BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainya. Banyak jenis NAPZA yang besar manfaatnya untuk kesembuhan dan keselamatan manusia, tetapi saat ini penggunaanya masih banyak yang disalahgunakan (Partodiharjo, 2008). Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang digunakan bukan untuk tujuan pengobatan dengan jumlah berlebih, teratur dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik serta gangguan pada perilaku dan kehidupan sosialnya (Martono dan Joewana, 2008). Menurut Maeyer et al (2009) penyalahgunaan NAPZA yaitu masalah kesehatan publik yang penting dimana secara langsung akan berdampak pada ekonomi, kesehatan dan juga sosial. Laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) memperlihatkan peningkatan terjadinya kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA. Tahun 2001 jumlah kasus NAPZA 3.617 kasus dan tahun 2005 dilaporkan adanya 14.514 kasus NAPZA. Hal ini berarti secara rata-rata kasus NAPZA mengalami peningkatan sebesar 36,9 % (Ali, 2007). Menurut BNN (2012) tahun 2007 sampai 2011 jumlah kasus NAPZA di Indonesia mengalami angka yang fluktuatif mulai dari 22.612, 29.220, 30.656, 26.461, 29.526. Menurut Survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba Indonesia (2011) dari 33 provinsi, ada sebanyak 15 provinsi yang angka prevalensinya turun, hanya satu provinsi (Jawa 1
2 Timur) yang relatif stabil dan sisanya naik. Secara keseluruhan terjadi kenaikan angka prevalensi sebesar 12% dari tahun 2008 ke tahun 2011. Angka prevalensi penyalahgunaan NAPZA di provinsi yang terletak di Indonesia bagian timur kebanyakan mengalami penurunan, seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, NTB, dan NTT. Provinsi Lampung dan Papua mengalami penurunan sekitar 50% dari tahun 2008. Angka penurunan penggunaan NAPZA di Lampung dipicu oleh semua jenis kategori penyalahguna kecuali kelompok coba pakai cenderung relatif tetap. Sementara di Papua dipicu oleh penurunan di kelompok pecandu suntik dan bukan suntik, tetapi teratur pakainya meningkat. Jumlah pecandu suntik menurun tajam dari 230 ribu (2008) menjadi 70 ribu (2011). Penurunan terjadi karena berbagai faktor yaitu suplai heroin/putau sulit diperoleh di pasaran karena pasokan dari Afganistan berkurang, adanya program subutek/suboxon dan methadone agar tidak melakukan penggunaan narkoba cara suntik, risiko tertular berbagai penyakit akibat penggunaan jarum suntik bersama menyebabkan mereka takut menggunakan cara suntik, dan tingginya angka kematian dikalangan IDU karena overdosis dan HIV/AIDS (Survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba, 2011). Kasus NAPZA di DI.Yogyakarta dari tahun 2007 sampai 2011 sebesar 326, 304, 263, 262, 281 kasus. Pemakain NAPZA terbanyak pada jenis ganja dengan rata-rata 170,25 setiap tahunya. Warga yang menjadi tersangka dalam kasus NAPZA tidak hanya WNI tetapi juga WNA dengan perempuan sebanyak 88 dari 1875 pengguna. Kelompok usia yang terjerat kasus NAPZA terbanyak usia >20 tahun dengan prosentase 91,57 % dan sisanya < 20 tahun. Riwayat pendidikan
3 dari pecandu tersebut terbanyak SMA (58,83%), Perguruan Tinggi sebesar 23,41%, SMP 13,28%, dan SD 4,48% (BNN RI, 2012). Penyebab seseorang memakai NAPZA adalah diri individu sendiri berupa kepribadian yang rendah serta bentuk emosional, maupun luar individu berupa keinginan untuk mencoba dan adanya ajakan teman sebaya (Ali, 2007). Menurut Indiyah (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi subjek menjadi narapidana kasus NAPZA yaitu faktor proses sosial 72% yang berupa solidaritas mati dan paksaan, masalah sosial 48% berupa deviasi situasional, sistemik dan primer, faktor individu 85%, faktor keluarga 88%, faktor lingkungan keluarga 91%, faktor sekolah/kuliah 81% dan faktor lingkungan masyarakat 96%. Dampak dari penyalahgunaan NAPZA diantaranya adalah kerusakan fisik, mental, emosional dan juga spiritual (Ali, 2007). Menurut penelitian Eleanora (2011) yang berbetuk studi kepustakaan