BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya kerusakan jaringan yang dimulai dari permukaan gigi (pit, fissures,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lengkung rahang dan kadang-kadang terdapat rotasi gigi. 1 Gigi berjejal merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh penggunaan susu botol atau cairan lainnya yang termasuk karbohidrat seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses

BAB 1 PENDAHULUAN. (SKRT, 2004), prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%. 1 Riset Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. dapat dipisahkan satu dengan lainnya sebab kesehatan gigi dan mulut akan

BAB I PENDAHULUAN. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk

BAB 2 PENGARUH PLAK TERHADAP GIGI DAN MULUT. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifactorial yaitu adanya beberapa faktor yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan umum seseorang banyak dipengaruhi oleh kesehatan gigi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Status Karies Gigi Pada Mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jakarta 1,2008

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sistemik. Faktor penyebab dari penyakit gigi dan mulut dipengaruhi oleh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. turut berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang. Berdasarkan hasil

BAB I PENDAHULUAN. mulut sejak dini. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai kebersihan mulut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengobatan (The World Oral Health Report 2003). Profil Kesehatan Gigi Indonesia

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tempat, yaitu PAUD Amonglare, TK Aisyiyah Bustanul Athfal Godegan,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang optimal meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial. Terdapat pendekatanpendekatan

BAB I PENDAHULUAN. penanganan secara komprehensif, karena masalah gigi berdimensi luas serta mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. kesehatan, terutama masalah kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan masyarakat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dan TK Aisyiyah Bustanul Atfal Godegan.

BAB I PENDAHULUAN. Community Dental Oral Epidemiologi menyatakan bahwa anakanak. disebabkan pada umumnya orang beranggapan gigi sulung tidak perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dan nilai gizi, berdasarkan data terbaru pada tahun , masalah

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORETIS. renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya

BAB I PENDAHULUAN. makanan sehingga membantu pencernaan, untuk berbicara serta untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dimana sebanyak 129,98 juta jiwa merupakan penduduk dengan jenis kelamin

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula seperti sukrosa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang memiliki peran penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dipisahkan satu dan lainnya karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. terhadap lingkungan dan umpan balik yang diterima dari respons tersebut. 12 Perilaku

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor penting dalam perkembangan normal anak. 1 Penyakit gigi dan

BAB I PENDAHULUAN. orang dewasa terdapat gigi tetap. Pertumbuhan gigi pertama dimulai pada

BAB I PENDAHULUAN. setiap proses kehidupan manusia agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. ini. Anak sekolah dasar memiliki kerentanan yang tinggi terkena karies,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dapat dialami oleh setiap orang, dapat timbul pada satu permukaan gigi atau lebih dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

Tahun 1999, National Institude of Dental and Craniofasial Research (NIDCR) mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi atau yang biasanya dikenal masyarakat sebagai gigi berlubang,

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling dominan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Berbagai macam bakteri ini yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keparahan karies gigi pada anak usia 4-6 tahun merupakan penelitian

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rasa Takut terhadap Perawatan Gigi dan Mulut. Rasa takut terhadap perawatan gigi dapat dijumpai pada anak-anak di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. (D = decayed (gigi yang karies), M = missing (gigi yang hilang), F = failed (gigi

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan sosialnya (Monica, 2007). Perawatan ortodontik merupakan salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mulut merupakan pintu gerbang utama di dalam sistem pencernaan. Makanan

Rata-rata nilai plak indeks (%)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Gambaran Klinis Karies Botol. atau cairan manis di dalam botol atau ASI yang terlalu lama menempel pada

BAB V HASIL PENELITIAN. Selatan dengan luas wilayah kerja seluas 14,87 Km 2, terdiri dari 3 wilayah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan gigi dan makanan sehat cenderung dapat menjaga perilaku hidup sehat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INDEKS DEF-T PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK SEKOTA BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Kualitas hidup terkait dengan kesehatan mulut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. indeks caries 1,0. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Perbandingan rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1 hingga 4:1.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2013 menunjukkan urutan pertama pasien

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah dengan kesehatan gigi dan mulutnya. Masyarakat provinsi Daerah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes,

BAB I PENDAHULUAN. 2004, didapatkan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 85%-99%.3

