BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Serviks Kanker serviks atau kanker leher rahim dikenal dengan nama latin Carcinoma Cervicis Uteri yang merupakan tumor ganas yang sebagian besar terjadi pada wanita dengan usia 35-50 tahun. Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC) dimana sebesar 85% kasus kanker yang terjadi di dunia atau sekitar 493.000 kasus dengan jumlah kematian sebesar 273.000 kasus terjadi di negara berkembang yang dimana salah satu dari negara berkembang tersebut adalah Indonesia. Angka kematian akibat kanker serviks yang terjadi di Indonesia tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena keterlambatan dari diagnosa (Savitri A, 2015 : 97). Besarnya angka insiden untuk kejadian kanker serviks di Indonesia pada tahun 2012 berdasarkan data GLOBOCAN adalah sebesar 14% dan jumlah kematian sebesar 6%. Sedangkan berdasarkan laporan dari instalasi deteksi dini dan promosi kesehatan RS Kanker Dharmais pada tahun 2010 2013 kanker serviks merupakan salah satu dari tiga jenis kanker dengan jumlah kasus yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 tercatat jumlah insiden kanker serviks yang terjadi di RS Kanker Dharmais adalah sebesar 296 kasus dan di tahun 2013 sebesar 356 kasus. Sedangkan untuk jumlah kematian pada tahun 2010 sebesar 36 kasus dan di tahun 2013 sebesar 65 kasus (Kemenkes RI, 2015). Proses terjadinya kanker serviks terjadi secara bertahap dan memerlukan waktu yang 9
10 cukup panjang, yang di awali dengan terjadinya mutasi pada sel yang berkembang menjadi sel displastik yang menyebabkan kelainan pada sel-sel di permukaan serviks yang disebut dengan lesi skuamosa intraepitel (El Manan, 2011 : 67). 2.2 Vaksinasi HPV Vaksin HPV adalah vaksin yang diciptakan untuk menurunkan angka kejadian kanker di dunia dan merupakan vaksin kedua yang berhasil diaplikasikan setelah vaksin hepatitis B (HBV). Vaksin HPV yang tersedia saat ini terdiri dari dua jenis vaksin, yang pertama adalah vaksin kanker profilaksi (cancer prophylactic vaccines), vaksin ini bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh agar terlindung dari HPV. Kedua, adalah vaksin kanker terapeutik (cancer therapeutic vaccines) yang digunakan untuk menstimulus kekebalan tubuh seluler agar sel yang terinfeksi HPV dapat dihilangkan (Savitri A, 2015 : 211). Vaksin kanker bekerja dengan cara mengaktifkan sel B yang memproduksi antibodi yang dapat mengenali dan mencegah terjadinya infeksi. Sampai pada saat ini penggunaan vaksin untuk mencegah terjadinya infeksi HPV di dunia terdapat dua jenis vaksin yaitu vaksin Gradasil dan Cervarix. Vaksin kanker Gradasil adalah vaksin kanker untuk mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang merupakan penyebab utama dari terjadinya kanker serviks di seluruh dunia. Selain itu vaksin Gradasil juga dapat mencegah infeksi tipe 6 dan 11 yang merupakan penyebab dari kutil kelamin. Pemberian vaksin Gradasil dianjurkan untuk diberikan pada wanita yang berusia antara 9 12 tahun, karena efek dari vaksin akan lebih optimal jika diberikan pada wanita yang belum melakukan hubungan
11 seksual. Walaupun demikian vaksin Gradasil juga dapat diberikan pada wanita dengan usia 9 26 tahun (Savitri A, 2015 : 214). Vaksin kanker yang kedua adalah Cevarix yang merupakan vaksin bivalent, yang terdiri dari virus-like particles (VLPs) HPV tipe 16 dan 18, oleh karena itu vaksin ini hanya mampu mencegah dari infeksi HPV tipe 16 dan 18. Selain itu vaksin ini juga mampu mencegah infeksi kronis lainnya sperti kanker anus, penis, dan orofaring. Efikasi dari vaksin Cevarix dapat mencapai 90% dan mampu bertahan pada tubuh selama 4,5 tahun. Cara pemberian vaksin Gradasil maupun Cervarik sama-sama dilakukan secara intra muscular dengan pemberian sebanyak tiga kali dalam waktu enam bulan dengan dosis sebesar 0,5 ml. Dosis pertama diberikan pada awal bulan ke- 0, dosis kedua pada bulan kedua, dan dosis ketiga pada bulan keenam (Savitri A, 2015 : 215). 2.3 Deteksi Dini Kanker Serviks Pencegahan terhadap kanker serviks dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan deteksi dini terhadap kanker serviks. Deteksi dini adalah suatu cara untuk mendeteksi keberadaan HPV dan kanker serviks di stadium awal. Beberapa deteksi dini yang dapat dilakukan untuk mengetahui keberadaan kanker serviks adalah Pap Smear, Inpeksi Visual Asam Asetat (IVA), Pap Net, Servikografi, Kolposkopi, Thin Prep Liquid Base Cytologi, tes HPV, Tes Liquid Base Cytology (LBC), Biopsi, dan Konisasi. Dari 10 jenis motode deteksi dini yang tersedia di pelayanan kesehatan, terdapat dua metode deteksi dini yang paling populer di masyarakat yaitu pap smear dan IVA (Savitri A, 2015 : 235-236).
