BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Generasi muda adalah tulang punggung bangsa jika dulu para pahlawan dengan susah payah membela bangsa dengan bambu runcing, maka kita mengemban tugas dengan mengangkat buku untuk membela negara. Dunia pendidikan merupakan suatu gambaran dunia yang penuh dengan ilmu, nilai, keterampilan, dan pengetahuan yang outputnya diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan perubahan zaman yang terus berkembang. Hal tersebut meyakinkan kita bahwa pendidikan itu penting, seolah - olah tidak ada lagi nilai tawar untuk satu kata yakni pendidikan. Citra yang baik dari pendidikan menjadi kebanggaan bagi para pelaku pendidikan. Namun sebuah fenomena menarik terjadi di dalam dunia pendidikan tersebut yakni kebiasaan merokok di kalangan peserta didik mulai dari anak - anak hingga dewasa. Faktanya Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Tahun 2009 di Indonesia, Prevalensi merokok pada anak sekolah usia 13-1 5 tahun mencatat : - 30.4% Anak sekolah pernah merokok (L:57.8%, P:6.4%) - 20.3% Anak sekolah adalah perokok aktif (L: 41%, P: 3.5%) Pada zaman modern ini, rokok bukanlah suatu benda asing lagi. Bagi mereka yang hidup di kota maupun di desa, umumnya mereka sudah mengenal rokok. Bahkan, bagi sebagian orang, rokok sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa alasan yang jelas, seseorang akan merokok, baik setelah makan, setelah minum kopi atau teh, bahkan sambil bekerja pun seringkali diselangi dengan rokok. Rokok sudah menjadi budaya manusia (Jaya, 2009:38). Menurut sejarah, masyarakat di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, dimana merokok merupakan keperluan
ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad ke-16, ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu juga mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian, kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, orang Eropa merokok semata-mata hanya untuk kesenangan. Pada abad ke-17 Masehi, para pedagang Spanyol masuk ke Turki. Saat itu, kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam. Jadi, usia rokok belumlah terlalu lama lebih dari 3 abad (Jaya, 2009:40). WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit yang berkaitan dengan tembakau menjadi masalah kesehatan utama di dunia yang menyebabkan 8,4 juta kematian setiap tahunnya dan separuhnya terjadi di Asia. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) yang menyebutkan angka kematian akibat rokok mencapai 200.000 jiwa pertahun, artinya 16.666 meninggal perbulan, 555 orang perharinya meninggal akibat penyakit yang disebabkan rokok. Di Asia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok yang mencapai 146.860.000 jiwa. Data tahun 2010 menunjukkan prevalensi perokok saat ini sebesar 34,7%, dari jumlah tersebut 76,6% merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga yang lain. Data lainnya menunjukkan konsumsi rokok di Indonesia tahun 2002 mencapai 182 milyar batang. Keadaan ini menunjukkan bahwa total perokok aktif di Indonesia adalah 70 % dari total penduduk atau 141,44 juta orang. (http://metro.sindonews.com/read/2013/10/24/31/797993/data-kemenkes-soalangka-kematian-akibat-rokok). Data riset kesehatan dasar 2007, di provinsi Sumatera Utara persentase penduduk umur 10 tahun keatas yang merokok tiap hari 20,2%, sedangkan di kota Medan persentase penduduk umur 10 tahun keatas yang merokok tiap hari 16,8%, proporsi pria lebih besar dibandingkan wanita. Asap rokok bukan hanya memberikan dampak buruk bagi perokok, tetapi juga bagi orang lain yang menghisap asap tersebut. Selama beberapa tahun terakhir para ilmuan telah membuktikan bahwa zat - zat kimia yang terdapat dalam asap rokok dapat memengaruhi kesehatan orang - orang di sekitar perokok yang tidak merokok.