BAB 1 PENDAHULUAN. Karies gigi adalah proses perusakan jaringan keras gigi yang dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak ahli mengatakan bahwa kesehatan rongga mulut merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Terapi ortodontik belakangan ini menjadi populer. 1 Kebutuhan akan perawatan

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 1 : Data ph plak dan ph saliva sebelum dan sesudah berkumur Chlorhexidine Mean ± SD

BAB 1 PENDAHULUAN. hanya terjadi pada orang dewasa tapi juga pada anak-anak. Proses perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi dan radang gusi (gingivitis) merupakan penyakit gigi dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak kalah pentingnya yaitu pertumbuhan gigi. Menurut Soebroto

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang berkaitan dengan bagian tubuh yang lain. Dampak sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. menjadi dua yaitu gigi berjejal simpel dan gigi berjejal kompleks. Gigi

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan prevalensi nasional untuk masalah gigi dan mulut di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diterima oleh dokter gigi adalah gigi berlubang atau karies. Hasil survey

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kementerian Kesehatan Tahun 2010 prevalensi karies di Indonesia mencapai 60

BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambir adalah ekstrak kering dari ranting dan daun tanaman Uncaria gambir

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan gigi dan mulut saat ini masih menjadi keluhan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies 2.1.1 Definisi Karies Karies gigi merupakan penyakit pada jaringan gigi yang diawali dengan terjadinya kerusakan jaringan yang dimulai dari permukaan gigi (pit, fissures, dan daerah inter proksimal), kemudian meluas kearah pulpa. Karies gigi dapat dialami oleh setiap orang dan juga dapat timbul pada satu permukaan gigi atau lebih, serta dapat meluas ke bagian yang lebih dalam dari gigi, misalnya dari enamel ke dentin atau ke pulpa. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya karies gigi, diantaranya adalah karbohidrat, mikroorganisme dan saliva, permukaan dan anatomi gigi (Tarigan, 2015). Meningkatnya angka kejadian karies juga dihubungkan dengan peningkatan konsumsi gula. Karies gigi merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada anak-anak dan prevalensinya meningkat sejalan dengan pertambahan usia anak tersebut. Survei epidemologi terbaru yang dilakukan di Negara Timur Tengah menunjukkan bahwa karies pada anak relatif lebih tinggi dipengaruhi oleh diet (Surya, dkk., 2011).

2.1.2 Etiologi Karies Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi terjadinya karies (Shafer, 2012) 1. Host 2. Mikroorganisme 3. Substrat 4. Waktu Karies merupakan salah satu penyakit muktifaktorial yang terdiri dari empat faktor utama yang saling berinteraksi langsung di dalam rongga mulut. Empat faktor utama yang berperan dalam pembentukan karies yaitu host, mikroorganisme, substrat dan waktu (Shafer, 2012). Karies akan timbul jika keempat faktor tersebut bekerja sama. Selain faktor langsung di dalam mulut yang berhubungan dengan terjadinya karies, terdapat pula faktor tidak langsung atau faktor predisposisi yang juga disebut sebagai risiko luar, antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, lingkungan, sikap dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut (Laelia, 2011). 2.1.2.1 Faktor langsung a. Host Struktur dan komposisi gigi memiliki peran penting terhadap perkembangan lesi karies. Permukaan enamel yang terluar

diketahui lebih resisten terhadap karies dibandingan dengan permukaan enamel di bawahnya. Keadaan morfologi gigi juga berpengaruh terhadap perkembangan karies, hal ini disebabkan karena adanya pit dan fissure yang dalam pada permukaan gigi yang dapat menjadi tempat masuknya sisa-sisa makanan, bakteri dan debris. Penumpukan sisa-sisa makanan, bakteri dan debris yang tidak dibersihkan akan menyebabkan karies berkembang dengan cepat. (Shafer, 2012). Saliva merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan penting terhadap terjadinya karies. Sejak tahun 1901, Rigolet telah menemukan bahwa pasien dengan sekresi saliva yang sedikit atau tidak sama sekali yang biasanya disebabkan oleh adanya aprialismus, terapi radiasi kanker ganas, dan xerostomia, memiliki presentase karies gigi yang semakin meninggi. Selain itu juga sering ditemukan kasus pasien balita berusia 2 tahun dengan kerusakan atau karies pada seluruh giginya karena aplasia kelenjar parotis (Tarigan, 2015). b. Mikroorganisme Bakteri Streptococcus mutans dan bakteri Laktobacili merupakan dua bakteri yang berperan penting dalam proses terjadinya karies. Streptococcus mutans memiliki peran dalam proses awal pembentukan karies, setelah itu bakteri laktobacili meneruskan peran untuk membentuk kavitas pada enamel. Plak

