BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU (CB-GSK-BB), PROVINSI RIAU YASSER PRAMANA

CAGAR BIOSFER Uji lapangan untuk Pembangunan Berkelanjutan

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 49 TAHUN 2012

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KESIMPULAN DAN SARAN

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

III. METODE PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Green Corridor Initiative Project (Prakarsa Lintasan Hijau)

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PENGALAMAN MENDORONG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA OLEH BURUNG INDONESIA

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

HELP A B C. PRINSIP CRITERIA INDIKATOR Prinsip 1. Kepatuhan hukum dan konsistensi dengan program kehutanan nasional

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Membangun Insan dan Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter dan Dilandasi Semangat Gotong Royong

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF

Shared Resources Joint Solutions

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Kawasan Konservasi Perairan menurut IUCN (Supriharyono,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia?

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

KERANGKA ACUAN PENGKAJIAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA WAWO WAE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN CA WATU ATA, NGADA TGL 25 NOP S/D 20 DES 2002

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

Transkripsi:

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 Ayat (12) disebutkan bahwa cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Cagar biosfer mempunyai tujuan untuk mewujudkan pengelolaan lahan, perairan tawar, laut dan sumber daya hayati secara terpadu, melalui program perencanaan bioregional yang mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati ke dalam pembangunan berkelanjutan dan dapat dicapai melalui pengembangan sistem zonasi tepat. Sistem zonasi ini mencakup area inti (kawasan yang dilindungi secara ketat) yang dikelilingi oleh zona penyangga yang menekankan aspek konservasi (masyarakat tetap diperbolehkan tinggal dan bekerja) dan secara keseluruhan kawasan tersebut dikelilingi oleh area transisi, disebut juga wilayah kerjasama untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Setiap cagar biosfer diharuskan memenuhi tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu : fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem dan lansekap; fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia; dan fungsi pendukung logistik, untuk mendukung kegiatan penelitian dan pendidikan serta pelatihan lingkungan yang berhubungan dengan permasalahan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia.

6 2.2 Analisis Stakeholders Stakeholders merupakan pihak-pihak mempengaruhi dan atau dipengaruhi kebijakan dan tindakan dengan kepentingan yang berbeda, baik individu, kelompok ataupun organisasi. Eden and Ackermann dalam Bryson (2004) menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi. Analisis stakeholders menurut Mayers (2005), yaitu mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara memisahkan peran stakeholders ke dalam rights (hak), responsibilities (tanggungjawab), revenues (pendapatan) serta relationship (menilai hubungan antar peran tersebut). Analisis stakeholders perlu dilakukan dengan : 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Reed et al. 2009). Analisis stakeholders mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders, dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu: 1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan. 2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dan dihormati. 3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan. 4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan. 5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat

7 dalam menjaga kelestarian hutan. 6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri. 7. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak. 2.3 Partisipasi Partisipasi merupakan keikutsertaan individu atau kelompok yang terlibat dalam upaya mencapai tujuan bersama dan turut bertanggung jawab terhadap upaya tersebut. Menurut Dephut (2006) mendefinisikan partisipatif sebagai keterlibatan dalam keseluruhan tahapan proses pembangunan kehutanan (pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dan pemanfaatan hasil pembangunan) dengan memberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dan dilaksanakan bersama masyarakat setempat. Upaya-upaya partisipatif para stakeholders mempunyai kepentingankepentingan yang saling berbeda terhadap pengelolaan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antar kelompok. Menurut Kusumanto et al (2006), tantangan terbesar dalam upayaupaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi. Oleh karenanya, dibutuhkan cara untuk mendorong kerjasama. Sementara itu, Asngari (2001) menyatakan bahwa penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orangorang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, (2) terbinanya kebersamaan dan (3) mempunyai tujuan yang sama.

8 Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) dalam Kassa (2009) lebih rinci mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa tingkat, yaitu : Tingkat 6. Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization), yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya, pihak luar memfasilitasi mereka. Tingkat 5. Kemitraan (partnership), yaitu masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan lain-lain. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu, ini disebut partisipasi interaktif. Tingkat 4. Plakasi/berkonsiliasi (placation/consilliation), yaitu masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang dan lainlain. Tingkat 3. Perundingan (consultation), yaitu pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat 2. Memberi informasi (information gathering), yaitu masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar. Tingkat 1. Mendapat informasi (informing), yaitu hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat dan lain-lain) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat. Tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.

9 2.4 Pengelolaan Kolaboratif Upaya konservasi dengan pendekatan co-management telah banyak diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kolaboratif atau co-management (collaborative management) disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative management), round-table management, share management, pengelolaan bersama (joint management) atau pengelolaan multipihak (multistakeholder management). Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000), collaborative management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan. Pengelolaan secara kolaboratif atau co-management merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan. Co-management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari konflik yang terjadi. Menurut Marshall (1995) dalam Tadjudin (2000), manajemen kolaborasi mampu mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan bersama. Co-management diperlukan karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Penerapan co-management dibangun atas dasar kejelasan peran dan tanggungjawab. Menurut Kassa (2009) dalam Nistyantara (2011), prinsip comanagement yang dijadikan parameter adalah : 1) partisipasi stakeholders, 2) pengakuan terhadap hak masyarakat adat, 3) ada proses negosiasi, 4) ada kejalasan hak dan tanggung jawab dari stakeholders, serta 5) ada konsensus yang disepakati oleh stakeholders inti.

10 Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada kesepakatan diantara stakeholders. Komitmen merupakan pintu pada proses panjang kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi meliputi : 1. Membutuhkan keterbukaan, karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama. 2. Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan. 3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar. 4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara stakeholder dimasa depan. 5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses daripada sebagai resep. Kerjasama dari stakeholders dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban karena para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun finansial. Mattessich et al. (2004) dalam Suharjito (2006) menyebutkan bahwa beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak adalah : 1. Konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada. 2. Adanya saling menghormati, kesepahaman (mutual understanding) dan kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya (trust) antar pihak dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak. 3. Keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat. 4. Pemenuhan kepentingan setiap pihak. 5. Frekuensi komunikasi. 6. Ketersediaan sumberdaya. 7. Kesetaraan.

11 Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tetapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu : 1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi. 2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah berlangsung lama diantara dua pihak. 3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan (pendekatan kolaborasi lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangakan alokasi sumberdaya langka). 4. Perbedaan persepsi atas resiko. 5. Kerumitan yang bersifat teknis 6. Budaya kelembagaan dan politik. 7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipasi informasi yang mereka butuhkan dengan cara yang bermakna.