BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

dokumen-dokumen yang mirip
Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh

BAB II TINDAK PIDANA INSUBORDINASI. A. Pengertian Dan Subjek Tindak Pidana Militer

KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI. Robi Amu

TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM. Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. didalam Konstitusi Negara Indonesia pada Pasal 27 ayat (1) Undangundang

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439)

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

P U T U S A N Nomor : 202 K / PM.III-12 / AD / X/ 2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Devit Mangalede 2

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

Tempat tinggal : Jl. Gajah Mada Kab. Kutai Barat Kalimantan Timur

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (MILITER)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

P U T U S A N NOMOR : PUT / 14-K / PM.II-10 / AD / II / 2008 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

P U T U S A N Nomor : 07-K / PM I-07 / AD / I / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PEMECATAN PRAJURIT TNI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N Nomor : 06 K / PM.III-12 / AD / I / 2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

2017, No Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 324); 3. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Orga

P U T U S A N Nomor : 16 - K / PMI-07 / AD / IV / 2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

P U T U S A N Nomor : 60 -K/PM I-07/AD/ IX / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

P U T U S A N Nomor : 53-K / PM I-07 / AD / VII / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1959 TENTANG PANGKAT-PANGKAT MILITER KHUSUS, TITULER DAN KEHORMATAN

P U T U S A N Nomor : 30 K / PM.III-12 / AL / II / 2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA. Jakarta, Agustus 2005 RANCANGAN

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

P U T U S A N Nomor : 33 - K/PM I-07/AD/ VI / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. Kata kunci: Pertanggungjawaban pidana, Anggota TNI, Desersi.

BAB I PENDAHULUAN. angkatan bersenjata untuk menjaga keamanan dan kedaulatannya 1. Karena itu

PUSANEV_BPHN. Beberapa Perundang-undangan yang terkait dengan Tugas TNI Angkatan Laut KUMDANG 1. Oleh : DISKUM TNI AL


P U T U S A N Nomor : 30 - K/PM I-07/AL/ V / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang ditugaskan untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penjelasan tentang fungsi dan tugas anggota TNI sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia adalah sebagai berikut: A. Fungsi dan Tugas Anggota TNI 1. Fungsi Anggota Tentara Nasional Indonesia Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yakni : (1) TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai; a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan c. Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara. 2. Tugas Anggota Tentara Nasional Indonesia Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesi yakni : (1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 28

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. (2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. Operasi militer untuk perang. b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk : 1. Mengatasi gerakan separatisme bersenjata; 2. Mengatasi pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan wilayah perbatasan; 5. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya; 8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9. Membantu tugas pemerintahan di daerah; 10. Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. Membantu menaggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14. Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Fungsi dan tugas dari anggota TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, bahwa peran anggota TNI sebagai angkatan bersenjata sangat penting dalam menjaga keamanan di kesatuan ataupun negara pada saat perang maupun damai serta sebagai komponen utama dalam 29

mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman bahkan serangan eksternal maupun internal. B. Tindak Pidana Militer Tindak Pidana Militer yang pada umumnya terdapat dalam KUHPM, dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1. Tindak Pidana Militer Murni Tindak pidana militer murni yaitu tindakan-tindakan terlarang/ diharuskan yang pada prinsipnya hanya dilanggar oleh seorang militer karena keadaannya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Dikatakan pada prinsipnya karena dalam uaraian tindak pidana tindak pidana tersebut adanya perluasan subjek militer tersebut. Contoh tindak pidana militer murni sebagai berikut: 1 a. Tidak Hadir Tanpa Izin (Pasal 85 KUHPM); b. Kejahatan Desersi (Pasal 87 KUHPM); c. Insubordinasi (105 KUHPM). Tindak pidana militer murni sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa tindak pidana militer murni terdapat 3 (tiga) jenis tindak pidana yaitu THTI, desersi dan insubordinasi. Ketiga jenis tindak pidana tersebut hanya dilakukan oleh anggota TNI saja dan diancam hukuman pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang PETEHAEM, hlm. 19. 1 S.R. Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Jakarta, Alumni AHEM- 30

