BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan sebuah hal penting dalam sebuah kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

HUBUNGAN MINAT MEMBACA KOMIK DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA SMA S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. Individu pada usia remaja di sekolah adalah sebagai individu yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di masyarakat. Mahasiswa minimal harus menempuh tujuh semester untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan remaja. Beberapa kejadian misalnya; kehilangan orang yang dicintai, konflik keluarga,

BAB I PENDAHULAN. adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Jenjang pendidikan tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN. dari hidup manusia dalam menghadapi berbagai masalah untuk pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

Ketika Anda memutuskan untuk mendaftar di sebuah perguruan tinggi, berarti Anda sudah tahu konsekwensi yang mesti Anda hadapi. Anda telah memilih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. dengan menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. program tertentu. Aktivitas mereka adalah belajar. Belajar ilmu pengetahuan,

Dalam era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan informasi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menggunakan waktu dengan efektif sehingga efisiensi waktu menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. gambaran harga diri (self esteem) remaja yang telah melakukan seks di luar nikah

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fahmi Dewi Anggraeni, 2013

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. bagi mahasiswa-mahasiswi sangat beragam. Mereka dapat memilih jurusan sesuai

BAB I PENDAHULUAN. studi di Perguruan Tinggi. Seorang siswa tidak dapat melanjutkan ke perguruan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi perekonomian yang cukup sulit bagi sebagian lapisan masyarakat mendorong mahasiswa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesuksesan, karena dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan mampu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Sedemikian

BAB I PENDAHULUAN. keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tahun), dan fase remaja akhir (usia 18 tahun sampai 21 tahun) (Monks,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengalami berbagai hal yang kurang menyenangkan dan ada

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan lainnya sehingga perlunya kemampuan dalam memahami

BAB I PENDAHULUAN. disebut dengan istilah alcoholism (ketagihan alkohol), istilah ini pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi merupakan istilah yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mental yang terjadi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Transisi ini melibatkan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas suatu hal tentang remaja adalah suatu yang menarik karena dalam setiap fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa tugas perkembangan remaja adalah mencari identitas diri. Identitas diri yang dicari oleh remaja berupa hal-hal yang berkaitan dengan usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat (Hurlock, 2007). Apabila remaja mampu menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan dan kebahagiaan, serta akan menentukan keberhasilan remaja dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Namun, jika remaja gagal untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut, maka perilaku-perilaku menyimpang akan dilakukan oleh para remaja seperti yang saat ini sudah banyak terjadi (Santrock, 2010). Setiap remaja dalam menjalani kehidupan pasti mempunyai berbagai macam tujuan yang hendak dicapai karena pada fase ini mereka mulai memikirkan masa depannya secara lebih serius (Hurlock, 2007). Perencanaan masa depan berkaitan erat dengan harapan, tujuan, dan strategi pencapaian tujuan dimasa mendatang. Pada diri remaja terdapat banyak perubahan pada proses perkembangannya, tidak dipungkiri masalah timbul di kehidupannya. Pada masa remaja konflik yang dihadapi oleh remaja disebabkan karena adanya tuntutan-tuntutan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Kebanyakan individu merasa bahwa transisi dari masa anak ke masa dewasa sebagai masa perkembangan fisik, kognitif, dan sosial yang memberikan tantangan (Santrock, 2010). Keberhasilan remaja dalam mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan tuntutan-tuntutan dari dalam maupun dari luar dirinya ini sangat dipengaruhi oleh kematangan pribadi individu. Tuntutan dan tekanan yang banyak dihadapi remaja, antara 1