12 2.3.1 Pap Smear Melakukan deteksi dini dengan metode pap smear mampu mendeteksi kasus kanker serviks secara akurat hingga 90%. Terdapatnya metode pap smear mampu dalam membantu menurunkan angka kejadian kanker serviks hingga 50%. Deteksi dini kanker serviks disarankan untuk dilakukan oleh wanita yang telah aktif secara seksual dengan usia telah mencapai 18 tahun. Pemeriksaan pap smear dapat dilakukan satu kali dalam setahun, dan apabila pemeriksaan pap smear selama tiga tahun berturut-turut menunjukkan hasil yang negatif. Maka pemeriksaan dapat dilakukan dalam rentang waktu dua sampai tiga tahun sekali (Manan, 2011:69). Menurut Papanicolau klasifikasi hasil tes dapat dibagi menjadi lima kelas adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut (Savitri A, 2015 : 242-243) Tabel 2.1 Klasifikasi Hasil Tes Pap Smear Kelas Klasifikasi Interpretasi Kelas 0 Tidak Terdeteksi. Melakukan tes ulang. Kelas I Sel Normal. Tes pap smear dapat diulang satu tahun setelah tes terakhir. Kelas II Ditemukan sel atipik tetapi tidak ditemukan keganasan. Menunjukan adanya infeksi ringan non spesifik, yang dapat disertai: - Kuman atau virus tertentu. - Sel dengan kariotik ringan. Diharapkan untuk melakukan tes pap smear ulang 1 tahun setelah tes terakhir. Lakukan pengobatan yang sesuai dan apabila terjadi erosi atau radang bernanah harus
13 dilakukan pemeriksaan ulang 1 bulan setelah pengobatan. Kelas III Tanda pra kanker dengan disertai Sel diagnostik sedang peradangan. dengan keradangan berat. Pemeriksaan ulang dapat dilakukan 1 bulan setelah pengobatan. Kelas IV Dicurigai kanker Terdapatnya sel-sel yang dicurigai ganas. Setelah pemeriksaan diharapkan dilanjutkan pemeriksaan dengan metode biopsi dan segera dilakuakan tes pap smear ulang dengan kreping lebih dalam dan diambil pada tiga bagian. Kelas V Positif kanker Ditemukan sel-sel ganas dan dilakukan pemeriksaan lebih dalam. 2.3.2 IVA (Inpeksi Visual Asam Asetat) Tes IVA (Inpeksi Visual Asam Asetat) adalah salah satu metode deteksi dini kanker serviks dengan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 3-5%) dan larutan iosium lugol. Larutan ini kemudian akan dioleskan pada serviks atau leher rahim dan akan melihat perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna dapat diamati sekitar 1-2 menit setelah pengolesan dengan mata telanjang (Rasjidi, 2009:132). Pemeriksaan IVA positif terinfeksi sel kanker adalah apabila ditemukannya area berwarna putih serta permukaan meninggi dan memiliki batas yang tegas di sekitar zona tranformasi (Savitri A, 2015 : 244). Zona transformasi abnormal adalah area berwarna keputihan dengan bintik kemerahan pucat, lesi berbatas tegas dengan bentuk mosaic,
14 jaringan putih dengan batas tegas atau pembuluh darah atipic. Jika hasil pemeriksaan abnormal, pasien direkomendasikan untuk melakukan tes biopsi (Rasjidi, 2009:136). 2.4 Perilaku Deteksi Dini Kanker Serviks Perilaku merupakan suatu kegiatan ataupun tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup yang dipengearuhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal (Notoatmodjo, 2014 : 75). Sedangkan menurut Skiner perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus maupun objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit serta faktor-faktor yang menghubungkan kejadian sehat-sakit tersebut (Notoatmodjo, 2014 : 23). Perilaku kesehatan terbagi menjadi dua yaitu perilaku yang dapat diamati dan perilaku yang tidak dapat diamati dan pemeliharaan kesehatan mencegah maupun melindunggi diri dari penyakit ataupun masalah kesehatan lainnya. Oleh karena itu perilaku kesehatan secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok, yaitu (Notoatmodjo, 2014 : 24): a. