 2001 (2.29) 3.87 3.31 2002 2.24 (0.10) 1.99 2003 5.93 (2.44) 1.84 2004 (5.66) 6.72 1.31 2005 3.26-14.09-2.62 Sumber: Keadaan Angkatan Kerja, BPS oleh rumah tangga tani melalui program pengembangan sistem dan usaha agribisnis. C. Insiden Kemiskinan Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum adalah prevalensi jumlah penduduk miskin. Kemampuan negara berkembang seperti Indonesia untuk menurunkan jumlah penduduk miskin secara konsisten merupakan suatu prestasi yang patut dibanggakan karena kemiskinan, utamanya di wilayah VI-220

pedesaan, merupakan salah satu kendala utama dalam pengembangan Sektor Pertanian. Penduduk miskin di pedesaan terutama yang hidup di sektor Pertanian mempunyai kemampuan amat terbatas dalam permodalan dan pengetahuan teknologi pertanian sehingga kemampuan mereka dalam meningkatkan kapasitas produksi pertaniannya melalui pengembangan teknologi juga terbatas. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan, utamanya di wilayah pedesaan, merupakan indikator utama keberhasilan pembangunan nasional. Pemerintahan Orde Baru telah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan menurun sangat signifikan yaitu dari 44,2 juta orang atau 40,4 persen pada tahun 1978 menjadi 13,3 persen atau 15,3 juta orang pada tahun 1996, sementara di wilayah perkotaan menurun dari 10,0 juta orang atau 38,8 persen pada tahun 1978 menjadi 7,2 juta orang atau 9,7 persen (Tabel 6). Secara absolut jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan hampir dua kali lipat dibanding jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada Sektor Pertanian, maka permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan Sektor Pertanian. Dengan kata lain, Sektor Pertanian amat strategis untuk dijadikan sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan Sektor Pertanian minimal akan banyak memberikan kontribusi pada penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan. Krisis multidimensi yang terjadi pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi sekitar 32 juta orang atau 26 persen di pedesaan dan hampir 18 juta orang atau 22 persen di perkotaan. Namun pada tahun 2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi sekitar 25 juta orang atau 21,1 persen di pedesaan dan sekitar 13 juta orang atau 14,5 persen di perkotaan (Tabel 6). Walaupun secara absolut maupun relatif jumlah penduduk miskin masih lebih tinggi pada tahun 2002 dibanding tahun 1996 (sebelum krisis multidimensi), fakta penurunan insiden kemiskinan secara konsisten tersebut merupakan salah satu prestasi luar biasa pembangunan Indonesia pada periode pemulihan ekonomi. Penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan ini tidak terlepas dari pertumbuhan Sektor Pertanian yang cukup tinggi, utamanya subsektor Tanaman Bahan Makanan selama periode tersebut. VI-221

Tabel 6. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin 1978-2005. Persentase penduduk miskin Jumlah penduduk miskin (juta jiwa) Total Tahun Kota+ Kota Desa Kota Desa Kota+ Desa Pertanian Desa 1978 38,8 40,4 40,1 10,0 44,2 54,2 1979 30,8 33,4 33,3 8,3 38,9 47,2 1980 29,0 28,4 28,6 9,5 32,8 42,3 1981 28,1 26,5 26,9 9,3 31,3 40,6 1984 23,1 21,2 21,6 9,3 25,7 35,0 1987 20,1 16,1 17,4 9,7 20,3 30,0 1990 16,8 14,3 15,1 9,4 17,8 27,2 1993 13,4 13,8 13,7 8,7 17,2 25,9 1996 9,7 12,3 11,3 7,2 15,3 22,5 1996 1),3) 13,6 19,9 17,7 9,6 24,9 34,5 1998 1),2) 21,9 25,7 24,2 17,6 31,9 49,5 1999 1),3) 19,5 26,1 23,5 15,7 32,7 48,4 26,0 2000 1),4) 14,60 22,38 19,14 12,3 26,4 38,7 20,1 2001 1) 9,79 24,84 18,41 8,6 29,3 37,9 23,4 2002 1) 14,46 21,10 18,20 13,3 25,1 38,4 20,6 2003 5) 17.40 37.4 2004 5) 16.60 36.1 2005 5) 28.44 62.0 Sumber : BPS (2002) 1) Berdasarkan standar kemiskinan tahun 1998 2) Susenas, Desember 1998 3) Susenas reguler Februari, tanpa Timor-Timur 4) Susenas 2000, tanpa NAD dan Maluku 5) Pengumuman Pers BPS. Berdasarkan data prevalensi kemiskinan dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun 2000-2002 kesejahteraan penduduk pedesaan dan perkotaan jauh lebih baik daripada periode 1998-1999 (masa krisis), dan sudah mendekati keadaan tahun 1996. Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten menyimpulkan bahwa yang paling berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk miskin, baik di desa maupun di kota, adalah pertumbuhan Sektor Pertanian. Salah satu studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan Sektor Pertanian dalam menurunkan total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penu-runan signifikan jumlah penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode 1998-2002 terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor Pertanian. Selain itu, bukti yang lebih kuat tentang peningkatan kesejahteraan petani adalah menurunnya jumlah absolut anggota rumah tangga tani yang masih hidup dalam kemiskinan yaitu dari 26 juta orang pada tahun 1999 menjadi 20,6 juta VI-222

