BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan

2013 PENGARUH PENGGUNAAN TEKNIK JARIMATIKA TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG PERKALIAN ANAK TUNANETRA

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG MELALUI METODE JARIMATIKA PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati ABSTRAK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini akan membahas deskripsi data, pengolahan data, pengujian

BAB I PENDAHULUAN. memahami setiap materi pelajaran yang diberikan, (3) selalu bersikap aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. setiap invidu dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan berkembangnya zaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai. berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Menghitung. 1. Pengertian Kemampuan Menghitung. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kemampuan memiliki kata

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGGUNAAN METODE K JART UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM OPERASI HITUNG PERKALIAN BILANGAN CACAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Penerapan Aljabar Dalam Teknik Menghitung Perkalian Dua Bilangan

PENERAPAN ALJABAR DALAM TEKNIK MENGHITUNG PERKALIAN DUA BILANGAN Oleh : Musthofa Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini tercantum pada undang-undanng Republik Indonesia No.20 pasal 5 ayat 2

BAB 2 LANDASAN TEORI. Kata motivasi digunakan untuk menjelaskan suatu dorongan, kebutuhan, atau. keinginan untuk melakukan sesuatu (Slavin, 1991).

TINJAUAN PUSTAKA. lebih luas dari pada itu, yakni mengalami. Hal ini sejalan dengan pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. konsepnya sehingga memungkinkan kita terampil berpikir rasional.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Hakikat Kemampuan Mengurang Bilangan Bulat. 2010:10), mengartikan bahwa kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Spears dan Geoch dalam Sardiman AM (2005 : 20) sebagai berikut: berperilaku sebagai hasil dari pengalaman.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. keinginan. Sedangkan menurut Sudarsono (2003:8) minat merupakan bentuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan ujung tombak suatu negara yang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan. permulaan dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang mengajar di

EFEKTIVITAS METODE JARIMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA SEKOLAH DASAR KELAS III. Ratna Puspita Indah STMIK Duta Bangsa Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni

BAB II KAJIAN PUSTAKA. seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proaktif (urun rembuk) dalam memecahkan masalah-masalah yang diberikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan tersebut mengalami perubahan, sehingga fungsi intelektual semakin

METODA JARIMATIKAMENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA BERHITUNG PERKALIAN DI KELAS II SDN SALEP. EEN ROHAENI,S.Pd.SD

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Kemampuan ini berbeda-beda, tergantung kecerdasan setiap individu, misalnya

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat menuju kearah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

2016 PENGARUH MED IA PUZZLE KERETA API D ALAM MENYAMBUNGKAN SUKU KATA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK D OWN SYND ROM

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (dalam Ruminiati, 2007), bahwa pembelajaran adalah suatu proses dimana

Perancangan Buku Interaktif Jarimatika Penjumlahan dan Pengurangan sebagai Alternatif Pembelajaran Matematika untuk Anak Usia 5-7 Tahun

PENERAPAN METODE JARIMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG PERKALIAN. Khotna Sofiyah

BAB I PENDAHULUAN. emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN. lembaga pendidikan setiap individu dapat meningkatkan potensi yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran pada anak usia dini khususnya Taman Kanak-Kanak (TK)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1

TINJAUAN PUSTAKA. di sekolah. Mata pelajaran ini beroreantasi pada pelaksanaan misi. berbagai aktivitas jasmani (Depdikbud, 1993: 1).

PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati, S.

BAB I PENDAHULUAN. Matematika ialah suatu ilmu yang berkaitan dengan penalaran atau berfikir

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Brunner Dalam Romzah (2006:6) menekankan bahwa setiap individu pada waktu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. kegiatan yang paling pokok, ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Freudenhal (dalam Zulkardi, 2001:3) menekankan bahwa. dalam matematika. Aktivitas matematika ini dikenal juga sebagai

MENUMBUHKAN MINAT BELAJAR SISWA MELALUI PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING

BAB I PENDAHULUAN. Di era informasi instan dewasa ini, setiap masyarakat membutuhkan informasi,

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Tunanetra dalam Pembelajaran Matematika

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan mutu pendidikan, berbagai upaya dilakukan pemerintah diantaranya

Pola Interaksi Guru dan Siswa Tunanetra. Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; Abstract

PEMERIKSAAN VISUS MATA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017

II. KAJIAN TEORI. 2.1 Belajar dan Pembelajaran Pengertian Belajar dan Pembelajaran. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Matematika

