BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Apabila membahas pengertian pajak, banyak definisi atau batasan pajak yang

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang

BAB II TELAAH PUSTAKA. pengertian yang sama. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi :

Objek PPN Yang Harus Dibuatkan Faktur Pajak. a. penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha

BAB II LANDASAN TEORI. dikemukakan para ahli sebagai berikut: a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH (2002:1)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

Faktur Pajak. Objek PPN Yang Harus Dibuatkan Faktur Pajak. Saat Faktur Pajak Harus Dibuat. Faktur Pajak Gabungan

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

BAB II LANDASAN TEORITIS. 1. Pengertian, Tujuan dan Manfaat Pajak Pertambahan Nilai. yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

BAB II LANDASAN TEORI

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun

BAB II LANDASAN TEORITIS. (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Mardiasmo (2001:118), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II LANDASAN TEORI

LANDASAN TEORI. dalam buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2008, h3),

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB I I. LANDASAN TEORl

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) yang langsung dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak berdasarkan undang-undang dan dari berbagai pakar pajak

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis

BAB II LANDASAN TEORI. dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai. IV.1.1 Analisis Perolehan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan)

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia,

Faktur pajak (tax invoice) merupakan sarana administrasi

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. MRC adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa konstruksi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN TENTANG EFEKTIVITAS PENERAPAN E-FAKTUR ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. hewan) yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG

PERTEMUAN 12 By Ely Suhayati SE MSi Ak. PPN DAN PPnBM

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PAJAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Objek Pajak. Objek PPN: Pasal 4 ayat 1. Objek PPN Pasal 16 C: Kegiatan Membangun Sendiri

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam evaluasi penerapan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai pada PT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144 TAHUN 2000 TENTANG JENIS BARANG DAN JASA YANG TIDAK DIKENAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN Bacalah terlebih dahulu Buku Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PEMBAHASAN TENTANG MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

BAB IV EVALUASI ATAS PENGHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PT JMU

BAB IV PEMBAHASAN. kedua atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983, Pengusaha yang melakukan

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. II.1.1 Definisi Pajak dan Pajak Pertambahan Nilai. ( Dikutip dari penulis Sukardji,U (2006). Pajak pertambahan nilai (edisi

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang

Objek Pajak. Objek PPN: Pasal 4 ayat penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Evaluasi Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. Mejoi merupakan perusahaan distributor yang bergerak dalam

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Apabila membahas mengenai pajak, para ahli memberikan batasan-batasan tertentu mengenai definisi pajak tersebut. Salah satunya adalah seperti yang dikutip Seligman dalam buku Waluyo (2002) sebagai berikut, Tax is Compulsary Contribution from the person, to the Government to depray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conperred. (h. 5) Soemitro dalam buku Mardiasmo (2003) menjelaskan pengertian pajak, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (h. 1) Adriani dalam buku Sukardji (2005), merumuskan pengertian pajak sebagai berikut, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. (h. 1) Dari ketiga definsi tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa pengertian pajak dapat dirumuskan sebagai berikut : Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara yang pelaksanaannya dapat dipaksakan menurut undang-undang, tanpa 7

mendapat kontraprestasi secara langsung yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. II.1.2 Jenis-jenis Pajak II.1.2.1 Pengelompokan Pajak Mardiasmo (2003) menulis, Pajak dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok besar menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya. Berikut ini adalah pengelompokannya : 1. Menurut Golongannya. a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPh b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPN 2. Menurut Sifatnya. a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : PPh b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : PPN dan PPnBM 3. Menurut lembaga pemungutnya. a. Pajak Pusat, Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM, PBB, dan Bea Meterai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan 8

untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas : Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan pajak Penerangan Jalan. (h. 5-6) II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Berikut ini akan dijabarkan mengenai system pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia mengacu pada Mardiasmo (2003) A. Self Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang B. Official Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk memnetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus. 9

Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. C. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak lain selain fiskus dan Wajib Pajak. II.2 Pengertian dan Penghitungan PPN II.2.1 Ketentuan Umum Pajak Pertambahan Nilai Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 11 tahun 1994 dan undang-undang nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Kena dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dijelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai antara lain: Daerah Pabean, adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suau perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. 10

Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau yang seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditentukan oleh Keputusan menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib 11

dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. (h. 227-228) Mardiasmo (2003) menulis, pengertian Jasa Kena Pajak dan pengecualian terhadap Jasa Kena Pajak adalah sebagai berikut: 1. Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suau perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN. 2. Pengecualian Jasa Kena Pajak Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagi berikut : a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi: Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, dan fisiotherapi; Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium. b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi : Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo; Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial; Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko. 12

d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, seperti : Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), jasa wali amanat, serta anjak piutang; Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi; Jasa sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi. e. Jasa di bidang keagamaan, meliputi : Jasa pelayanan rumah ibadah; Jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan Jasa lain di bidang keagamaan. f. Jasa di bidang pendidikan, seperti : Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah; dan Jasa penyelenggaraan pendidikan di luar sekolah (kursus-kursus). g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan Pajak Tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti : pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma. h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti : penyiaran radio dan televisi yang dilakukan oleh instansi Pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. i. Jasa di bidang angkutan umum di daratdan di air, seperti : jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta. 13

j. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi : Jasa tenaga kerja; Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; Jasa penyelengaraan latihan bagi tenaga kerja. k. Jasa di bidang perhotelan, seperti : Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, hotel, losmen, dan hotel. l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, seperti: pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda Penduduk. (h. 228-230) II.2.2 Latar belakang penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai Sukardji (2005) menjelaskan secara gamblang mengenai lahirnya Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengganti Pajak Penjualan yang sebelumnya berlaku di Indonesia sebagai berikut, Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1951 yang kemudian ditetapkan sebagi 14

Undang-undang oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 1935, sejak tanggal 1 April 1985 telah diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya didasarkan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983. Lebih dari tiga dasawarsa Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah menunjukkan dedikasinya dalam pemungutan pajak atas konsumsi di Indonesia, namun dalam rangka melaksanakan program reformasi (pembaharuan) Sistem Perpajakan Nasional tahun 1983, Undang-Undang Pajak Penjualan 1951 dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun latar belakang penggantian tersebut, dapat disebutkan sebagai berikut : a. Dalam pelaksanaan Undang-undang Penjualan 1951, telah terjadi banyak perubahan fundamental baik yang bersifat sebagai penyempurnaan maupun tambahan. Sebagai akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. b. Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan 1951, dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak untuk berusaha menghindar dari pengenaan pajak bahkan kalau perlu menyelundupkan pajak. c. Undang-undang PPn 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan pajak, yaitu untuk pengusaha tertentu diterapkan sistem self assesment system, sedangkan untuk pengusaha lainnya digunakan official assesment system. Keadaan ini sangat menyulitkan pelaksanaan pengawasannya. d. Sebagai akibat pengenaan pajak berganda, maka pajak Penjualan menjadi tidak netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional, karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah beban pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan di 15

ekspor. e. Variasi tarif yang cukup banyak, sampai mencapai 9 (sembilan) macam tarif, menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga cukup besar pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak. II.2.3 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Terra dalam buku Sukardji (2005) mengemukakan, karakteristik legal Pajak pertambahan Nilai sebagai berikut : 1. General Tax on Consumption ; 2. Indiect Tax ; 3. Neutral ; 4. Non-cumulative. Jika pendapat tersebut dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut: a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Administrasi Pajak (fiskus) akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual 16

Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Gambar di bawah ini akan memperjelas keterangan di atas. Negara PPN Penjual / Pengusaha Jasa (PKP) BKP / JKP PPN Pembeli / Penerima Jasa Penanggung Jawab Pemikul Beban Pajak Gambar II.1 Bagan PPN sebagai Pajak Tidak Langsung b. Pajak Objektif Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai Pajak Objektif, timbulnya kewajiban untuk membeyar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak. c. Multi Stage Tax 17

Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian di tingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Contoh : Pabrik Benang Benang Pabrik Tekstil Tekstil Pabrik Garmen Garmen Pedagang Besar Garmen Garmen Pedegang Eceran Garmen Konsumen Gambar II.2 Multi Stage Tax Pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi tersebut di atas dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. c. PPN Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Dihitung Menggunakan Indirect Subtraction Method / Credit Method / Invoice Method. Pajak yang dipungut oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa tidak secara otomatis dibayar ke kas Negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas Negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method). Pajak keluaran yang dikurangkan dengan pajak masukannya untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas 18

negara, dinamakan tax credit. Oleh karena itu pola ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti. Dokumen penunjang ini dinamakan Faktur Pajak (tax invoice). Sehingga metode ini dinamakan juga metode faktur (invoice method). d. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum dalam Negeri. Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor dikenakan PPN dengan persentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan baik badan swasta maupun badan Pemerintah, karena konsumen tidak semata-mata mengkonsumsi barang tetapi juga mengkonsumsi jasa. Maka, agar beban pajak yang dipikul oleh konsumen dapat dihitung dengan baik, PPN disamping dikenakan pada konsumsi atas barang juga dikenakan pada konsumsi atas jasa. e. Pajak Pertambahan Nilai Bersifat Netral Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor, yaitu : a. PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa b. Dalam pemunutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle) Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu: 1) Prinsip tempat asal (origin principle) 2) Prinsip tempat tujuan (destination principle) 19

Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Sedangkan berdasarkan prinsip tempat tujuan, PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi. Kedua prinsip ini sangat besar pengaruhnya terhadap kedudukan PPN dalam perdagangan internasional. Apabila dikehendaki ada sifat netral PPN di bidang perdagangan internasional, maka prinsip yang dianut adalah tempat tujuan (destination principle). Dalam prinsip ini, komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang produksi dalam negeri. Karena kedua komoditi ini sama-sama dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan pajak dengan beban yang sama. Dengan demikian maka kompetisi antara komoditi impor dengan produk domestik tidak dipengaruhi oleh PPN. f. Tidak menimbulkan Dampak Pengenaan Pajak Berganda Kemungkinan pengenaan pajak berganda seperti yang dialami dalam era UU Pajak Penjualan (PPn) 1951 dapat dihindari sebanyak mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambah saja. Keadaan ini berbeda dengan situasi dalam era UU PPn 1951, yang dalam pelaksanaannya, Pengusaha tidak diberi hak untuk memperoleh kembali PPn yang dibayar atas perolehan bahan baku/pembantu atau barang modal. Akibatnya, Pajak Penjualan yang terutang sepenuhnya merupakan hasil perkalian tarif PPn dengan peredaran bruto. (h. 19-25) II.2.4 Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai tidak lepas dengan pencatatan dan pembukuan akuntansi. Pencatatan dan atau pembukuan tersebut wajib dilakukan oleh PKP sebagai akibat 20

transaksi penjualan atau pembelian yang dilakukan oleh PKP. Berikut ini akan dijelaskan perlakuan akuntansi atas transaksi penjualan dan pembelian yang terutang PPN mengacu pada Lumbantoruan (1996). Prosedur pencatatan transaksi dalam PPN dibagi menjadi beberapa bagian: 1. Pembelian barang yang PPN-nya dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan Pembelian barang untuk diolah, dan Pembelian barang modal yang ada hubungannya dengan proses produksi 2. Penjualan dan PPN yang terutang 3. PPN yang masih harus dibayar atau lebih Penjelasan prosedur pembukuan akan lebih jelas dengan beberapa contoh di bawah ini: Pembelian Barang/Persediaan dan Barang Modal yang PPN-nya dapat dikreditkan, jurnalnya: Dr. Pembelian Dr. PPN Masukan Cr. Utang Pembelian Barang/Persediaan yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan, jurnalnya: Dr. Persediaan Dr. Biaya PPN Cr. Kas Pembelian Barang Modal yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan, jurnalnya: Dr. Kendaraan sedan Cr. Kas 21

Untuk pembelian Barang modal yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan, maka PPN Masukannya tidak dapat langsung dibebankan tapi disusutkan sesuai dengan tarif penyusutannya. Penjualan Barang, jurnalnya: Dr. Kas Cr. Penjualan Cr. PPN Keluaran Penjualan dengan uang muka, jurnalnya: a. Pembayaran uang muka Dr. Kas Cr. Uang muka pelanggan Cr. PPN Keluaran b. Penyerahan barang Dr. Kas Dr. Uang Muka Pelanggan Cr. Penjualan Cr. PPN Keluaran Penjualan dengan angsuran a. Pada saat penyerahan barang Dr. Piutang penjualan angsuran Cr. Penjualan Cr. PPN Keluaran b. Pada saat pembayaran angsuran 22