menyebutkan bahwa NAPZA mempunyai dampak negatif yang sangat luas baik secra fisik, psikis, ekonomi, sosial budaya, hankam dan lain sebagianya. Banyaknya dampak yang dialami oleh penyalahguna NAPZA membuat diperlukanya program pengobatan yang diberikan kepada penyalahguna NAPZA dapat berupa terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi sosial. Terapi dan rehabilitasi merupakan suatu rangkaian proses pelayanan yang diberikan kepada pecandu dengan tujuan melepaskan dari ketergantungan NAPZA hingga dapat menikmati kehidupan bebas tanpa NAPZA. Pelayanan biasanya diberikan oleh tenaga professional berpengalaman dan terlatih (Martono dan Joewana, 2008).
4 Kualitas hidup pengguna ketergantungan opioid yang mengalami rehabilitasi selama 5 tahun dipengaruhi oleh kesejahteraan psikologikal dan psikososial. Terapi berdampak pada individu sehingga dapat memiliki minimal satu teman dekat dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik (Maeyer et all, 2010). Keefektifan penggunaan buprenorphine dan methadone untuk terapi berdampak pada semua domain kualitas hidup seorang pengguna ketergantungan heroin (Ponizovsky & Alexander, 2007). Organisasi Kesehatan Dunia (1998) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu dalam kehidupan berdasarkan konteks budaya dan sistem nilai dimana ini berkaitan dengan tujuan, harapan, standar dan kepentingan individu. Menurut Noviarini (2012) kualitas hidup dipengaruhi oleh dukungan sosial dimana semakin tinggi dukungan sosial yang dimiliki oleh subjek semakin tinggi kualitas hidupnya dan sebaliknya apabila semakin rendah dukungan sosial maka semakin rendah kualitas hidupnya. Tingkatan kesulitan yang dialami individu berupa kesulitan individu, tempat kerja dan lingkungan (Stolzt, 2000). Individu dalam menghadapi kesulitan memerlukan suatu kerja keras dan keinginan. Kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati dan menyelesaikan suatu masalah disebut sebagai kecerdasan adversitas atau Adversity Quotient (AQ) (Stolz, 2000). Menurut Wulandari (2009) dalam penelitianya menyebutkan bahwa keinginan untuk sembuh seorang pengguna NAPZA dipengaruhi oleh kecerdasan adversitas. Semakin tinggi kecerdasan adversitas seseorang, semakin tinggi pula keinginan untuk sembuh dari NAPZA. Pernyataan ini didukung juga oleh Bayani dan Nur (2011) yang menyatakan dalam penelitianya bahwa keinginan untuk sembuh
5 selain dipengaruhi oleh kecerdasan adversitas juga adanya dukungan sosial. Semakin tinggi dukungan sosial dan kecerdasan adversitas maka semakin tinggi pula keinginan untuk sembuh. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubsi BIMKEMASWAT 29 April 2013 kapasitas LAPAS berjumlah 474 orang, dan saat ini terdapat kurang lebih 330 penghuni. Aktifitas yang terjadwal dilakukan penghuni Lapas dimulai pukul 7 pagi dan berakhir pada pukul 5 sore. Aktifitas yang dilakukan antara lain membersihkan area lapas, belajar keterampilan seperti menjahit, mencuci dan keterampilan lain yang berguna untuk kehidupanya setelah keluar dari Lapas. Kegiatan keagamaan dilaksanakan berjamaah, hal ini bertujuan untuk mendekatkan diri pada-nya dan juga menjalin hubungan sosial sesama penghuni Lapas. Keluarga juga difasilitasi untuk bertemu dengan Napi dan tahanan setiap hari kerja kecuali hari jumat meskipun harus dipisahkan oleh sekat pemisah yang membatasi mereka untuk berkomunikasi dekat. Hari yang diperbolehkan untuk bertemu dengan bebas adalah pada hari-hari besar dan biasanya setahun 3 kali kesempatan. Bagi penghuni Lapas yang merasa sakit baik fisik dan psikologis difasilitasi dokter, perawat, dan psikolog yang siap setiap saat jika dibutuhkan, namun jika tidak dapat mengatasi akan dirujuk ke rumah sakit dengan pengawasan dari petugas Lapas. Dari uraian diatas memicu ketertarikan peneliti untuk meneliti hubungan kecerdasan adversitas dengan kualitas hidup pada penyalahguna NAPZA. Peneliti mengambil sampel pengguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta.
