KONFLIK POSO (KAJIAN HISTORIS TAHUN )

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Igneus Alganih, 2014 Konflik Poso (Kajian Historis Tahun )

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya,

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

I. PENDAHULUAN. Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB 2 PENINGKATAN RASA PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

PROSES MEMBANGUN PERDAMAIAN DI POSO / SULAWESI TENGAH

JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan

BAB V KESIMPULAN. isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

KONFLIK POSO MELANGGAR HAM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang

BUPATI TANA TORAJA PROVINSI SULAWESI SELATAN

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

SISTEM PENANGANAN DINI KONFLIK SOSIAL DENGAN NUANSA AGAMA

Oleh: Lina Herlina. Program Studi Religious Studies Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Bagaimana agar intoleransi tak berlanjut sesudah pilkada DKI Jakarta?

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN. hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Meski sudah padam, tapi tidak ada jaminan tidak akan meletus lagi kan?

BAB I PENDAHULUAN. Utara merupakan kejadian tunggal yang tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

BAB I PENDAHULUAN. berjalan lancar jika didukung oleh adanya kondisi yang aman dan tenteraman. Salah satu hal

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

2015 PERISTIWA MANGKOK MERAH (KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya. berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya dan

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

2015 STRATEGI PARTAI ISLAM D ALAM PANGGUNG PEMILIHAN PRESID EN DI INDONESIA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan agenda politik. bangsa Indonesia yang negaranya menganut paham demokrasi. Salah satu tahapan

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Muslim dunia (Top ten largest with muslim population, 2012). Muslim

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN

2017, No b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 124, Pasal 128, dan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Ba

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DATA PELANGGARAN HAM DI INDONESIA 1. Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses Hukum

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Transkripsi:

KONFLIK POSO (KAJIAN HISTORIS TAHUN 1998-2001) Igneus Alganih Universitas Pendidikan Indonesia E-mail : igneusalganih@gmail.com Abstrak: Penelitian ini berangkat dari permasalahan utama yang menjadi keresahan peneliti, yaitu mengapa terjadi konflik berkepanjangan antara penduduk agama Islam dengan Kristen di Poso? Permasalahan tersebut dikembangkan menjadi empat pertanyaan rumusan masalah yaitu (1) Apa yang menjadi penyebab akar masalah terjadinya konflik di Poso? (2) Bagaimana dinamika terjadinya konflik di Poso tahun 1998-2001? (3) Bagaimana peranan pemerintah dan tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik di Poso? (4) Bagaimana dampak konflik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Poso? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Konflik Poso terjadi bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1998 yang menyebabkan terjadinya perubahan pola pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan. Konflik Poso ini berdampak sangat merugikan ditatanan bidang, politik, ekonomi dan sosial budaya serta meninggalkan beban trauma psikologis terutama pada anak-anak dan perempuan yang mengalami trauma kekerasaan atau pelecehan ketika kerusuhan terjadi. Konflik yang terjadi di Poso mengingatkan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sesungguhnya masih suatu cita-cita yang harus diperjuangkan untuk menjaga persatuan nasional. Kata kunci: Konflik, Desentralisasi, Kekuasaan. 166