Dr. Kas Cr. Piutang penjualan angsuran Dalam hal Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, maka atas Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya. II.2.5 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Sukardji (2005) menyebutkan, dengan mengenakan PPN atas Nilai Tambah (added value) dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak maka kekhawatiran timbul efek pengenaan pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimaksud dengan Nilai Tambah, adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi penusutan, bunga modal, gaji/upah yang dibayarkan, sewa telepon, listrik serta pengeluaran lainnya, dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan. Dalam menghitung pajak yang terutang atas Nilai Tambah tersebut, dikenal ada tiga metode yaitu : a. Addition Method Berdasarkan metode ini, PPN dihitung dari penjumlahan seluruh unsur nilai tambah dikalikan tarif PPN yang berlaku. Kelemahan metode ini adalah menuntut setiap pengusaha memiliki pembukuan yang dikerjakan dengan tertib dan akurat mengenai biaya yang dikeluarkan dan laba yang diharapkan dari masing-masing barang produksi atau barang dagangan. 23

b. Subtraction Method Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dari selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian, dikalikan tarif pajak yang berlaku. Metode ini benar-benar sangat sederhana. c. Credit Method Metode yang terakhir ini sebenarnya hampir sama dengan subtraction method, hanya bedanya dalam credit method yang dicari bukan sekedar selisih antara harga jual dengan harga beli, melainkan selisih antara pajak yang dibayar pada saat pembelian dengan pajak yang dipungut pada saat penjualan. Oleh karena itu berdasarkan metode ini, PPN yang terutang merupakan hasil pengurangan antara PPN yang dipungut oleh pengusaha pada saat melakukan penjualan dengan PPN yang dibayar pada saat ia melakukan pembelian. Dari tiga metode penghitungan tersebut, UU PPN 1984 menganut Credit Method/Invoice Method/Indirect Subtraction Method. Sesuai dengan nama metode ini, mekanisme pengurangan pajak yang dibayar pada saat melakukan pembelian terhadap Pajak yang dipungut pada saat melakukan penjualan, dalam UU PPN 1984 disebut mekanisme Pengkreditan. Dengan metode ini walaupun pengenaan PPN dikenakan secara bertingkat, dapat dihindari kemungkinan timbulnya pengenaan pajak berganda. Dalam credit method, dikenal adanya pajak yang dibayar pada saat perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan pajak yang dipungut pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Karena Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diperoleh tersebut merupakan masukan (input) untuk kegiatan usaha, maka pajak yang dibayar pada saat perolehannya dinamakan Pajak Masukan (input tax). 24

Sedangkan Barang Kena Pajak atau jasa Jasa Kena Pajak yang diserahkan kepada pihak lain selaku pembeli atau penerima jasa, merupakan produk (output) dari kegiatan usaha. Oleh karena itu pajak yang dipungut dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Setiap pemungutan PPN, pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan wajib membuat Faktur Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak, dinamakan Faktur Pajak Keluaran. Sebaliknya bagi Pengusaha Kena Pajak yang menerima, merupakan Faktur Pajak Masukan. Kas Negara PKP A 12 2 1 3 11 5 8 Pemungut Keterangan PPN : 13 10 4 7 PKP B PKP C PKP D 6 9 Gambar II.3 Mekanisme pemungutan PPN 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP A) menyerahkan misalnya 2 unit Barang Kena Pajak (BKP) kepada PKP B dengan harga per unit Rp 80.000.000,00 ; 2. PKP A membuat dan menyerahkan Faktur Pajak kepada PKP B untuk memungut PPN yang tertutang sebesar RP 160.000.000,00 ; 25

3. Berdasarkan Faktur Pajak yang diterima, PKP B membayar harga jual BKP Rp 160.000.000,00 den PPN sebesar 10% x Rp 160.000.000,00 = Rp 16.000.000,00 yang merupakan Pajak Masukannya ; 4. PKP B menyerahkan satu unit BKP tersebut kepada PKP C dengan harga Rp 100.000.000,00 ; 5. PKP B membuat Faktur pajak dengan nilai PPN Rp 10.000.000,00 ; 6. PKP C membayar Rp 100.000.000,00 dan PPN sebesar Rp 10.000.000,00. Bagi PKP B, ini merupakan Pajak Keluarannya. Bagi PKP C, ini merupakan Pajak Masukan. 7. PKP C lebih lanjut menyerahkan BKP tersebut kepada PKP D dengan harga Rp 120.000.000,00. 8. PKP C membuat Faktur Pajak dengan nilai PPN Rp 12.000.000,00 dan menyerahkannya kepada PKP D. 9. Sesuai dengan Faktur Pajak tersebut, PKP D membayar Rp 120.000.000,00 dan PPN sebesar Rp 12.000.000,00. Ini merupakan Pajak Keluaran PKP C dan Pajak Masukan PKP D. Pada awal bulan berikutnya PKP C membuat perhitungan, Pajak Keluaran sebesar Rp 12.000.000,00 Pajak Masukan sebesar Rp 10.000.000,00 = Rp 2.000.000,00. Selisih lebih Pajak Keluaran inilah yang merupakan PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara oleh PKP C. 10. PKP B menyerahkan BKP yang satu unit lagi kepada Pemungut PPN dengan harga Rp 100.000.000,00 11. PKP B membuat dan menyerahkan Faktur Pajak dengan nilai PPN sebesar Rp 26

