BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak kandungnya ditengah-tengah masyarakat dianggap tidak lazim oleh mereka. Keretakan dalam hubungan rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini. Namun hal ini ternyata bukan jaminan sebagai simpulan atas kejadian itu. Justru kejadian ini muncul pada keluarga yang oleh masyarakat sekitarnya dianggap baik-baik saja dan jarang terjadi masalah. Masyarakat disekitar tidak dapat menerka bahwa akan terjadi persetubuhan sedarah diwilayahnya. Bahkan masyarakat menilai subjek pelaku, dalam hal ini adalah ayah, merupakan sosok yang baik karena dalam kesehariannya selalu menampilkan kesantunan dan kesopanan. Selain itu subjek pelaku juga termasuk warga yang rajin dalam kegiatan bersama di masyarakat. Hal-hal yang seperti ini kemudian menjadikan masyarakat tidak memiliki kecurigaan terhadap para subjek pelaku jika memiliki kemungkinan untuk melakukan persetubuhan dengan anak kandungnya. Dapat dikatakan bahwa ketika ada kasus incest ini masyarakat disekitar subjek pelaku cenderung kaget dan tidak mempercayai jika hal itu terjadi di wilayah mereka. Tidak bisa pula kita menuduh jika masyarakat memiliki kesan melakukan pembiaran terhadap incest diwilayahnya. Pada intinya mereka juga tidak sepakat dengan kejadian incest tersebut terjadi. Namun juga tidak melakukan apa-apa agar kejadian incest tidak muncul ditempat mereka hidup. Hal ini terjadi bukan karena tanpa sebab, didalam masyarakat sendiri terdapat
beragam wacana yang juga saling kontradiktif. Disana terdapat wacana (discourse) mengenai kerukunan, wacana mengenai moral agama, wacana tentang kepatuhan terhadap hukum, bahkan wacana yang dimunculkan oleh subjek pelaku itu sendiri. Wacana itu silih berganti menyelubungi kejadian incest dalam pembahasannya. Wacana yang dimunculkan oleh subjek pelaku disini merupakan yang paling lemah diantara lainnya. Karena wacana ini pada dasarnya tidak terlembagakan dalam bentuk yang baku, bahkan subjekpun menjadi tidak konsisten dengan wacananya sendiri. Dirinya terkadang akan masuk melebur dalam wacanawacana lain yang melingkupinya. Seperti diketahui jika terdapat kegagalan oleh masyarakat dalam melakukan aksi preventif agar incest tidak terjadi. Kegagalan ini terjadi karena dalam sehari-hari pembicaraan mengenai seks ditempatkan secara negatif. Seks adalah hal tabu untuk diperbincangkan dan dipertontonkan. Sehingga seks sendiri sebenarnya ada dalam tiap diri, namun tidak pernah muncul ke permukaan. Seks memiliki porsi tentang kebenarannya, diatur keberadaannya, dan wilayah pembicaraannya. Seks yang benar adalah melalui bentuk-bentuk kesakralan yang dibentuk oleh institusi-institusi dari struktur sosial yang ada pada saat ini. Seks dikanalisasi sebagi bentuk hubungan-hubungan yang normatif, seperti perkawinan. Dalam masyarakat, incest tidak selalu hadir sebagai bahasa yang mereka temui sehari-hari. Maka dari itu ketika muncul kasus incest tersebut maka kegaduhan, kekagetan, atau kepanikanlah yang terjadi disini. Ketika masyarakat itu tidak akrab dengan incest maka untuk membahasakannya mereka pada akhirnya menggunakan wacana hukum dan agama. Struktur sosial secara jelas telah melarang perbuatan incest ini ada dalam realitas kehidupan. Institusi-intitusi yang ada dalam struktur sosial mendefinisikan ayah pelaku incest dengan berbagai bahasa. Tindakan incest dianggap sebagai yang a moral, dilaknat Tuhan,
