BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di negara-negara maju dan negara berkembang mengakibatkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti penyakit diabetes melitus (DM), jantung coroner (PJK), hipertensi, hyperlipidemia dan lain-lain. Penyakit diabetes melitus atau yang dikenal dengan penyakit kencing manis oleh beberapa pakar dijuluki sebagai the mother of disease (Depkes RI, 2008), adalah penyakit tidak menular (PTM) yang merupakan masalah katastropik dimana jika tidak ditangani secara optimal maka masalah ini akan berdampak serius terhadap perekonomian penduduk bahkan perekomomian dan kestabilan negara (FKUI, 2015). Berdasarkan laporan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005, dinyatakan bahwa pada tahun 2005 di dunia terdapat 200 juta orang (5,1%) dengan diabetes (diabetisi) dan diduga 20 tahun kemudian yaitu tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta orang (6,3%). Sepuluh besar negara dengan jumlah penduduk diabetes terbanyak yaitu India, China, Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, Pakistan, Banglades, Italia, Rusia dan Brazil. Indonesia menduduki urutan ke-lima negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak (Depkes RI, 2008). Kemudian berdasarkan laporan Diabetes Atlas edisi ke-2 tahun 2003 yang diterbitkan oleh IDF, disebutkan bahwa prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 1,9% (2,5 juta orang) dan TGT sebesar 9,7% (12,9 juta orang) dengan prediksi bahwa pada tahun 2025 akan menjadi 2,8% (5,2 juta orang) penderita diabetes dan 11,2% (20,9 juta orang) dengan TGT. Sementara menurut WHO 1998, diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia akan meningkat hampir 250% dari 5 juta orang pada tahun 1995 menjadi 12 juta orang pada tahun 2025 (Depkes RI, 2008). 1
2 Penelitian epidemiologi tahun 80-an yang dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia, prevalensi diabetes melitus berkisar antara 1,5% s/d 2,3%. Penelitian epidemiologi yang dilaksanakan berikutnya tahun 1993 di Jakarta membuktikan adanya peningkatan prevalensi diabetes melitus dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 dilaksanakan di Depok, prevalensi DM sebesar 12,8%. Demikian juga di Makasar, prevalensi DM meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998 dan meningkat menjadi 12,5% pada tahun 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depkes RI di seluruh provinsi tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) sebesar 10,25% dan DM sebesar 5,7% (FKUI, 2015). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi DM di Indonesia yang terdiagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 2,1% dengan prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Provinsi D.I. Yogyakarta yaitu sebesar 2,6% (Kemenkes RI, 2013). Jumlah penderita DM di kota Yogyakarta tahun 2011, 2012, 2013, 2014 dan tahun 2015 secara berturutturut sebesar 2.822 kasus baru, 2.829 kasus baru, 2.929 kasus baru, 2.891 kasus baru dan 2.638 kasus baru (Dinkes Kota Yogyakarta, 2015). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan terjadinya perubahan epidemiologi yaitu beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular (infeksi) bergeser pada penyebab kematian akibat penyakit tidak menular (non infeksi). Dengan demikian Indonesia mengalami beban ganda penyakit (double burden disease) dimana di satu sisi Indonesia masih menghadapi penyakit menular yang masih cukup tinggi, munculnya penyakit-penyakit baru, dan di sisi lain dihadapkan dengan meningkatkan penyakit tidak menular dengan angka kematian yang semakin meningkat (FKUI, 2015). Kematian akibat penyakit degeneratif (penyakit jantung, hipertensi, ginjal, penyumbatan pembuluh darah, sroke, diabetes) di Kota Yogyakarta merupakan penyebab kematian tertinggi dengan persentase sebesar 19,3% (Profil Dinkes Kota Yogyakarta, 2016). Adapun angka kematian akibat DM di Kota Yogyakarta tahun 2013 pada usia 5-14 tahun sebesar 6,67% dari total
3 15 kematian, pada usia 25-34 tahun sebesar 11,54% dari 52 kematian, sedangkan pada usia 45-54 tahun jumlah kematian akibat DM menduduki peringkat teratas yaitu sebanyak 29 kasus kematian (12,29%) dari 236 kematian (Dinkes Kota Yogyakarta, 2015). Gambaran tersebut di atas menginformasikan bahwa penyakit diabetes melitus khususnya di Kota Yogyakarta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu segera ditangani secara serius. Terkait dengan tingginya kasus DM di Kota Yogyakarta baik kasus baru maupun komplikasinya yang dapat berujung pada kematian penderita DM, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta telah melakukan berbagai upaya pengendalian dan penatalaksanaan DM. Berdasarkan data program Pengendalian Penyakit Tidak Menular Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, program/kegiatan