orang pada tahun 2002 (Tabel 6). Walaupun tidak dapat ditunjukkan dengan angka spesifik, jika melihat peningkatan secara signifikan laju pertumbuhan Sektor Pertanian pada tahun 2003, maka dapat dipastikan bahwa jumlah anggota rumah tangga tani yang masih miskin pada tahun 2003 jauh lebih kecil daripada tahun 2002. Dengan demikian, pembangunan yang dilaksanakan selama periode tahun 2000-2003 telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan. Pendataan rumah tangga miskin secara nasional pada tahun 2005 oleh BPS sampai dengan 15 September 2005 baru mencapai 90% atau rumah tangga miskin yang terdata sebanyak 13.662.594 Rumah Tangga Miskin (RTM) dari 814.525 Satuan Lingkungan Setempat (SLS). Jumlah rumah tangga miskin tersebut mengalami peningkatan secara nasional dibandingkan pada tahun 2004. Penduduk miskin pada tahun 2004 sebanyak 36,1 juta jiwa atau sekitar 9 juta RTM (Tabel 6). BPS memperkirakan bahwa sampai selesai pendataan, jumlah RTM secara nasional pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 15,5 juta atau sekitar 62 juta jiwa. Namun jumlah ini bukan berarti penduduk miskin melonjak tajam. Perkiraan jumlah tersebut lebih besar karena data lama tidak memasukkan penduduk sangat miskin dan mendekati miskin. Penghitungan kemiskinan sekarang ini menggunakan pendekatan moneter atau pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan dasar. Ada tiga kategori rumah tangga miskin, yaitu : (1) kategori sangat miskin dengan kemampuan minimum mengkonsumsi pangan sama atau kurang dari 1.900 kalori/orang/hari dan pengeluaran nonmakanan (PNM) senilai Rp 120.000,00/orang/bulan; (2) kategori miskin dengan konsumsi pangan 1.900-2.100 kalori/orang/hari dan PNM setara Rp 150.000,00/orang/bulan; dan (3) kategori mendekati miskin dengan konsumsi pangan 2.100-2.300 kalori/orang/hari dan PNM setara Rp 175.000,00/orang/bulan. Tentang kategori rumah tangga, asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap rumah tangga miskin rata-rata memiliki empat anggota rumah tangga. Dengan demikian maka pengeluaran rumah tangga sangat miskin adalah sebesar 4 x Rp 120.000 atau Rp 480.000/orang/bulan. Cara penghitungan yang sama juga berlaku pada kategori rumah tangga miskin dan mendekati miskin. Kategori miskin dan mendekati miskin ini dimasukkan dalam penghitungan agar pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penduduk miskin tidak terjun menjadi semakin miskin. Prediksi membengkaknya jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 mudah dipahami karena ketidakpastian ekonomi, seperti kenaikan harga BBM VI-223