167 Konflik Poso, Igneus Alganih PENDAHULUAN Konflik pertikaian berlatar belakang Suku bangsa, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) serta menjurus ke arah disintegrasi bangsa banyak sek/ali terjadi setelah pada tahun 1998 yaitu, ketika Indonesia memasuki era Reformasi dengan ditandai jatuhnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto melalui gerakan mahasiswa. Jatuhnya pemerintahan Soeharto ini membuat rakyat Indonesia mengalami euforia kebebasan dalam berpolitik, pola pemerintahan yang lebih demokratis dan perubahan pola pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah). Poso merupakan suatu wilayah Kabupaten dari Provinsi Sulawesi Tengah, nama Poso ini pun menjadi sekaligus ibu kota kabupaten ini. Kabupaten Poso secara administratif terbagi menjadi 19 kecamatan, yang terdiri dari 23 kelurahan dan 133 desa, dengan total jumlah penduduk 209.228 jiwa (BPS Sulawesi Tengah 2011: 94, 96). Data Sulawesi Tengah dalam angka tahun 2006 yang dikutip Hendrajaya et al. (2010: 19), untuk penganut agama di Poso relatif seimbang dalam hal penganut agama dengan 45% penduduk beragama Islam, 35 persen beragama Kristen, sedangkan sisanya penganut Buddha, Hindu dan lainnya. Umumnya agama Islam dipeluk warga pendatang dari Jawa, Lombok, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar), serta penduduk asli Tojo, Bungku dan Togian. Sedangkan Penduduk beragama Kristen berjumlah umumnya penduduk asli dari suku Pamona, Mori, serta pendatang dari Manado, Toraja dan Nusa Tenggara Timur (Karnavian, 2008: 5). Konflik yang dikhawatirkan benarbenar terjadi di Poso pada tahun 1998. Poso yang awalnya damai dan dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini, kemudian berubah menjadi tempat pertikaian dan terjadinya konflik sosial berdarah melibatkan unsur etnis dan agama di dalamnya. Konflik di Poso yang melibatkan konflik antara agama Islam dan Kristen ini, mengakibatkan kerusuhan massal hingga jatuhnya banyak korban meninggal, korban luka, dan tempat peribadatan dan rumah yang dibakar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab pada tahun 1998-2001. Konflik ini pun telah membuat para perempuan, laki-laki dewasa, orang tua, remaja, anak-anak, lanjut usia, segala usia dari segala lapisan dan latar belakang, tanpa terkecuali, terseret, dipaksa masuk dalam tepian dan pusaran konflik kekerasaan berdarah yang berkepanjangan (Gogali, 2009: 21). Permasalahan yang dikembangkan dalam tulisan ini yaitu: apa yang menjadi penyebab akar masalah terjadinya konflik di Poso; Bagaimana dinamika terjadinya konflik di Poso tahun 1998-2001? Dan Bagaimana peranan pemerintah dan tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik di Poso? METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis dengan langkah-langkah penelitian sebagaimana yang dijelaskan Abduhrahman (2007, 54-80) adalah sebagai berikut: teknik pemilihan topik dan penyusunan rencana penelitian; heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. PEMBAHASAN 1. Latar Belakang Konflik Salah satu penyebab konflik Poso adalah permasalahan yang berkaitan dengan problema historis yang menyangkut masalah penduduk asli Poso yang merasa termarjinalkan dengan keberadaan penduduk pendatang dari luar Poso. Kondisi ini dapat dianalisis berdasarkan pengertian konflik sosial menurut Coser dalam Oberschall (1978: 291), social conflict is a struggle

