BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%) (Kementrian Riset dan Teknologi, 2012). Dominasi sektor industri dan sektor transportasi mengakibatkan pemerintah harus merumuskan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor tersebut mengingat keduanya memegang peranan penting bagi perekonomian bangsa tanpa mengabaikan sektor rumah tangga. Beberapa tipe energi, seperti salah satunya yaitu bahan bakar minyak (BBM), banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor transportasi. Namun demikian, energi yang dipakai pada sektor transportasi hanya mencakup dua jenis, yaitu BBM dan gas. Hingga saat ini, kebutuhan energi dari BBM memiliki porsi yang sangat besar di Indonesia di mana proses produksinya masih sangat bergantung dengan ketersediaan bahan baku fosil (95,2%) dengan tingkat pertumbuhan sekitar 7% (Kementrian Riset dan Teknologi, 2013). Tidak seimbangnya jumlah pasokan dan permintaan BBM di Indonesia berimbas pada kebijakan untuk mengimpor minyak bumi yang dimulai pada tahun 2004. Ironisnya, kebijakan impor tersebut masih berlangsung hingga saat ini, mengingat kapasitas produksi BBM di Indonesia diperkirakan dibawah 1.000.000 barrel/hari sedangkan laju konsumsi sekitar 1.400.000 barel/hari (Kementrian Riset dan Teknologi, 2013). Guna menjamin stabilitas energi nasional, pemanfaatan sumber energi baru terbarukan (EBT) harus dirintis dan dimaksimalkan, baik untuk memenuhi kebutuhan di sektor industri, transportasi, ataupun rumah tangga, di mana hal ini sesuai dengan target yang diarahkan oleh UU No. 30 tahun 2007 tentang energi dan Peraturan Presiden no. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. 1
2 Gambar 1.1 Government s Target for National Energy Mix 2025 (ESDM, 2007) Rencana peningkatan akan penggunaan berbagai energi alternatif oleh Pemerintah Indonesia dipaparkan secara jelas pada Gambar 1.1. Adapun hal yang harus dicermati pada rencana tersebut adalah peningkatan penggunaan EBT (Energi Baru Terbarukan) secara signifikan mampu memangkas penggunaan BBM 12.7%. Oleh sebab itu, penggunaan nuklir (1,993%) dan biofuel (1,335%) sedang dicanangkan Pemerintah Indonesia. Namun demikian, program biofuel (biodiesel dan bioetanol) lebih didahulukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan energi yang ada di Indonesia mengingat penggunaan nuklir sebagai sumber energi masih menuai pro dan kontra (ESDM, 2007). Bioetanol, sebagai salah satu tipe biofuel, merupakan program unggulan pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi ketergantungan akan BBM. Dampak positif program pemerintah ini direfleksikan oleh peningkatan permintaan bioetanol di Indonesia seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1.1. Adanya tren kenaikan permintaan bioetahol setiap tahunnya menjadi tantangan tersendiri bagi produsen bioetanol di Indonesia untuk memenuhi permintaan bioetanol di Indonesia. Realita mengenai industri bioetanol yang ada di Indonesia diberikan oleh Tabel 1.2. Besarnya pasar bioetanol di Indonesia ditunjukkan oleh peningkatan nilai produksi, ekspor, dan impor bioetanol pada Tabel 1.2.