gigi mengandung bakteri yang memiliki sifat acidogenic (mampu memproduksi asam) dan aciduric (dapat bertahan pada kondisi asam). Selama proses pembetukan lesi karies, ph plak turun menjadi dibawah 5,5 sehingga menciptakan suasana asam dan terjadi proses demineralisasi enamel gigi (Cameron, 2008). Enamel gigi dapat mengalami disolusi asam selama proses keseimbangan kembali dengan proses yang dikenal dengan istilah remineralisasi. Keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi dari enamel menentukan terjadinya karies gigi (Tarigan, 2015). c. Substrat Konsumsi karbohidrat seperti sukrosa yang dapat terfermentasi akan mempengaruhi pembentukan plak gigi dan membantu perkembangbiakan serta kolonisasi bakteri Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Konsumsi sukrosa secara berlebih dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak untuk memproduksi asam sehingga menyebabkan timbulnya karies (Heymann, 2013; Koch, 2009). d. Waktu Proses demineralisasi dan remineralisasi pada rongga mulut terjadi secara terus menerus, oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa seseorang tidak pernah terbebas dari karies. Karies akan terjadi jika terdapat gangguan keseimbangan antara proses demineralisasi dan remineralisasi. Proses ini ditentukan oleh

komposisi dan jumlah plak yang terdapat pada rongga mulut, konsumsi gula (frekuensi dan waktu), paparan fluoride, kualitas enamel dan respon imun. Asam dapat menyebabkan hancurnya kristal enamel sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada permukaan enamel. Hal ini dapat terjadi dalam kurun waktu bulan hingga tahun tergantung pada intensitas dan frekuensi suasana asam terjadi (Cameron, 2008). 2.1.2.2 Faktor tidak langsung a. Ras (suku bangsa) Pengaruh ras terhadap terjadinya karies gigi sangat sulit ditentukan. Namun demikian, bentuk tulang rahang suatu ras bangsa mungkin dapat berhubungan dengan presentase terjadinya karies yang semakin meningkat atau menurun. Misalnya, pada ras tertentu dengan bentuk rahang yang sempit sehingga gigi-geligi pada rahang tumbuh berjejal yang menyebabkan seseorang sulit membersihkan gigi-geligi secara keseluruhan sehingga akan meningkatkan presentase karies pada ras tersebut (Tarigan, 2015). Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan pendapat antara hubungan ras (suku bangsa) dengan prevalensi karies. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi dan keadaan lingkungan sosial yang dipengaruhi oleh perbedaan pendidikan, pendapatan dan ketersediaan akses pelayanan

kesehatan yang berbeda disetiap ras (suku bangsa) (Fejerskov, 2008). b. Usia Prevalensi karies meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena gigi lebih lama terpapar dengan faktor resiko penyebab karies, oleh karena itu penting untuk memahami dan mengendalikan faktor risiko untuk mencegah timbulnya lesi karies baru atau memperlambat perkembangan lesi karies yang sudah ada (Fejerskov, 2008; Heymann, 2013). c. Jenis kelamin Prevalensi karies gigi permanen dan gigi sulung pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibanding anak lakilaki, sehingga gigi anak perempuan terpapar faktor resiko karies lebih lama (Fejerskov, 2008). d. Keturunan Orang tua dengan karies yang rendah anak-anaknya cenderung memiliki karies yang rendah, sedangkan orang tua dengan karies yang tinggi anak-anaknya cenderung memiliki karies yang tinggi pula. (Shafer, 2012). Namun penelitian ini belum dipastikan penyebabnya karena murni genetik, transmisi bakteri atau kebiasaan makan dan perilaku dalam menjaga kesehatan gigi yang sama dalam suatu keluarga (Fejerskov, 2008).