JURNAL CRIKSETRA, VOLUME 5, NOMOR 10, AGUSTUS 2016 168 over values or claims to status, power, and scarce resources, in which the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise, injure, or eliminate rivals. Merujuk pada pengertian konflik sosial menurut Coser ini yang menyatakan bahwa penyebab latar belakang dari konflik biasanya karena pertentangan atau pertikaian antar kelompok dengan identitas yang jelas terlibat konflik dalam mengejar atau memperebutkan isu-isu tertentu, seperti pertentangan nilai atau menyangkut klaim terhadap status (jabatan politik/sosial), kekuasaan, pertentangan dan sumber daya alam. Kehadiran penduduk pendatang ini telah membuat perubahan transformasi sosial-ekonomi di Poso yang diawali dengan peralihan lahan dari penduduk asli ke pendatang. Para pendatang kemudian sukses dan berhasil setelah mendapat keuntungan dari hasil tanaman pertanian dan perkebunan yang ditanamnya, terutama hasil tanaman coklat yang memberikan keuntungan besar pada tahun 1990an. Keberhasilan pendatang ini membuat kesenjangan sosial terjadi di Poso dan menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial bagi penduduk asli yang merasa termarjinalkan dan tersingkirkan ditanah kelahirannya sendiri. Setelah termarjinalisasi dibidang sosial ekonomi terjadi pula marjinalisasi dibidang politik yang membuat penduduk asli benarbenar merasa tersingkirkan. Hal ini terjadi karena pada masa lalu sebenarnya elit Kristen kekuasannya dominan di pemerintahan Kabupaten Poso akan tetapi kondisi berbalik setelah Islam lebih banyak penganutnya di Poso. Karena dengan meningkatnya penganut agama Islam membawa keuntungan tersendiri bagi elit politik Islam untuk memperoleh kursi kekuasaan yang lebih banyak dipemerintahan jika menyangkut perolehan suara dalam Pemilu melalui sentimen agama. Kemudian dengan adanya keberadaan ICMI yang mengembangkan elemen ikatan berbasis patron dan klien berdasarkan identitas agama Islam semakin membuat elit kelompok Kristen semakin termarjinalkan dan tersingkirkan dari pusaran kekuasaan politik di pemerintahan Kabupaten Poso. Selanjutnya jika dilihat dari aspek antropologis dengan beragamnya komunitas etnis dan agama di Poso, dapat menjadi salah satu faktor untuk dicermati karena dengan keberagaman kondisi perbedaan adat istiadat dan karakter etnis suku yang satu sama lain berbeda ini, menjadi salah satu potensi terjadinya konflik sosial karena jadi memudahkan masyarakat yang berbeda suku etnis dan agamanya ini dapat diprovokasi untuk terlibat dalam konflik komunal. Perbedaan agama di poso akhirnya menjadi senjata ampuh bagi para elit untuk dijadikan kendaraan politiknya untuk saling bersaing dan berkonflik mendapatkan jabatan kekuasaan dalam mencapai kepentingan politik di daerahnya. Di sini para elit politik dalam mencapai kepentingan politiknya tersebut melakukannya dengan cara memobilisasi massa melalui isu sensitif yaitu isu etnis dan agama. Sehingga ketika konflik komunal terjadi kemudian dihubungkan dengan isu sensitif etnis dan agama di Poso maka konflik cenderung terjadi berlarut-larut dan berkepanjangan. 2. Persaingan Elit Politik di Poso Pada masa sebelum diterapkannya demokrasi dan desentralisasi di Kabupaten Poso untuk pembagian kekuasaan Bupati, Sekwilda dan Ketua DPRD Poso diatur oleh pemerintah pusat, termasuk dalam distribusi kekuasaan berdasarkan agama dan selalu berimbang (Hasrullah, 2007: 89). Dalam rotasi tersebut dikenal dengan istilah power sharing yang dilakukan untuk menghormati keragaman agama di Kabupaten Poso. Berikut tabel jabatan bupati di Poso.