BAB I PENDAHULUAN. siswa. Matematika beragam manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dari kelas 1 samapai kelas 6. Adapun ruang lingkup materinya sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KEMAMPUAN MENGUBAH PECAHAN BIASA KE PECAHAN DESIMAL DAN SEBALIKNYA

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN 3 KESU PADA MATERI OPEREASI PERKALIAN DAN PEMBAGIAN MELALUI IMPLEMENTASI METODE GASING

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. aktifitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita ringan merupakan kelompok anak yang memiliki

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE DISKUSI BERBANTUAN MEDIA BAGAN PECAHAN DI KELAS III SDN KALISARI

BAB I PENDAHULUAN. pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks

BAB I PENDAHULUAN. Guru yang profesional tentu akan selalu berupaya melaksanakan pembelajaran yang

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian konsep dasar belajar dalam teori Behaviorisme didasarkan pada pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. 1. Persepsi Siswa Tentang Keterampilan Mengajar Guru

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

. BAB II KAJIAN TEORI. 1. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenein yang berarti

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Informasi merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan untuk digunakan dalam

2015 MODIFIKASI PERMAINAN SCRABBLE UNTUK MENAMBAH PERBENDAHARAAN PERMAINAN BAGI SISWA TUNANETRA DI SLB AYPLB MAJALENGKA

BAB II KAJIAN TEORETIS. 2.1 Hakekat Kemampuan Siswa Mengubah Pecahan Biasa Menjadi Pecahan Desimal Pengertian Pecahan Biasa dan Pecahan Desimal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba sesuatu sendiri,

Putri Nur Hakiki, Endro Wahyuno. Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Malang, Malang

Transkripsi:

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA A. Jarimatika Ama (2010) dalam http://amapintar.wordpress.com/jarimatika/ mengemukakan bahwa jarimatika merupakan singkatan dari jari dan aritmatika. Jarimatika adalah metode berhitung dengan menggunakan jari tangan. Metode berhitung ini ditemukan oleh Septi Peni Wulandani. Awalnya dari kepedulian terhadap materi pendidikan anak-anaknya dalam pengenalan berhitung. Banyak metode yang telah dipelajari, tetapi semuanya memakai alat bantu dan kadang membebani memori otaknya. Setelah itu mulai ada ketertarikan dengan jari sebagai alat bantu yang tidak perlu dibeli, dibawa kemana-mana dan ternyata juga mudah dan menyenangkan. Akhirnya penelitian dilakukan dari hari ke hari untuk mengotak-atik jari hingga ke perkalian dan pembagian, serta mencari uniknya berhitung dengan keajaiban jari sehingga dinamakan jarimatika. Setelah itu diterapkan terhadap anak-anaknya supaya menguasai metode ini dengan menyenangkan dan menguasai keterampilan berhitung. Meski hanya menggunakan jari tangan, akan tetapi dengan jarimatika kita mampu melakukan operasi bilangan KaBaTaKu (Kali Bagi Tambah Kurang) sampai dengan ribuan atau mungkin lebih. Jadi, jarimatika merupakan metode yang dapat digunakan untuk melakukan operasi hitung matematis seperti perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. Dengan menggunakan jarimatika diharapkan 11

12 dapat mempermudah siswa tunanetra dalam melakukan perhitungan matematika terutama perkalian. Penggunaan jarimatika sebenarnya telah lama digunakan oleh guru-guru yang mengajar tunanetra di sekolah dasar untuk membantu siswa dalam mengerjakan perkalian pada khususnya, hanya saja konsep yang sekarang di terapkan lebih disempurnakan. Perkalian yang akan dilakukan dengan jarimatika disini yaitu perkalian kelompok dasar bilangan 6 sampai dengan 10. Akan tetapi sebelum melakukan perkalian tersebut, siswa harus memahami konsep dasar perkalian yaitu penambahan berulang, sebagai prasyarat untuk melakukan perkalian selanjutnya. Konsep dasar ini diterapkan untuk perkalian bilangan 1 sampai dengan 5. Contoh, berapa jumlah kaki dari 5 sapi. Bentuk perkalian dari pertanyaan tersebut yaitu 4 x 5, artinya 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 20 Perkalian dengan menggunakan jarimatika yaitu menghitung hasil kali dengan bantuan jari tangan sendiri. Adapun rumus perkalian kelompok dasar dengan jarimatika yaitu (A 1 x A 2 ) + (B 1 + B 2 ) = Keterangan : A 1 = jari tangan kiri yang dibuka(satuan) A 2 = jari tangan kanan yang dibuka (satuan) B 1 = jari tangan kiri yang dilipat (puluhan) B 2 = jari tangan kanan yang dilipat (puluhan)