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut dengan perilaku sehat atau healthy behavior yang mencakup perilaku pencegahan atau menghindari diri dari sumber-sumber penyakit. b. Perilaku orang yang sakit untuk memperoleh penyembuhan atau jalan keluar dari masalah kesehatan yang dialaminya. Perilaku seperti ini disebut dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah fasilitas layanan kesehatan baik tradisional maupun modern. Salah satu perilaku kesehatan adalah perilaku deteksi dini kanker serviks. Perilaku deteksi dini kanker serviks merupakan suatu tindakan atau respon yang dilakukan oleh
15 individu untuk melakukan pemeriksaan atau skrining yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perubahan yang abnormal pada sel serviks (Dalimartha dalam Nungky Marcellia, 2013). Perilaku deteksi dini tergolong dalam perilaku orang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Masih rendahnya kesadaran, pengertian, dan pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini ataupun pencegahan dan penyembuhan penyakit menyebabkan masih banyak masyarakat yang memiliki perilaku yang tidak sehat (Depkes RI, 2010). Oleh karena itu maka munculah teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior) yang oleh Braker (1974) dikembangkan kembali dengan teori Lewin (1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (Health Belive Model) Berdasarkan teori Health Belief Model. Pada teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh motif dan kepercayaannya. Pada teori ini terdapat empat unsur utama yang menghubungkan perilaku kesehatan seseorang, adapun keempat unsur tersebut adalah sebagai berikut (Notoatmojo, 2014 : 115-116). 1. Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility) Perilaku seseorang untuk mengobati ataupun mencegah penyakitnya biasanya dihubungkan terlebih dahulu oleh kerentanan terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain tindakan seseorang akan timbul apabila seseorang tersebut ataupun keluarganya telah merasakan rentan terhadap penyakit tersebut.
16 2. Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness) Tindakan seseorang untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit dapat dihubungkan oleh keseriusan yang dirasakan dari penyakit tersebut. Sebagai contoh apabila seseorang merasa bahwa penyakit kanker serviks merupakan penyakit yang bersifat serius dan mengancam kesehatannya maka seseorang akan melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit tersebut. 3. Manfaat dan rintangan rintangan yang di rasakan (Perceived benefit and barrier) Tindakan seseorang untuk melakukan pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit juga dihubungkan oleh besarnya manfaat yang dapat dirasakan dan juga hambatan ataupun rintangan-rintangan yang dapat ditemui saat mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan akan lebih menentukan dibandingkan dengan rintangan-rintangan yang ditemui didalam melakukan tindakan tersebut. 4. Isyarat untuk bertindak (Cues to action) Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor pencetus yang dapat datang dari dalam diri individu (munculnya gejala-gejala penyakit dari dalam diri individu) dan dari luar (nasehat keluarga, teman, atapun kampanye kesehatan).