169 Konflik Poso, Igneus Alganih Tabel Bupati yang menjabat di Kabupaten Poso periode 1967-2004 Bupati Asal Agama Drs. Galib Lahasido Islam (1967-1973) Drs. R.P.M Kristen Koeswandi (1973-1984) Soegiono (1984- Islam 1988) Drs. J.W. Sarapang Kristen (1988-1989) Arief Patanga (1989- Islam 1999) Drs Abdul Muin Islam Pusadan (1999-2004) Sumber: Muin, H. A. (2008: 44) Pada tabel tersebut terlihat jabatan Bupati di Poso selalu dirotasi berdasarkan dua agama dominan di Poso yaitu Islam dan Kristen. Rotasi power sharing ini dimulai pada jabatan bupati periode tahun 1967-1973 yang dipegang oleh Galib Lahasido dari kelompok Islam, kemudian pada masa pemerintahan Presiden Soeharto jabatan bupati digantikan oleh Koewandi (1973-1984) yang diangkat dari kelompok Kristen, setelah periode jabatan Bupati Koewandi habis maka diganti dari tokoh kelompok Islam yaitu Bupati Soegiono (1984-1988), kemudian pengakatan Bupati berdasarkan rotasi agama di Poso terjadi begitu seterusnya sampai rotasi power sharing ini berakhir pada periode Bupati Arief Patanga tahun 1999, yaitu ketika mulai diterapkannya sistem demokrasi dan desentralisasi di Indonesia. Sistem demokrasi ini telah membawa perubahan ditatanan pemerintahan Kabupaten Poso karena pada masa demokratisasi ini komposisi penduduk berdasarkan SARA tidak lagi menjadi formula politik dalam mengatur power sharing, yang berlaku adalah kelompok siapa yang memiliki banyak massa dan pendukung maka kelompok itulah yang akan berkuasa (Winarti dan Puspitasari, 2012: 95). tersingkir karena alasan demokrasi. Ketika jabatan Bupati Arief Patanga pada tahun 1998 akan selesai pada masa jabatannya. Sejak itu persaingan jabatan bupati berlangsung sangat sengit Pada bulan Juni 1999, Gubernur Sulawesi Tengah H.B. Paliudju mengeluarkan surat pemberhentian Arief Patanga dari jabatan Bupati Poso dan mengangkat wakil Gubernur Sulawesi Tengah yaitu Haryono sebagai pejabat sementara, dengan tugas utama mempersiapkan proses pemilihan Bupati Poso (Surahman, 2007: 186). Setelah itu muncullah nama-nama kandidat calon Bupati Poso yang beredar di masyarakat Poso yang masing-masing mewakili kelompok politik lokal di Poso, antara lain Abdul Malik Syahadap, Abdul Muin Pusadan, Akram Kamarudin, Mas ud Kasim (mewakili kelompok Islam), Damsyik Ladjalani, Eddy F. Bungkundapu dan Yahya Patiro (Kelompok Kristen). Kemudian dilakukan penjaringan calon Bupati Poso, dari beberapa nama yang diajukan, tiga lolos seleksi yaitu, Abdul Muin Pusadan, Mas ud Kasim (kelompok Islam) dan Eddy Bungkundapu (Kelompok Kristen). Pemilihan Bupati dilangsungkan pada 30 Oktober 1999 dengan menghasilkan terpilihnya Abdul Muin Pusadan sebagai Bupati Kabupaten Poso dengan memperoleh 16 suara, sementara Mas ud Kasim memperoleh 13 suara dan Eddy Bungkundapu 10 suara (Amidhan. et al, 2007: 67). Semenjak pemilihan dan pelantikan bupati, situasi di Poso kembali memanas ketika persoalaan power sharing menjadi tuntutan utama dalam mekanisme pembagian kekuasaan politik berdasarkan agama di Poso. Saat Bupati terpilih yaitu Abdul Muin Pusadan yang merupakan dari kelompok Islam, maka elit Kristen menuntut untuk diangkatnya Sekwilda dari kalangan komunitas Kristen. Namun yang diangkat oleh Bupati Abdul Muin Pusadan,

