BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara yang berasal dari orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa dan tidak mendapatkan imbalan langsung yang digunakan untuk pengeluaran umum negara dengan tujuan tertentu demi kemakmuran rakyat (Direktorat Jendral Pajak, 2012). Beberapa dekade terakhir, terjadi perluasan fungsi pajak melalui reformasi pajak yang bertujuan untuk memperbaiki dan melindungi lingkungan (O Riodran, 1994) yang menurut Ekins (1999) dalam Green Fiscal Commission (2010) hal ini diprediksi dapat memberikan kontribusi yang besar dalam memperbaiki lingkungan. Reformasi pajak ini menghasilkan kebijakan baru yaitu pajak lingkungan atau dikenal dengan istilah environmental taxes atau green taxes yang didasarkan atas berbagai masalah lingkungan oleh perubahan iklim (Baronchelli et all, 2013). Perubahan iklim mendorong terjadinya pemanasan global yang menurut sumber artikel World Health Organization (2013) berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan manusia yaitu meninggalnya 140.000 orang setiap tahunnya dan mempengaruhi faktor sosial dan lingkungan bagi kelangsungan hidup manusia untuk mendapatkan tempat tinggal yang aman, makanan yang sehat dan cukup, serta air minum yang bersih. Tercatat pada beberapa tahun belakangan ini, telah terjadi peningkatan 1
jumlah bencana yang disebabkan oleh meningkatnya cuaca sebesar tiga kali lipat dibandingkan tahun 1960 (World Health Organization, 2013). Apabila tidak ada langkah strategis untuk mengatasinya, Solomon et all (2007) dan Laczko and Aghazarm (2009) memprediksi kondisi iklim di masa depan akan menjadi lebih panas dengan meningkatnya frekuensi gelombang panas dan hujan lebat di lintang yang lebih utara dan selatan, sehingga permukaan es pada akhir abad ke-21 akan menghilang akibat kenaikan suhu udara yang mencapai dua sampai lima derajat celcius dikarenakan aktivitas ekonomi seperti aktivitas pada sektor industri, transportasi, energi, dan lainnya (European Commission, 2013). Sejak tahun 1960 sampai saat ini, telah dilakukan berbagai konferensi dan pertemuan untuk mencari solusi atas permasalahan ini (dibahas lebih lanjut di bab II) dan pada akhirnya pajak lingkungan dianggap oleh Fullerton, Leicester, and Smith (2008) sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan lingkungan. Pajak lingkungan menurut Japan Center for a Sustainable Environment and Society (-) dan OECD (-) dalam Japan Center for a Sustainable Environment and Society (-) merupakan instrumen ekonomi berupa pajak lingkungan dengan pemberian batasan unit sampai pada batas yang dapat merusak lingkungan untuk melindungi lingkungan, mengatasi masalah lingkungan, dan mendorong perilaku positif terhadap lingkungan yang dikenakan pada energi, transportasi, polusi, dan sumber daya. Pajak lingkungan menurut beberapa sumber artikel dan literatur 2
(Japan Center for a Sustain Environment and Society, -; US Legal, -; Craig Hanson, World Resources Institute dalam Gale, 2005; Stancil, 2010; OECD, 1999) dianggap lebih mudah diterapkan karena biayanya lebih efisen (Stancil, 2010; dan OECD, 1999), lebih fleksibel, lebih dapat mencapai keefektifan ekonomi yang besar dibandingkan dengan kebijakan lainnya karena lebih mudah untuk mengikuti perubahan ekonomi dan lingkungan (Craig Hanson, World Resources Institute dalam Gale, 2005; OECD 1999), sistemnya lebih transparan (OECD, 1999), memberikan pendapatan baru untuk pemerintah, dapat memperbaiki dan melindungi lingkungan (Japan Center for a Sustain Environment and Society, -), dapat mendorong perusahaan untuk menggunakan sumber daya lebih efisien, mencegah aktivitas perusakan lingkungan, dan dapat mendorong pengembangan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan dengan pemberian insentif pajak atau dengan mendanai pengembangan melalui pendapatan pajak lingkungan (Stancil, 2010). Walaupun begitu, banyak pihak yang tidak setuju dengan penerapan pajak lingkungan karena pelaku industri beranggapan bahwa, kebijakan ini akan memberikan dampak penurunan pada daya saing mereka (OECD, 1999 dan EEA, 1996). Akan tetapi, beberapa peneliti dan organisasi (Green Fiscal Commission, 2010; OECD, 1999; Milne, 2011) berpendapat bahwa, pada dasarnya pajak lingkungan memang dapat mengurangi daya saing, tetapi efek penurunan daya saingnya lebih kecil bila dibandingkan dengan kebijakan lain (lebih lanjut lihat Green Fiscal Commission, 2010). Pemberian insentif pajak 3