2 lain adalah mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri, harus mencapai sesuatu yang diinginkan orangtua, harus memikirkan masa depan, dan bertanggung jawab (Jahja, 2011). Perubahan-perubahan tersebut membuat kebanyakan remaja mengalami kebingungan dalam menentukan sikap. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan ini, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab ini. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja ini membuat mereka merasa tidak yakin akan masa depannya dan ragu pada kemampuan diri sendiri (Jahja, 2011). Dariyo (2004) juga menyatakan, remaja yang mengalami kebingungan karena perubahan yang terjadi dalam hidup akan memiliki perasaan tidak mampu, tidak berdaya, mengalami penurunan harga diri, tidak percaya diri, dan akibatnya remaja tidak optimis dengan masa depannya. Salah satu contoh perubahan yang nyata dirasakan oleh mahasiswa tingkat pertama yang menurut klasifikasi umur termasuk pada fase remaja akhir. Mahasiswa tingkat pertama khususnya yang merantau dihadapkan dengan kondisi baru dan asing yang memaksa individu tersebut untuk mengalami perubahan lingkungan sosial yang bisa saja sangat berbeda dengan kondisi ketika berada di tempat asal mereka. Semua remaja di dunia ini unik, mereka memiliki kemampuan masing-masing. Meski kemampuannya berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan dari dirinya. Seperti contoh ada remaja yang unggul dalam bidang kesenian, memasak, bahasa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, seharusnya remaja tidak perlu khawatir akan masa depannya karena mereka memiliki potensi dalam diri masing-masing. Potensi merupakan dasar untuk menentukan masa depan tetapi ada faktor lain yang lebih menentukan yaitu keyakinan. Keyakinan seseorang bahwa hasil yang baik akan terjadi pada dirinya ini disebut dengan optimisme (Scheier, Carver, & Bridges, 2001). Ciccareli & Meyer (2006) mendefinisikan optimisme sebagai pemikiran seorang individu untuk selalu

3 mendapatkan hasil yang positif dari usaha yang telah ia lakukan sebelumnya. Seseorang yang optimis tidak hanya mengharapkan hasil yang baik, tetapi juga memahami bahwa mereka memegang peran dalam memengaruhi hasil yang akan mereka peroleh (Warter, 2009). Orang yang optimis cenderung melihat kejadian yang tidak terduga sebagai tantangan dan kesempatan untuk belajar dibanding sebagai suatu masalah (Scheier dkk, 2001). Selain itu orang yang optimis cenderung percaya diri bahkan ketika keadaan sulit (Carver & Scheier, 2002). Hal itu karena mereka selalu berusaha melihat sisi positif dari masalah yang sedang mereka hadapi (Scheier dkk, 2001). Akan tetapi jika situasi sulit tersebut dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak dapat mereka kontrol, mereka cenderung menerima kenyataan tersebut. Keoptimisan adalah inti dari motivasi seseorang dalam banyak persaingan di kehidupan. Tanpa kemampuan untuk berpikir optimis seseorang dapat mengalami tekanan-tekanan dalam dirinya ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya. Optimisme merupakan faktor yang penting dimiliki oleh mahasiswa dalam menjalani kehidupannya, terutama dalam pencapaian tujuan atau cita-cita, mereka perlu membuat perencanaan untuk masa depan. Peterson (2000) mengatakan bahwa mahasiswa yang optimis akan mencoba untuk menyelesaikan permasalahannya secara efektif dan tidak terjebak pada hal-hal yang sepele. Hal ini karena optimisme berkaitan dengan cara individu menilai suatu kejadian secara obyektif dan rasional. Seligman (2006) menemukan bahwa mahasiswa baru dengan optimisme yang bagus akan mempengaruhi capaian akademik di masa mendatang karena optimisme dapat membantu mahasiswa mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dengan lebih baik. Optimisme juga berguna bagi mahasiswa dalam menghadapi stress perkuliahan, terutama pada mahasiswa dengan tuntutan tinggi seperti pada sekolah penerbangan. Studi penelitian tentang optimisme pada siswa sekolah penerbangan memberikan hasil bahwa optimisme berpengaruh pada siswa sekolah