3 Tabel 1.1 Permintaan Bioetanol Sebagai Bahan Campuran BBM di Indonesia (Rosyida, 2011) Tahun Jumlah Bioetanol (Juta/Kliter) 2006 1,71 2007 1,75 2008 1,78 2009 1,82 2010 2,8 Tahun Tabel 1.2 Data Bioetanol di Indonesia (Rosyida, 2011) Jumlah Ekspor Produksi Bioetanol Jumlah Impor Bioetanol Bioetanol (Liter/tahun) x 10 3 % (Liter/tahun) % (Liter/tahun) % 2003 158.388 19,06 506.717.560 16,23 506.276.550,1 19,53 2004 160.686 19,33 581.539.694,5 18,62 511.397.955,6 19,73 2005 167.984 20,21 671.448.405,5 21,5 521.522.008,9 20,12 2006 169.752 20,42 680.088.933 21,78 523.547.530 20,2 2007 174.328 20,97 682.819.776 21,87 529.565.340 20,42 Ratarata 166.227.600 518.461.876,9 624.522.873,8 Perkembangan industri bioetanol di Indonesia saat ini dihadapkan pada ketersediaan bahan baku dan posisinya didalam rantai makanan (Indahsari et al, 2012). Hal ini dikarenakan industri bioetanol di Indonesia masih menggunakan bahan baku bioetanol generasi pertama, yaitu singkong dan molasses (sirup gula). Untuk menghindari konflik pangan yang sangat mungkin terjadi di masa depan, bahan baku produksi bioetanol mulai dialihkan ke bahan baku generasi kedua, seperti yang dilakukan oleh Sudiyani et al., (2013) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Luas areal kelapa sawit 4 Indonesia (LIPI, 2012) yang memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Pemilihan TKKS sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dilatarbelakangi oleh ketersediaannya yang melimpah dan sifatnya yang terlepas dari rantai makanan, sehingga dipastikan bahan baku ini tidak akan berkompetisi dengan kebutuhan pangan di Indonesia. Besarnya prospek industri bioetanol berbahan baku TKKS di Indonesia sangat didukung oleh posisi Indonesia sebagai penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di dunia yang kemudian disusul oleh Malaysia di peringkat kedua. Produksi CPO Indonesia menguasai 48% pangsa pasar CPO dunia sedangkan Malaysia sebesar 37% (Khair, 2013). Perkembangan luas areal kelapa sawit tahun 2000 sampai tahun 2011 berdasarkan angka sementara (ASEM), (2011) dari Direktorat Jendral Perkebunan diberikan pada Gambar 1.2. Luas areal kelapa sawit didominasi oleh Perkebunan besar swasta (PBS), yang diikuti oleh perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar negara (PBN). Pada tahun 2011, luas areal kelapa sawit Indonesia telah mencapai 9,91 juta hektar, dengan rincian luas areal PBS sebesar 4,65 juta hektar (52,22%), luas areal PR sebesar 3,62 juta hektar (40,64%), dan luas areal PBN sebesar 0,64 juta hektar (7,15%). Tahun Gambar 1.2 Perkembangan luas areal kelapa sawit 2000-2011 (Deptan, 2013) Perluasan lahan kelapa sawit berakibat pada peningkatan produksi minyak sawit sepanjang tahun 2000-2011 seperti yang diinformasikan pada Gambar 1.3.
Produksi minyak kelapa sawit 5 Pada tahun 2000, produksi minyak sawit Indonesia hanya berkisar 7.000.000 ton, sedangkan pada tahun 2011 nilainya telah meningkat menjadi 22.510.000 ton. Peningkatan produksi minyak sawit terutama terjadi pada PBS dan PR, sedangkan jumlah minyak sawit yang diproduksi oleh PBN relatif konstan dan bahkan cenderung menurun. Sebagai informasi, pada tahun 2011 produksi minyak sawit dari PBS mencapai 11.940.000 ton (53,06%), sedangkan PR dan PBS masingmasing menghasilkan minyak sawit sebesar 8.630.000 ton (38,33%) dan 1.940.000 ton (8,61%). Tahun Gambar 1.3 Perkembangan produksi minyak sawit 2000-2011 (Deptan, 2013) Dengan meninjau informasi mengenai perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia, jumlah TKKS yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak sawit tentunya akan mengalami peningkatan. Dengan demikian, TKKS berpotensi besar untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol yang berkesinambungan. Pemanfaatan TKKS masih dilakukan secara terbatas, yang antara lain hanya digunakan sebagai pupuk dan media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. TKKS sebagai limbah industri kelapa sawit memiliki jumlah yang melimpah, dimana setiap pengolahan 1 ton tandan buah segar (TBS) akan dihasilkan 23% atau sekitar 8230 kg TKKS. Apabila diilustrasikan, sebuah pabrik berkapasitas 12,7 juta ton minyak sawit/jam dan waktu operasi selama 1 jam akan menghasilkan 2,3 juta ton