dan pelakunya adalah seorang kriminal. Penandaan terhadap pelaku ini seakan menunjukkan kokohnya struktur yang ada. Struktur sosial dengan berbagai upaya melakukan determinasi agar tidak terjadi incest diwilayahnya. Sehingga diperlukan ragam represi untuk menekan hasrat melakukan incest itu. Bahasa dibangun menjadi salah satu bentuk untuk menekan hasrat tersebut tidak muncul. Bahasa tunggal mengenai incest inilah yang juga mengakibatkan kejadian itu muncul, karena setiap individu enggan untuk menjelaskan hal ini karena begitu takut dengan ketabuan. Sesungguhnya pada saat ini pelaku incest yang terdapat pada penelitian ini terjebak pada situasi yang ambivalen. Dimana satu sisi, pelaku incest berada dalam lingkaran struktur yang telah dipahaminya sebagai citra diri dan untuk bisa diterima secara sosial dimasyarakat. Sedangkan disisi lain, dia sedang memperjuangkan dirinya sebagai subjek untuk mengatasi krisis pemuasan seksual akibat adanya struktur dalam dirinya. Walaupun pada saat itu juga ayah pelaku incest masih selalu mencari mode penikmatannya. Penikmatan itu hadir seperti layaknya gambaran saja, namun sulit untuk diungkapkan secara verbal. Struktur (dalam bentuk bahasa) sekarang selayaknya hanya menjadi batu nisan atau monumen yang saat dekat subjek begitu menunduk hormat, sedangkan saat jauh yang terjadi adalah keguncangan pada diri (antara patuh pada struktur atau mengikuti hasrat seksuil itu). Keguncangan pada diri itulah yang telah mengarahkan menjadi subjek pelaku incest. Hal ini dapat terjadi kapan dan pada siapapun juga, karena bahasa sesungguhnya dapat mudah dimainkan oleh subjek. Alih-alih subjek patuh pada struktur yang melarangnya untuk bersetubuh dengan anak kandungnya, dengan alasan bahwa merasa struktur tidak hadir disitu. Walaupun sesungguhnya subjek sendiri tidak alpa dengan adanya struktur secara keseluruhan, namun dia hanya lebih mengutamakan penikmatannya ketimbang harus
menahan diri dan patuh terhadapnya. Subjek menyadari bahwa tindakan (bersetubuh dengan anak kandung) yang dilakukannya itu merupakan hal terlarang baginya, namun barangkali diapun tetap tidak memahami hal yang membuatnya harus memilih anak kandungnya untuk bersetubuh. Selain itu keluarga atau rumah tangga menjadi begitu tertutup dari institusi-institusi besar diluarnya ketika terjadi kejadian seperti incest itu. Rumah, merupakan wilayah otonom bagi sebuah keluarga atau rumah tangga. Dimana keluarga merasa bahwa urusan didalam rumah adalah tanggung jawab dari mereka sendiri. Cara berpikir seperti ini adalah celah bagi seseorang untuk bebas untuk melakukan sesuatu bahkan jika itu adalah bertentangan dengan aturan struktur besar, karena merasa bahwa dia sedang berada diwilayah yang dimiliki dan dikuasainya. Didalam itu, selanjutnya sang ayah dalam konteks penelitian ini mampu membingkai hasratnya seksuilnya dengan cara yang sublimatif yaitu ketika berperan menjadi ayah dan sekaligus partner berhubungan seksual (intercourse) anak kandungnya. Hal ini merupakan pukulan telak bagi struktur yang mana telah membahasakan ayah sebagai figur yang mengayomi dan melindungi baik secara fisik maupun ekonomi untuk anaknya, justru yang terjadi ayah itu mengabaikan adanya bahasa seperti itu dan membalik keadaannya. Wacana ini pula yang menyebabkan masyarakat enggan untuk menyentuh rumah tangga pada tiap-tiap individu, atas nama kerukunan dan harmoni antar warga maka persetubuhan sedarah itu tetap tersimpan didalam rumah itu sendir sampai orang-orang yang berada didalamnya mengungkapkannya sendiri. Hal ini menunjukkan hanya melalui bahasa saja ternyata tidak cukup bagi subjek untuk menekan terjadinya tindakan incest tersebut. Karena tetap saja subjek dapat melepaskan hasratnya untuk melakukan persetubuhan dengan anak kandungnya. Sehingga