terkait pengendalian DM dilakukan dengan 3 kegiatan pokok yaitu upaya primer, sekunder dan tersier. Upaya primer dilakukan dengan upaya promosi kesehatan dengan sosialisasi melibatkan SKPD dan lintas sector terkait, pembuatan leaflet, spanduk, standing banner dan sebagainya. Upaya primer juga dilakukan dengan upaya peningkatan kapasitas dokter dan petugas Penyakit Tidak Menular (PTM) di Puskesmas serta upaya peningkatan kapasitas kader Posbindu di 45 kelurahan. Upaya sekunder dilakukan dengan deteksi dini faktor resiko DM pada masyarakat sehat usia > 15 tahun dan seteksi dini pada populasi resiko DM yaitu pada keluarga penderita DM serta pengadaan peralatan dan reagen. Upaya tersier dilakukan dengan upaya pencegahan komplikasi, Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis), penguatan sistem rujukan dan upaya pendampingan pasien DM oleh petugas Puskesmas. Namun demikian kasus DM baik dengan atau tanpa komplikasi masih cukup tinggi. Kondisi penyakit DM yang berlanjut dapat mengakibatkan keparahan penyakit, produktifitas menurun, kehilangan pekerjaan, menurunnya kualitas hidup serta sebagai penyumbang angka kematian di Indonesia. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama (Kemenkes RI, 2014), merupakan garda depan dalam penyelenggaraan upaya
4 kesehatan dasar dan sebagai ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Kemenkes RI, 2015). Salah satu program Puskesmas yang terus digalakkan yaitu program pengendalian penyakit diabetes melitus mengingat bahwa diabetes melitus akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan beban biaya kesehatan yang cukup besar (Perkeni, 2015). Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Hingga saat ini belum ada ditemukan cara atau pengobatan yang dapat menyembuhkan diabetes melitus secara menyeluruh, namun demikian diabetes melitus dapat dikendalikan dengan diet, olah raga dan dengan menggunakan obat antidiabetik (Perkeni, 2015). Pada intinya upaya pengendalian tersebut adalah untuk mengendalikan glukosa dalam darah agar dalam kondisi stabil/normal. Untuk upaya pengendalian tersebut diperlukan dukungan manajemen pelayanan kesehatan dan kerjasama antara petugas dengan pasien untuk mencapai tujuan penatalaksanaan diabetes melitus. Tujuan pentalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandangnya. Tujuan jangka pendek adalah untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi resiko komplikasi akut. Tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. Adapun tujuan akhir pengelolaan adalah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid melalui pengelolaan secara komprehensif. Langkah-langkah penatalaksanaan diabetes melitus dilakukan dengan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan (kunjungan) pertama yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium/penunjang lainnya serta evaluasi medis secara berkala pada pertemua/kunjungan berikut-berikutnya. Dengan demikian keaktifan/kepatuhan pasien dalam kunjungan ke Puskesmas menjadi sangat penting untuk penatalaksanaan diabetes melitus (Perkeni, 2011).
5 Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup. Pada strategi pelayanan kesehatan bagi penyandang diabetes melitus di Puskesmas, peran dokter umum menjadi sangat penting sebagai ujung tombak dalam penatalaksanaan diabetes melitus. Selain dokter, perawat, ahli gizi dan tenaga kesehatan lain, pasien dan keluarga mempunyai peran penting sehingga perlu mendapat edukasi untuk memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaanya. Pemahaman yang baik akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam upaya penatalaksanaan diabetes melitus guna mencapai hasil yang lebih baik. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk meningkatkan peran dalam upaya penatalaksanaan diabetes melitus dapat diberikan pada saat kunjungan/kontrol pasien ke Puskesmas (Perkeni, 2011). Perilaku hidup sehat merupakan penunjang keberhasilan penatalaksanaan diabetes melitus, untuk itu pasien perlu dingatkan untuk selalu berperilaku hidup sehat setiap kali kunjungan ke puskesmas. Beberapa perilaku yang diharapkan untuk perubahan perilaku agar penyandang diabetes melitus dapat menjalani pola hidup sehat diantaranya pola makan sehat, kegiatan jasmani, menggunakan obat secara aman dan teratur, pemantauan glukosa darah, serta mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada (Perkeni, 2011). Kerjasama dokter dengan petugas lain yang terkait serta manajemen puskesmas dituntut untuk dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pasien diabetes melitus untuk datang/kontrol ke Puskesmas secara rutin untuk melakukan rangkaian penataksanaan diabetes melitus dimana kontrol yang baik/rutin secara signifikan dapat mengurangi resiko komplikasi (UKPDS Group, 1998). Berdasarkan data Laporan Terpadu Penyakit Tidak Menular per-puskesmas Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta periode Januari-Desember 2015, tiga Puskesmas dengan jumlah kasus baru penyakit DM terbanyak secara berturutturut yaitu Puskemas Gondokusuman I (409 kasus baru), Puskesmas Umbuharjo 2 (350 kasus baru) dan Puskesmas Jetis (343 kasus baru), sedangkan untuk kunjungan kasus, Puskesmas Gondokusuman I sebanyak 1.442 kunjungan kasus,
