BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
1. BAB I PENDAHULUAN

BAB 1. Pendahuluan. untuk kendaraan-kendaraan pribadi baik beroda dua maupun beroda empat.

Perpustakaan Unika SKALA DISIPLIN

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kereta api, angkutan air, dan angkutan udara (Warpani,1990). ke tahun 2014 yaitu hingga 10 juta unit dengan rata-rata rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun jumlah penduduk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Deskripsi Judul

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. luar datang ke Yogyakarta untuk sekedar berwisata maupun menetap untuk melanjutkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN A QUISIONER

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang dan Tujuan Permasalahan. Pada dasarnya, alat transportasi di Indonesia terbagi dua, yaitu alat

TERMINAL PENUMPANG/TERMINAL BUS

BAB I PENDAHULUAN. tentunya dengan perencanaan terpadu dengan peningkatan kegiatan manusia di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang murah untuk mencari oleh oleh dan menjadi tujuan utama bagi pengunjung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukannya. Pergerakan dikatakan juga sebagai kebutuhan turunan, sebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berkendara yang aman sangat diperlukan di dalam berlalu lintas untuk

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010.

Perencanaan Park and Ride Mayjend Sungkono Kota Surabaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada skripsi mengenai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari di daerah perkotaan, seringkali muncul

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

2016 HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KEMACETAN LALU LINTAS DENGAN COPING STRATEGY PADA PENGEMUDI MOBIL PRIBADI DI KOTA BANDUNG

KAJIAN MANAJEMEN SIRKULASI TERMINAL BUS ( Studi Kasus : Terminal Bus Tirtonadi Surakarta )

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Kota Dili sebagai Ibukota Negara Timor Leste yang terus mengalami

GREEN TRANSPORTATION

Penyediaan fasilitas parkir untuk sepeda

Peran Transportasi. (Studi Kasus: Stasiun KA Patukan, Gamping, Yogyakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya.

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II METODOLOGI PERANCANGAN

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB 4 KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI PENGGUNA POTENSIAL KA BANDARA SOEKARNO-HATTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Terminal dibangun sebagai salah satu prasarana yang. sangat penting dalam sistem transportasi.

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

selatan Ringroad dan sebagian Sleman yang berada di sebelah utara Ringroad. Meskipun demikian, kondisi wilayah perkotaan yang berada di dalam jalan

BAB IV INTERPRETASI DATA

BAB I PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Semakin berkembangya suatu kota, tentu saja semakin meningkatnya kebutuhan akan

KARAKTERISTIK PERJALANAN SISWA SEKOLAH SWASTA PERUMAHAN PAKUWON CITY SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN PARKIR MOBIL DI UNIVERSITAS KRISTEN PETRA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Armandha Redo Pratama, 2015

BAB I PENDAHULUAN. moda transportasi (jarak pendek antara 1 2 km) maupun dengan moda

BAB I PENDAHULUAN. sangat kompleks terhadap kehidupan masyarakat termasuk diantaranya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB VI RINGKASAN TEMUAN, KONTRIBUSI TEORITIK, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. entah jabatan strukturalnya atau lebih rendah keahliannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JALAN TOL BAGI KENDARAAN TIDAK BERMOTOR

BAB I PENDAHULUAN. Tetapi sebaliknya, bila transportasi tidak ditata dengan baik maka mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

2015, No RITJ yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran N

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 35 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PENGHARGAAN WAHANA TATA NUGRAHA

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1)

BAB I PENDAHULUAN. semakin kompetitif. Hal ini dibuktikan dengan banyak munculnya perusahaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melewati suatu ruas jalan berhenti dalam waktu yang singkat maupun lama. Kemacetan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlu dirinci dan dicatat ciri khasnya, termasuk tingkat pelayanan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor transportasi merupakan salah satu mata rantai jaringan distribusi

Cara Cerdas Sikapi Kenaikan BBM

Transkripsi:

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola pergerakan dalam mengakses halte dibagi menjadi 2 (dua) kasus yaitu pola pergerakan mengakses halte pada kasus halte didalam kota dan pola pergerakan mengakses halte diluar kota, berikut pola pergerakan masingmasing kasus : a. Pola pergerakan dalam mengakses halte pada kasus halte dalam kota, yaitu : 1) Pola I Berjalan kaki, untuk mengakses halte di dalam kota dengan berjalan kaki terdapat beberapa alasan yaitu sekedar untuk berolahraga, tidak memiliki kendaraan untuk digunakan menuju halte, tidak memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengendarai sepeda motor, ketidaktersediaan tempat penitipan atau tempat parkir kendaraan bermotor yang aman di sekitar halte yang diakses, untuk menghemat pengeluaran uang dan keterpaksaan berjalan kaki menuju halte karena tidak ada pengantar dari rumah ke halte. 2) Pola II Berkendaraan diantarkan, untuk mengakses halte di dalam kota dengan berkendaraan diantarkan terdapat beberapa alasan yaitu tidak dapat mengendarai sepeda motor, ada pengantar, tidak memiliki kendaraan pribadi, tidak ada penitipan sepeda motor disekitar halte dan tidak diperbolehkan keluarga berjalan kaki menuju halte. b. Pola pergerakan dalam mengakses halte pada kasus halte luar kota, yaitu : 1) Pola I Berjalan kaki, untuk mengakses halte di luar kota dengan berjalan kaki terdapat beberapa alasan yaitu tidak memiliki kendaraan untuk digunakan menuju halte, tidak memiliki kemampuan untuk mengendarai kendaraan bermotor, penitipan sepeda motor tidak selalu ada di dekat halte luar kota dan jarak berjalan menuju halte tidak lebih dari 1 KM. 197

2) Pola II Berkendaraan diantarkan, untuk mengakses halte di luar kota dengan berkendaraan diantarkan terdapat beberapa alasan yaitu jarak menuju halte cukup jauh (> 1KM), tidak dapat mengendarai sepeda motor, ada pengantar, tidak memiliki kendaraan pribadi, tidak di semua halte ada penitipan sepeda motor dan tidak diperbolehkan keluarga berjalan kaki menuju halte. 3) Pola III Bersepeda motor sendiri, untuk mengakses halte di luar kota dengan bersepeda motor sendiri terdapat beberapa alasan yaitu jarak menuju halte cukup jauh (> 1 KM), tidak berani mengendarai sepeda motor untuk jarak jauh, ingin jalan jalan keliling kota dengan Trans Jogja, malas naik kendaraan di dalam kota dan malas terjebak macet di dalam kota. 4) Pola IV Naik angkutan umum, untuk mengakses halte di luar kota dengan naik angkutan umum terdapat beberapa alasan yaitu jarak menuju halte cukup jauh (>1 KM), tidak ada sepeda motor, tidak dapat mengendarai kendaraan bermotor, ingin jalan jalan keliling kota dengan Trans Jogja, malas naik kendaraan di dalam kota dan malas terjebak macet di dalam kota. 2. Faktor faktor yang mempengaruhi pola pergerakan mengakses halte dibedakan menjadi 2 (dua) kasus yaitu faktor yang mempengaruhi pola pergerakan mengakses halte pada kasus halte di dalam kota dan faktor yang mempengaruhi pola pergerakan mengakses halte di luar kota, berikut faktorfaktor yang mempengaruhi pola pergerakan masing-masing kasus : a. Faktor yang mempengaruhi pola pergerakan penumpang dalam mengakses halte pada kasus halte dalam kota : 1) Usia. Perbedaan kondisi fisik orang tua dan muda sangat terlihat jelas. Kondisi fisik memberi pengaruh pada perilaku dan kebiasaan seseorang. Orang tua lebih lemah fisiknya daripada orang muda. Orang tua lebih cepat lelah dibandingkan orang muda bila berjalan kaki cukup jauh sehingga cenderung malas berjalan kaki apalagi bila jarak halte cukup jauh. 198