e. Status sosial ekonomi Anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah memiliki indeks DMF-T lebih tinggi dibandingkan dengan anakanak dari keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi (Tulongow, 2013). Hal ini disebabkan karena status sosial ekonomi akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam upaya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Fejerskov, 2008). Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua yang dapat mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku seseorang dalam upaya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Susi, 2012; Heymann, 2013). f. Sikap dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi 1. Perilaku menggosok gigi Perilaku memegang peranan yang penting dalam mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut, salah satunya adalah perilaku menggosok gigi (Anitasari, 2005). Beberapa penelitian menunjukan bahwa kebiasaan menggosok gigi, frekuensi menggosok gigi dan penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride berpengaruh terhadap kejadian karies (Lakhanpal, 2014). Menggosok gigi dua kali sehari dengan menggunakan pasta gigi mengandung fluoride dapat menurunkan angka kejadian karies (Angela, 2005).

2. Penggunaan dental floss Dental floss atau benang gigi merupakan alat yang digunakan untuk menghilangkan sisa makanan dan plak pada daerah yang sulit dijangkau oleh sikat gigi, seperti pada daerah interproksimal. Pembersihan plak pada daerah interproksimal dianggap penting untuk memelihara kesehatan gingiva, pencegahan karies dan penyakit periodontal. Penggunaan dental floss sebaiknya dilakukan sebelum menggosok gigi, karena dapat membersihkan daerah interdental yang tidak bisa dicapai dengan sikat gigi dan fluor yang terkandung dalam pasta gigi lebih mudah mencapai bagian interproksimal sehingga dapat membantu melindungi permukaan gigi dari terbentuknya plak (Magfirah, 2014). 2.1.3 Patofisiologi Karies Proses terjadinya karies ditandai dengan adanya proses demineralisasi dan juga hilangnya struktur gigi. Bakteri Streptococcus mutans pada plak gigi memetabolisme karbohidrat (gula) sebagai sumber energi kemudian memproduksi asam sehingga menyebabkan menurunnya ph plak (<5.5). Penurunan ph menyebabkan terganggunya keseimbangan ion kalsium dan fosfat sehingga mengakibatkan hilangnya mineral enamel gigi dan terjadinya proses demineralisasi. Pada keadaaan dimana ph sudah kembali normal dan terdapat ion kalsium dan fosfat pada gigi maka mineral akan kembali ke enamel gigi, proses ini disebut sebagai proses remineralisasi. Karies merupakan proses dinamis

tergantung pada keseimbangan antara proses demineralisasi dan remineralisasi. Proses demineralisasi yang terus berulang akan menyebabkan larut dan hancurnya jaringan keras gigi yang dapat dilihat dengan adanya lesi karies atau kavitas (Heymann, 2013). 2.1.4 Penatalaksanaan Karies Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya karies. Mengenali penyebab terjadinya karies merupakan hal terpenting agar mengetahui bagaimana tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya karies tersebut. Pencegahan karies gigi dapat dilakukan dengan cara : 1) Mengurangi pertumbuhan bakteri patogen sehingga hasil metabolismenya berkurang. 2) Meningkatkan ketahanan permukaan gigi terhadap proses demineralisasi. 3) Meningkatkan ph plak.5-7 Untuk mengurangi pertumbuhan bakteri patogen dapat dilakukan dengan membuang struktur gigi yang sudah rusak pada seluruh gigi dengan karies aktif dan membuat restorasi. Salah satu bahan yang efektif untuk mencegah karies adalah sealents. Ada tiga keuntungan penggunaan sealents. Pertama, sealents akan mengisi pits dan fissures dengan resin yang tahan terhadap asam. Kedua, karena pits dan fissures sudah diisi dengan sealents, maka bakteri kehilangan habitat. Ketiga, sealents yang menutupi pits dan fissures mempermudah pembersihan gigi (Ritter, 2013). Penatalaksanaan karies dilakukan dengan cara melakukan identifikasi untuk mengetahui apakah pasien mempunyai karies aktif, apakah pasien termasuk

