1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa ada 6703 bahasa di dunia. Dilihat dari lima wilayah persebarannya (Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Pasifik), kawasan Asia merupakan tempat terdapatnya 2.165 bahasa (33%). Sementara itu, kawasan Eropa mempunyai 225 bahasa (3 %). Di kawasan Pasifik ditemukan 1.302 bahasa (19%), di Amerika 1000 bahasa (15%), dan di benua hitam Afrika tercatat 2.011 bahasa (30%) (Grimmes, 1996). Kesemestaan dan kekhasan bahasa secara lintas bahasa ini menjadi hal yang penting ditelaah karena masih banyak sifat-perilaku gramatikal bahasa tersebut yang belum terungkap. Kekhasan dan kerumitan tatabahasa menjadi fenomena kebahasaan yang penting dalam analisis linguistik (lihat Van Valin, Jr. dan Lapolla, 1999:2-3). Pendeskripsian fenomena bahasa tersebut dimiliki seluruh bahasa (kesemestaan bahasa) atau bahasa bahasa yang berbeda satu sama lain (tipologi bahasa). Untuk memperoleh hasil pendeskripsian bahasa secara cermat, diperlukan landasan teoretis dan konsep kerja yang efektif. Berkenaan dengan itu, ancangan tipologi sintaksis dipergunakan untuk memperoleh pendeskripsian bahasa secara cermat. Pendeskripsian gramatikal dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tipe bahasa tersebut. Hal ini menjadi dasar dan tujuan pengkajian linguistik tipologi, khususnya tipologi gramatikal. Kajian ini juga berusaha
2 mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa yang kemudian membuat pengelompokan sesuai dengan parameter tertentu yang dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology). Dixon (1994) berpendapat bahwa sistem relasi dan aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal dapat digunakan untuk membahas tipe bahasa di dunia ini. Relasi subjek, agen, dan pasien secara eksplisit memaparkan jumlah argumen yang hadir dalam sebuah kalimat. Penetapan tipe sebuah bahasa apakah berupa akusatif, ergatif, atau S-terpilah, tentunya mengacu kepada perilaku sintaksis S, A, dan P yang terbentuk dalam konstruksinya. Pengelompokan bahasa secara lintas bahasa (cross-language) penting dilakukan dalam mengkaji bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Menurut Virginia W. Manson (National Geographic, 2012) pusat persebaran bahasa paling tinggi berada di antara Indonesia dan Papua Nugini, bahkan menduduki sepertujuh total bahasa di dunia. Sebagian besar bahasa nusantara digunakan oleh populasi kecil yang hidup di kantong-kantong terpencil. Meskipun bahasa Indonesia adalah bahasa nasional di Indonesia, bahasa daerah masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini, keberadaan bahasa daerah sudah lama mendapat perhatian pemerintah NKRI, sebagaimana tercantum dalam penjelasan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 yang menyatakan bahwa Bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat penghubung oleh masyarakat bahasa setempat dibina dan dipelihara oleh negara. Bahasa daerah kemudian menjadi kajian yang begitu menarik dalam linguistik akibat sistem ekologi yang selalu mengikuti ragam kebahasaan tersebut.
3 Bahasa Batak Toba (BBT) menjadi lingua franca dalam komunitas tutur bahasa tersebut, misalnya dalam tuturan percakapan sehari-hari, dalam tata laksana adat, dan sebagai pengantar dalam upacara sakral keagamaan/acara ibadah. Komunitas etnik Batak Toba yang tersebar di Kabupaten Tapanuli Utara menggunakan BBT sebagai lambang kebanggaan daerah. Selain itu, BBT juga diposisikan sebagai lambang identitas daerah dan sebagai alat pengungkap pikiran dan perasaan. Hal ini mendasari bahwa BBT dipergunakan dalam interaksi sosial masyarakat tersebut. BBT merupakan bahasa yang mempunyai ciri dan kekhasan tersendiri yang berbeda dari bahasa Batak lainnya. Kekhasan tersebut terlihat dari tataran bunyi, bentuk kata, dan bentuk kalimat BBT yang mempunyai sistem tersendiri. Keunikan sistem BBT tersebut menjadi alasan pentingnya melaksanakan penelitian ini karena sampai saat ini kajian mengenai kalimat BBT belum banyak dijadikan sebagai objek penelitian. Kajian sintaksis terhadap bahasa Batak Toba, terutama menyangkut struktur frasa dan klausa bahkan kalimat masih terbatas jika dibandingkan dengan kajian fonologi dan morfologi (Sibarani, 1997:11). Tuuk (1971) menyinggung kalimat transitif dan kalimat intransitif yang disertai dengan contoh-contonya. Sinaga (2002) dalam bukunya Tata Bahasa Batak Toba membahas kata kerja BBT serta pembentukan kata kerja di dalam BBT. Kajian ilmiah mengenai BBT juga dilakukan Basaria (2006), dalam tulisannya Diatesis Bahasa Batak Toba: Suatu Pendekatan Tipologi tetapi fenomena yang dikaji menggunakan pendekatan tipologi bukanlah sintaksis BBT melainkan diatesis yang terjadi dalam BBT tersebut. Sibarani (1997), dalam Sintaksis Bahasa Batak Toba memberikan pemaparan yang lebih mendalam