diperlukan mekanisme represi yang lebih nyata dan visual untuk menyadarkan subjek tersebut akan adanya kuasa struktur. Bukan hanya pada tataran bahasa saja yang berada di wilayah pikiran melainkan tubuh juga perlu menanggung beban represi itu. Mekanisme pendisiplinan tubuh dilakukan dengan sangat terlihat yaitu dengan pemenjaraan. Tubuh dihukum atas dasar telah melakukan penyimpangan terhadap kebenaran seksual yang dibangun oleh kekuasaan. Institusi hukum negara menjadi yang paling depan untuk melakukan pendisiplinan ini. Walaupun pendisiplinan tubuh juga sebelumnya telah dilakukan oleh agama dan masyarakat sekitarnya. Agama dengan tata cara peribadatan, melalui puasa atau sholat dianggap dapat menekan hasrat seksual. Melalui gotong royong maka subjek/individu akan mendapat peran fungsionalnya di masyarakat. Namun hukum Negara menjadi pendisiplin paling ketat dan memiliki prosedur yang kasat mata. Disini individu dijauhkan dari ruang kekuasaannya (rumah) bahkan dari tubuh yang diinginkannya. Lalu didalam penjara mereka kemudian di normalisasi, dalam bahasa yang digunakan oleh aparatus hukum, mereka akan dibentuk dan diperbaiki di tempat ini agar ketika keluar dari penjara nanti akan menjadi manusia yang lebih baik. Dampak dari pendisiplinan ini bukan hanya kepada subjek pelaku incest saja tentunya, melainkan juga kepada masyarakat disekitar mereka. Karena mekanisme represi melalui pendisiplinan tubuh ini selain untuk menaklukan tubuh yang dianggap tercela, ditujukan pula secara massal agar mereka akhirnya juga menjadi subjek yang patuh. B. Refleksi Kritis Dalam penelitian mengenai incest berikut larangan dan represinya yang menarik adalah menggabungkan dua bidang studi yang bukan tidak mungkin dapat saling bersinergi yaitu Sosiologi dan Psikologi. Bukan hanya untuk melihat perilaku individu dengan lingkungan
sosialnya, juga untuk melacak hasrat seksual yang berada dalam alam ketidaksadaran subjek itu. Namun bukan juga tanpa resiko, didalam sosiologi menuntut bentuk objek material dari suatu bentuk hubungan. Sedangkan dalam psikologi, yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan psikoanalisa, ruang penggalian data itu lebih banyak ada didalam pikiran manusia. Sehingga perlu ketelitian dan kejelian dari penelitinya untuk dapat membuat sinergi kedua disiplin ilmu itu dalam kajiannya. Penelitian yang saya lakukan ini tidak juga sempurna, yang saya sadari juga memiliki kekurangan. Saya sangat berharap bahwa kajian ini tidak berhenti sampai pada titik ini saja. Akan ada kajian-kajian lain yang sejenis dengan paradigma-paradigma lain yang pada akhirnya dapat memperkaya ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan membuka mata kita terhadap tema-tema seksualitas yang sering dianggap minor, menjadi sangat menarik untuk dibicarakan dan memiliki nilai guna di masyarakat. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa penelitian ini bukan tanpa resiko dan kekurangan sehingga perlu juga melakukan refleksi atas kajian yang saya lakukan sendiri. Menggunakan teknik psikoanalis sebagai pendekatan penelitian untuk konteks sosiologis bukannya tidak mungkin untuk dilakukan karena sosiologi tidak menutup adanya teknik life story dalam penggalian datanya. Dalam psikoanalisis data bisa saja dihasilkan oleh subjek penelitian itu saja, sehingga dikhawatirkan peneliti terhanyut dalam discourse milik subjek itu sendiri. Dengan didukung life story ala Bertaux dan kawan-kawan mengijinkan kita untuk juga melacak subjek melalui wacana-wacana yang ada disekitarnya melalui informan lain (masyarakat misalnya). Sehingga data bisa didapatkan melalui pengalaman subjek sendiri, masyarakat, aparatus lembaga sosial, dan peneliti sendiri. Disinilah kita dapat melihat mengenai hasrat seksual, tabu, larangan, dan juga represinya dalam satu kajian.