6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu adakah hubungan kecerdasan adversitas dengan kualitas hidup pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan adversitas dengan kualitas hidup pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus: a. Mengetahui tingkat kecerdasan adversitas pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta. b. Mengetahui tingkat kualitas hidup pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya keperawatan jiwa dalam mengetahui hubungan kecerdasan adversitas dan kualitas hidup pasien NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta.
7 2. Praktis a. Bagi Peneliti Menambah wawasan pengetahuan peneliti mengenai hubungan kecerdasan adversitas dan kualitas hidup pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta. b. Profesi Keperawatan 1) Menambah pengatahuan profesi keperawatan dalam memandang manusia sebagai manusia yang holistik. 2) Menambah pengatahuan profesi keperwatan dalam memberikan asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan. E. Keaslian Penelitian Bardasarkan referensi yang ada, penelitian mengenai hubungan kecerdasan adversitas dengan kualitas hidup pada penyalahguna NAPZA belum pernah dilakukan. Penelitian serupa yang pernah dilakukan antara lain: 1. Nurdin (2007). Tesis. Kebermaknaan Hidup Narapidana Ditinjau Dari Konsep Diri Dan Kecerdasan Adversitas. Penelitian ini menggunakan metode non experiment dengan rancangan cross sectional terhadap 100 Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas I, Gunung Sari, Makassar. Variabel penelitian terdiri dari 2 yaitu konsep diri dan kecerdasan adversitas dan variabel terikatnya adalah kebermaknaan hidup. Hasil dari penelitian ini adalah kecerdasan adversitas dan konsep diri mempengaruhi makna hidup seseorang. Persamaan dengan penilitian ini adalah jenis rancangan penelitian dan
8 variabel bebas yang berupa kecerdasan adversitas. Perbedaanya pada variabel terikat yaitu kualitas hidup serta subjek penelitian yaitu penyalahguna NAPZA. 2. Wulandari (2009). Skripsi. Kecedasan Adversitas dengan Intensi Sembuh Pada Pengguna NAPZA Di Panti Rehabilitasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional dengan jumlah responden sebanyak 80 orang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan adversitas dan variabel terikatnya adalah intensi sembuh. Hasil dari penelitian adalah adanya hubungan yang signifikan antara kecerdasan adversitas dengan intensi sembuh. Persamaanya peneliti juga menggunakan variabel bebas yang berupa kecerdasan adversitas dan juga menggunakan jenis rancangan penelitian yang sama. Perbedaanya pada variabel terikatnya adalah kualitas hidup dan subyek penelitian. 3. Walengwangko (2010). Tesis. Studi Potong Lintang Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS : Penekanan Pada Nilai Antropometri. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Variabel bebas dalam penelian ini adalah karakteristik antropometri dan variabel terikatnya adalah kualitas hidup. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang lemah antara antropometri dengan kualitas hidup. Persamaan penelitian ini adalah jenis penelitian dan variabel terikatnya yaitu kualitas hidup. Perbedaanya pada variabel bebasnya yaitu antropometri dan juga subjek penilitian.