berlaku dikalangan TNI. Bagi masyarakat sipil tindak pidana tersebut tidak diberlakukan. 2. Tindak Pidana Militer Campuran Tindak pidana militer campuran yaitu tindakan-tindakan terlarang/ diharuskan yang seharusnya sudah ditentukan dalam perundangundangan lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM karena adanya suatu keadaan yang khas militer. 2 Tindak pidana militer campuran yang dilakukan oleh militer ini dalam tindak pidananya bisa saja dilakukan oleh kalangan sipil, contohnya tindak pidana pencabulan, tindak pidana pencurian, tindak pidana pembunuhan, dan lain sebagainya yang bukan termasuk kategori tindak pidana militer murni. Berbeda dengan tindak pidana militer murni sebagaimana Penulis jelaskan di point B.1 skripsi ini yang mana dalam tindak pidananya tidak mungkin dilakukan oleh kalangan sipil. C. Subjek Hukum Pidana Militer Subjek hukum adalah setiap orang yang dapat dibebani tanggung jawab pidana atas perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang pidana. 3 Dalam hukum pidana militer mempunyai kekhususan sendiri mengenai siapa yang menjadi subjeknya. Seorang militer merupakan subyek hukum pidana umum dan subyek tindak pidana militer. sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 46 KUHPM. 2 Herdjito, 2014, Disparitas Penjatuhan Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Desersi (Laporan Penelitian PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Badan LITBANG Diklat KUMDIL Mahkamah Agung RI), Jakarta, hlm. 40. 3 Frans Maramis, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 82 31

(1) Yang dimaksud dengan Militer adalah: a. Mereka yang berikatan dinas sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut; b. Semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib, sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99, dan 139 KUHPM. (2) Kepada setiap militer harus diberitahukan bahwa mereka tunduk kepada tata tertib militer. Terhadap militer yang melakukan suatu tindak pidana militer campuran, militer tersebut secara bebarengan adalah subyek dari tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang juga bebarengan (eendarse samenloop. Concursus idealis). 4 D. Unsur-unsur Tindak Pidana Desersi Pada Pasal 87 KUHPM menyatakan bahwa Militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari. Terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut: 1. Unsur Ke-1 : Militer 2. Unsur Ke-2 : dengan sengaja 3. Unsur Ke-3 : melakukan ketidakhadiran tanpa izin 4. Unsur Ke-4 : Dalam waktu damai 5. Unsur Ke-5 : Lebih lama dari tiga puluh hari. 4 Ibid. 32

sebagai berikut: Terhadap unsur-unsur tersebut di atas terdapat pengertian-pengertian 1. Unsur Ke-1 Militer a. Yang dimaksud Militer menurut Pasal 46 KUHPM ialah mereka yang berkaitan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang dan diwajibkan berada dalam dinas secara terus-menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut (disebut Militer) ataupun semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para Wajib Militer selama mereka berada dalam dinas (disebut Milwa); b. Militer Sukarela maupun Militer Wajib adalah merupakan Yustisiabel Peradilan Militer, yang berarti kepada mereka dapat dikenakan/ diterapkan ketentuan-ketentuan hukum Pidana Militer, selain ketentuan-ketentuan hukum Pidana Umum, termasuk disini Terdakwa sebagai anggota Militer/ TNI; c. Bahwa di Indonesia yang dimaksud dengan Militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu Negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan Pasal 1 Angka 20 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia; d. Bahwa seorang Militer ditandai dengan mempunyai Pangkat, Nomor Register Pusat, Jabatan dan Kesehatan didalam melaksanakan tugasnya atau berdinas memakai pakaian seragam sesuai dengan 33

