BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kayu saat ini merupakan komponen yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan sehari-hari kayu digunakan untuk kebutuhan konstruksi, meubel dan perabotan rumah tangga lainnya. Indonesia merupakan penghasil kayu tropis terbesar di dunia yang memiliki 4000 jenis kayu (Martawijaya, 1995). Dari jumlah tersebut diperkirakan hanya 5 20 % saja yang memiliki keawetan tinggi, sedangkan sisanya 80 85 % memiliki sifat keawetan rendah (Koesomo, 1992). Seiring dengan peningkatan kebutuhan kayu dengan kelas awet tinggi, persediaan kayu dengan kelas awet tinggi menjadi menurun. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kurangnya persediaan kayu kelas awet tinggi adalah dengan memanfaatkan kayu dengan kelas awet yang lebih rendah sebagai substitusi dalam pemanfaatan kayu. Kayu jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) dapat digunakan sebagai kayu substitusi, karena jabon dapat tumbuh dengan cepat (Orwa et al., 2009). Hingga umur 5 tahun saja tegakan jabon sudah memiliki riap diameter rata-rata 1,2-11,6 cm per tahun dan riap tinggi rata-rata 0,8-7,9 m per tahun (Krisnawati et al., 2011), selain itu kayu ini mudah dikeringkan, mudah dipotong dan direkatkan. Penyusutan kayu jabon rendah, penyusutan radial 0,8 % dan tangensial 2,1 %. Kayu jabon memiliki kelas awet V (Martawijaya, 2005). Dengan kelas awet tersebut kayu jabon rentan terhadap organisme perusak kayu. 1
2 Salah satu organisme perusak kayu yang berpotensial untuk merusak kayu adalah rayap. Rayap memakan kayu dan bahan yang berselulosa sehingga mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar. Rayap yang umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah rayap kayu kering (Cryptotermes cynochepalus Light.) (Tarumingkeng, 1971). Kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan mencapai 2,79 triliun rupiah pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2010 dugaan kerugian mencapai 5,17 triliun rupiah dan pada 2015 diduga meningkat hingga 8,68 triliun rupiah (Nandika dalam Jasni dan Rulliaty, 2015). Hal ini diperkuat dengan kondisi kayu yang digunakan saat ini rata-rata memiliki kelas awet rendah (Jasni dan Rulliaty, 2015). Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara meminimalisir kekurangan kayu jabon dengan kelas awet rendah yang rentan terhadap serangan rayap, agar penggunaannya lebih efektif dan efisien serta dapat mengurangi kerugian akibat rayap yang dari tahun ke tahun terus meningkat (Tarumingkeng, 2001). Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan proses pengawetan kayu. Pengawetan kayu dapat meningkatkan keawetan dan ketahanan kayu untuk memperpanjang umur pemakaian kayu sehingga dapat mengurangi biaya akhir (Hunt dan Garrat, 1986). Pengawetan kayu dikatakan berhasil apabila bahan pengawet yang digunakan dapat melakukan absorpsi, penetrasi, dan retensi dengan baik pada kayu (Hunt dan Garrat, 1986). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengawetan diantaranya adalah metode pengawetan, bahan pengawet dan konsentrasi bahan pengawet (Hadikusumo, 2003).