6 TKKS. Adapun jumlah limbah TKKS seluruh Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan mencapai 18.200.000 ton (Rosyida, 2011). Produksi bioetanol dalam skala besar pada dasarnya dapat menghindarkan Indonesia dari terjadinya krisis energi. Produksi bioetanol berbahan baku TKKS dapat dijadikan salah satu peluang untuk mengembangkan industri bioetanol yang berkesinambungan mengingat ketersediaan TKKS yang melimpah dan berada diluar rantai makanan. Kendati prospek industri bioetanol berbahan baku TKKS cukup menjanjikan, salah satu kendala yang masih dijumpai adalah biaya operasional yang tinggi dan belum adanya rancangan distribusi yang optimal. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk meminimalkan biaya investasi, operasional dan distribusi bioetanol dengan mendesain konfigurasi dari rantai pasok bioetanol dengan bahan baku TKKS dari hulu ke hilir sehingga didapatkan rancangan rantai pasok bioetanol yang efektif dan efisien dalam hal biaya investasi, biaya operasional dan biaya transportasi. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi dibidang transportasi, yakni untuk mengurangi pemakaian bahan bakar bersubsidi (premium) di Indonesia. Penelitian perancangan sistem rantai pasok bioetanol dengan bahan baku tandan kosong kelapa sawit di Indonesia belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan konfigurasi sistem rantai pasok bioetanol dengan bahan baku tandan kosong kelapa sawit yang optimal dari segi biaya investasi, operasional dan transportasi, serta dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Indonesia dan stakeholder terkait didalam memenuhi permintaan energi khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk sektor transportasi di Indonesia. Didalam penelitian ini akan dibangun sebuah model matematis baru dari sistem rantai pasok bioetanol dengan bahan baku tandan kosong kelapa sawit di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah menentukan lokasi dan kapasitas pabrik bioetanol yang dapat meminimalkan biaya investasi, biaya operasional dan biaya transportasi dari sebuah
7 sistem rantai pasok bioetanol di Indonesia. Serta membangun sebuah model matematis sistem rantai pasok bioetanol dengan bahan baku tandan kosong kelapa sawit di Indonesia. 1.3 Asumsi dan Batasan Masalah Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada: 1. Rantai pasok yang diamati terdiri dari pemasok (pabrik pengolahan kelapa sawit), Produsen bioetanol (pabrik bioetanol) dan konsumen yang merupakan unit pengolahan PT Pertamina. 2. Bioetanol yang dimaksud pada penelitian ini adalah bioetanol yang digunakan sebagai campuran bahan bakar pada sektor transportasi (full grade ethanol). 3. Parameter yang digunakan untuk membangun model memiliki karakter deterministik, sehingga ketidakpastian pasokan bahan baku, produksi bioetanol, dan permintaan terhadap bioetanol setiap harinya belum dapat dimodelkan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan suatu konfigurasi rantai pasok bioetanol berbahan baku TKKS yang dimulai dari pabrik pengolahan kelapa sawit, pabrik bioetanol, sampai kepada konsumen yaitu unit pengolahan PT Pertamina untuk dicampur dengan premium sehingga berguna sebagai bahan masukan untuk pemerintah Indonesia dan stakeholder terkait khususnya produsen bioetanol mengenai kelayakan bahan baku generasi kedua yang berupa TKKS. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendesain konfigurasi rantai pasok dari pembuatan bioetanol yang menggunakan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai bahan baku. Adapun tujuan khusus adalah untuk mendapatkan: 1. Memetakan lokasi dan kapasitas bahan baku tandan kosong kelapa sawit dan konsumen bioetanol.
8 2. Membangun model matematis penentuan titik lokasi pabrik bioetanol. 3. Melakukan analisis sensitivitas terhadap parameter demand dan kapasitas pabrik bioetanol.