6 Puskesmas Umbulharjo II sebanyak 2.815 kunjungan kasus dan Puskesmas Jetis sebanyak 5.652 kunjungan kasus. Berdasarkan jumlah kasus baru dan kunjungan kasus pasien DM, pada ketiga puskesmas tersebut menunjukkan hubungan berbanding terbalik dimana Puskesmas Gondokusuman I dengan jumlah kasus baru terbanyak, tetapi pada kunjungan kasus justru jauh lebih sedikit dibanding Puskesmas Umbulharjo II dan Puskesmas Jetis seperti yang tampak pada diagram berikut: 6000 5000 4000 3000 2000 Kasus baru Kunjungan kasus 1000 0 Pusk Pusk Umbulharjo Gondokusuman 1 2 Pusk Jetis Gambar 1. Kasus baru dan kunjungan kasus diabetes melitus di puskesmas Salah satu syarat pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan mudah diakses oleh pengguna layanan. Aksesibilitas pelayanan puskesmas yaitu kemampuan setiap orang/pasien dalam mencari pelayanan kesehatan sesuai dengan yang mereka butuhkan dan bagaimana mengakses pelayanan kesehatan tersebut yang pada ujungnya yaitu pemanfaatan pelayanan puskesmas. Apakah pelayanan kesehatan mudah diakses atau masih terdapat hambatan-hambatan (barrier) dalam mengakses pelayanan. (Laksono, dkk, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Goudge, et al, (2009), latar belakang penelitian ini adalah adanya peningkatan beban penyakit kronis pada negaranegara berpenghasilan menengah dan bawah yang diantaranya dipicu oleh penyakit diabetes melitus serta lemahnya sistem kesehatan yang tertata dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pasien yang sakit kronis dan kesulitan pasien
7 dalam mengakses perawatan kesehatan. Hasil penelitian ini mengidentifikasi berbagai masalah dalam mengakses pelayanan kesehatan yaitu hambatan konsultasi kesehatan karena tersendatnya pekerjaan akibat penyakit dan kematian, penghasilan rendah dan jaringan sosial yang terbatas. Penyediaan obat-obatan yang tersendat, pelayanan klinik yang tidak memadai juga menghambat akses pengobatan. Interaksi yang lemah antara penyedia layanan kesehatan dan pengguna/pasien menimbulkan pemahaman penyakit yang tidak memadai, tindakan pengobatan yang tidak sesuai, membuat pasien menyerah dengan sistem kesehatan yang ada. Kegagalan staf klinik untuk membuat diagnosa, tidak ada penjelasan yang diberikan kepada pasien, atau penjelasan yang diberikan tidak cukup meyakinkan sehingga pasien tidak menyerap dan memahami informasi tersebut. Studi juga mengidentifikasi sikap yang diperlihatkan oleh perawat ketika berbicara dengan pasien, khususnya permasalahan kesalahan penggunaan bahasa verbal, telah terbukti menjadi penghalang akses pelayanan kesehatan dan mencegah pasien mendatangi klinik umum. Hal tersebut di atas merupakan celah sosial dan kultural antara petugas kesehatan dan pasien. Kwan, et al, (2008), melakukan penelitian pada penderita diabetes melitus di Ontario, dan diperoleh temuan bahwa pasien diabetes melitus dengan status sosial ekonomi rendah dan tidak adanya asuransi kesehatan tambahan sebagai hambatan utama untuk mengakses dan menggunakan pelayanan diabetes melitus. Pasien diabetes melitus dengan pendapatan tahunan rumah tangga rendah melewatkan pemeriksaan glukosa darah karena biaya, sementara tidak adanya asuransi kesehatan tambahan, pasien melewatkan pemeriksaan glukosa darah dan pengobatan diabetes melitus. Terapi nutrisi untuk meningkatkan kontrol glikemik dan mencegah komplikasi akut dan jangka panjang juga terkendala bagi pasien dengan pendapatan tahunan rendah dimana pasien terhalang membeli makanan sehat karena masalah biaya. Penelitian lainnya yang dilakukan di Tunisia, sebuah negara berpenghasilan rendah/menengah, mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diabetes melitus di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ditemukan lebih dari 400 potensi faktor pendukung dan penghambat untuk perawatan dalam pengelolaan