10.000.000,00 kepada pemungut PPN. 12. Pemungut PPN menyetor PPN sebesar Rp 10.000.000,00 ke kas negara menggunakan SSP atas nama PKP B 13. Kemudian Pemungut PPN menyerahkan SSP kepada PKP B sebagai bukti bahwa PPN tersebut telah disetor ke kas negara. (h. 30-37) II.3 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Terutang II.3.1 Dasar Pengenaan Pajak dan tarif PPN 1) Dasar Pengenaan Pajak Sukardji (2003) menjelaskan dan merinci kembali mengenai Dasar Pengenaan Pajak sebagai berikut, Dasar Pengenaan Pajak dalam PPN adalah : a. Harga Jual dan penggantian Dalam Pasal 1 angka 18 dirumuskan : Harga Jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Kemudian dalam Pasal 1 angka 19 UU PPN 1984 dirumuskan : Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 27

b. Nilai Impor Pasal 1 angka 20 UU PPN 1984 : Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini. 2) Tarif PPN Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan. Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. II.3.2 Subjek dan Objek Pajak A. Subjek PPN Sukardji (2003) menyebutkan, Subjek PPN adalah Pengusaha (PKP) yang : Melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP Melakukan bentuk kerjasama operasi Sedangkan Pengusaha Non-PKP adalah: Orang pribadi atau badan yang mengimpor BKP 28

Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud / JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri diluar kegiatan usaha atau pekerjaannya (h. 54) B. Objek PPN Pasal 4 (empat) Undang-undang PPN 1984 menyebutkan objek PPN sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. II.3.3 Pengreditan Pajak Masukan Dalam rangka menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu masa pajak, perlu diperhatikan Pajak Masukannya terlebih dahulu. Sukardji (2003) menjelaskan, Kriteria Pajak Masukan yang dapat dan tidak dapat dikreditkan serta hal-hal teknis mengenai Pajak Masukan lainnya sebagai berikut: 29

A. Pengkreditan dalam Masa Pajak yang Tidak Sama (Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984) Pada dasarnya pengreditan Pajak Masukan dilakukan dalam Masa Pajak yang sama. Namun dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 dibuka kemungkinan untuk melakukan pengreditan dalam Masa Pajak yang tidak sama yang dapat digambarkan dalam skema berikut ini : Penyer. BKP Pembuatan FP Pembay. 2/3/01 30/4/01 27/7/01 23/8/01 FP 30/4/01 Pembeli terima Dalam hal FP 30/4/01 Pembeli terima FP 30/4/01 PM dalam FP 30/4/01 dikreditkan dalam SPT Masa PPN Juli 2001 sepanjang : 1. Belum dibebankan sebagai biaya 2. Belum dilakukan pemeriksaan Pengreditan PM dilakukan dengan cara pembetulan SPT Masa PPN April 2001 Gambar II.4 Pengreditan dalam Masa Pajak yang Tidak Sama B. Pengreditan Pajak Masukan Sebelum ada Pajak Keluaran Pasal 9 ayat (2a) UU PPN 1984 : Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. Memori penjelasan ayat ini menegaskan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum melakukan penyerahan BKP atau JKP, atau ekspor BKP sehingga Pajak Keluarannya belum ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan BKP, atau 30

penerimaan JKP, atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean, atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau impor BKP tetap dapat dikreditkan. C. Kriteria Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (5) jo Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN 1984 dapat dipahami bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan BKP atau JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Berhubung langsung dengan kegiatan usaha mengandung pengertian bahwa BKP/JKP yang terkait dimaksudkan untuk melakukan kegiatan penyerahan kena pajak atau dengan kalimat lain untuk tujuan lain yang bersifat produktif. Kriteria ini dinamakan syarat materiil. Selain memenuhi persyaratan materiil tersebut, supaya Pajak Masukan dapat dikreditkan harus memenuhi syarat formal yaitu tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak cacat. Kriteria Faktur Pajak Standar yang cacat adalah sebagai berikut: 1. Faktur Pajak tidak diisi dengan benar Misal: NPWP salah, Nomor Seri Faktur Pajak yang seharusnya 7 digit ditulis kurang dari 7 digit. 2. Faktur Pajak diisi tidak lengkap Misal: baris NPWP pembeli PKP atau penerima JKP tidak diisi, pada baris Jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termijn tidak dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah sebelah kiri. 31

3. Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan 4. Pengisisan/pembetulan dilakukan dengan cra yang tidak benar 5. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah digunakan 6. Faktur Pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP D. Kriteria Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan Pasal 9 ayat (8) dan Pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984 memberikan kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. 1) Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP 2) Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. 4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. 5) Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana. 6) Perolehan BKP atau JKP yang Faktu Pajak-nya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 7) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984. 8) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan 32

Surat Ketetapan Pajak. 9) Perolehan BKP dan atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984). II.3.4 Faktur Pajak Sukardji (2003) menjelaskan, 3 jenis Faktur Pajak yang digunakan sebagai bukti utama untuk menentukan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran PPN ada 3 : 1) Faktur Pajak Standar (Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984) 2) Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar (Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984) 3) Faktur Pajak Sederhana (Pasal 13 ayat (7) UU PPN 1984) A. Faktur Pajak Standar Paling sedikit memuat : a. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP b. Nama, alamat, NPWP pembeli BKP atau penerima JKP c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga d. PPN yang dipungut e. PPnBM yang dipungut f. Kode, Nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak NOMOR SERI : 5 huruf, 3 digit Kode KPP, min. 7 digit Nomor Seri. Contoh nomor seri : ABCDE 123 1234567 33

Bentuk Dan Ukuran Disesuaikan dengan Kepentingan PKP (Contoh formulir Faktur Pajak Standar disajikan pada Lampiran 1) Saat pembuatan Faktur Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut, Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-424/PJ/2002 tanggal 16 Desember 2002 ditetapkan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sebelum melewati 3 bulan sejak batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ/2000, tetap diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar. Apabila diterbitkan telah melampaui batas waktu tersebut maka Faktur Pajak ini tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar berarti Pajak Masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan. Bagi PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar melampaui batas waktu yang ditetapkan dalam Pasal 1 Keputusan Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ/2000 tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar pengenaan Pajak. B. Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar Dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 ditentukan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen-dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar. Sebagai peraturan pelaksanaannya ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-522/PJ/2000 tanggal 6 Desember 2000 yang kemudian diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-312/PJ/2001 tanggal 23 April 2001. Dokumen tersebut paling sedikit harus memuat : 1) Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen 2) Nama, alamat, dan NPWP penerima dokumen sebagai wajib pajak dalam negeri 3) Jumlah satuan apabila ada 34

4) Dasar Pengenaan Pajak 5) Jumlah Pajak yang terutang. Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar menurut Kep. DJP No. KEP- 522/PJ/2000 jo No. 312/PJ/2001 tanggal 23-4-2001 adalah : 1) Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Impor Barang Kena Pajak ; 2) Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri Invoice ; 3) Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) dari Bulog/Dolog untuk penyaluran gula pasir dan tepung terigu ; 4) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat atau dikeluarkan oleh Pertamina untuk penyerahan BBM dan/atau Bukan BBM ; 5) Tanda pembayaran atau kuitansi atas penyerahan jasa telekomunikasi ; 6) Tiket dan surat muatan udara (airway bill), delivery bill, yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri ; 7) SSP untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean ; 8) Nota Penjualan Jasa yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa ke pelabuhan ; 9) Tanda pembayaran atau kuitansi listrik. C. Faktur Pajak Sederhana Sesuai dengan KEP. DJP No. 524/PJ/2000 jis KEP 425/PJ/2001 & KEP- 128/PJ/2004, 25 Agustus 2004, syarat pembuatan Faktur Pajak Sederhana adalah : 35