Perokok pasif mempunyai resiko lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular, kanker paru dan penyakit paru lainnya. Di Indonesia, kebiasaan merokok tidak hanya dilakukan oleh laki - laki saja namun perempuan melakukan hal yang sama. Pravelensi merokok terus meningkat baik pada laki laki maupun perempuan. Pravelensi merokok pada perempuan meningkat empat kali lipat dari 1,3 % pada tahun 2001, menjadi 5,2% pada tahun 2007 (Riset Kesehatan Dasar - Global Youth Tobacco Survey,2009:12). Meskipun beberapa perempuan menyadari masalah ini, namun mereka terus merokok. Beberapa alasan populer untuk merokok adalah bahwa hal itu memungkinkan mereka untuk bersantai dan mengekang perasaan atau potensi agresi dan kadang - kadang depresi. Stres yang sering terjadi di tempat kerja, di rumah, menjadikan rokok salah satu cara perempuan untuk meredakan diri dari sensasi stres. Banyak wanita juga merokok untuk menurunkan berat badan. Meskipun menurut mereka ini merupakan metode yang efektif, dampak negatif rokok secara signifikan lebih besar daripada manfaatnya. (http://life.viva.co.id/news/read/444256-riset--wanita-perokok-berisiko-tinggiderita-gangguan-otak). Menurut McWeeney, keinginan untuk merokok lebih besar pada wanita dari pada pria karena wanita lebih cepat merasa gelisah/kalut dan Iain-lain. Beberapa orang wanita yang fashionable, berpendapat dengan merokok mereka akan tetap langsing. Di negara maju, kebiasaan merokok pada wanita di tempat umum, jauh lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan di negara berkembang. Faktanya, wanita perokok juga terdapat di dunia perndidikan bahkan di lingkungan kampus. Mahasiwi perokok bukan sosok yang sulit yang ditemui. Jika seorang pria merokok mungkin hal yang lumrah bagi beberapa orang, apalagi ia menginjak usia yang sudah tergolong dewasa dan memiliki pendapatan sendiri (Jaya,2009:40). Mahasiswi adalah calon calon ibu yang nantinya akan melahirkan generasi generasi penerus. Dalam dunia kedokteran telah diakui bahwa ibu yang merokok selama masa kehamilannnya dapat mengakibatkan penurunan berat bayi yang dilahirkan serta peningkatan mortalitas bayi dan angka abortus spontan. Selain dampak tersebut di atas, merokok dapat pula menurunkan fertilitas, lebih awal mengalami menopause, lebih cepat berkerut mukanya dan
beruban. Sesudah menopause, tulang lebih rapuh sehingga cepat patah (McWeeney,1990:14). Karenanya mahasiswi yang notabene adalah perempuan yang akan hamil dan mengalami masa monopouse, memiliki risiko yang sama dengan data diatas. Peneliti memilih mahasiswi sebagai informan dalam penelitian tersebut karena mereka memegang status sebagai kaum terpelajar dan berpendidikan. Mahasiswa/i dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswi merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswi juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Pengertian Mahasiswa menurut Knopfemacher adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi yang makin menyatu dengan masyarakat, dididik dan di harapkan menjadi calon-calon intelektual (Sarwono, 1978:80). Seorang peserta didik seharusnya menjadi seseorang yang terdidik pula. Fenomena mahasiswi perokok tersebut sangat menarik untuk diketahui. Karena, selain terbiasa dengan tugas dan sederetan aktivitas di kampus, seorang mahasiswi juga melakoni kebiasaan lain yakni merokok. Dengan berbagai faktor yang menyebabkan mereka memutuskan untuk merokok dan bagaimana ia dapat diterima di lingkungannya dengan kebiasaan tersebut membuat hal tersebut sangat menarik untuk diketahui. Lewat pengamatan peneliti, seorang mahasiswi perokok memaknai rokok bukan sebagai sesuatu yang melekat pada faktor status sebagai mahasiswi, namun pada keberadaanya pada segmen - segmen kehidupan lain. Diantaranya profesi di luar lingkungan pendidikan, gaya hidup, kebutuhan mendasar, dan sedikit pada faktor mencoba dengan kehendak sendiri. Peneliti melakukan observasi terhadap Bunga (nama samaran), menurut pengakuan Bunga ia tidak malu untuk merokok dimanapun, sebab rokok telah menjadi identitas dirinya sebagai seorang