13 Contoh 8 x 9 =, caranya tentukan formasi jarinya, tangan kiri untuk angka 8 dan tangan kanan untuk angka 9. Jari yang dibuka bernilai satuan(dikalikan), dan jari yang dilipat bernilai puluhan (dijumlahkan). Jadi, 8 x 9 = (A 1 x A 2 ) + (B 1 + B 2 ) = (2 x 1) + ( 30 +40) = 2 + 70 = 72 Sebagai gambaran, ilustrasi bilangan 6 sampai dengan 10 jarimatika dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Angka Gambar/Simbol Keterangan 6 Hanya ibu jari yang dilipat 7 Ibu jari dan kelingking yang dilipat Dua jari yang di buka, telunjuk dan jari tengah 8

14 Hanya jari telunjuk yang dibuka 9 Semua jari dilipat 10 Gambar 2.1 Simbol Jarimatika B. Prestasi Belajar Prestasi belajar terdiri dari dari dua kata yaitu prestasi dan belajar. Sebelum membahas tentang prestasi belajar, terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian prestasi dan belajar. Menurut Sardiman A.M (2001:46) Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar. Sedangkan menurut A. Tabrani (1991:22) Prestasi adalah kemampuan nyata (actual ability) yang dicapai individu dari satu kegiatan atau usaha. Hal ini selaras dengan pengertianpengertian diatas dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996:186) Prestasi adalah hasil yang Sedangkan menurut telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). W.S Winkel (1996:165) Prestasi adalah bukti usaha yang

15 telah dicapai (http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/04/pengertianprestasi.html) Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi merupakan suatu hasil yang telah dicapai dari interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya sebagai bukti usaha yang telah dilakukan. Belajar merupakan suatu kata yang sudah akrab atau tidak asing lagi bagi semua lapisan masyarakat, terutama bagi para pelajar dan mahasiswa merupakan kegiatan yang paling pokok dalam mencapai perkembangan individu dan mempermudah pencapaian tujuan institusional suatu lembaga pendidikan. Perkembangan yang dimaksud adalah suatu perubahan menuju kearah yang lebih maju, dan lebih dewasa. Slameto (Djamarah, 2002: 13) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut para ahli, pengertian belajar dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Whiterington mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan dalam kepribadian, sebagaimana yang dimanifestasikan kedalam bentuk perubahan penguasaan-penguasaan pola respon atau perilaku baru yang nyata dalam perubahan keterampilan, sikap, kebiasaan, kesanggupan atau pemahaman (Suherman, 2000: 37). b. Morgan mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari suatu latihan atau pengalaman (Suherman, 2000: 37).

16 Berdasarkan definisi diatas, maka dapat diketahui unsur-unsur yang penting yang mencirikan pengertian tentang belajar yaitu adanya perubahan yang terjadi berkaitan dengan keterampilan sikap, kebiasaan, kesanggupan atau pemahaman, perubahan itu relatif menetap sebagai hasil dari latihan atau pengalaman. Hal ini ditegaskan oleh Surya (2003: 11), bahwa ciri-ciri perubahan dari hasil belajar adalah: 1) Perubahan yang terjadi secara sadar artinya individu yang menyadari dan merasakan adanya perubahan dalam dirinya, 2) Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu artinya perubahan yang terjadi akan berlangsung terus menerus atau tidak statis dan akan menyebabkan perubahan berikutnya yang berguna bagi proses belajar selanjutnya, 3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, yaitu perubahan-perubahan yang selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha dari individu itu sendiri, 4) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, maksudnya bahwa perubahan itu bersifat menetap atau permanen, 5) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah; artinya perubahan itu terjadi karena adanya tujuan yang akan dicapai dan yang benar-benar disadari, 6) Perubahan yang bersifat fungsional artinya perubahan itu memberikan manfaat bagi individu yang bersangkutan, dan 7) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku; artinya perubahan itu secara menyeluruh misalnya sikap, kebiasaan, keterampilan, pengetahuan dan sebaginya. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan yang disadari, bersifat kontinyu dan fungsional, positif