8 diabetes melitus. Secara keseluruhan, faktor yang paling umum adalah ketersediaan obat di pusat kesehatan. Pada faktor organisasi yaitu beban kerja dokter. Faktor profesional kesehatan yaitu motivasi dokter. Faktor pasien yaitu masalah keuangan, pendidikan, kepatuhan dan kehadiran/kunjungan pasien Alberti, et al, (2007). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan diabetes melitus di Puskesmas Kota Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup oleh penderitanya. Upaya penatalaksanaan DM diperlukan dukungan manajemen pelayanan kesehatan dan kerjasama antara petugas dengan pasien. Langkah-langkah penatalaksanaan diabetes melitus dilakukan dengan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan (kunjungan) pertama yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium/penunjang lainnya serta evaluasi medis secara berkala pada pertemua/kunjungan berikut-berikutnya. Dengan demikian keaktifan/kepatuhan pasien dalam kunjungan ke Puskesmas menjadi sangat penting untuk penatalaksanaan diabetes melitus (Perkeni, 2011). Kegagalan mengakses pelayanan diabetes melitus di puskesmas dapat berimbas pada kegagalan penatalaksanaan DM. Kegagalan penatalaksanaan DM berpengaruh pada keberlanjutan penyakit DM dan dapat mengakibatkan keparahan penyakit, komplikasi, penurunan produktifitas, kehilangan pekerjaan, beban ekonomi dan kualitas hidup menurun serta kematian. Penelitian ini akan mengeksplorasi faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat pemanfaatan pelayanan diabetes melitus di Puskesmas Kota Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan diabetes melitus di Puskesmas Kota Yogyakarta.
9 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan diabetes melitus di Puskesmas Kota Yogyakarta. b. Untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam pemanfaatan pelayanan diabetes melitus di Puskesmas Kota Yogyakarta. 1. Manfaat untuk Puskesmas D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi puskesmas untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan khususnya pelayanan diabetes melitus dalam rangka mengoptimalkan penatalaksanaan diabetes melitus. 2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam penyusunan rencana program dan anggaran penatalaksaan diabetes melitus. 3. Manfaat untuk penelitian selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan bagi penelitianpenelitian berikutnya untuk melakukan penelitian baik terkait penyakit diabetes melitus maupun penyakit menular ataupun penyakit tidak menular lainnya. E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No Judul Penelitian Peneliti 1 Primary care management of diabetes in low/middle income country: a multi-method, qualitative study of barriers and facilitators to care 2 Faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk rawat jalan di wilayah kerja Puskesmas Makale 3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus pada praktek dokter keluarga di kota Tomohon 4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Kema kecamatan Kema Kab. Minahasa Utara Hugh Alberti, Nessiba Boudriga, and Mounira Nabli Hersi Magan, Indar dan Balqis Vera Tombokan, A.J.M. Rattu dan Ch.R. Tilaar Kristian J. Madunde, Frans J. Pelealu dan Paul Kawatu
10 Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah: 1. Alberti, et al, (2007), mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diabetes melitus di fasilitas pelayanan kesehatan primer di Tunisia. Jenis penelitian menggunakan multi-method qualitative. Hasil penelitian, ditemukan lebih dari 400 potensi faktor pendukung dan penghambat untuk perawatan diabetes melitus di pelayanan primer. Faktor utama sebagai pendukung atau penghambat pelayanan diabetes melitus di pelayanan primer di Tunisia pada faktor organisasi yaitu ketersediaan pengobatan di pusat kesehatan, ketersediaan klinik penyakit kronis dan beban kerja dokter. Pada faktor profesional kesehatan yaitu motivasi dokter sedangkan pada faktor pasien yaitu masalah keuangan, pendidikan, kepatuhan dan kehadiran/kunjungan pasien. 2. Magan, dkk, (2013), tentang faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan unit rawat jalan di wilayah kerja Puskesmas Makale. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan unit rawat jalan di Puskesmas Makale tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan sarana dan prasarana dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan nilai p = 0,010 < α (0,05), ada hubungan sikap petugas dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan nilai p = 0,020 < α (0,05). 3. Tombokan, dkk, (2015), tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus pada praktek dokter keluarga di kota Tomohon. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, pendidikan dan motivasi dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus yang berobat di klinik dokter keluarga kota Tomohon. Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan motivasi dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus di klinik dokter keluarga di kota Tomohon.
11 4. Madunde, dkk, (2013), tentang faktor faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Kema Kecamatan Kema Kabupaten Minahasa Utara. Jenis penelitian adalah survey analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tingkat persepsi masyarakat berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Kema.