BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dry cleaning. Pada tahun 1980 Indonesia mulai mengenal dry cleaning seiring

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Metode pencucian tersebut berlangsung selama sabun cuci, blau atau kanji belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak sekitar tahun 1980 istilah dry cleaning mulai dikenal meluas oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Usage and Attitude Urban Indonesia oleh Research International (2008),

BAB I. A. Latar Belakang. struktur normalnya yang dikenal dengan homeostasis normal. Sel akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dapat berubah ketika bereaksi terhadap stress yang ringan untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Hidayatullah dkk., 2013). Kompetisi renang mulai diadakan di Olympics pada

BAB I PENDAHULUAN. Rongga mulut adalah ruangan yang di dalamnya terdapat berbagai

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya

Material Safety Data Sheet

Material Safety Data Sheet (MSDS) Benzena BAGIAN 1: KIMIA IDENTIFIKASI PRODUK DAN PERUSAHAAN

WASPADAI BAHAYA ASAM KUAT DALAM PRODUK YANG DIGUNAKAN DI RUMAH TANGGA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan bahkan menyebabkan kematian.

LEMBAR DATA KESELAMATAN

BAHAN KIMIA BERBAHAYA ALDI KURNIA TAMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maraknya kasus kanker di negara berkembang dihubungkan dengan kondisi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. dukung bagi mahluk hidup untuk hidup secara optimal (Depkes, 2010). Seiring

LEMBAR DATA KESELAMATAN

SELENIUM ASPARTAT SELENIUM ASPRATATE

merupakan campuran dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumbersumber alami dan kebanyakan dari bahan sintetis (BPOM RI, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAHAN KIMIA DI RUMAH

I. PENGANTAR. A. Latar Belakang Permasalahan. sinar X dalam bidang medis, yang dalam pelaksanaannya berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

LEMBAR DATA KESELAMATAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 11. Organisasi KehidupanLATIHAN SOAL BAB 11

LEMBAR DATA KESELAMATAN

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2003). Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu

KERACUNAN AKIBAT PENYALAH GUNAAN METANOL

Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. Senyawa kimia sangat banyak digunakan untuk mengendalikan hama. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi

BAB I PENDAHULUAN. Warna merupakan salah satu sifat yang penting dari makanan, di samping juga

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. senyawa genotoksik seperti Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang

LEMBAR DATA KESELAMATAN

Konsep Sel, Jaringan, Organ dan Sistem Organ

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra

LEMBAR DATA KESELAMATAN

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

Lembaran Data Keselamatan Bahan

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) sebagai

No. kuesioner. I. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Pendidikan : 4. Lama Bekerja : 5. Sumber Informasi :

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena

Lembaran Data Keselamatan Bahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan menggunakan merkuri (Hg) (Widodo, 2008). Merkuri (Hg) merupakan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia

TRANSFLUTRIN TRANSFLUTHRIN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROSES PEMANFAATAN PAKAN PADA TUBUH IKAN

MENGENAL BAHAYA FORMALIN, BORAK DAN PEWARNA BERBAHAYA DALAM MAKANAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan dan mempunyai faktor risiko terjadinya beberapa jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. melindungi manusia dari lingkungan yang berbahaya seperti kebakaran,

IDENTIFIKASI BAHAYA B3 DAN PENANGANAN INSIDEN B3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB I PENDAHULUAN. mamalia. Beberapa spesies Candida yang dikenal dapat menimbulkan penyakit

Ag2SO4 SIFAT FISIKA. Warna dan bentuk: serbuk putih BM: Titik leleh (derajat C) : tidak ada. Titik didih: 1085 C. Tekanan uap: tidak berlaku

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG

PAPARAN PESTISIDA DI LINGKUNGAN KITA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT SUPRAVITAL EPITELIUM MUKOSA MULUT

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

LEMBARAN DATA KESELAMATAN BAHAN menurut Peraturan (UE) No. 1907/2006

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di

Lembaran Data Keselamatan Bahan

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

Keselamatan Penanganan Bahan Kimia. Kuliah 9

BAB I PENDAHULUAN. Petani merupakan kelompok kerja terbesar di berbagai negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