3 Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam pengawetan kayu yaitu: pengawetan kayu dengan tekanan, tanpa tekanan, dan metode khusus. Proses tanpa tekanan telah digunakan secara luas salah satunya yaitu pengawetan menggunakan silinder tertutup (vakum). Pemvakuman yaitu proses pengawetan kayu dengan cara memasukkan kayu ke dalam silinder yang kedap udara, dan mengeluarkan udaranya dengan pompa vakum, kemudian mengisinya dengan bahan pengawet tanpa memberi kesempatan udara masuk lagi (Hunt dan Garrat, 1986). Kelebihan metode ini yaitu penetrasi dan retensi yang diperoleh tinggi, waktu pelaksanaan relatif singkat serta dapat mengawetkan kayu basah dan kering. Menurut penelitian Abdurrahim (2005) lama waktu pemvakuman yang optimal adalah 30 menit. Bahan pengawet kayu yang baik harus bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, mudah meresap, aman digunakan, dan tidak merusak kayu. Kualitas pengawetan ditentukan dengan mengamati absorbsi, penetrasi, retensi, uji mortalitas rayap, pengurangan berat, dan derajat kerusakan kayu. Bahan pengawet yang umum digunakan pada pengawetan kayu adalah boraks, boraks banyak dipilih karena mempunyai toksisitas yang rendah terhadap manusia (Yamauchi et al., 2007). Menurut Haygreen et al. (1989) boraks beracun terhadap serangga dan cendawan perusak kayu, namun bahan pengawet boraks kurang tahan terhadap kelunturan. Selain itu saat ini boraks memiliki ketersediaan yang terbatas dan sulit didapatkan terutama di Indonesia, hal ini disebabkan oleh maraknya penyalahgunaan fungsi boraks. Untuk mengoptimalkan keterbatasan tersebut pada penelitian ini digunakan penambahan bahan lain yaitu asam sitrat.
4 Asam sitrat merupakan bahan alami yang mudah didapatkan dan harganya relatif murah sebesar Rp 35.000,00 per kg dibandingkan bahan pengawet kayu yang berada di pasaran seperti contoh permethrin sebesar Rp 350.000,00 per liter di wilayah DI Yogyakarta. Menurut Umemura et al. (2011) asam sitrat merupakan asam organik lemah yang terdapat pada daun dan buah tumbuhan genus citrus (jeruk-jerukan), yang mengandung tiga gugus karboksil. Asam sitrat juga dapat berikatan baik dengan gugus-gugus hidroksil pada kayu (Umemura et al. 2011), sehingga dapat terdistribusi dan tinggal pada kayu dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Lebow et al. (2005), modifikasi bahan pengawet dengan penambahan asam sitrat pada bahan pengawet tembaga yang di larutkan dengan air dan amonia dengan perbandingan 66,7 % tembaga dan 33,3 % asam sitrat menunjukan hasil penetrasi yang lebih baik dibandingkan dengan bahan pengawet yang tidak diberi asam sitrat.dengan. Berdasarkan hasil penelitian Matsumoto et al. (2011) asam sitrat dan ethylendiamine dapat bersintesis dengan baik dengan senyawa boron dengan membentuk ikatan amida. Amida merupakan ikatan yang stabil dan mudah larut di dalam air karena dengan adanya gugus C=O dan N-H memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen (Lubis, 2010). Dengan pendekatan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan modifikasi dengan menkombinasikan boraks dan asam sitrat sebagai bahan pengawet dengan asumsi boraks dapat bekerja sebagai racun yang efektif bagi rayap kayu kering dan asam sitrat selain sebagai pengawet juga bekerja sebagai pendistribusi dan pengikat larutan yang baik ke seluruh bagian kayu sehingga dapat meningkatkan kekuatan bahan pengawet dari sifat kelunturan. Penelitian mengenai kombinasi boraks dan asam sitrat sebagai
5 bahan pengawet pada kayu jabon belum pernah dilakukan. Pada faktor konsentrasi berdasarkan hasil penelitian Sumaryanto et al. (2013) bahan pengawet boraks pada konsentrasi 5 % sudah cukup efektif, maka pada penelitian ini digunakan konsentrasi yang sama 5 % dan lebih rendah 3 % dan melalui pendekatan penelitian Lebow et al. (2005) digunakan komposisi pengawet boraks dan asam sitrat (0:1, 2:3, 1:1, 3:2, dan 1:0). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi dan komposisi boraks - asam sitrat pada pengawetan kayu jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) dengan metode pemvakuman terhadap serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.). Uji ketahanan rayap dilakukan dengan metode no choice feeding test. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh interaksi konsentrasi dan komposisi bahan pengawet boraks dan asam sitrat pada pengawetan kayu jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) terhadap serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.). 1.3. Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai pengawetan kayu dengan konsentrasi dan komposisi boraks - asam sitrat yang optimum untuk mencegah serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.).