BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses mencuci tanpa air telah dikenal sejak tahun 1825 di Perancis. Setelah memasuki pasar industri Perancis, proses tersebut kini lebih dikenal dengan istilah dry cleaning. Pada tahun 1980 Indonesia mulai mengenal dry cleaning seiring dengan perkembangan jasa binatu di kota-kota besar (Pirsaraei, 2009). Pada proses pencucian dry cleaning sebagai pengganti air dan sabun, maka digunakan cairan khusus sebagai pelarut. Awalnya cairan khusus yang digunakan ialah champene (turpentine), benzine, benzine soap, naphta, and gasoline, namun penggunaannya dihentikan karena mudah terbakar. Pelarut volatil berbahan dasar hidrokarbon yang selanjutnya digunakan sebagai pengganti pelarut sebelumnya untuk mengurangi resiko terbakar. Carbon terachloride merupakan pelarut terklorinasi yang pertama kali digunakan namun dihentikan karena sifat toksisitas dan korosifnya, kemudian dikenal trichloroethylene yang masih digunakan hingga saat ini oleh beberapa jasa binatu. Namun penggunaannya terbatas karena ketidakcocokan trichloroethylene dengan pewarna asetat (International Agency for Research of Cancer, 1995; Pirsaraei, 2009). Untuk melengkapi kekurangan bahan yang ada, bahan perchloroethylene (perchloroethene, tetrachloroethylene) mulai diperkenalkan pada tahun 1940 dan mulai menggantikan carbon tetrachloride dan trichloroethylene sebagai bahan pelarut di sebagian besar jasa binatu pada tahun 1950 (International Agency for Research of Cancer, 1995; Foxall, 2008). Kelebihan perchloroethylene antara lain 1
2 baunya yang manis, efektif membersihkan pakaian, tidak membuat warna pudar, dan kain menyusut (Horobin 2003; McKernan dkk., 2008). Menurut penelitian yang dilakukan Dallas (1994) pada manusia dan hewan dalam dokumen kesehatan milik World Health Organization (2000) telah menunjukkan bahwa perchloroethylene mudah diserap saluran pencernaan dan paru-paru setelah terpapar melalui inhalasi, kontak dengan kulit, atau konsumsi. Rongga mulut merupakan pintu masuk bahan-bahan kimia toksik maupun nontoksik setelah paparan melalui inhalasi maupun penelanan (Morton dan Richard, 1995). Paparan melalui inhalasi dapat terserap pada rongga mulut karena secara anatomis rongga hidung dan rongga mulut terhubung oleh suatu saluran yang bernama faring. Faring adalah ruang di belakang rongga hidung yang memanjang sampai ke laring yang dibagi menjadi tiga bagian, nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring adalah bagian belakang rongga hidung yang memanjang sampai ke palatum lunak. Orofaring merupakan ruang yang berada di belakang rongga mulut yang dibatasi oleh langit-langit lunak di atas dan pangkal lidah di bawah. Laringofaring adalah ruang di bawah pangkal lidah hingga ruang yang mengarah ke esofagus setingkat dengan laring (Beebe dan Myers, 2010; Beachey, 2013). Menurut Moini (2005) rongga mulut yang merupakan pintu masuk saluran pencernaan juga merupakan pintu masuk saluran udara walaupun fungsi pernafasan utama dilakukan oleh hidung, sehingga bahan-bahan toksik yang masuk melalui inhalasi maupun penelanan dapat terserap pada rongga mulut. Bahan toksik yang diserap dapat mengakibatkan perubahan patologis pada rongga
3 mulut. Efek patologis tersebut dipengaruhi oleh ukuran, densitas, dan muatan elektron partikel yang terdeposisi (Morton dan Richard, 1995). Pada tikus menurut Dallas (1994) sit. WHO (2000), proporsi perchloroethylene setelah 1 menit terpapar diserap sekitar 55-70%, kemudian secara bertahap menurun dan setelah 2 jam menjadi 40-50%. Pada manusia, sekitar 90% perchloroethylene yang dihirup awalnya, maka setelah 8 jam paparan akan menjadi sekitar 50%. Sementara penyerapan melalui kulit jauh lebih sedikit dibandingkan melalui saluran pernapasan. Menurut NEG-Decos (2003) dan Pospischil dkk. (2008) jumlah bahan kimia pelarut dry cleaning yang diserap pada paparan kedua tangan dan lengan bawah ialah 10%, dan jumlah yang diserap melalui inhalasi (10 m 3 udara) selama 8 jam ialah 50%. Sebagian partikel yang terserap akan melalui proses pembersihan oleh sel-sel pertahanan tubuh, namun sebagian yang terabsorbsi tersebut dapat menyebabkan efek patologis (Morton dan Richard, 1995). Menurut Watts (2006) perchloroethylene dengan dosis optimum merupakan bahan iritan untuk kulit manusia maupun kelinci. Cairan perchloroethylene hanya menyebabkan iritasi minimal untuk mata kelinci namun uapnya mampu mengiritasi mata dan saluran pernafasan manusia. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pada hewan tampak inhalasi akut dan toksisitas oral rendah. Pada manusia, inhalasi perchloroethylene akut dengan konsentrasi tidak terukur (kemungkinan tinggi) yang tidak disengaja dapat menginduksi depresi sistem saraf pusat, pusing, kelelahan, kehilangan koordinasi, koma, kerusakan hati reversible, hingga kematian. Efek serupa diamati pada manusia setelah konsumsi
4 akut pada dosis sekitar 70-90 mg/kg berat badan (NEG-Decos, 2003; Watts 2006). Paparan jangka panjang dosis rendah perchloroethylene juga mampu menyebabkan kerusakan permanen seperti kerusakan otak (kehilangan memori jangka pendek dan konsentrasi) atau kerusakan sistem saraf pusat yang berujung pada efek negatif kinerja neurobehavioral (kehilangan koordinasi otot) (Pospischil dkk., 2008). Pada bagian lateral mukosa rongga mulut terdapat sel-sel yang melapisi bukal. Sel bukal merupakan penghalang pertama untuk partikel-partikel yang masuk melalui inhalasi atau penelanan dan mampu memetabolisme partikel karsinogen menjadi produk reaktif. Sekitar 90% kanker pada manusia berasal dari sel epitel (Holland, 2008). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sel-sel epitel rongga mulut merupakan situs awal peristiwa genotoksik yang disebabkan oleh bahan karsinogenik yang memasuki tubuh melalui inhalasi dan konsumsi termasuk perchloroethylene (Watts, 2006; Holland, 2008). Epitel rongga mulut secara umum terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: stratum basale, stratum spinosum, dan stratum corneum pada permukaan. Terdapat pula struktur menjari yang disebut retepeg memproyeksikan lamina propria yang masuk ke dalam lapisan epitel dan menghasilkan efek bergelombang stratum basale. Epitel rongga mulut mempertahankan diri dengan pembaharuan sel terus menerus dan sel-sel baru diproduksi di stratum basale melalui proses mitosis kemudian bermigrasi ke permukaan menggantikan stratum corneum yang tereksfoliasi (Holland, 2008).