2) Kemampuan mengendarai kendaraan bermotor. Seseorang yang mampu mengendarai kendaraan bermotor apalagi memiliki kendaraan bermotor cenderung lebih malas untuk bersusah payah berjalan kaki dan lebih suka mengendarai kendaraan. 3) Kepemilikan kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi dirasakan lebih nyaman daripada angkutan umum. Kendaraan pribadi lebih private daripada angkutan umum. 4) Maksud perjalanan. Saat hendak melakukan perjalanan untuk maksud / tujuan yang membutuhkan ketepatan waktu seseorang harus memperhatikan waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat tujuan supaya tidak terlambat. Saat maksud / tujuan perjalanan yang dilakukan tidak membutuhkan ketepatan waktu, waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat tujuan lebih fleksibel 5) Sisa waktu yang tersedia. Sisa waktu yang singkat atau mepet untuk melakukan kegiatan yang membutuhkan ketepatan waktu mengharuskan seseorang untuk cepat sampai di tempat tujuan kegiatan. Waktu perjalanan seseorang dari asal (rumah) hingga tempat tujuan kegiatan atau sebaliknya meliputi waktu untuk mencapai kendaraan, waktu menunggu kendaraan (bila menggunakan angkutan umum), waktu di dalam kendaraan, serta waktu untuk mencapai tempat tujuan dari kendaraan. 6) Cuaca. Hujan cenderung membuat penumpang enggan untuk berjalan kaki menuju halte karena malas dan takut terkena air hujan. Panas yang berlebihan juga membuat penumpang enggan untuk berjalan kaki menuju halte karena tidak suka kepanasan dan kegerahan. 7) Barang bawaan. Barang yang berat lebih sulit dibawa. Saat membawa barang yang berat penumpang cenderung malas dan enggan bersusah payah membawa barang dengan berjalan kaki. 199

8) Jarak berjalan menuju halte. Semakin jauh jarak berjalan untuk menuju halte, seseorang akan semakin merasa kecapean bila berjalan kaki. Sehingga membuat enggan untuk berjalan kaki menuju halte. 9) Keputusan untuk naik Trans Jogja. Saat seseorang memutuskan naik Trans Jogja, maka penumpang tersebut harus siap menerima segala kemudahan / keuntungan maupun kesulitan / kerugian yang akan dihadapi bila naik Trans Jogja, termasuk harus berjalan untuk mencapai halte Trans Jogja. 10) Penggunaan payung. Payung memberi rasa lebih nyaman saat berjalan kaki menuju halte baik saat cuaca panas maupun hujan. Saat cuaca panas, payung dapat memberikan kesejukan pada penggunanya sehingga tidak kepanasan. Saat cuaca hujan, payung dapat menghindarkan penggunanya dari basahnya air hujan yang turun. Namun terkadang penggunaan payung membuat ribet bagi sebagian penumpang sehingga malas menggunakan paying. Penggunaan payung menjadi faktor minor pada pola berjalan kaki. 11) Kendaraan yang digunakan untuk mengantar. Pola kedua yaitu berkendaraan diantarkan sangat bergantung pada ada tidaknya kendaraan. Tanpa adanya kendaraan pola kedua tidak terbentuk. Kendaraan menjadi syarat utama terbentuknya pola kedua ini. 12) Pengantar yang mengantarkan ke halte. Pola kedua yaitu berkendaraan diantarkan juga bergantung pada ada tidaknya pengantar. Tanpa adanya pengantar pola kedua tidak terbentuk. Pengantar juga menjadi syarat utama terbentuknya pola kedua ini. 13) Jenis kendaraan yang digunakan. Saat menggunakan mobil, penumpang telah terlindungi dari panas maupun hujan, sementara saat menggunakan sepeda motor tidak. Saat menggunakan sepeda motor, penumpang masih harus memikirkan cara untuk melindungi diri dari panas maupun hujan. 200

b. Faktor yang mempengaruhi pola pergerakan penumpang dalam mengakses halte luar kota sama dengan faktor yang mempengaruhi pola pergerakan penumpang dalam mengakses halte dalam kota. Hanya satu faktor yang berbeda yaitu faktor angkutan umum yang beroperasi. Pada pola pergerakan penumpang untuk kasus dalam kota tidak terdapat faktor angkutan umum yang beroperasi. Hal ini dikarenakan di dalam kota tidak ada angkutan yang beroperasi hingga masuk perumahan atau perkantoran maupun guna lahan lain di dalam kota. Selain itu, penumpang yang mengakses halte dalam kota adalah masyarakat yang asal perjalanannya tidak jauh dari halte sehingga tidak perlu angkutan untuk mengakses halte dari asal perjalanannya. Sementara itu, pada kasus halte luar kota terdapat angkutan yang beroperasi hingga masuk perumahan atau jalan utama yang terdekat dari perumahan maupun guna lahan lainnya di luar kota, sehingga bila terpaksa naik angkutan menuju halte penumpang masih merasa nyaman berjalan kaki untuk menunggu angkutan. 3. Pada kedua kasus terdapat dua pola pergerakan yang sama yaitu pola pergerakan berjalan kaki dan berkendaraan diantarkan. Sementara itu pada kasus halte luar kota terdapat dua pola lagi yang tidak terdapat pada kasus halte dalam kota yaitu pola pergerakan bersepeda motor sendiri dan naik angkutan umum. Berikut perbandingan pola pergerakan yang terbentuk pada kasus halte dalam kota dan halte luar kota : a. Pola pergerakan berjalan kaki yang terbentuk pada kasus halte dalam kota sama dengan pola pergerakan berjalan kaki yang terbentuk pada kasus halte luar kota, termasuk faktor faktor yang mempengaruhinya. Hal ini dikarenakan pada kasus halte dalam kota dan halte luar kota pelaku pola pergerakan berjalan kaki merupakan masyarakat yang asal perjalannya masih berada di sekitar halte (± 1 KM) sehingga masih bersedia berjalan kaki menuju halte Trans Jogja. b. Pola pergerakan berkendaraan diantarkan yang terbentuk pada kasus halte dalam kota dan halte luar kota memiliki sedikit perbedaan. Pada pola pergerakan berkendaraan diantarkan kasus halte dalam kota tidak terdapat 201