kelompok yang beresiko tinggi mengalami karies. Setelah itu dapat dilakukan pencegahan perkembangan karies lebih luas, serta dilakukan penanganan yang tepat. Pada ilmu kedokteran gigi modern, terdapat perubahan pola penanganan karies dimana titik berat dari penanganan karies tersebut adalah pada proses pencegahan karies itu sendiri. Program pencegahan dan penatalaksanaan karies adalah proses yang sangat kompleks karena melibatkan banyak faktor. Konsep penanganan karies modern lebih dikenal sebagai konsep intervensi minimal. Konsep intervensi minimal ini menempatkan restorasi sebagai usaha paling akhir dalam perawatan karies gigi. Restorasi adalah metode efektif untuk mengontrol proses karies gigi yang aktif, karena membuang struktur gigi yang rusak dan menghilangkan habitat bakteri, walaupun tidak untuk mengobati proses terjadinya karies. Restorasi dilakukan apabila telah terbentuk kavitas. Tingkat keberhasilan dari pencegahan dan perawatan karies gigi, tergantung pada kondisi restorasi yang sudah dilakukan sebelumnya. Permukaan restorasi yang kasar akan menyebabkan terjadinya penumpukan plak, selain itu juga bentuk yang tidak sesuai dengan anatomi gigi akan menyebabkan tidak terjadinya kontak proksimal. Kondisi ini harus segera ditaggulangi atau diganti untuk mencegah terjadinya karies sekunder. Memberikan edukasi kepada pasien tentang penyebab karies dan mengajarkan pasien untuk bertanggung jawab menjaga kebersihan rongga mulut juga sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya keries sekunder dan juga dapat menunjang keberhasilan perawatan karies gigi (Sibarani, 2014).

2.1.5 Indeks Karies 2.1.5.1 Indeks karies gigi permanen Insidens dan keparahan karies gigi dapat diukur dengan indeks karies yaitu angka yang menunjukkan jumlah gigi yang karies pada seseorang atau kelompok orang, untuk mengukur insidens dan keparahan karies pada gigi permanen digunakan indeks DMF-T (Decay Missing Filling Teeth). Nilai DMF-T adalah angka yang menunjukkan jumlah gigi dengan karies pada seseorang atau sekelompok orang (Indrawati, 2013 dan Sibarani, 2014) : Angka D = Decay : Gigi yang berlubang karena karies gigi. Angka M = Missing : Gigi yang dicabut karena karies gigi atau terdapat sisa akar. Angka F = Filling : Gigi yang ditambal atau ditumpat karena karies dan dalam keadaan baik Perhitungan DMF-T untuk individu : DMF-T = Decay (D) + Missing (M) + Filling (F) Perhitungan DMF-T untuk populasi : DMF-T = Klasifikasi tingkat keparahan karies gigi pada usia 12 tahun atau lebih dikategorikan menjadi lima kategori (Indrawati, 2013) yaitu : 1. Tingkat keparahan sangat rendah dengan nilai DMF-T sebesar 0,0 1,0.

2. Kemudian, tingkat keparahan rendah dengan nilai DMF-T sebesar 1,2 2,6. 3. Tingkat keparahan sedang dengan nilai DMF-T sebesar 2,7 4,4. 4. Dan tingkat keparahan tinggi dengan nilai DMF-T sebesar 4,5 6,5. 5. Serta tingkat keparahan sangat tinggi dengan nilai DMF-T sebesar > 6,6. Perhitungan DMF-T berdasarkan pada 28 gigi permanen, adapun gigi yang tidak dihitung adalah sebagai berikut : 1. Gigi molar ketiga 2. Gigi yang belum erupsi. Gigi disebut erupsi apabila ada bagian gigi yang menembus gusi baik itu erupsi awal (clinical emergence), erupsi sebagian (partial eruption) maupun erupsi penuh (full eruption) 3. Gigi yang tidak ada karena kelainan kongenital dan gigi berlebih (supernumerary teeth) 4. Gigi yang hilang bukan karena karies, seperti impaksi atau perawatan ortodontik 5. Gigi tiruan yang disebabkan karena trauma, untuk kepentingan estetik dan jembatan 6. Gigi susu yang belum tanggal