17 dan aktif, permanen, bertujuan dan terarah, serta mencakup seluruh aspek tingkah laku. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Memahami pengertian prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri. Untuk itu para ahli mengemukakan pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan yang mereka anut. Namun dari pendapat yang berbeda itu dapat kita temukan satu titik persamaan. Sehubungan dengan prestasi belajar, Poerwanto (1986:28) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Selanjutnya Winkel (1996:162) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Sedangkan menurut S. Nasution (1996:17) prestasi belajar adalah: Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar

18 mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa. C. Perkalian Dasar Perkalian di sekolah dasar diajarkan di kelas II sebagai pemula agar pembelajaran menjadi bermakna dan dapat memberikan kecakapan hidup. Perlu adanya pembelajaran dengan menggunakan permasalahan yang diambil dalam cerita yang dekat dengan konteks kehidupan siswa. Perkalian merupakan topik yang sangat krusial atau penting dalam pembelajaran matematika sebab sering dijumpai terapannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya operasi hitung yang lain. Pembelajaran perkalian dipilah dalam dua hal, yaitu perkalian dasar dan perkalian lanjutan. Perkalian dasar yang dimaksud adalah perkalian dua bilangan satu angka, sedangkan perkalian lanjutan adalah perkalian yang melibatkan paling tidak sebuah dua angka, Long Lynette (2000 : 3). Perkalian dasar sangat penting untuk dikuasai, karena dapat dikatakan bahwa perkalian dasar merupakan prasyarat bagi perkalian lanjutan. Maksud dari pra-syarat disini yaitu untuk memahami dan mengerti perkalian lanjutan, perkalian dasar harus sudah dikuasai sebelumnya.

19 Secara matematika, perkalian dasar adalah penjumlahan berulang dari bilangan-bilangan yang sama pada setiap sukunya. Sejalan dengan pendapat Wikipedia (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/perkalian) bahwa. Perkalian terdefinisi untuk seluruh bilangan di dalam suku-suku perjumlahan yang diulangulang. Operasi ini adalah salah satu dari empat operasi dasar di dalam aritmatika dasar (yang lainnya adalah perjumlahan, pengurangan, dan pembagian). Di sekolah dasar perkalian pertama yang diajarkan adalah perkalian dengan hasil sampai 50, itu berarti objek yang dikalikan adalah bilangan 1 sampai 5, sedangkan pengalinya adalah bilangan 1 sampai 10. Urutan mana yang didahulukan tidak begitu penting, yang penting siswa dapat mengikutinya secara menyenangkan. Namun dengan keluarnya kurikulum baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perkalian dasar berubah dimulai dari perkalian 1 sampai 10. Perkalian dasar yang akan dibahas disini yaitu perkalian bilangan 6 sampai dengan 10 dengan menggunakan jarimatika. Akan tetapi, sebelum melangkah ke perkalian bilangan 6 sampai dengan 10, anak-anak harus sudah mengerti konsep dasar perkalian dan menghapal perkalian 1 sampai dengan 5 di ingatannya sebagai dasar untuk melakukan perkalian selanjutnya. D. Ketunanetraan 1. Pengertian Tunanetra Hallahan dan Kaufman (Tarsidi, 1991:8) menyatakan bahwa hanya 18% dari tunanetra yang didefinisikan sebagai buta secara legal adalah buta total dan harus mempergunakan braille sebagai media bacanya. Dengan pendapat

20 Hallahan dan Kaufman ini mematahkan asumsi orang-orang yang menganggap tunanetra atau orang buta tidak memiliki sisa penglihatan dan hidup di dalam dunia kegelapan. Menurut Persatuan Tunanetra Indonesia (2004 dalam http://pertuni-idpeurope.org/) bahwa ketunanetraan adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 poin dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas/low vision). Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa orang tunanetra adalah mereka yang tidak mampu menggunakan daya penglihatannya sedemikian rupa sehingga walaupun telah dilakukan perbaikan-perbaikan dengan menggunakan bantuan kacamata namun masih memerlukan metode pelayanan khusus. Sedangkan menurut Harley (Smith, 1998) pengertian ketunanetraan berdasarkan kebutuhan pendidikan yaitu: Siswa-siswa yang buta secara total atau yang mempunyai kelainan penglihatan berat (severe visual impairment) adalah yang harus diberikan pengajaran membaca dengan menggunakan huruf Braille. Siswa dengan kondisi kekurangan penglihatan sebagian (Partially sighted) adalah mereka yang mempunyai cukup sisa penglihatan (residual vision) sehingga mereka dapat membaca huriuf yang dicetak cukup besar maupun yang dilihat melalui alat-alat pembesar atau dengan penerangan yang khusus. Hal ini sejalan dengan Hosni (tanpa tahun), tentang definisi ketunanetraan dilihat dari kacamata pendidikan bahwa, siswa tunanetra itu adalah mereka yang