yang akan membuat masyarakat yang berada dalam kategori miskin tersebut terpuruk ke dalam kategori miskin absolut, yaitu kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Jika rencana pemerintah menaikkan harga BBM akhir tahun ini jadi dilaksanakan, maka bisa menimbulkan masalah krusial dan bumerang bagi upaya penanggulangan kemiskinan. D. Nilai Tukar Petani Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu rasio antara indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, berarti semakin sejahtera tingkat kehidupan petani. Pada periode sebelum krisis multidimensi (1993-1997), NTP nasional mencapai rata rata 106,08 dengan pertumbuhan sebesar 0,95 persen per tahun. Selama periode krisis (1998-1999), NTP mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 2,60 persen, sedangkan pada masa pemulihan krisis naik kembali sebesar 2,90 persen. Pertumbuhan NTP pada tahun 2001-2003 terus membaik secara konsisten hingga mencapai pertumbuhan 6,80 persen yang merupakan pertumbuhan terbesar, yang melebihi pertumbuhan sebelum masa krisis. Walaupun secara nominal rata- rata NTP meningkat pada tahun 2004 hingga mencapai 119,19 laju pertumbuhannya menurun dari 6,80 persen menjadi 4,32 persen. Penurunan drastis terjadi pada periode Januari Mei 2005, yaitu dari 119,19 menjadi 99.16 atau turun sekitar 16,81 persen (Tabel 7). Namun patut dicatat bahwa perbaikan NTP tersebut tidak merata antar wilayah. Perbaikan NTP lebih awal dan lebih cepat di Jawa daripada di luar Jawa. Di pulau Jawa, perbaikan NTP mulai terjadi pada tahun 2001 dengan laju rata-rata 5,07 persen per tahun selama periode tahun 2000-2003. Sedangkan di luar Jawa perbaikan NTP baru terjadi pada tahun 2002 dengan laju rata-rata 0,20 persen per tahun pada periode yang sama. Ini berarti bahwa perbaikan tingkat kesejahteraan petani di Jawa terjai lebih awal dan lebih besar daripada di luar Jawa. Pada tahun 2004, NTP di Jawa secara nominal terus meningkat walaupun tidak sebesar pada tahun sebelumnya. Pada tahun tersebut NTP di Jawa hanya tumbuh 1,51 persen. Di luar Jawa, pertumbuhan NTP sejak 2002 terus dipertahankan hingga pada tahun 2004. Pertumbuhan NTP tertinggi di Jawa dan luar Jawa masing-masing adalah 108,86 persen dan 7,86 persen. VI-224

Pada tahun 2005, gejolak perekonomian yang ditandai dengan melonjaknya harga minyak dunia yang berdampak terhadap jalannya roda ekonomi nasional menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun. Hingga bulan Mei 2005, NTP di Jawa turun 19,86 persen yaitu dari 129,52 pada tahun 2004 menjadi 103,80. Di Luar Jawa, tekanan ekonomi sejak awal 2005 hingga bulan Mei menyebabkan NTP menurun tajam dari pertumbuhan tertinggi sejak krisis sebesar 7,86 persen menjadi 13.17 persen. Tabel 7. Perkembangan Nilai Tukar Petani 1993 2005 (1993 = 100). Tahun Jawa Luar Jawa Indonesia 1993 100,00 100,00 100,00 1994 108,19 103,93 106,06 1995 111,75 108,44 110,09 1996 112,46 99,76 106,11 1997 114,24 102,01 108,13 1998 113,14 99,96 106,55 1999 105,28 91,97 98,62 2000 104,02 89,85 96,93 2001 112,81 85,85 99,33 2002 118,74 88,01 103,38 2003 127.59 100.93 114.26 2004 129.52 108.86 119.19 2005 103.80 94.52 99.16 Rata-rata: 1993-1997 109,33 102,83 106,08 1998-1999 109,21 95,96 102,59 2000-2003 115,63 89,39 102,51 2004-2005 116.66 101.69 109.18 Trend (%/tahun) 1993-1997 2,35-0,52 0,95 1998-1999 -4,09-5,18-4,60 2000-2003 5,07 0,20 2,90 2000-1,19-2,31-1,71 2001 8,45-4,45 2,48 2002 5,26 2,51 4,07 2003 6,92 6,65 6,80 2004 1.51 7.86 4.32 2005-19.86-13.17-16.81 Sumber : BPS. Keterangan : Tahun 2005 sampai dengan bulan Mei. VI-225