merupakan salah satu langkah pajak lingkungan untuk mendorong wajib pajak melakukan aktivitas dan menghasilkan produk yang ramah lingkungan (Fullerton, Leicester, and Smith, 2008) yang diharapkan dapat memberi stimulus menuju energi berkelanjutan (Hymel, 2006) dan mendapat kesesuaian harga produk dengan dampak eksternalitas sehingga, pada akhirnya akan mencapai biaya internalisasi dalam produk (Blom et all, 2010). Melalui hal tersebut, pajak lingkungan diprediksi dapat merubah perilaku masyarakat dengan memberikan biaya atas kerusakan yang terjadi pada lingkungan dari aktivitas yang dilakukan (Balde, 2011) dan prediksi tersebut dibuktikan dengan penurunan tingkat emisi yang terjadi di beberapa wilayah terutama kawasan Uni Eropa. Oleh karena itu, pajak lingkungan memiliki peran penting dalam perbaikan lingkungan dan menjadi kebijakan yang menarik bagi berbagai negara di dunia. Berbagai negara terutama sebanyak 34 negara yang tergabung dalam OECD telah menerapkan pajak lingkungan (OECD, 2014) dan beberapa di antaranya merupakan negara dengan sistem pajak lingkungan terbaik di dunia. Sebagian besar negara tersebut saat ini telah sukses menerapkan pajak lingkungan seperti pajak emisi karbon, gas rumah kaca, bahan bakar, kendaraan, dan jenis pajak lingkungan lainnya. Selain itu beberapa tahun belakangan ini, negara non-oecd juga sudah mulai menerapkan pajak lingkungan. Namun, berbeda halnya dengan kondisi di Indonesia pada saat ini dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 (World Bank, 2012) justru belum menerapkan pajak lingkungan terutama bila 4
melihat kondisi lingkungan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini yang memprihatinkan. Indonesia dengan hutan terbesar ke-3 di dunia disebut sebagai paru-paru dunia, tetapi semakin lama kerusakan hutan semakin parah dengan semakin meningkatnya pembangunan dan perluasan kota terutama di daerah Kalimantan. Banyaknya industri pertambangan yang tidak melakukan pengembalian hutan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah yang dihasilkan. Selain itu, kebijakan pemberian subsidi bahan bakar premium dan solar ikut memberikan kontribusi terhadap semakin tingginya polusi udara di masa depan bila tidak diatasi secepatnya. Melihat kesuksesan negara-negara dalam OECD dan beberapa non-oecd lainnya dengan menerapkan pajak lingkungan untuk mengurangi kerusakan lingkungan, akhirnya Indonesia mengusulkan penerapan pajak lingkungan melalui RUU PDRD pada tahun 2008 (Ortax, 2008). Keputusan ini melalui proses dan berbagai pertimbangan yang panjang yang melibatkan pihak yang pro dan kontra terhadap pajak lingkungan. Walaupun panitia kerja telah menyetujui penetapan dalam PDRD terkait pajak lingkungan, tetapi pihak pro terutama pelaku industri yang sangat keberatan lebih banyak mendapatkan dukungan suara di tingkat DPR (Hukum Online, 2006). Pada akhirnya, berdasarkan salah satu sumber artikel (Mulana, 2009) menyatakan bahwa, DPR menolak usulan pajak lingkungan. Hambatan tersebut tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara lain yang telah menerapkan pajak lingkungan. Namun, 5
beberapa hambatan tersebut secara bertahap dapat diatasi, sehingga saat ini negara tersebut telah menerapkan pajak lingkungan dan dapat meminimalisir kerusakan lingkungan di negara mereka. Walaupun hambatan yang dialami sama, tetapi hasil akhirnya berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama dengan menerapkan pajak lingkungan. Banyak hal yang harus dipelajari jika pajak lingkungan ingin diterapkan di Indonesia, salah satunya dengan melakukan kajian literatur untuk mengetahui desain kerangka sistem pajak lingkungan, hambatan, dan cara mengatasi hambatan tersebut di setiap negara, sehingga pada akhirnya pajak lingkungan dapat diterapkan. Diharapkan dengan kajian literatur ini dapat memberikan gambaran dan rekomendasi bagaimana desain kerangka dan sistem pajak lingkungan yang mungkin untuk diterapkan di Indonesia. 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam kajian literatur ini yaitu, 1. Bagaimana perbandingan penerapan pajak lingkungan di negara lain dengan penerapan di Indonesia? 2. Bagaimana desain kerangka dan sistem pajak lingkungan yang memungkinkan untuk dapat diterapkan di Indonesia bila melihat hambatan dan penolakan usulan pajak lingkungan pada tahun 2008? 6
