BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian keadaan kelompok atau individu tertentu (Singarimbun, 1989:32) 2.1.1 Campur Kode Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa lain secara konsisten. Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Menurut Chaer dan Agustina (2004 : 116) campur kode itu dapat berupa serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan maupun rasa keagamaan. 2.1.2 Penutur Bahasa Indonesia Penutur adalah orang yang bertutur; orang yang berbicara; orang yang mengucap atau mengucapkan (KBBI 2005:1231). Penutur bahasa Indonesia 8
adalah orang yang memiliki kemampuan mengucapkan, menggunakan, dan berbicara dengan bahasa Indonesia. 2.1.3 Anak Usia 6-10 Tahun Anak usia 6-10 tahun merupakan usia yang sangat produktif dalam perkembangan kebahasaannya. Proses pemerolehan bahasa yang masih sangat sederhana dan cepat untuk menerima sesuatu yang baru pula. Ragam bahasa yang diperoleh setiap anak umumnya adalah ragam informal. Akan tetapi pada saat memasuki dunia pendidikan bahasa anak tersebut kemudian bercampur dengan ragam formal (Dardjowidjojo 2000 : 300). Masukan yang diterima anak terkadang rancu, tetapi anak dapat memilah-milah dan kemudian membuat hipotesa-hipotesa sendiri sehingga akhirnya terbentuklah wujud bahasa yang diterima oleh masyarakat dewasa disekitarnya. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Bilingualisme Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami yaitu berkaitan dengan penggunaan dua bahasa, sedangkan bilingual atau dwibahasawan berkaitan dengan orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa. Menurut KBBI bilingual dapat diartikan sebagai orang yang mampu atau bisa memakai dua bahasa dengan baik. Sedangkan bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarkat bahasa. Bilingualisme menyertakan 9
kemampuan dan psikologis penutur dan pula melibatkan konsep sosialnya. Dipandang dari ilmu Sosiolinguistik, Mackey 1962: 12, Fishman 1975:73 (dalam Chaer dan Agustina 2004:84) bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Nababan (1984:27) mengemukakan pendapatnya tentang bilingualisme dan bilingualitas yakni: Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulan dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan adalah kebiasaan yang kita akan sebut bilingualisme. Jadi, bilingualisme menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang kain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita akan sebut ini bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2004:85) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, menurut Bloomfield seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dengan derajat yang sama baiknya. Bilingualisme pada anak, Diebold tahun 1968 (dalam Chaer dan Agustina, 1995:114) menjelaskan tentang bilingualisme yang terdiri dari bilingualisme tingkat awal yaitu yang dialami oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sangat sederhana 10
dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualisme selanjutnya. Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa bilingualisme merupakan satu rentetan berjenjang mulai dari penguasaan B1 (bahasa ibu) ditambah dengan pengetahuan akan B2 (bahasa lain di luar bahasa ibu). 2.2.2 Campur Kode Campur kode merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual atau berdwibahasa, bahkan yang multilingual. Nababan (1984 : 32) mengatakan bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain apabila orang mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa lain yang menuntut adanya pencampuran bahasa tersebut. Istilah campur kode juga dibedakan dengan alih kode. Berbicara mengenai alih kode dan campur kode, Hudson (1996) mengemukakan pendapatnya tentang kedua hal tersebut yaitu: alih kode dibatasi pada pertukaran bahasa yang sesuai untuk menyampaikan suatu maksud tertentu, dimana situasinya berubah yang disebabkan oleh pergantian bahasa yang dimilinya secara tepat. Pada kasus-kasus yang lain dimana seorang bilingual yang fasih berbicara kepada bilingual yang fasih lainnya dan mengganti bahasa tanpa menggantikannya secara keseluruhan. Jenis pergantian ini disebut campur kode. 11
Menurut Chaer dan Agustina (2004 : 114) kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur. Ada banyak pendapat mengenai alih kode dan campur kode. Namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu, sedangkan dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Thelander dan Fasol (dalam Chaer dan Agustina, 2005 : 115) memberikan pendapat mengenai campur kode. Thelander menjelaskan bahwa apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid pharases) dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Sementara Fasold menjelaskan kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase satu bahasa dan dia memasukkan kata tersebut dalam bahasa lain yang digunakannya dalam komunikasi, maka ia telah melakukan campur kode. Hockett (1958 : 361) mengatakan bahwa : Tulang punggung kebanyakan bahasa ditularkan umumnya melalui generasi berurutan pada usia 4-5 tahun : masa menggalaknya kompetisi anak-anak dan gengsi masa anak-anak sungguh-sungguh 12