2.1.5.2 Indeks karies gigi sulung Indeks yang digunakan untuk menilai status karies pada gigi sulung adalah indeks def-t (decayed, extracted/indicated for extraction, filling tooth). Kriteria pencatatan def-t : a. Decayed (d) : Semua gigi sulung yang mengalami karies, karies sekunder pada tumpatan, gigi dengan tumpatan sementara. b. Extracted/indicated for extraction (e) : Gigi sulung yang hilang atau dicabut karena karies atau sisa akar gigi yang terdapat karies tidak dapat ditumpat dan diindikasikan untuk dicabut. c. Filling (f) : Gigi sulung dengan tumpatan permanen. Perhitungan def-t berdasarkan pada 20 gigi sulung, adapun gigi yang tidak dihitung adalah sebagai berikut : gigi yang hilang termasuk gigi anerupsi dan gigi yang hilang secara kongenital, gigi super-numerari, dan gigi yang direstorasi untuk alasan lain selain karies gigi (Christian, dkk., 2016). Rumus penghitungan def yaitu : Jumlah d (Decay) + e (indices for extraction) + f (filling). Untuk menghitung rata-rata dari def di gunakan rumus: Klasifikasi tingkat keparahan karies gigi pada usia <12 tahun dikategorikan menjadi lima kategori (Oktavilia, dkk., 2014) yaitu : 1. Tingkat keparahan sangat rendah dengan nilai def-t sebesar 0,0 1,0.

2. Kemudian, tingkat keparahan rendah dengan nilai def-t sebesar 1,2 2,6. 3. Tingkat keparahan sedang dengan nilai def-t sebesar 2,7 4,4. 4. Dan tingkat keparahan tinggi dengan nilai def-t sebesar 4,5 6,5. 5. Serta tingkat keparahan sangat tinggi dengan nilai def-t sebesar > 6,6. 2.1.5.3 Indeks karies mix dentition Indeks yang digunakan untuk menilai status karies pada anak-anak dengan periode mix dentition adalah indeks DMF-T dan def-t yang dilakukan secara terpisah dan tidak dijumlahkan (Marya, 2011). Untuk menentukan kehilangan gigi karena karies atau tanggal fisiologis yaitu dengan cara memperhatikan : 1. Usia pasien yang mendekati waktu gigi tanggal fisiologis 2. Bentuk ridge yang cekung menandakan gigi yang hilang karena karies, sedangkan bentuk ridge yang datar menandakan gigi yang hilang karena tanggal fisiologis dan terkadang gigi permanen penggantinya telah terlihat 3. Indeks DMF/def yang tinggi karena adanya kehilangan gigi akibat karies terutama gigi dengan posisi berdekatan dan kontra lateral 4. Kebersihan rongga mulut pasien, karena kebersihan rongga mulut yang buruk berhubungan dengan adanya karies Untuk menentukan kehilangan gigi karena karies atau persayaratan perawatan ortodontik yaitu dengan cara memperhatikan:

1. Berdasarkan jenis gigi, dalam perawatan ortodontik gigi yang biasanya diekstraksi adalah gigi 4 atau 5, namun kasus kehilangan gigi karena karies dapat melibatkan semua gigi. 2. Gigi yang hilang bilateral dan atau berlawanan biasanya terkait dengan perawatan ortodontik, namun tidak sama dalam kasus kehilangan gigi karena karies 3. Indeks DMF/def yang tinggi biasanya karena kehilangan gigi akibat karies terutama gigi dengan posisi berdekatan dan kontra lateral 4. Kebersihan rongga mulut pasien, karena kebersihan rongga mulut yang buruk berhubungan dengan adanya karies gigi 5. Adanya crowding atau alat ortodontik pada perawatan ortodontik 2.2 Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman dan penelitian terbentuknya perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama melekat daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan siswa sangat penting dalam mendasari terbentuknya perilaku yang mendukung atau tidaknya kebersihan gigi dan mulutnya. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara alami maupun secara terencana yaitu salah satunya melalui proses pendidikan. Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin

tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi (Ignatia, 2013). Pengetahuan kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diberikan sejak usia dini, karena pada usia dini anak mulai mengerti akan pentingnya kesehatan serta larangan yang harus dijauhi atau kebiasaan yang dapat mempengaruhi keadaan giginya. Pemberian pengetahuan kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diberikan pada anak usia sekolah (Ignatia, 2013). 2.3 Sikap Perawatan Gigi Sikap merupakan suatu komponen dari perilaku, dimana sikap belum berupa suatu wujud yang nyata atau merupakan respon tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak secara langsung dilihat, akan tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap dalam kehidupan sehari-hari merupakan respon yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap dapat diperkuat dengan adanya suatu kepercayaan atau ketertarikan terhadap suatu objek. Sikap merupakan kesiapan untuk bertindak, selain itu juga merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku, sikap mempunyai tiga komponen : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu stimulus atau objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi pada suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak. Sikap Memiliki empat tingkatan : 1. Menerima (receiving), diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

2. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan melaksanakan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi dari masalah. 3. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan suatu masalah. 4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya. Betanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilakukan dengan menanyakan secara langsung pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Sikap seorang anak yang baik akan dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai pemeliharaan kesehatan gigi. Misalnya seorang anakyang selalu mencari pengetahuan mengenai pemeliharaan kesehatan gigi atau mendiskusikan mengenai kesehatan gigi dengan orang tua, guru, dan dokter gigi, ini adalah bukti bahwa anak tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap kesehatan gigi. 2.4 Perilaku Perawatan Gigi Perilaku merupakan hasil dari seluruh pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungannya. Pengetahuan, sikap, dan tindakan merupakan wujud dari perilaku tersebut. Perilaku manusia cenderung bersifat menyeluruh (holistik) dan merupakan pencerminan dari berbagai unsur kejiwaan yang mencakup hasrat, sikap, reaksi, rasa takut, atau cemas, dan sebagainya. Oleh karena itu, perilaku

manusia dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor-faktor yang ada dalam diri manusia atau unsur kejiwaannya Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berhubungan dengan konsep sehat, sakit, dan penyakit. Sedangkan perilaku kesehatan gigi adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan yang berkaitan dengan konsep sehat dan sakit gigi serta upaya pencegahannya. Bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga wujud, yaitu : a. Perilaku dalam wujud pengetahuan yakni dengan mengetahui situasi dan rangsangan dari luar yang berupa konsep sehat, sakit, dan penyakit. b. Perilaku dalam wujud sikap yakni tanggapan batin terhadap rangsangan dari luar yang dipengaruhi faktor lingkungan: fisik yaitu kondisi alam; biologis yang berkaitan dengan makhluk hidup lainnya; dan lingkungan sosial yang berkaitan dengan masyarakat sekitarnya. c. Perilaku dalam wujud tindakan yang sudah nyata, yakni berupa perbuatan terhadap situasi atau rangsangan luar. Setiap anak yang datang berkunjung ke dokter gigi memiliki kondisi kesehatan gigi yang berbeda-beda dan akan memperlihatkan perilaku yang berbeda pula terhadap perwatan gigi yang akan diberikan. Ada anak yang bersikap kooperatif terhadap perawatan gigi dan ada juga yang menolak untuk dilakukan pemeriksaan gigi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik dari internal anak itu sendiri maupun dari eksternal seperti pengaruh orang tua, dokter gigi, maupun lingkungan klinik gigi (Kharani, 2013).

Beberapa ahli telah mengembangkan sistem untuk mengklasifikasikan perilaku anak di klinik gigi. Pemahaman tersebut sangat penting. Pemahaman atau pengetahuan tersebut dapat menjadi aset untuk dokter gigi dalam beberapa hal, yakni: a. Membantu dalam penentuan metode manajemen perilaku yang tepat b. Menjadi sarana yang bersifat sistematis dalam merekam perilaku pasien c. Membantu dalam mengevaluasi validitas penelitian saat ini. Berikut adalah beberapa klasifikasi perilaku pasien terhadap perawatan gigi dan mulut menurut beberapa ahli. 2.4.1 Klasifikasi perilaku anak menurut Wright Menurut Wright, perilaku anaksecara umum dapatdiklasifikasikan menjadi tiga kategori yakni: a. Kooperatif (Cooperative) Sikap kooperatif ini ditunjukkan dengan sikap anak yang cukup tenang, memiliki rasa takut yang minimal, dan antusias terhadap perawatan gigi dan mulut yang diberikan. Anak dengan sikap kooperatif memudahkan dokter gigi dalam melakukan perawatan dan pendekatan yang dapat dilakukan, yakni dengan menggunakan teknik tell show do (TSD). b. Tidak mampu kooperatif (Lacking in cooperative ability) Kategori ini terdapat pada anak-anak yang masih sangat muda misalnya anak usia dibawah 3 tahun dengan kemampuan komunikasi yang terbatas dan pemahaman yang kurang mengenai perawatan yang