4 penerbangan menghadapi stress dalam masa pendidikannya (Darmadji, 1996). Optimisme tampaknya penting dimiliki oleh setiap mahasiswa karena banyak manfaat yang diperoleh. Berkebalikan dengan optimisme, pesimisme didefinisikan sebagai keyakinan bahwa hasil yang buruk akan terjadi (Scheier, Carver, & Bridges, 2001). Orang yang pesimis cenderung melihat masalah yang ada sebagai bencana. Dibanding fokus pada penyelesaian masalah, orang yang pesimis cenderung fokus pada emosi yang mereka rasakan dan bagaimana dapat melampiaskannya. Ketidakyakinan mereka akan hasil yang baik membuat orang yang pesimis cenderung ragu-ragu dan bimbang dalam mengambil keputusan (Carver & Scheier, 2002). Oleh karena itu, orang yang pesimis cenderung menghindari masalah dibandingkan mengambil tindakan untuk menyelesaikannya (Scheier dkk, 2001). Sikap mental orang-orang pesimis lebih menjurus kepada keputusasaan sedangkan sebaliknya, sikap mental orang-orang yang optimis lebih memancarkan harapan. Optimisme pada remaja tidak terlepas dari pengaruh faktor lingkungan. Lingkungan yang pertama dan paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga, dimana orangtua sangat berperan didalamnya. Pengasuhan yang positif dapat mendorong perkembangan optimisme pada anak di masa depan. Remaja dalam menghadapi berbagai tugas perkembangan memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana dan sesuai kebutuhan. Remaja membutuhkan bantuan dan mimbingan serta pengawasan dari orangtua untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Keluarga merupakan sumber kekuatan yang dapat mengembangkan optimisme pada anggota keluarga (Frain, Berven, Chan, & Tschoop, 2008). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, optimisme dapat dipengaruhi oleh anggota keluarga lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan dan Power (2002) menunjukkan bahwa tingkat optimisme ibu secara positif berkaitan dengan tingkat optimisme anak. Orangtua menjadi objek yang dicontoh anak-

5 anaknya, dari perilaku, sikap, dan ucapan yang dapat mempengaruhi seluruh hubungan dalam keluarga. Desmita (2008) juga menunjukan betapa dukungan dan interaksi sosial yang terbina dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat penting bagi pembentukan orientasi remaja, terutama dalam menumbuhkan sikap optimis dalam memandang masa depannya. Remaja yang mendapat kasih sayang dan dukungan dari orang tuanya, akan mengembangkan rasa percaya dan sikap yang positif terhadap masa depan, percaya akan keberhasilan yang dicapainya, serta lebih termotivasi untuk mencapai tujuan yang telah diinginkan di masa depan. Sebagai contoh adalah kisah Thomas Alva Edison yang kesuksesannya tidak lepas dari dukungan orang tua. Siapa yang tidak mengenal tokoh penemu lampu pertama kali ini, dimasa kecilnya ia adalah seorang yang dianggap bodoh oleh gurunya sampai dikeluarkan dari sekolah. Namun, ibunya yaitu Nancy Mattews berprinsip teguh bahwa Thomas bukan anak bodoh, dirinya akan terus mendukung dengan cara menjadi guru pribadi untuk mendidik dan mengajar Thomas. Nancy mengajarkan Thomas cara membaca, menulis, dan matematika. Dia juga sering memberi dan membacakan buku-buku bagi Thomas, antara lain buku-buku yang berasal dari penulis seperti Edward Gibbon, William Shakespeare dan Charles Dickens. Thomas diberi kebebasan belajar dari bermacam sumber belajar dan kebebasan untuk bereksperimen. Ternyata dukungan itu membuat perubahan yang besar dalam diri Thomas. Thomas mulai menyadari bahwa keberadaannya diterima, menyadari diri bahwa dirinya mendapat kasih sayang dan dukungan besar hingga memiliki keoptimisan untuk dapat menghasilkan sesuatu bagi kehidupan agar tidak mengecewakan orang tuanya. Sampai akhirnya pada tahun 1879, lahirlah lampu pijar listrik pertama kali yang sampai sekarang sangat berguna dalam kehidupan (Ie, 2013). Contoh lain juga berasal dari hasil wawancara dengan Jos (21 tahun), salah satu mahasiswa Fakultas Psikologi UGM. Berdasarkan hasil wawancara, Jos merasa dukungan