21 penglihatannya terganggu sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus dan atau bantuan lain secara khusus. Berdasarkan uraian ini, dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah mereka yang tidak dapat menggunakan penglihatannya, sehingga dalam proses belajar akan bergantung pada indera pendengaran (auditif), perabaan (tactual), dan indera lain yang masih dapat berfungsi. Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang paling efesien setelah indera penglihtan. 2. Klasifikasi Ketunanetraan Berdasarkan fungsi penglihatannya, Hosni (tanpa tahun) mengelompokkan ketunanetraan menjadi: a. Mereka yang mampu membaca cetakan standar. b. Mereka yang mampu membaca cetakan standar dengan memakai alat pembesar. c. Mereka yang hanya mampu membaca cetakan standar (no.18). d. Mereka yang mampu membaca kombinasi antara cetakan besar/regular print. e. Mereka yang mampu membaca cetakan besar dengan menggunalan alat pembesar. f. Mereka yang hanya mampu dengan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas). g. Mereka yang hanya menggunakan Braille tetapi sudah tidak mampu melihat cahaya. Ciri-ciri di atas menyimpulkan bahwa ketunanetraan dilihat dari fungsi indera mata dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatannya, Slayton yang dikutip oleh Meiyani (1990: 7) mengelompokkan tunanetra sebagai berikut:

22 1. Kebutaan total; yaitu mereka yang mengalami kerusakan penglihatan sedemikian rupa sehingga mereka sama sekali tidak memiliki sisa penglihatan, tidak dapat membedakan terang dan gelap. 2. Penglihatan terhadap bayangan objek hingga 20/200; maksudnya tunanetra yang masih mempunyai sisa penglihtan hingga 20/200 dan mampu melihat bayangan objek/benda. 3. Penglihatan terhadap bentuk dan geraklan objek; tunanetra yang masih bisa melihat bentuk dan gerakan dari pada benda. 4. Kekurangan daya penglihatan yang masih bisa ditolong hingga 20/70; tetapi dengan pertolongan alat atau kacamata masih mampu memperoleh pengalamanvisual yang cukup. 5. Buta warna; yaitu mereka yang mengalami gangguan penglihatannya sehingga tidak dapat membedakan warna-warna tertentu. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ketunanetraan dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan ketajaman penglihatan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa yang menyandang tunanetra untuk mengetahui seberapa banyak siswa dapat menggunakan indera penglihatannya yang masih tersisa seoptimal mungkin untuk belajar. 3. Kebutuhan Belajar Siswa Tunanetra Pengetahuan dasar tentang matematika serta keterampilan penggunaannya merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang tidak terkecuali bagi tunanetra. Matematika sangat penting bagi keilmuan, terutama dalam peran yang dimainkannya dalam mengekspresikan model ilmiah. Kemampuan pengetahuan matematika yang mendasar, akan mempermudah anak dalam memecahkan kesulitan dan permasalahan diberbagai bidang yang terkait dengan kebutuhan hidupnya

23 Kebutuhan belajar siswa tunanetra sebenarnya sama dengan kebutuhan siswa-siswa lain pada umumnya, hanya saja terkadang dalam pengalaman belajarnya siswa tunanetra mempunyai kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi di tempat dan dengan metode yang khusus. Siswa tunanetra mengembangkan dirinya dengan memanfaatkan sisa-sisa penglihatan dan mengembangkan indera yang lainnya seprti pendengaran, perabaan serta penciumannya. Penglihatan seseorang memegang peranan penting dalam mendapatkan informasi dari lingkungan. Dengan hilangnya fungsi penglihatan mereka, maka pemenuhan kebutuhan belajar mereka harus dimodifikasi baik dari tempat belajarnya, metode maupun alat-alat bantu dalam kegiatan pembelajarannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardja (2008) dalam http://www.djrahardja.blogspot.com/ bahwa pembelajaran yang terbaik bagi siswa tunanetra adalah yang berpusat pada apa, bagaimana, dan di mana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia. Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan, prinsip-prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak dimana pembelajaran akan dilakukan.