AlCl₃ (Aluminium Klorida) Ishmar Balda Fauzan ( ) Widya Fiqra ( ) Yulia Endah Permata ( )

BAB I PENDAHULUAN. 50% dari jumlah korban sengatan listrik akan mengalami kematian. 1 Banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PT. TRIDOMAIN CHEMICALS Jl. Raya Merak Km. 117 Desa Gerem Kec. Grogol Cilegon Banten 42438, INDONESIA Telp. (0254) , Fax.

AMONIUM OKSALAT MONOHIDRAT AMMONIUM OXALATE MONOHYDRATE

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

1 Universitas Kristen Maranatha

Zat Kimia Berbahaya Pada Makanan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses mencuci tanpa air telah dikenal sejak tahun 1825 di Perancis. Setelah memasuki pasar industri Perancis, proses tersebut kini lebih dikenal dengan istilah dry cleaning. Pada tahun 1980 Indonesia mulai mengenal dry cleaning seiring dengan perkembangan jasa binatu di kota-kota besar (Pirsaraei, 2009). Pada proses pencucian dry cleaning sebagai pengganti air dan sabun, maka digunakan cairan khusus sebagai pelarut. Awalnya cairan khusus yang digunakan ialah champene (turpentine), benzine, benzine soap, naphta, and gasoline, namun penggunaannya dihentikan karena mudah terbakar. Pelarut volatil berbahan dasar hidrokarbon yang selanjutnya digunakan sebagai pengganti pelarut sebelumnya untuk mengurangi resiko terbakar. Carbon terachloride merupakan pelarut terklorinasi yang pertama kali digunakan namun dihentikan karena sifat toksisitas dan korosifnya, kemudian dikenal trichloroethylene yang masih digunakan hingga saat ini oleh beberapa jasa binatu. Namun penggunaannya terbatas karena ketidakcocokan trichloroethylene dengan pewarna asetat (International Agency for Research of Cancer, 1995; Pirsaraei, 2009). Untuk melengkapi kekurangan bahan yang ada, bahan perchloroethylene (perchloroethene, tetrachloroethylene) mulai diperkenalkan pada tahun 1940 dan mulai menggantikan carbon tetrachloride dan trichloroethylene sebagai bahan pelarut di sebagian besar jasa binatu pada tahun 1950 (International Agency for Research of Cancer, 1995; Foxall, 2008). Kelebihan perchloroethylene antara lain 1

2 baunya yang manis, efektif membersihkan pakaian, tidak membuat warna pudar, dan kain menyusut (Horobin 2003; McKernan dkk., 2008). Menurut penelitian yang dilakukan Dallas (1994) pada manusia dan hewan dalam dokumen kesehatan milik World Health Organization (2000) telah menunjukkan bahwa perchloroethylene mudah diserap saluran pencernaan dan paru-paru setelah terpapar melalui inhalasi, kontak dengan kulit, atau konsumsi. Rongga mulut merupakan pintu masuk bahan-bahan kimia toksik maupun nontoksik setelah paparan melalui inhalasi maupun penelanan (Morton dan Richard, 1995). Paparan melalui inhalasi dapat terserap pada rongga mulut karena secara anatomis rongga hidung dan rongga mulut terhubung oleh suatu saluran yang bernama faring. Faring adalah ruang di belakang rongga hidung yang memanjang sampai ke laring yang dibagi menjadi tiga bagian, nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring adalah bagian belakang rongga hidung yang memanjang sampai ke palatum lunak. Orofaring merupakan ruang yang berada di belakang rongga mulut yang dibatasi oleh langit-langit lunak di atas dan pangkal lidah di bawah. Laringofaring adalah ruang di bawah pangkal lidah hingga ruang yang mengarah ke esofagus setingkat dengan laring (Beebe dan Myers, 2010; Beachey, 2013). Menurut Moini (2005) rongga mulut yang merupakan pintu masuk saluran pencernaan juga merupakan pintu masuk saluran udara walaupun fungsi pernafasan utama dilakukan oleh hidung, sehingga bahan-bahan toksik yang masuk melalui inhalasi maupun penelanan dapat terserap pada rongga mulut. Bahan toksik yang diserap dapat mengakibatkan perubahan patologis pada rongga