17 2.5 Variabel Yang Diasumsikan Berhubungan Dengan Perilaku Deteksi Dini Kanker Serviks 2.5.1 Pengetahuan Perilaku manusia tentang kesehatan sangat dihubungkan oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap suatu objek melalui indera yang dimiliki. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera pengelihatan (mata). Dari beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa perilaku yang didasari atas pengetahuan akan bersifat lebih langgeng dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari atas pengetahuan (Notoatmodjo, 2014 : 27). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Shinta Lutfiana Sari (2010) tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan dini kanker serviks di Klinik Seroja Kediri menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan dini kanker serviks pada pasien di klinik seroja Kota Kediri dengan nilai signifikan α = 0,05 dan nilai p value = 0,008. 2.5.2 Sikap Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan ataupun kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap juga dapat diartikan sebagai respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus ataupun objek tertentu yang telah melibatkan faktor pendapat dan emosi. Jadi sikap bukan merupakan suatu tindakan akan tetapi hanya merupakan predisposisi perilaku atau reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2014 : 29). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi, dkk (2013) menyatakan bahwa WUS yang memiliki sikap yang baik, memiliki kemungkinan untuk melakukan
18 deteksi dini kanker serviks lebih besar jika dibandingkan dengan WUS yang memiliki sikap yang kurang. Hal ini diperkuat dengan diperolehnya hasil penelitian dengan nilai (p = 0,014 ; OR = 28,769 ; CI 95 % = 1,993-415,381). Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumastri, dkk (2013) yang memperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap ibu dengan perilaku deteksi dini dengan p value = 1,000 > α 0,05. 2.5.3 Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah suatu proses yang terjadi sepanjang kehidupan seseorang dimana bentuk maupun sifat dukungan yang diberikan oleh keluarga berbeda-beda pada setiap siklus kehidupan seseorang. Namun dalam semua tahapan siklus kehidupan, dukungan keluarga mampu untuk membantu meningkatkan kesehatan dan adaptasi seseorang (Friedman, 2008 dalam Kartini, dkk, 2013). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2014) menunjukan bahwa dukungan keluarga tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap penerimaan program vaksinasi kanker serviks (nilai p > 0.005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2015) menyatakan, rendahnya motivasi responden untuk melakukan deteksi dini disebabkan oleh faktor ekternal yaitu dukungan keluarga yang tergolong rendah. 2.5.4 Dukungan Teman Dukungan sosial merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan dengan memberikan kenyamanan, kepedulian, penghargaan, serta bantuan yang dapat diterima oleh seseorang dari orang lain maupun kelompok organisasi (Sarafino, 2008 dalam Sofy Ariany Hansa, 2014). Salah satu sumber dukungan sosial adalah sahabat atau teman yang
19 dapat memberikan dukungan dalam bentuk sumber informasi maupun dukungan emosional. Berdasarkan beberapa teori menyatakan bahwa dukungan sosial baik yang bersumber dari keluarga maupun orang yang dianggap penting seperti tokoh masyarakat maupun teman dan sahabat dapat menghubungkan perilaku seseorang. Namun penelitian yang dilaksanakan oleh Sulistyoningrum (2013) tentang hubungan dukungan sosial dan akses terhadap informasi dengan perilaku sehat reproduksi remaja menyatakan bahwa tidak ada hubungan dukungan teman sebaya terhadap perilaku sehat reproduksi siswa slow leaner. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatayati Aminatul (2015) yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sahabat dekat dengan perilaku SADARI di wilayah kerja Puskesmas Manyaran Kabupaten Wonogiri dengan (OR = 0,68; P = 0,01). 2.5.5 Faktor Risiko Untuk Menderita Kanker Serviks Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Breker salah satu faktor yang menghubungkan perilaku kesehatan seseorang untuk melakukan pengobatan maupun pencegahan terhadap suatu penyakit adalah isyarat untuk bertindak yang muncul dari dalam maupun dari luar tubuh responden. Salah satu isyarat yang dapat muncul dari luar tubuh responden adalah adanya faktor risiko dari perilaku individu untuk menderita kanker serviks. Adapun beberapa hal yang dapat meningkatkan faktor risiko untuk menderita kanker serviks adalah (Savitri A dkk, 2015 : 123-125): 1. Melakukan hubungan seksual sebelum usia 20 tahun. Melakukan hubungan seksual sebelum usia 20 tahun menjadi faktor risiko dikarenakan pada usia tersebut organ reproduksi wanita belum memiliki tingkat