JURNAL CRIKSETRA, VOLUME 5, NOMOR 10, AGUSTUS 2016 170 Sekwildanya diangkat dari kelompok Islam. Hal ini membuat elit lokal tidak puas, khususnya dari elit politik Kristen yang kecewa karena tidak mendapat jatah kue kekuasaan (Hasrullah, 2009: 80). Kelompok Kristen menganggap bahwa birokrasi yang ada di pemerintahan Poso tidak mencerminkan aspirasi warga Kristen, banyaknya birokrasi muslim yang berkuasa dipemerintahan dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap warga Kristen. Sebaliknya kelompok Islam menganggap bahwa komposisi birokrasi yang ada sudah sangat aspiratif, oleh sebab itu tidak boleh dirubah-rubah (Wahid dan Ihsan, 2004: 188). Jika aspirasi masyarakat yang terakumulasi diabaikan begitu saja oleh pemerintah daerah, yakni aspirasi yang menghendaki Drs. Damsyik Ladjalani menjadi Sekwilda Poso, kondisi kota Poso yang pernah digunjang kerusuhan bernuasa SARA (1998), bakal rusuh kembali dan akan terjadi kerusuhan yang bernuasa SARA yang lebih besar, bahkan lebih hal ini telah dikonfirmasikan kepada beberapa tokoh agama dan dikonfirmasikan kepada beberapa tokoh agama dan masyarakat Poso (dikutip dari Harian Mercusuar, Palu, Edisi Sabtu 15 April 2000 dalam Damanik, 2003: 23). 3. Jalannya Konflik Konflik komunal di Poso pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998, yang sebenarnya adalah karena faktor pertikaian antar pemuda yang berbeda agama. Peristiwa ini menimbulkan sentiment agama yang cukup tajam bagi agama Islam dan Kristen, karena momentum kejadian ini bertepatan dengan perayaan natal dan bulan puasa yang juga kebetulan bertepatan dengan situasi politik yang sedang memanas terhadap isu permasalahan pemilihan Bupati di Poso. Terjadinya peristiwa ini kemudian oleh oknum elit politik lokal dijadikan alat untuk menghimpun dan memobilisasi massa berdasarkan agama untuk mendukung kepentingan politiknya dalam persaingan pemilihan jabatan bupati baru di Poso, sehingga peristiwa yang awalnya berupa perkelahian antar pemuda ini kemudian menjadi isu konflik masalah antar agama yang berbeda di Poso. Hal ini menjadi isu perekat bagi kedua belah pihak untuk saling memperkuat struktur in group dan out group dalam memobilisasi massa berdasarkan identitas agama, penduduk beragama Islam mengelompokan dirinya dalam kelompok Islam kemudian menamai dirinya kelompok putih, sedangkan penduduk Kristen mengelompokan dirinya ke dalam kelompok Kristen kemudian menamainya kelompok merah. Pada konflik kedua yang berlangsung pada bulan April 2000 fenomenanya sungguh erat dengan nuansa politik karena bertepatan pemilihan jabatan Bupati Poso dan adanya isu tuntutan pembagian jatah kekuasaan antara elit kelompok Kristen dengan kelompok Islam. Ketika tuntutan power sharing tidak terpenuhi, lagi-lagi konflik pertikaian antar pemuda dijadikan senjata ampuh untuk memobilisasi massa berdasarkan agama, sehingga konflik kerusuhan bernuansa SARA kembali terjadi. Pada konflik yang berlangsung pada bulan Mei 2000 sampai Desesember 2001, fenomena konflik berlatar belakang politik tidak nampak lagi karena konflik telah berubah menjadi konflik non realistik, dalam arti bahwa konflik semula berupa konflik realistik yaitu konflik persaingan antar elit politik yang sedang memperebutkan jabatan kekuasaan di Poso, kini berubah menjadi konflik non realistik yaitu konflik yang jadi bernuasa SARA. Konflik yang terjadi telah mengindikasikan ke arah perang saudara yang melibatkan ideologi berdasarkan isu agama dan etnis. Pada Konflik yang berlangsung pada Mei 2000-Desember 2001, fenomena konflik telah mengarah pada perang saudara yang membuat konflik terjadi berlarut-larut dan berkepanjangan. Hal itu dikarenakan isu