Matranya lengkap dengan tanda Pangkat, Lokasi Kesatuan dan Atribut lainnya. 5 Penjelasan diatas mengenai unsur kesatu yaitu militer, maka yang menjadi subjek pelaku dari adanya unsur tindak pidana desersi adalah anggota militer atau TNI yang ditandai dengan mempunyai pangkat, nomor register pusat dan sejak ditandatangai secara sah pernyataan yang menyatakan menjadi anggota militer atau TNI. 2. Unsur Ke-2 Dengan Sengaja Pengertian maupun penafsiran secara khusus mengenai sengaja (Dolus) di dalam KUHP tidak ada, tetapi penafsiran Dengan sengaja atau Kesengajaan disesuaikan dengan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat oleh karena itu terdapat banyak ajaran, doktrin dan pembahasan mengenai istilah kesengajaan ini. 6 Unsur dengan sengaja ini menyatakan bahwa dengan kesadaran dari kejiwaan seseorang anggota militer atau TNI untuk melakukan tindak pidana desersi, padahal ia tahu apa yang ia lakukan tersebut adalah tindak pidana. 3. Unsur Ke-3 Melakukan ketidakhadiran tanpa izin Ketidakhadiran yang dilakukan tanpa izin berarti tidak hadir Kesatuan sebagaimana lazimnya seorang Prajurit antara lain didahului dengan apel pagi, lalu melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan atau menjadi tanggungjawabnya, kemudian sampai dengan apel siang. Sedangkan yang dimaksud tanpa izin artinya ketidakhadiran tanpa Yogyakarta. 6 Ibid. 5 Suratno, Wawancara, tanggal 23 Desember 2016 di Kantor Oditur Militer II-11 34

sepengetahuan atau seizin yang sah dari Komandan atau Pimpinan si Pelaku/ Terdakwa. Dan yang dimaksud dengan tidak hadir berarti tidak berada di tempat yang telah ditentukan baginya untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Komandan atau Kesatuannya atau kewajibannya sebagai anggota Militer/ TNI. 7 4. Unsur Ke-4 Dalam waktu damai Bahwa yang dimaksud dalam waktu damai berarti bahwa Terdakwa atau seorang Prajurit melakukan ketidakhadiran tanpa izin itu Negara Republik Indonesia dalam keadaan damai atau Kesatuannya tidak sedang melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 KUHPM yaitu perluasan dari keadaan perang. 8 Pada unsur ini menyatakan bahwa baik di kesatuannya maupun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dalam keadaan perang atau diserang oleh negara lain. 5. Unsur Ke-5 Lebih lama dari tiga puluh hari Ketidakhadiran yang dilakukan lebih lama dari tiga puluh hari berarti Terdakwa tidak hadir tanpa izin secara berturut-turut lebih dari waktu tiga puluh hari. Salah satu unsur dari tiap-tiap kejahatan adalah bersifat melawan hukum baik secara tersurat ataupun secara tersirat. Seseorang militer yang bermaksud menarik diri untuk selama-lamanya dari kewajiban dinasnya untuk menghindari bahaya perang, selama maksud tersebut berada pada hati sanubarinya sendiri, tidak diwujudkan 7 Ibid. 8 Ibid. 35

dengan suatu tindakan yang nyata, maka selama itu maksud tersebut belum dapat dikatakan atau dicap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. 9 Perbuatan pergi belum tentu merupakan perbuatan bersifat melawan hukum. Jika berpergian itu tanpa izin, sudah jelas sifat melawan hukumnya dari kata-kata tanpa izin tersebut, akan tetapi jika kepergian itu karena sudah mendapat izin (cuti) maka kepergian itu tidak bersifat melawan hukum. Oleh karena itu harus adanya wujud tindakan. Jadi apabila seseorang militer meninggalkan tempat tugasnya karena sudah mendapatkan izin cuti, tetapi ternyata kemudian ia bermaksud untuk tidak akan kembali lagi selamanya ke tempat tugasnya, tindakan tersebut sudah merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum walaupun kepergiannya itu dengan izin. Sekaligus perbuatan tersebut telah memenuhi unsur kejahatan desersi. 10 Unsur kelima yaitu lebih lama dari tiga puluh hari sebagaimana yang dijelaskan diatas, dapat dikatakan desersi apabila telah melakukan pergi tanpa izin dari kesatuan selama lebih dari tiga puluh hari. Jika pergi tanpa izin tersebut dilakukan kurang dari tiga puluh hari, maka belum dapat dikatakan sebagai desersi tetapi masih tergolong sebagai tidak hadir tanpa izin yang melanggar hukum disiplin militer. 9 S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 261 10 Ibid. 36

E. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Desersi Desersi merupakan suatu perbuatan melarikan diri dari dinas yang diawali dari perbuatan ketidakhadiran tanpa izin yang tidak lazim dilakukan oleh seseorang anggota TNI. Ketidakhadiran tanpa izin ini dilakukan melebihi 30 hari dalam waktu damai sudah termasuk tindak pidana desersi, sedangkan ketidakhadiran dengan sengaja 4 hari lamanya dalam waktu perang sudah dikatakan melakukan tindak pidana desersi. Desersi dikatakan sebagai kejahatan pidana karena ketidakhadirannya seseorang anggota TNI dalam tugas dinasnya sudah melanggar hukum kedisiplinan. 11 Ada dua bentuk tindak pidana desersi yang dilakukan oleh anggota TNI menurut Pasal 87 dan 89 KUHPM sebagai berikut: 1. Pasal 87 KUHPM Ke-1 Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. Ke-2 Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Ke-3 Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperbolehkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2. Menurut pasal ini terdapat 3 macam bentuk desersi, Pertama desersi karena tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-lamanya dari kewajiban dinas, 11 Herdjito, Op.Cit., hlm. 55 37

menghindari dari bahaya perang, menyeberang ke lawan atau musuh dan masuk dinas militer negara asing secara tidak sah. 12 Kedua, desersi karena waktu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) angka 2 yaitu tidak dengan tidak sah karena kesalahannya melebihi 30 hari waktu masa damai, tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya lebih dari 4 hari dimasa perang dan tidak hadir dengan tidak sah karena sengaja, dalam masa damai lebih dari 30 hari dan dalam masa perang lebih lama dari 4 hari. 13 Ketiga, desersi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) angka 3 termasuk dalam pengertian Pasal 85 angka 2 ditambah dengan adanya unsur kesengajaan dari pelaku. 14 Hemat penulis tindak pidana desersi yang dilakukan sebagaimana dimaksud di atas, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini dapat diterapkan kepada si Pelaku tindak pidana desersi dalam waktu damai. Perumusan Pasal 87 dapat disimpulkan ada dua bentuk desersi yaitu: a. Bentuk desersi murni (Pasal 87 ayat (1) ke-1); b. Bentuk desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin (Pasal 87 ayat (1) ke-2 dan ke-3). 15 Ada empat macam cara atau keadaan yang dirumuskan sebagai bentuk desersi murni yaitu: a. Militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik diri dari selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya. 12 Moch. Faisal Salam, Op.cit., hlm. 222 13 Moch. Faisal Salam, Op.cit., hlm. 223 14 Ibid, hlm. 223 15 S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 272. 38

Menarik diri selamanya adalah tidak akan kembali lagi ke tempat tugasnya. Dari suatu kenyataan bahwa pelaku telah bekerja pada suatu jawatan atau perusahaan tertentu tanpa suatu perjanjian dengan kepala perusahaan tersesebut bahwa pekerjaan itu bersifat sementara sebelum kembali ke kesatuannya, sudah dapat diartikan sebagai pergi untuk selamanya. Dan apabila sebelum pergi petindak sebelumnya bercerita kepada teman dekatnya atas tekadnya tersebut, lalu kemudian tidak lama setelah pergi ia ditangkap oleh petugas, maka kejadian tersebut sudah termasuk kejahatan desersi. 16 Pada saat petindak itu pergi dari kesatuannya, lalu menggabungkan diri pada kesatuan militer lainnya, dilihat dari sudut pandang kepergiannya untuk selamanya dari kesatuannya semula, secara harafiah perbuatan itu adalah desersi. Akan tetapi dilihat dari sudut maksud kepergiannya dihubungkan dengan kewajiban dinasnya, maka maksud kepergiannya itu tidak dapat dikatakan sebagai menarik diri untuk selamanya dan seterusnya, karena pada kesatuan yang baru itu juga ia menjalankan tugas kewajiban yang sama. 17 Dengan tidak adanya kesadaran diri dari si petindak untuk kembali ke kesatuan asalnya, maka seharusnya kesatuan baru itulah yang mengembalikan petindak tersebut kembali ke kesatuan asalnya. 16 Ibid., hlm. 274. 17 Ibid. 39