banyak membentuk pola ujaran individu tertentu selama hidupnya dibandingkan dengan kontaknya dengan orang dewasa. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1985:78) membedakan campur kode menjadi beberapa macam, yaitu: 1.Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata Pengertian kata adalah satuan bebas yang paling kecil atau dengan kata lain, setiap satu stuan bebas merupakan kata. Kata dapat dibagi atas empat bagian yaitu : 1. Kata benda atau nomina 2. Kata kerja atau verba 3. Kata sifat atau adjektiva 4. Kata tugas 2.Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Berdasarkan jenis atau kategori frase dibagi menjadi: 1. Frase nominal 2. Frase verbal 3. Frase adjektival 4. Frase preposisi 3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster atau kata campuran menjadi serpihan dari kata yang dimasukinya. 13
4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata Penyisipan unsur yang berwujud perulangan kata maksudnya penyisipan perulangan kata ke dalam bahasa inti atau bahasa utama dari suatu kalimat. 5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom yaitu penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi serpihan dari bahasa inti yang dimasukinya. 6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa Klausa adalah satua gramatik yang terdiri dari subjek dan predikat baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan ataupun tidak. Konsep campur kode yang dipakai dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada konsep Hudson yang memberikan perbedaan antara alih kode dan campur kode, kemudian pendapat Chaer dan Agustina yang juga memberikan pendapat tentang perbedaan antara alih kode dan campur kode dan teori yang dikemukakan oleh Fasold mengenai campur kode dalam komunikasi. Dalam penelitian mengenai bentuk-bentuk campur kode, peneliti mengambil pendapat Suwito yang memberikan lima jenis bentuk-bentuk campur kode. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode menurut Khan (2005) adalah karena kesantaian dan faktor kebiasaan. Sedangkan menurut Priyanto (2006) campur kode disebabkan oleh faktor-faktor sosial, keterbatasan kemampuan linguistik dan alasan-alasan yang bersifat afektif. 14
Dari kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah (1) kesantaian atau situasi informal, (2) kebiasaan, (3) faktor sosial, (4) keterbatasan kemampuan linguistik, dan (5) alasan-alasan yang bersifat afektif. 2.3 Tinjauan Pustaka Penelitian campur kode sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, di antaranya Tarihoran (2000) dalam skripsinya yang berjudul Analisis campur Kode dalam Majalah Tempo. Dalam skripsi tersebut Tarihoran membahas bentukbentuk campur kode dalam majalah Tempo dan latar belakang penutur menggunakan campur kode. Dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk campur kode yang terdapat dalam majalah Tempo berupa penyisipan unsur-unsur kebahasaan yang berbentuk kata, frase, dan klausa. Peneliti juga berpendapat bahwa peranan dan fungsi kebahasaan sangat menentukan di dalam melakukan campur kode tersebut. Peranan yang dimaksud siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Peneliti yang lain yakni Siregar (2003) yang mengkaji campur kode dalam rapat organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat mengatakan bahwa unsur-unsur yang disisipkan dalam campur kode dalam rapat organisasi tersebut terdiri atas frase, bentuk blaster, dan pengulangan kata dalam bahasa Arab. Jenis kata yang disisipkan tersebut adalah kata benda (noun), kata kerja (verba), kata sifat (adjektif), dan kata ganti (pronominal). 15
Khan (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Alih kode dan Campur Kode dalam Masyarakat Bilingual membahas tentang batasan alih kode dan campur kode serta faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode dan campur kode. Ia mengemukakan bahwa alih kode dan campur kode terjadi dalam masyarakat bilingual maupun multilingual. Faktor terjadinya alih kode disebabkan oleh pribadi pembicara, kedudukan, hadirnya orang ketiga dan pokok pembiacaraan atau topik sedangkan campur kode terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut adanya percampuran bahasa, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesantaian, kebiasaan, atau tidak adanya panduan yang tepat. Para peneliti sebelumnya membahas terjadinya campur kode akibat situasi formal dan informal,maupun akibat faktor kebiasaan. Namun, pada penelitian ini campur kode yang terjadi diteliti dari sisi keterbatasan kemampuan linguistik yang masih sangat sederhana dalam situasi formal yakni saat proses belajar mengajar di sekolah. Campur kode yang akan diteliti dikhususkan pada anak yang berumur 6-10 tahun yang duduk di bangku sekolah dasar kelas 1 sampai kelas 4. Penelitian ini akhirnya dapat menjadi perbandingan antara campur kode pada orang dewasa dengan campur kode yang terjadi pada anak-anak yang masih dalam proses pemerolehan bahasa. Peristiwa campur kode bagi seorang anak dalam proses pemerolehan bahasa terjadi akibat keterbatasan kosa kata yang dimiliki sehingga mengalami kesulitan dalam menyampaikan maksudnya. 16