6 sosial orangtua sangat berpengaruh terhadap pencapaian harapan dimasa depan. Orangtua Jos adalah orangtua yang sangat perhatian terhadap dirinya. Ketika Jos masuk ke bangku SMA, dirinya menyampaikan kesukaannya terhadap alat musik saxophone kepada orang tuanya. Orangtuanya memang sudah mengetahui bahwa anaknya suka dengan musik sejak kecil namun belum mengetahui alat musik apa yang digemari oleh anaknya, sampai akhirnya Jos diberi saxophone untuk dirinya belajar secara lebih mendalam. Dengan latihan secara otodidak dan belajar dari orang-orang yang ahli, akhirnya keahlian Jos mulai diketahui banyak orang. Jos mulai banyak mendapat tawaran untuk tampil didepan umum, entah itu bergabung dalam sebuah band, orkestra, atau pelayanan di gereja. Sampai sekarang orangtua Jos masih selalu memberi dukungan, mereka selalu menyemangati Jos ketika dirinya akan tampil, mereka juga menanyakan apabila Jos memiliki hambatan, dan mereka juga membantu apabila Jos membutuhkan bantuan. Jos merasa bahwa dirinya belum menjadi pemain saxophone yang mahir namun dengan dukungan dari lingkungan terutama orang tua, dirinya optimis akan menjadi pemain saxophone yang hebat. Sebaliknya, remaja yang kurang mendapat dukungan dari orang tua, akan tumbuh menjadi individu yang kurang optimis, kurang memiliki harapan tentang masa depan, kurang percaya atas kemampuannya, dan pemikirannya pun menjadi kurang sistematis dan kurang terarah. Hal ini dikarenakan orangtua dapat dijadikan contoh bagi remaja untuk menentukan minatnya dan membantu menentukan strategi serta penyelesaian hambatan saat mewujudkan apa yang diinginkan. Di saat anak-anak beranjak remaja, konflik yang terjadi antara remaja dengan orangtua (anak dengan orangtua) meningkat (Santrock, 2010). Konflik tersebut muncul karena orangtua memiliki keinginan dan pemikiran yang berbeda dengan anak mengenai masa depan anaknya sehingga disaat remaja ingin melakukan sesuatu atau mewujudkan apa yang di inginkan, orangtua cenderung tidak mendukung dan dari situlah timbulah

konflik serta menurunnya rasa keoptimisan remaja. Penelitian Hoffman (2000) pada 120 remaja di Amerika mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara orangtua sering terjadi, tuntutan orangtua dianggap sangat menganggu, remaja takut tidak bisa memenuhi harapan orangtua dan membuat remaja menjadi tidak optimis. Berdasarkan wawancara singkat dengan beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi UGM diperoleh informasi bahwa dukungan orangtua mempengaruhi keoptimisannya. Subjek pertama menceritakan tentang perdebatan dirinya dengan orangtua yang menjadikan dirinya tidak optimis. Iya ka, kadang kalo orangtua udah beda pendapat sama keinginginan hati, aku jadi susah untuk optimis bisa mencapai apa yang aku inginkan. Wawancara selanjutnya dengan subjek yang berbeda diperoleh informasi bahwa pertentangan dengan orangtua membuat dirinya tidak optimis untuk menjalankan keinginannya. Aku nanti pas kuliah waktu udah masuk semester 4 atau 5 pengen kuliah sambil buka usaha, itung-itung kan belajar cari uang tapi orangtua aku nyuruh fokus selesein kuliah dulu. Aku kan pengen jadi pebisnis jadi nggak ada salahnya dong aku latihan buka usaha dari masa kuliah tapi kalo apa yang mau aku lakuin nggak didukung orangtua jadi gabisa optimis berhasil deh jalaninya. Dari wawancara yang dilakukan, dapat diketahui bahwa salah satu yang membuat remaja ragu pada dirinya adalah kurangnya dukungan orangtua sehingga menjadikan remaja sulit untuk optimis. Sebagai contoh ekstrim lain dari tidak adanya dukungan sosial orangtua dan tidak adanya sikap optimis adalah berdasar dari penelitian Allison, Pearce, Martin, Miller, & Long (1995) yang menyimpulkan bahwa kurangnya dukungan orangtua dan sifat tidak optimis mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam melakukan bunuh diri. Kedua hal tersebut merupakan kombinasi pengaruh yang membuat seseorang mudah melakukan bunuh diri. Dari data Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2014 mencatat bahwa angka bunuh diri di seluruh penjuru dunia meningkat. WHO menyebutkan bahwa setiap tahun, tercatat 800.000 orang bunuh diri. Di Indonesia, angka bunuh diri 7