5 Nekrosis merupakan kematian jaringan yang disebabkan oleh iskemia, metabolik, trauma jaringan maupun organ. Terdapat dua proses yang mendasari perubahan morfologik dasar, yaitu denaturasi protein dan pencernaan enzimatik pada organel dan komponen sitosol lainnya (Underwood, 1999; Mitchell dan Richard, 2009). Menurut Shen dkk. (2011) perchloroethylene dapat mengakibatkan kerusakan sel melalui beberapa mekanisme termasuk stres oksidatif, disfungsi mitokondria, dan kerusakan DNA yang selanjutnya dapat berujung pada nekrosis. Sebelum nekrosis terlihat secara makroskopis pada jaringan tampak, nekrosis memiliki tahap perubahan mulai dari struktur terkecil. Proses nekrosis diawali secara ultrastruktural, yang selanjutnya secara histologis terlihat pada sel-selnya, dan akhirnya mulai tampak pada jaringan. Perubahan ultrastruktural dapat terjadi setelah beberapa menit bahkan beberapa jam sejak terjadi trauma, tetapi untuk perubahan histologis dapat muncul secara jelas dalam hitungan jam hingga beberapa hari. Menurut Haschek dkk. (2010) pada gambaran makroskopis penampilan lesi bahkan membutuhkan waktu lebih lama. Perubahan secara makroskopis pada nekrosis juga sangat tergantung pada jaringan yang terjadi cedera, etiologi cedera, dan respon jaringan sekitarnya (Haschek dkk., 2010; Zachary dan McGavin, 2012). Ada beberapa ciri yang membedakan sel nekrotik dengan sel normal lainnya. Sel-sel tersebut tampak lebih berkilau karena kehilangan glikogen dan mengalami vakuolisasi disertai membran sel yang mengalami fragmentasi. Pada sel yang mengalami nekrosis, sel tersebut dapat menarik garam kalsium sehingga terjadi bentukan fatty soaps; keadaan ini terjadi terutama pada sel lemak yang nekrotik
6 (Mitchell dan Richard, 2009). Nekrosis terdiri dari 3 tahap, yaitu: piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Perubahan bentuk nukleus juga terlihat pada tahaptahap sel nekrosis yang meliputi piknosis (nukleus kecil serta padat), karioreksis (nukleus terfragmentasi), dan kariolisis (nukleus yang melarut serta terlihat kabur). Kariolisis merupakan tahap proses kematian sel yang ketiga dan membutuhkan waktu lama (Cormack, 2001; Mitchell dan Richard, 2009). Kariolisis secara histologis dikarakterisasi dengan menghilangnya inti dan organel sel secara bertahap dan hal ini terjadi akibat proses enzimatik. Enzim ini adalah amylolitik, lipolitik, dan proteolitik (Verma, 1999). Sel yang mengalami kejadian tersebut akan memperlihatkan adanya penghancuran inti, sitoplasma, dan organel sel. Basophili kromatin dapat memudar, hal tersebut terjadi karena aktivitas DNAse yang menyisakan fragmen-fragmen kecil dari kromatin di dalam sel yang mengalami degenerasi (Cormack, 2001; Smart dan Hodgson, 2008). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan bagaimana frekuensi kariolisis epitel mukosa bukal rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Penelitian yang telah dilakukan oleh Everatt dkk. (2013) pada pekerja dry cleaning yang terpapar perchloroethylene menunjukkan terjadi peningkatan kerusakan DNA. Penelitian frekuensi kariolisis nukleus sel epitel mukosa bukal
7 rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta sejauh penulis ketahui belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi kariolisis epitel mukosa bukal rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta. E. Manfaat penelitian 1. Memberikan informasi ilmiah mengenai efek paparan perchloroethylene terhadap perubahan sitogenetik sel epitel mukosa bukal rongga mulut. 2. Menjadi bekal pembelajaran bagi dokter gigi dan dokter umum untuk mendeteksi secara dini penyakit rongga mulut berdasarkan analisis frekuensi kariolisis epitel mukosa bukal rongga mulut.