Istilah kewajiban-kewajiban sebagaimana yang dimaksud diatas harus ditafsirkan sehingga pengertian tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa petindak, tidak ada kehendak/ maksud kagi untuk melakukan kewajiban-kewajiban dinas, untuk mana dia dididik, dilatih dan dibiayai oleh negara; 2) Bahwa petindak, tidak ada maksud lagi untuk kembali ke kesatuannya karena kesadaran sendiri. 18 b. Militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang Kejahatan desersi lebih ringan bila dibandingkan dengan kejahatan ini sebagaimana dalam Pasal 75 ayat (1) ke-2. Perbandingan yang menonjol dari pasal-pasal tersebut ialah ditinjau dari sudut keadaan/ waktu. Seperti contoh di Sulawesi Utara terjadi pembentrokan dalam waktu perang, tetapi di pulau jawa aman (dalam waktu damai). Apabila seseorang militer yang berkedudukan di Malang melarikan diri dari kesatuan tersebut karena ia mengetahui bahwa keesokan harinya ia akan dikirimkan ke Sulawesi Utara untuk bertempur melawan pemberontak, maka ia dapat diterapkan Pasal 87 KUHPM. 19 Tetapi jika kepergiannya itu dari suatu keadaan bahaya dalam pertempuran, sementara ia sudah berada di daerah pertempuran, maka ketentuan Pasal 75 KUHPM yang lebih tepat diterapkan. 18 Ibid. 19 Ibid., hlm. 275. 40

c. Militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke musuh Menyeberang ke musuh ialah maksud atau tujuan dari petindak yang baru dinyatakannya dengan perbuatan pergi. Apabila tujuan itu belum tercapai (misalnya karena keburu ditangkap) sementara ia masih dalam perjalanan, kemudian tujuan yang terkadung dalam hati petindak itu dapat dibuktikan (misalnya karena ucapannya sebelumnya kepada teman-teman dekatnya), maka petindak telah melakukan desersi. 20 Apabila ia sudah berada ditempat musuh, maka ia sebaiknya perang tersebut berlangsung selama 18 tahun kalaupun ia kembali setelah waktu tersebut, tidak lagi akan ada tuntutan karena kejahatan desersi tersebut Pasal 89 ke-1 KUHPM jo Pasal 78 KUHP, atau adanya amnesti umum. d. Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. Pengertian memasuki dinas militer tidak harus sama pengertiannya dengan yang ditentukan pada BAB VII Buku I KUHPM. Tujuan pengkaitan istilah ini dengan istilah kekuasan lain, ialah agar petindak bermaksud memasuki pasukan, lasykar, partisan dan lain sebagainya dari suatu organisasi pemberontak bajak-laut, sudah termasuk melakukan kejahatan. 21 Bahwa apapun hal yang dilakukan oleh anggota militer atau TNI tanpa adanya izin atau dibenarkan oleh kesatuannya untuk melakukan hal tersebut, maka anggota militer atau TNI tersebut sudah melakukan tindak pidana. 20 Ibid., hlm. 276. 21 Ibid., hlm. 277. 41

2. Pasal 89 KUHPM 1. Desersi ke musuh; 2. Desersi dalam waktu perang, dari satu pasukan, perahu laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh. Desersi kepada musuh merupakan pengertian dengan maksud menyeberang kepada musuh seperti maksud dalam Pasal 87 ayat (1) angka 1. Desersi kepada musuh berarti pelaku harus sudah berada didaerah atau dipihak musuh atau dengan kata lain pelaku sudah benarbenar bekerja pada pihak musuh. 22 Hemat penulis berdasarkan Pasal 87 dan 89 KUHPM, bahwa Pasal 87 KUHPM menjelaskan desersi yang dilakukan oleh anggota TNI pada waktu damai, sedangkan dalam Pasal 89 KUHPM menjelaskan desersi yang dilakukan oleh anggota TNI pada waktu perang. Dengan adanya perbedaan bentuk desersi yang dilakukan oleh anggota TNI, maka berbeda pula waktu perhitungan yang dikatakan telah melakukan tindak pidana desersi. 22 Ibid., hlm. 226-227. 42