akan dilakukan. Kelompok lain yang termasuk dalam kategori tidak mampu kooperatif adalah mereka dengan keterbatasan fisik maupun mental. Oleh karena itu, anak dengan kondisi seperti ini membutuhkan teknik manajemen perilaku yang khusus, misalnya dengan menggunakan premedikasi maupun anastesi umum. c. Berpotensi kooperatif (Potentially cooperative) Kategori perilaku ini berbeda dengan tidak mampu kooperatif. Karena anak dalam kategori ini memiliki kapabilitas untuk menjadi kooperatif. Sehingga diperlukan kompetensi dokter gigi yang mampu melakukan manajemen perilaku dalam mengembangkan potensi kooperatif menjadi kooperatif. Klasifikasi perilaku yang dikemukakan oleh Wright masih memiliki kelemahan. Ketiga klasifikasi tersebut masih sulit untuk ditegakkan secara klinis. Terutama untuk kategori perilaku berpotensi kooperatif karena belum ada penjelasan mendetail tentang ciri khas pasien anak yang berpotensi kooperatif. Hal ini menyebabkan para ahli terus mengkaji dan mengembangkan sistem klasifikasi perilaku menjadi lebih detail sehingga dapat dengan mudah ditegakkan secara klinis. 2.4.2 Perilaku siswa usia 9-12 tahun Faktor umur sangat mempengaruhi perilaku anak terhadap perawatan gigi dan mulut. Anak dengan usia sangat muda sering menunjukkan perilaku kurang kooperatif terhadap perawatan gigi dan mulut. Anak usia 9 sampai 12 tahun biasanya mampu menangani ketakutan terhadap

prosedur perawatan gigi karena dokter gigi dapat menjelaskan apa yang akan dilakukan dan alasan kenapa perawatan tersebut dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Mittal dan Sharma pada tahun 2013 pada 180 anak usia 9-12 tahun menunjukkan bahwa semua anak pada penelitian tersebut berperilaku kooperatiif. Sebanyak 92.22% anak memiliki persepsi yang positif terhadap perawatan gigi dan mulut Mereka menunjukkan sikap senang dan bahagia. Bahkan lima anak di antara mereka menunjukkan ambisi atau cita-citanya untuk menjadi dokter gigi (Mittal, 2012). 2.5 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Kejadian Karies Berdasarkan penelitian tentang status karies, pengetahuan sikap dan perilaku kesehatan gigi dan mulut pada anak di pedesaan yang dilakukan oleh Yuliana Kadir, ditemukan bahwa 50,61% anak sadar bahwa karies menimbulkan masalah terhadap gigi dan mulut, 58% anak sadar bahwa makanan manis dan cokelat dapat menyebabkan karies gigi, serta 58, 97% anak hanya mengunjungi dokter gigi ketika giginya bermasalah atau ada keluhan sakit gigi. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa pengetahuan kesehatan gigi anak masih sangat rendah. Maka dari itu diperlukan dukungan dari orangtua dan guru dalam usaha memperbaiki kesehatan gigi dan mulut. Pengetahuan kesehatan gigi merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang perilaku kesehatan gigi anak. Namun tidak semua pengetahuan yang didapatkan bisa dipraktikkan. Pendidikan kesehatan gigi yang diberikan kepada anak sejak dini sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang faktor

risiko terjadinya penyakit gigi dan mulut, salah satunya adalah karies. Akan tetapi, pendidikan akan tetap terbatas jika tidak disertai dengan perilaku dan faktor-faktor lain yang dapat mendukungnya misalnya lingkungan, pendidikan, status sosial, dan faktor ekonomi (Smyth, dkk., 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Bangalore, India tentang hubungan prevalensi karies gigi molar pertama permanen dan pengetahuan kesehatan gigi dan perilakunya pada siswa usia 9-12 tahun, prevalensi karies gigi molar pertama permanen tertinggi terjadi pada usia 12 tahun, dan terendah pada usia 9 tahun. Menurut penelitian ini, angka karies gigi molar pertama permanen anak akan meningkat seiring bertambahnya usia. Seorang anak yang perilaku kesehatan gigi dan mulutnya baik juga akan memiliki gigi yang baik pula dibandingkaan dengan teman-temannya (Ambildhok, dkk., 2014).