1.3.Tujuan Studi Penulisan Tujuan dari kajian ini sebagai berikut: 1. Memahami landasan penerapan, perkembangan pajak lingkungan, sistem yang diterapkan, hambatan, dan solusi atas hambatan di Belanda, Amerika, dan Cina; 2. Menjelaskan berbagai permasalahan dalam penerapan pajak lingkungan di Indonesia; 3. Membandingkan rencana dan penerapan pajak lingkungan di Indonesia dengan Belanda, Amerika, dan Cina; 4. Memberikan rekomendasi bagaimana desain kerangka dan sistem pajak lingkungan yang memungkinkan untuk dapat diterapkan di Indonesia dengan melihat kerangka pajak lingkungan di Belanda, Amerika, dan Cina yang telah lebih dahulu menerapkan pajak lingkungan dan belajar dari kegagalan penerapan pajak lingkungan sebelumnya di Indonesia. 1.4.Manfaat Studi Penulisan Manfaat dilakukan kajian ini sebagai berikut: 1. Bagi pihak akademisi dan penulis lainnya, diharapkan kajian ini mampu memberikan gambaran mengenai pajak lingkungan secara historis, perkembangannya saat ini, sistem penerapan kebijakan pajak lingkungan di Belanda, Amerika, dan Cina untuk dapat lebih 7
memahami pentingnya pajak lingkungan dan juga informasi untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi pembuat kebijakan, diharapkan kajian ini mampu memberikan gambaran penerapan pajak lingkungan di Belanda, Amerika, dan Cina, serta untuk melengkapi atau merevisi usulan kerangka awal di Indonesia dengan mempelajari lebih lanjut kajian sistem kebijakan di beberapa negara, sehingga dapat menetapkan desain kebijakan yang tepat untuk diterapkan nanti dan memberikan motivasi untuk segera menerapkannya. 3. Bagi peneliti, diharapkan menambah wawasan terhadap perluasan pajak yang sudah mulai berfokus pada lingkungan dan menambah wawasan sejarah pajak lingkungan dan perkembangan pajak lingkungan di beberapa negara terutama Indonesia. 1.5.Sistematika Studi Penulisan Studi literatur ini terdiri dari enam bab. Setiap bab akan dibagi menjadi beberapa sub bab dengan kerangka sebagai berikut: 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan studi penulisan, tujuan studi penulisan, manfaat studi penelitian, batasan studi penelitian, metodologi studi penulisan, dan sistematika studi penulisan. 2. BAB II METODA PENELITIAN 8
Bab ini membahas mengenai objek penelitian, populasi dan sampel, batasan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, metoda kajian dan analisis data, dan penyusunan kesimpulan. 3. BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PAJAK LINGKUNGAN Bab ini membahas mengenai sejarah pajak lingkungan yang di dalamnya memaparkan perkembangan mulai dari awal adanya pajak lingkungan sampai perkembangan saat ini. 4. BAB IV PAJAK LINGKUNGAN DI BELANDA, AMERIKA, DAN CINA Pada bab ini dibagi menjadi tiga sub bab yang terdiri dari negara Belanda (sub bab pertama), Amerika (sub bab kedua), dan Cina (sub bab ketiga). Masing-masing dari sub bab tersebut akan diawal dengan perkembangan pajak lingkungan secara umum dan pajak terkait energi dan kendaraan secara khusus dengan beberapa contoh sistem implementasinya. Setelah itu, akan membahas hambatan dan langkah untuk mengatasi beberapa hambatan tersebut berdasarkan sumber literatur. 5. BAB V PAJAK LINGKUNGAN DI INDONESIA Pada bab ini akan membahas pajak lingkungan di Indonesia yang menjelaskan perkembangan pajak lingkungan di Indonesia, hambatan dalam pengimplementasiannya, saran untuk pajak 9
lingkungan di Indonesia, perbandingan pajak lingkungan di keempat negara yaitu Belanda, Amerika, Cina, dan Indonesia, serta memberikan rekomendasi bagaimana desain kerangka dan sistem yang sebaiknya dan memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. 6. BAB VI PENUTUP Bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan akan merangkum secara komprehensif kesimpulan dari pembahasan di setiap negara, sedangkan sub saran akan memberikan masukan dari keseluruhan kajian literatur ini. 10