faktor angkutan yang beroperasi, sementara pada kasus halte luar kota terdapat faktor angkutan tersebut. Hal ini dikarenakan di dalam kota tidak ada angkutan yang beroperasi hingga masuk perumahan atau perkantoran maupun guna lahan lain di dalam kota. Selain itu, penumpang yang mengakses halte dalam kota adalah masyarakat yang asal perjalanannya tidak jauh dari halte sehingga tidak perlu angkutan untuk mengakses halte dari asal perjalanannya. Sementara itu, pada kasus halte luar kota terdapat angkutan yang beroperasi hingga masuk perumahan atau jalan utama yang terdekat dari perumahan maupun guna lahan lainnya di luar kota, sehingga bila terpaksa naik angkutan menuju halte penumpang masih merasa nyaman berjalan kaki untuk menunggu angkutan. c. Pola pergerakan bersepeda motor sendiri pada kasus halte luar kota tidak terdapat pada kasus halte dalam kota. Hal ini dikarenakan di sekitar halte dalam kota tidak terdapat penitipan sepeda motor yang menarik penumpang untuk mengendarai sepeda motornya hingga halte dan selanjutnya naik Trans Jogja. Sementara itu, pada beberapa halte luar kota di sekitarnya terdapat usaha penitipan motor yang dapat dimanfaatkan penumpang Trans Jogja yang mengendarai sendiri sepeda motornya dan menitipkannya di tempat tersebut. d. Pola pergerakan naik angkutan umum pada kasus halte luar kota tidak terdapat pada kasus halte dalam kota. Hal ini dikarenakan penumpang yang mengakses halte dalam kota adalah masyarakat yang asal perjalannya masih di sekitar halte dan tidak perlu angkutan umum untuk mengakses halte Trans Jogja. 1.2 Saran 1.2.1 Saran Kebijakan Dengan diketahui bahwa terdapat beragam pola pergerakan penumpang dalam mengakses halte, diharapkan pemerintah dapat melakukan beberapa hal berikut: 202

1. Mengevaluasi jarak antar halte Trans Jogja dengan memperpendek jarak antar halte guna meningkatkan kenyamanan penumpang dalam mengakses Trans Jogja. 2. Mendesain jalur pejalan kaki yang nyaman dan teduh menuju halte Trans Jogja. 3. Melengakapi halte dengan fasilitas ruang drop off ataupun kiss n ride, dan fasilitas penitipan sepeda motor atau park n ride. 4. Menyediakan ruang untuk naik turun penumpang dari angkutan umum pada halte yang terintegrasi dengan jalur angkutan umum, sehingga keselamatan penumpang lebih terjamin. 1.2.2 Saran Penelitian Dari penelitian ini ditemukan beberapa hal lain yang masih perlu diteliti dengan penelitian penelitian lebih lanjut, antara lain: 1. Penelitian tentang pola pergerakan penumpang dalam mengakses halte Trans Jogja dengan bersepeda. 2. Penelitian tentang pola pergerakan yang dilakukan oleh penumpang penyandang cacat dalam mengakses halte Trans Jogja. 3. Penelitian tentang pola pergerakan penumpang dalam mengakses halte Trans Jogja dengan berjalan kaki saat membawa anak. 4. Penelitiam kuantitatif mengenai proporsi masing masing pola pergerakan dalam mengakses halte Trans Jogja. 5. Penelitian kuantitatif menggunakan faktor faktor yang dihasilkan dari penelitian ini sebagai variabel. 203