penyiar radio. Rokok juga ia gunakan sebagai media untuk memberatkan kualitas suara saat on air disegmen acara yang dibawakan. Kualitas suara seorang penyiar wanita yang sedikit ngebass membuat para pendengarnya semakin tertarik untuk mendengarkan acara yang dibawakan. Menurut informasi yang peneliti dapatkan dilapangan, banyak mahasiswi perokok memulai kebiasaan merokok bukan ketika mengemban status sebagai mahasiswa namun ketika duduk dibangku SMP dan SMA. Bunga memaknai dirinya sebagai seorang perokok dan memandang perempuan perokok di kalangan mahasiswa adalah sesuatu hal yang wajar dan sudah umum dilakukan (Observasi Pra Penelitian 28 Agustus 2013). Keberanian seorang mahasiswi untuk merokok di depan umum menjadi sebuah hal yang sangat menarik untuk diketahui. Kebiasaan tersebut layaknya hal yang lumrah dan menjadi tontonan yang tidak asing lagi bagi orang - orang yang berada di lingkungan kampus. Fenomena tersebut menjadi dasar peneliti untuk melihat apa yang menjadi alasan seorang mahasiswi memutuskan untuk merokok. Kemudian apa yang menjadi alasan seorang mahasiswi perokok untuk menunjukkan kebiasaan merokoknya di tempat umum (front stage) khususnya di tempat tempat umum, dan bagaimana ia mendesain dirinya ketika berada di panggung belakang (back stage) serta peneliti sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana karakteristik seorang mahasiswi perokok sehingga setiap orang dapat mengenalinya. Lokasi Penelitian yang ditentukan sebagai sasaran penelitian adalah di, karena sedang giat untuk menyosialisasikan USU Bebas Rokok dengan membuat Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa titik titik di lingkungan, meskipun kegiatan tersebut mengandung pro dan kontra. Undang- Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 115, dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajarmengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum lain yang ditetapkan. (http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1236)
Impression menegement yang didesain sedimikian rupa akan mengundang persepsi yang berbeda dari tiap orang (Dadang, 2007 : 77). Sehingga peneliti juga ingin mengetahui bagaimana gambaran Impression Management dari wanita perokok dikehidupan front stage dan back stage. Penelitian akan dilaksanakan secara mendalam dengan menggunakan wawancara kepada informan yang telah bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Secara lengkap akan dipaparkan lewat judul penelitian ini : Impression Management mahasiswi Perokok di Universitas Sumatera Utara (Studi Deskriptif Kualitatif Impression Management Mahasiswi Perokok di ). 1.2 Fokus Masalah Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, peneliti merumuskan bahwa fokus yang akan diteliti lebih lanjut adalah : Bagaimana Impression Management mahasiswi perokok di? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menggambarkan karakteristik mahasiswi perokok di Universitas Sumatera Utara. 2. Untuk menggambarkan alasan mahasiswi menjadi perokok di Universitas Sumatera Utara. 3. Untuk menggambarkan Impression Management mahasiswi perokok di. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan dampak positif dan menambah pengetahuan dalam khasanah penelitian komunikasi serta dapat dijadikan sebagai sumber bacaan mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu komunikasi. 2. Secara teoritis, Penelitian ini dapat memberi kontribusi di bidang ilmu komunikasi yang berkaitan dengan Studi Dramaturgi dan Impression Management.
3. Secara praktis, Penelitian ini menerapkan lmu yang diterima peneliti - peneliti selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi sekaligus memberikan masukan kepada siapa saja yang tertarik terhadap meneliti fenomena sosial yang ada di masyarakat.