Psikoanalisis ala Lacan mendasarkan pada bentuk-bentuk bahasa yang menyelubungi subjek dan meyakini bahwa hal inilah yang mengatur dan mengarahkan subjek itu selama hidupnya. Sehingga represi struktur sosial melalui bahasa dianggap dapat efektif membentuk diri manusia. Namun bahasa tetap merupakan bahasa, berada didalam ruang pikiran subjek sehingga hanya dapat keluar melalui pengujaran subjek itu sendiri. Tentunya hal ini akan menyulitkan bagi peneliti untuk menggali secara mendalam jika hanya berfokus ingin mengkaji mengenai seksualitas, yang mana seksualitas yang sedang dikaji dianggap sebagai patologi. Terlalu ambisius untuk menggali data mengenai hasrat seksul akan cenderung buntu jika kondisinya seperti itu. Karena subjek akan kembali dibahasakan dalam discourse (wacana) dominan yang umum didalam masyarakat, dan itu menyelubunginya. Lacan menyadari hal itu, maka dari itu saran-saran atau analisis dalam psikoanalisis sebenarnya hanya selesai didalam ruang praktik konsultasi saja. Hal ini terjadi pula pada penelitian ini, peneliti menjadi seakan memaksa subjek untuk mengungkapkan mengenai hasrat dan detail tentang kejadian persetubuhan subjek dengan anak kandungnya, secara tidak langsung membuat subjek terarah untuk menyudutkan dirinya sendiri dengan mengakui bahwa melakukan kesalahan, melanggar norma, hukum, dan agama. Hal ini dikritik keras oleh Foucault bahwa pengakuan tidak membuat subjek/individu memahami dirinya sendiri, namun cenderung mendorong subjek kepada wacana yang telah merepresi dan mendisiplinkannya. Menghadirkan Foucault dalam kajian ini menjadikan penulisan tidak terhenti pada bentuk hasrat atau fantasi seksual subjek saja, melainkan mengenai pola relasi kuasa, mekanisme represi, dan bentuk pendisiplinan terhadap tubuh subjek dan juga lingkungan sosialnya. Walaupun Zizek dianggap telah melampaui pemikiran Lacan mengenai gagasan tentang subjek yang subversif, namun dalam kasus penelitian ini tidak bisa ditemukan. Bahwa subjek
dapat melakukan tindakan yang radikal untuk dapat melepaskan diri dari belenggu struktur dengan cara membongkar bahasa yang selama ini menyelimutinya. Tapi yang terjadi disini justru subjek kembali dibahasakan oleh struktur, bukan hanya pada tataran pikirannya melainkan juga tubuhnya ikut didisiplinkan. Disinilah Foucault memberi titik terang dengan menunjukkan bahwa struktur itu kokoh dengan kekuasaannya yang selalu dikembangkan. Sistem represi dan mekanisme juga berkembang sedemikian rupa untuk dapat menundukkan subjek. Pada akhirnya refleksi kritis ini dibuat bukan hanya sebagai autokritik terhadap teori dominan yang digunakan dalam penelitian ini, melainkan membuat penilitian ini menjadi lebih kompleks dan menarik untuk disajikan. Melalui psikoanalisis Lacan telah membuka gerbang pembacaan terhadap bahasa-bahasa yang menyelubungi subjek. Sedangkan Foucault membantu dalam melengkapi pengkajian bukan hanya pada bahasa tapi berikut mode represi yang ada.