3 mulut. Efek patologis tersebut dipengaruhi oleh ukuran, densitas, dan muatan elektron partikel yang terdeposisi (Morton dan Richard, 1995). Pada tikus menurut Dallas (1994) sit. WHO (2000), proporsi perchloroethylene setelah 1 menit terpapar diserap sekitar 55-70%, kemudian secara bertahap menurun dan setelah 2 jam menjadi 40-50%. Pada manusia, sekitar 90% perchloroethylene yang dihirup awalnya, maka setelah 8 jam paparan akan menjadi sekitar 50%. Sementara penyerapan melalui kulit jauh lebih sedikit dibandingkan melalui saluran pernapasan. Menurut NEG-Decos (2003) dan Pospischil dkk. (2008) jumlah bahan kimia pelarut dry cleaning yang diserap pada paparan kedua tangan dan lengan bawah ialah 10%, dan jumlah yang diserap melalui inhalasi (10 m 3 udara) selama 8 jam ialah 50%. Sebagian partikel yang terserap akan melalui proses pembersihan oleh sel-sel pertahanan tubuh, namun sebagian yang terabsorbsi tersebut dapat menyebabkan efek patologis (Morton dan Richard, 1995). Menurut Watts (2006) perchloroethylene dengan dosis optimum merupakan bahan iritan untuk kulit manusia maupun kelinci. Cairan perchloroethylene hanya menyebabkan iritasi minimal untuk mata kelinci namun uapnya mampu mengiritasi mata dan saluran pernafasan manusia. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pada hewan tampak inhalasi akut dan toksisitas oral rendah. Pada manusia, inhalasi perchloroethylene akut dengan konsentrasi tidak terukur (kemungkinan tinggi) yang tidak disengaja dapat menginduksi depresi sistem saraf pusat, pusing, kelelahan, kehilangan koordinasi, koma, kerusakan hati reversible, hingga kematian. Efek serupa diamati pada manusia setelah konsumsi

4 akut pada dosis sekitar 70-90 mg/kg berat badan (NEG-Decos, 2003; Watts 2006). Paparan jangka panjang dosis rendah perchloroethylene juga mampu menyebabkan kerusakan permanen seperti kerusakan otak (kehilangan memori jangka pendek dan konsentrasi) atau kerusakan sistem saraf pusat yang berujung pada efek negatif kinerja neurobehavioral (kehilangan koordinasi otot) (Pospischil dkk., 2008). Pada bagian lateral mukosa rongga mulut terdapat sel-sel yang melapisi bukal. Sel bukal merupakan penghalang pertama untuk partikel-partikel yang masuk melalui inhalasi atau penelanan dan mampu memetabolisme partikel karsinogen menjadi produk reaktif. Sekitar 90% kanker pada manusia berasal dari sel epitel (Holland, 2008). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sel-sel epitel rongga mulut merupakan situs awal peristiwa genotoksik yang disebabkan oleh bahan karsinogenik yang memasuki tubuh melalui inhalasi dan konsumsi termasuk perchloroethylene (Watts, 2006; Holland, 2008). Epitel rongga mulut secara umum terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: stratum basale, stratum spinosum, dan stratum corneum pada permukaan. Terdapat pula struktur menjari yang disebut retepeg memproyeksikan lamina propria yang masuk ke dalam lapisan epitel dan menghasilkan efek bergelombang stratum basale. Epitel rongga mulut mempertahankan diri dengan pembaharuan sel terus menerus dan sel-sel baru diproduksi di stratum basale melalui proses mitosis kemudian bermigrasi ke permukaan menggantikan stratum corneum yang tereksfoliasi (Holland, 2008).