a. Dibuat untuk penyerahan BKP/JKP kepada konsumen akhir atau kepada pembeli BKP/penerima JKP yang nama, alamt, NPWP tidak diketahui. b. Bentuk Faktur Pajak Sederhana dapat berupa, Bon Kontan, Faktur Penjualan, Karcis, Kuitansi, Segi Kas Register, dan sejenisnya. c. PM yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan. d. Syarat minimum : Nama, alamat, NPWP pembuat Faktur Pajak Jenis dan kuantum BKP/JKP Harga Jual/Penggantian termasuk PPN atau terpisah Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana e. Saat Pembuatan : Pada saat penyerahan Pada saat pembayaran yang diterima sebagai penyerahan. (h. 75-105) II.3.5 Saat dan Tempat Pajak terutang Sukardji (2003) menjelaskan, saat dan tempat pajak terutang sebagai berikut: A. Saat Pajak terutang Saat Pajak terutang diatur dalam Pasal 11 UU PPN 1984 yang penjabarannya dilakukan lebih lanjut dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 serta beberapa Keputusan Direktur Jenderal Pajak untuk yang bersifat khusus. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 mengatur tentang terjadinya peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang menimbulkan utang pajak : 1. Saat Penyerahan BKP 36

Barang bergerak, diserahkan : a. Langsung kepada pembeli b. Kepada pihak III untuk dan atas nama pembeli c. Kepada juru kirim/pengusaha jasa kiriman Barang tidak bergerak Penyerahan hak untuk menggunakan / menguasai dimaksud untuk menguasai baik secara hukum atau secara nyata kepada pembeli. 2. Saat Penyerahan JKP Pada saat mulai tersedia fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata sebagaian maupun seluruhnya. 3. Saat Impor BKP Pada saat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean 4. Saat Ekspor BKP Pada saat BKP dikeluarkan dari Daerah Pabean 5. Saat Penyerahan BKP tidak Berwujud Saat yang terjadi lebih dahulu: Saat harga penyerahan dinyatakan sebagai piutang oleh PKP Saat harga penyerahan ditagih oleh PKP yang bersangkutan Saat diterima pembayaran, sebagian atau seluruhnya Saat ditandatangani perjanjian, dalam hal ketiga kriteria di atas tidak diketahui 6. Aktiva yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan dan atau persediaan BKP yang ada pada saat Pembubaran Perusahaan. 37

Saat yang terjadi lebih dahulu: Saat ditandatangani akte pembubaran Berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan sesuai akte pendirian Tanggal Penetapan Pengadilan Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui perusahaan sudah nyata-nyata dibubarkan. 7. Penyerahan BKP Perubahan bentuk usaha Penggabungan uasaha Pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak Ketiganya berlaku dalam kondisi, pada saat disepakati atau ditetapkan sesuai Rapat Umum Pemegang Saham. 8. Saat pajak terutang untuk Perbuatan Hukum lain Membangun sendiri eks. Pasal 16C UU PPN 1984 (KepMenKeu No. 554/KMK.04/2000) Pada saat pembangunan dimulai Pemanfaatan BKP tidak berwujud/jkp dari luar Daerah Pabean (KepMenKeu No. 568/KMK.04/2000) a. Saat secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkan b. Saat harga perolehan dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkan c. Saat harga jual penggantian ditagih 38

d. Saat harga perolehan dibayar oleh pihak yang memanfaatkan e. Saat ditandatangani kontrak dalam hal keempat kriteria tersebut tidak diketahui. Penyerahan BKP dalam rangka restrukturisasi perusahaan (Kep Dirjen Pajak No. KEP 546/PJ/2000) Saat penyerahan BKP melalui Juru Lelang kepada pembeli yang sebenarnya. Penyerahan BKP kepada pemungut PPN Pada saat pembayaran Penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan sebaliknya dan antar cabang (Kep Dirjen Pajak No. KEP-428/PJ/2002) a. PPN: Pada saat penyerahan barang ke cabang dan sebaliknya atau antar cabang b. PPnBM: Pada saat penyerahan oleh pabrikan atau cabang kepada pihak lain. B. Tempat Pajak Terutang Tempat Pajak Terutang diatur dalam Pasal 12 UU PPN 1984 jo Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 dan beberapa peraturan pelaksanaan yang dapat diuraikan sebagai berikut: Tempat Pajak terutang : Tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan Tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor BKP Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh dirjen pajak atas permohonan tertulis dari PKP sebagai tempat pemusatan pajak terutang 39