4 mengenai sintaksis BBT dengan membagi kalimat berdasarkan 8 (delapan) pengklasifikasian. Akan tetapi, belum ditemukan sebuah kesimpulan termasuk tipe bahasa apakah BBT tersebut. Kelangkaan dan ketidaklengkapan kajian sintaksis BBT sebagai fokus analisis gramatikal untuk mendapatkan tipe bahasa tersebut merupakan alasan dasar penelitian ini. Selain itu, timbulnya keraguan peneliti terhadap hasil penalaran Greenberg (dalam Keraf, 1990:106) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu pola dominan yaitu SVO. Mengingat bahasa Indonesia dan BBT termasuk dalam rumpun bahasa Melayu, terdapat kemungkinan BBT juga memiliki tipe yang sama dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, jika dicermati kalimat berikut ini: (1) Manutung gadong ma nasida di si. (DLW) AKT-bakar ubi T mereka di situ. Mereka membakar ubi di situ. konstruksi sintaksis yang muncul adalah VSO, bukan SVO. Kenyataan ini memerlukan pencermatan dan analisis yang sungguh-sungguh. Penganalisisan terhadap BBT dilakukan dengan meneliti kalimat BBT sebagai pembangun gramatikal bahasa tersebut. Predikat merupakan unsur yang mendapat sorotan lebih tajam dalam konstruksi sintaksis ini. Menurut Alsina (1996: 4-7) sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah kalimat. Perilaku predikat (verba) sebuah kalimat menentukan struktur argumen dan keberterimaan unsur lainnya. Struktur argumen yang membangun kalimat dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal bahasa S, O, OL, OTL, OBL, agen dan pasien yang dikenal dengan istilah relasi dan aliansi gramatikal.
5 Korelasi yang erat antara struktur sintaksis dengan pentipologian dalam sebuah bahasa dapat diperdalam melalui pemaparan relasi dan aliansi gramatikal; sistem predikasi dan struktur argumen; sistem ketransitifan; sistem pentopikalan; dan akhirnya menemukan tipologi gramatikal BBT yang diteliti. Penggunaan pendekatan tipologi gramatikal dalam menganalisis fenomena sintaksis BBT diperkirakan lebih alamiah dan tepat sehubungan dengan pentipologian BBT tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penelitian untuk mencapai tujuan dalam mengungkap tipologi BBT dalam lingkungan hidup masyarakat tutur Batak Toba di kabupaten Tapanuli Utara, maka dibuat rumusan masalah penelitian agar objek yang diteliti lebih terarah. Yang dibahas dalam penelitian ini meliputi dua hal berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik sintaktis BBT? 2. Bagaimanakah tipologi BBT berdasarkan perilaku sintaktis yang dimilikinya? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mendeskripsikan karakteristik konstruksi sintaksis BBT; 2. menginterpretasikan tipologi BBT berdasarkan perilaku sintaksis dalam BBT.
6 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini digolongkan atas dua bagian, yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis. 1. Manfaat teoretisnya, hasil penelitian ini memperkaya pengetahuan linguistik khususnya bidang sintaksis. Berdasarkan hasil penelitian ini kajian teoretis tipologi bahasa daerah di Indonesia semakin lengkap. Menjadi rujukan atau bahan perbandingan untuk penelitian terkait lainnya yang melakukan korelasi antara disiplin ilmu baik sesama mikrolinguistik maupun makrolinguistik. Penelitian ini memberikan sumbangan positif dalam penemuan tipologi BBT sebagai temuan yang berkesesuaian antara perilaku sintaksis BBT dengan pendekatan tipologi linguistik tersebut. 2. Manfaat praktisnya, yaitu: penelitian ini berguna bagi penutur dalam memahami tipe BBT tersebut saat digunakan berkomunikasi. Penelitian ini juga berguna bagi pendokumentasian, sehingga dapat dijadikan sumber language planning untuk keperluan revitalisasi BBT. Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan penyusunan buku pengajaran BBT, sebagai bahan ajar, baik di lembaga pendidikan formal maupun informal. Kajian ini menjadi sumber informasi dan rujukan bagi penelitian lanjutan dan digunakan sebagai bahan perbandingan untuk melakukan kajian lanjut, sehingga dapat memperkaya khazanah telaah sosial; bahasa, budaya, dan lingkungan Indonesia.