5 Nekrosis merupakan kematian jaringan yang disebabkan oleh iskemia, metabolik, trauma jaringan maupun organ. Terdapat dua proses yang mendasari perubahan morfologik dasar, yaitu denaturasi protein dan pencernaan enzimatik pada organel dan komponen sitosol lainnya (Underwood, 1999; Mitchell dan Richard, 2009). Menurut Shen dkk. (2011) perchloroethylene dapat mengakibatkan kerusakan sel melalui beberapa mekanisme termasuk stres oksidatif, disfungsi mitokondria, dan kerusakan DNA yang selanjutnya dapat berujung pada nekrosis. Sebelum nekrosis terlihat secara makroskopis pada jaringan tampak, nekrosis memiliki tahap perubahan mulai dari struktur terkecil. Proses nekrosis diawali secara ultrastruktural, yang selanjutnya secara histologis terlihat pada sel-selnya, dan akhirnya mulai tampak pada jaringan. Perubahan ultrastruktural dapat terjadi setelah beberapa menit bahkan beberapa jam sejak terjadi trauma, tetapi untuk perubahan histologis dapat muncul secara jelas dalam hitungan jam hingga beberapa hari. Menurut Haschek dkk. (2010) pada gambaran makroskopis penampilan lesi bahkan membutuhkan waktu lebih lama. Perubahan secara makroskopis pada nekrosis juga sangat tergantung pada jaringan yang terjadi cedera, etiologi cedera, dan respon jaringan sekitarnya (Haschek dkk., 2010; Zachary dan McGavin, 2012). Ada beberapa ciri yang membedakan sel nekrotik dengan sel normal lainnya. Sel-sel tersebut tampak lebih berkilau karena kehilangan glikogen dan mengalami vakuolisasi disertai membran sel yang mengalami fragmentasi. Pada sel yang mengalami nekrosis, sel tersebut dapat menarik garam kalsium sehingga terjadi bentukan fatty soaps; keadaan ini terjadi terutama pada sel lemak yang nekrotik

6 (Mitchell dan Richard, 2009). Nekrosis terdiri dari 3 tahap, yaitu: piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Perubahan bentuk nukleus juga terlihat pada tahaptahap sel nekrosis yang meliputi piknosis (nukleus kecil serta padat), karioreksis (nukleus terfragmentasi), dan kariolisis (nukleus yang melarut serta terlihat kabur). Kariolisis merupakan tahap proses kematian sel yang ketiga dan membutuhkan waktu lama (Cormack, 2001; Mitchell dan Richard, 2009). Kariolisis secara histologis dikarakterisasi dengan menghilangnya inti dan organel sel secara bertahap dan hal ini terjadi akibat proses enzimatik. Enzim ini adalah amylolitik, lipolitik, dan proteolitik (Verma, 1999). Sel yang mengalami kejadian tersebut akan memperlihatkan adanya penghancuran inti, sitoplasma, dan organel sel. Basophili kromatin dapat memudar, hal tersebut terjadi karena aktivitas DNAse yang menyisakan fragmen-fragmen kecil dari kromatin di dalam sel yang mengalami degenerasi (Cormack, 2001; Smart dan Hodgson, 2008). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan bagaimana frekuensi kariolisis epitel mukosa bukal rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Penelitian yang telah dilakukan oleh Everatt dkk. (2013) pada pekerja dry cleaning yang terpapar perchloroethylene menunjukkan terjadi peningkatan kerusakan DNA. Penelitian frekuensi kariolisis nukleus sel epitel mukosa bukal

7 rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta sejauh penulis ketahui belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi kariolisis epitel mukosa bukal rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta. E. Manfaat penelitian 1. Memberikan informasi ilmiah mengenai efek paparan perchloroethylene terhadap perubahan sitogenetik sel epitel mukosa bukal rongga mulut. 2. Menjadi bekal pembelajaran bagi dokter gigi dan dokter umum untuk mendeteksi secara dini penyakit rongga mulut berdasarkan analisis frekuensi kariolisis epitel mukosa bukal rongga mulut.