Ditetapkan oleh Dirjen Pajak Orang pribadi yang di tempat tinggalnya tidak ada kegiatan usaha, pajak terutang di tempat kegiatan usaha dilakukan. (Kep Dirjen Pajak No. KEP-525/PJ/2000) Tempat bangunan sedang didirikan, untuk kegiatan membangun sendiri eks Pasal 16C UU PPN 1984 (KepMenKeu No.554/KMK.04/2000). Dalam hal Pengusaha Kena Pajak merasa bahwa sistem ini akan cukup memberatkan biaya administrasi, dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat pajak terutang (sentralisasi) kepada Direktur Jenderal Pajak. Mekanisme pemusatan tempat PPN terutang bagi PKP yang memiliki SPT Masa PPN dan PPnBM melalui Media elektronik (e-filing) sebagai berikut: PKP yang memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dapat mengajukan pemberitahuan untuk penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang. Surat Pemberitahuan paling sedikit memuat : Nama, alamat, dan NPWP tempat pemusatan PPN terutang ; Rincian nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan ; Tanggal dimulainya pemusatan ; Melampirkan fotokopi serta memperlihatkan yang asli, berita acara penyampaian SPT Masa PPN dan PPnBM melalui Media Elektronik (e-filing) untuk masa pajak dari tempat yang akan dilakukan pemusatan PPN terutang. (h. 65-70) II.3.6 Kewajiban menyampaikan SPT dan bentuk SPT Masa PPN Sukardji (2003) menjelaskan, kewajiban menyampaikan SPT dan bentuk SPT Masa PPN sebagi berikut: 40

Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir denagn UU Nomor 16 Tahun 2000, PKP wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) yang sampai dengan hari ini menggunakan formulir 1195 kecuali lampiran SPT Masa PPnBM menggunakan 1101. Bentuk SPT Masa PPN beserta lampirannya ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-12/PJ/1995 tanggal 6 Februari 1995 yang telah diubah dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-386/PJ/2002 tanggal 13 Agustus 2002. Adapun bentuk SPT Masa PPN beserta lampirannya, adalah sebagai berikut : 1. Formulir 1195 - SPT Masa PPN induk 2. Fomulir 1195 A1 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM 3. Formulir 1195 A2 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Yang Tidak Dipungut/Ditunda/Ditangguhkan/Dibebaskan/Ditanggun g Pemerintah. 4. Formulir 1195 A3 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM kepada Pemungut PPN 5. Formulir 1195 B1 - Daftar Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan 6. Formulir 1195 B2 - Daftar Pajak Masukan dan PPnBM Yang Memperoleh Pembayaran Pendahuluan dari BAPEKSTA Keuangan. 7. Formulir 1195 B3 - Hasil Penghitungan Kembali Pajak Masukan (PM) Yang Telah Dikreditkan/Tidak Dipungut/Ditangguhkan/Dibebaskan. 8. Formulir 1195 B4 - Daftar Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan. 41

Bagi PKP yang merupakan Pabrikan dan menyerahkan BKP yang tergolong Mewah serta Eksportir BKP yang Tergolong Mewah diwajibkan satu lampiran lagi, yaitu : 9. Formulir 1101 BM - SPT Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN formulir 1195 adalah tanggal 20 Masa Pajak berikutnya. Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur, wajib disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Formulir SPT Masa PPN 1195 beserta Buku Petunjuk Pengisiannya dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Kantor Pelayanan Pajak. (h.207-209) Lebih lanjut, Mardiasmo (2003) menjelaskan : pengertian dan sifat SPT Masa PPN sebagai berikut: Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan Pengusaha Kena Pajak, mengenai perhitungan: 1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP. 2. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP 3. Penyetoran pajak atau kompensasi. Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT bersifat : Wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal pajak. Dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Menggunakan formulir SPT Masa. Keterangan dan dokumen yang dicantumkan dan/atau dilampirkan pada SPT Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan. SPT dianggap tidak dimasukkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan 42

ketentuan UU PPN. (h. 251-251) Pembetulan Surat Pemberitahuan Pembetulan SPT dilakukan karena adanya kesalahan yang terjadi pada SPT. Jangka waktu pembetulan adalah 2 (dua) tahun sesudah saat terutang pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dilakukan pemeriksaan oleh Dirjen Pajak (fiscus). Sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melakukan pembetulan adalah sanksi administrasi sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran. Meskipun jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut telah habis, namun belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak oleh, pembetulan SPT tetap dapat dilaksanakan. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dalam suatu laporan tersendiri, dimana pengungkapan tersebut terbatas pada: 1. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, atau 2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil, atau 3. Jumlah harta menjadi lebih besar, atau 4. Jumlah modal menjadi lebih besar. Pajak kurang bayar yang timbul akibat adanya pengungkapan tersebut, beserta sanksi administrasi berupa sanksi kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang bayar, harus dilunasi sebelum SPT dilaporkan. 43