E. Efektifitas Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah Untuk Gabah Efektifitas kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dapat dilihat dari dampaknya terhadap harga jual gabah di tingkat petani, yaitu apakah harga jual gabah petani meningkat, tidak jatuh pada saat musim panen raya dan stabil sepanjang tahun. Hasil-hasil analisis adalah sebagai berikut 1 : 1. HPP atau harga dasar gabah dalam jangka panjang (menggunakan data tahunan) dapat meningkatkan harga jual gabah petani dengan elastisitas 0,787 yang artinya setiap HPP atau harga dasar naik 10% maka harga jual gabah petani akan naik 7,87%. 2. Selama bulan Januari sampai dengan Juni 2005, harga jual aktual GKP petani berkisar antara Rp 1.393/kg sampai dengan Rp 1.473/kg atau rata-rata Rp 1.433/kg (Tabel 8). Harga aktual tersebut berada di sekitar 4,77 10,81% atau rata-rata 7,74% di atas HPP. Harga aktual paling rendah yang terjadi pada musim panen raya (April-Mei) masih berada 4,77 4,79% di atas HPP. Ini berarti bahwa HPP pada tahun 2005 sangat efektif untuk mencegah turunnya harga aktual gabah petani pada saat panen raya. 3. Koefisien variasi harga gabah petani selama Januari Juni 2005 adalah 2,21% (Tabel 8). Ini berarti bahwa kebijakan HPP berhasil menjaga stabilitas harga jual gabah petani. Tabel 8. Efektifitas HPP Gabah Januari Juni 2005. Bulan Harga Petani HPP Efektifitas (Rp/kg) (Rp/kg) (%) Januari 1.433,22 1.330 7,76 Februari 1.473,78 1.330 10,81 Maret 1.435,55 1.330 7,94 April 1.393,68 1.330 4,79 Mei 1.393,42 1.330 4,77 Juni 1.468,26 1.330 10,40 Rataan 1.432,99 1.330 7,74 STDEV 31,69 - - CV(%) 2,21 - - Sumber : BPS, diolah. 1 Prajogo U. Hadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Harga Dasar Gabah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. VI-226

Dalam jangka yang sangat pendek (bulanan), harga jual gabah petani ternyata dipengaruhi secara positif oleh harga beras di tingkat grosir dan secara negatif oleh luas areal panen padi dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,409 dan 0,021. Artinya, setiap kenaikan (atau penurunan) harga beras di tingkat grosir 10% akan meningkatkan (atau menurunkan) harga gabah petani 4,09%, dan setiap kenaikan (atau penurunan) luas areal panen padi 10% harga jual gabah di tingkat petani akan turun (atau naik) 0,21% (ceteris paribus). Jika pada saat yang bersamaan harga beras di tingkat grosir turun (mungkin karena penurunan harga beras di pasar dunia dalam rupiah, meningkatnya impor beras atau meningkatnya pasokan dari produksi dalam negeri) dan luas areal panen padi meningkat, maka harga jual gabah di tingkat petani akan menurun lebih cepat. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin meningkatkan harga gabah petani guna memperbaiki tingkat pendapatan petani dan produksi beras nasional, maka HPP atau harga dasar gabah harus naik setiap tahunnya yang disertai dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat mencegah turunnya harga beras di tingkat grosir yaitu pengendalian impor beras dengan instrumen pengenaan tarif impor yang selama ini sebesar Rp 430/kg dan pengaturan impor. Ketentuan tentang importasi beras, sebagaimana yang tertuang dalam SK Memperindag No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras, adalah sebagai berikut : Impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP Beras) dan importir yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Beras (IT Beras). Impor beras dilarang dalam masa 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya (ditetapkan oleh Menteri Pertanian), dengan kata lain, impor beras hanya boleh dilakukan diluar masa-masa yang telah ditetapkan tersebut. Pelaksanaan importasi beras oleh IT beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan sesuai dengan persetujuan impor yang diberikan oleh Dirjen perdagangan Luar Negeri. Beras yang diimpor oleh IP Beras hanya boleh digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi industri yang dimilikinya dan dilarang diperjualbelikan atau dipindahtangankan. VI-227

Hasil analisis menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tarif dan pengaturan impor tersebut secara simultan berhasil mencegah turunnya harga beras di tingkat grosir sebesar 21,65% dan mencegah naiknya volume impor beras sebesar 2,3 juta ton 2. Upaya-upaya lain yang perlu ditempuh adalah : (1) mencegah terjadinya impor ilegal, baik yang tanpa dokumen maupun yang menggunakan dokumen palsu (pada tahun 2003 jumlah impor ilegal beras mencapai sekitar 1,63 juta ton 2 ); dan (2) BULOG perlu lebih mengutamakan melakukan pembelian beras dari dalam negeri pada saat panen raya dengan harga pembelian pemerintah (untuk gabah dan beras) dengan jumlah yang memadai untuk menyerap kelebihan produksi. D:\data\data\Anjak-2005\Kinerja Mikro Pemb. 2 Prajogo U. Hadi et al. 2004. Strategi dan Kebijakan Perdagangan Pertanian Pasca AoA-WTO. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor. VI-228