8 diperkirakan mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa penduduk Indonesia yang mayoritas dilakukan oleh kalangan remaja (cnnindonesia.com). Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2014 ada 23 anak yang melakukan bunuh diri. Jumlah ini bertambah dari tahun sebelumnya yang berjumlah 17. Penyebabnya antara lain disebabkan oleh rasa pesimis, putus cinta, permasalahan ekonomi, ketidakharmonisan keluarga, masalah akademis, dan lain sebagainya (merdeka.com). Hal ini tidak akan terjadi apabila remaja mendapatkan dukungan sosial dari orang terdekat mereka, salah satunya yaitu orang tua. Dengan adanya dukungan sosial dirinya akan merasa tidak sendiri dan tidak pesimis dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hidupnya, dukungan dari orang terdekat dapat membantu remaja untuk mencari alternatif penyelesaian masalah sehingga seorang remaja tidak akan mengambil jalan keluar sendiri dengan cara bunuh diri. Melalui contoh kasus tersebut, kita dapat melihat bahwa dukungan orangtua sangat berpengaruh terhadap keoptimisan remaja. Dukungan sosial orangtua dapat terlihat dari perlakuannya terhadap sang anak, misalnya dengan menanyakan apa yang diinginkan anaknya, memberi masukan yang terbaik, mengawasi tindakan yang dilakuan anak, dan membantu memberikan solusi saat menemukan hambatan. Dengan adanya dukungan dari orangtua itulah remaja akan merasa bahwa selalu ada orang-orang yang bisa diajak berbicara, mau mendengarkan pendapat, kesulitan, dan mau membantu jika ada suatu masalah. Hal ini akan memberikan perasaan positif dan optimis pada remaja sehingga dapat mempengaruhi respon apapun serta memiliki pemikiran yang lebih fokus untuk dapat mewujudkan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keoptimisan pada remaja, orangtua hendaknya memberikan dukungan sosial. Semakin tinggi dukungan sosial orangtua yang didapatkan oleh anak, maka semakin tinggi pula optimisme yang dimiliki anak. Dan sebaliknya,

9 semakin rendah dukungan sosial orang tua, maka semakin rendah pula optimisme yang dimiliki oleh anak. Berdasarkan uraian di atas, optimisme sangat diperlukan remaja dalam hal apapun dan dari beberapa faktor yang ditemukan menyebutkan bahwa dukungan sosial orangtua memiliki pengaruh besar pada optimisme remaja. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara dukungan sosial orangtua dan optimisme. Rumusan pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan optimisme pada remaja. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris dan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan optimisme pada remaja. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi akademis dan memperkaya pengembangan ilmu psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan, khususnya mengenai topik optimisme. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat membantu remaja agar dapat meningkatkan keoptimisan sehingga remaja memiliki pribadi yang selalu positif dan dapat menjalankan kehidupan lebih baik.