20 kematangan yang sempurna. Risiko untuk menderita kanker serviks juga akan meningkat 2 kali lipat jika wanita dengan usia dibawah 20 tahun mengalami kehamilan dibandingkan dengan wanita yang hamil dengan usia 25 tahun atau lebih. 2. Riwayat Keluarga Menderita Kanker Serviks Terdapatnya riwayat keluarga yang pernah menderita kanker serviks (ibu atau saudara perempuan) dapat meningkatkan risiko seseorang 2-3 lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita kanker serviks. Hal ini disebabkan kurang mampunya imunitas tubuh dalam melawan virus HPV yang diturunkan secara genetik (Handayani, 2012 : 9). 3. Berganti-ganti pasangan seksual Seseorang yang memiliki jumlah pasangan seksual lebih dari enam akan meningkatkan risiko untuk menderita kanker serviks 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang setia dengan satu pasangan. Penularan virus HPV tidak hanya disebabkan oleh wanita yang suka untuk berganti-ganti pasangan seksual, akan tetapi dapat disebabkan oleh pria yang melakukan hubungan seksual dengan beberapa wanita. Jadi pria dapat berisiko tinggi sebagai vektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi. 4. Paritas yang tinggi Beberapa alhi berpendapat bahwa paritas atau jumlah kelahiran yang tinggi akan meningkatkan risiko wanita untuk menderita kanker serviks. Hal ini diakibatkan ketika terjadinya kelahiran yang terus menerus maka akan menimbulkan trauma
21 pada serviks. Selain itu perubahan hormonal pada wanita yang mengalami kehamilan ketiga akan mempermudah terjadinya infeksi HPV dan pertumbuhan sel kanker. 5. Penggunaan kontrasepsi hormonal Penggunaan alat kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan risiko untuk menderita kanker serviks 1,53 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan alat kontrasepsi hormonal. 6. Merokok Perilaku merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk menderita kanker serviks. Pernyataan ini dilatar belakangi oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa lendir pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang terdapat dalam kandungan rokok. Adanya nikotin dan zat-zat tersebut dapat merusak daya tahan serviks secara optimal. Pernyataan tentang beberapa faktor risiko kanker serviks diatas juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hestuningtyas (2015) yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara jumlah paritas dengan kejadian kanker serviks dengan (p = 0,004 ; OR= 4,9). Sedangkan penelitian lain menyatakan bahwa paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko lesi prakanker serviks. Penelitian ini dilakukan oleh Novya Dewi (2012) dengan hasil (p = 0,0001 ; OR = 4,75 ; 95% CI = 2,19-10,33). Namun, penulis belum mendapatkan penelitian yang menghubungkan dengan adanya faktor risiko menderita kanker serviks dengan perilaku deteksi dini kanker serviks.
22 2.5.6 Gejala Untuk Menderita Kanker Serviks Perilaku untuk melakukan deteksi dini kanker serviks dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan berasal dari faktor luar (ekternal). Salah satu faktor internal yang dapat menghubungkan perilaku individu untuk melakukan deteksi dini kanker serviks adalah timbulnya gejala untuk menderita kanker serviks. Adapun gejala dari kanker serviks adalah keputihan tidak normal, pendarahan tidak normal, dan mengalami rasa sakit yang aneh pada organ reproduksi (Savitri, 2015 : 199-121). Namun, beberapa penelitian yang berhubungan dengan perilaku deteksi dini kanker serviks belum terdapat yang menghubungkan adanya gejala kanker serviks dengan perilaku untuk melakukan deteksi dini. 2.5.7 Persepsi Tentang Risiko Untuk Menderita Kanker Serviks Persepsi tentang risiko untuk terkena penyakit kanker serviks adalah pandangan ataupun kepercayaan individu, bahwa dirinya memiliki risiko untuk dapat menderita kanker serviks. Individu yang memiliki persepsi bahwa dirinya memiliki risiko untuk dapat menderita kanker serviks akan melakukan tindakan pencegahan dengan melaksanakan deteksi dini kanker serviks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurcholis Arif Budiman, dkk (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara persepsi kerentanan terkena IMS dan HIV/AIDS dengan praktik WPS jalanan dalam upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS dengan hasil uji didapatkan nilai p = 0,001. Jadi seseorang yang memiliki persepsi berisiko untuk terkena kanker serviks dan pengetahuan yang baik tentang kanker serviks akan memiliki perilaku yang positif untuk melakukan deteksi dini kanker serviks.