171 Konflik Poso, Igneus Alganih sensitif agama yang membuat masing-masing kelompok yang bertikai saling memperkuat struktur kelompoknya. Masing-masing kelompok jadi memandang bahwa konflik yang terjadi merupakan perang suci agama yang harus diperjuangkan. Penduduk beragama Islam memandang perang ini sebagai jihad begitu pula dengan penduduk beragama Kristen menganggap sebagai perang salib, hal ini tentu akan membuat konflik terjadi semakin berkepanjangan karena masing-masing agama akan memandang perang ini sebagai upaya untuk menang secara duniawi atau mati suci karena membela kebenaran agamanya. Melalui isu agama pulalah yang membuat konflik menjadi mudah tereskalasi lebih luas melibatkan masyarakat dan wilayah lainnya diluar ibukota Kabupaten Poso, tercatat selain Kecamatan Poso kota konflik pun meluas ke wilayah lain seperti Kecamatan Poso Pesisir, Lage, Tojo dan Pamona Selatan yang menjadi ikut terlibat dalam perang saudara ini untuk turut ikut campur dengan alasan perang suci agama. Kemudian ditambah ketika isu agama ini mencuat ke skala nasional bahkan dunia internasional telah membuat suasana konflik menjadi sangat rumit dan kompleks karena turut campurnya pihak luar yang ikut memperkeruh suasana Poso dengan bantuan dana, persenjataan dan bantuan milisi untuk berperang dalam konflik, sehingga fenomena kekerasaan pada konflik jilid ketiga ini berbeda dengan dua jilid konflik yang terjadi sebelumnya. Kekerasaan sebelumnya terjadi secara berhadapan dengan penggunaan senjata tradisional seperti panah, pisau, parang, papporo dan senjata rakitan lainnya, namun ketika pada konflik jilid ketiga ini telah membuat kekerasaan bertransformasi dari penggunaan senjata tradisional ke senjata api dan bom (Surahman, 2007: 240). 4. Peranan Pemerintah dalam Penyelesaian Konflik Salah satu upaya perdamaian yang paling berarti dan berpengaruh adalah Deklarasi Damai Malino I pada desember 2001. Upaya damai ini bermula dari inisiatif pendeta A. Tobondo yang menghubungi Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Susilo Bambang Yudhoyono), Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat (Jusuf Kalla) dan Menteri Pertahanan (Abdul Jalil), untuk segera mengupayakan perdamaian di Poso (Purwanto, 2007: 95). Keinginan tersebut direspon oleh pemerintah pusat melalui Menko Kesra Jusuf Kalla yang ditunjuk menjadi pemimpin mediator dalam upaya damai di Poso. Ditunjuknya Menko Kesra Yusuf Kalla sebagai pemimpin dalam perdamaian di Poso, karena selain tokoh dari Sulawesi juga mempunyai jaringan yang luas dan kuat di Sulawesi. Dalam proses penanganan konflik di Poso akhirnya diputuskan bahwa, pemerintah pusat berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi upaya perdamaian di Poso dan bukan penentu penyelesaian konflik, karena yang memegang kendali penyelesaian adalah masyarakat yang bertikai itu sendiri. Menindak lanjuti keinginan damai, kemudian Yusuf Kalla menginisiasi pertemuan dimulai pada tanggal 18-20 hari di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang diikuti oleh 75 peserta, dengan rincian 25 peserta dari kelompok putih (Islam), 25 peserta dari kelompok merah (Kristen) dan 25 peserta sisanya sebagai mediator diantaranya adalah Menkokesra Yusuf kalla, Gubernur Sulawesi Selatan HZB Palaguna, Gubernur Sulawesi Tengah Aminudin Ponulele, Pangdam VII/ Wirabuana yaitu Mayjen Ahmad Yahya dan Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Zainal Abidin Ishak, kemudian dari peninjau diantaranya dari perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yaitu Din Syamsudin, Persekutuan Gerejagereja di Indonesia (PGI) diwakili oleh pendeta Natan Setiabudi, J. Likuada dari

JURNAL CRIKSETRA, VOLUME 5, NOMOR 10, AGUSTUS 2016 172 KWI, dari kantor Polkam Mayjen Bambang Sutedjo dan perwakilan dari Mabes TNI adalah Mayjen Suwisma (Wahid dan Ihsan, 2004: 203). Hasil pertemuan tersebut akhirnya dihasilkan 10 poin kesepakatan yang dituangkan dalam Deklarasi Malino I, yang isinya dikutip dari Awaludin (2009, 55-56) adalah sebagai berikut: 1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. 2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakkan hokum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. 3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. 4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan darurat sipil serta campur tangan pihak asing. 5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. 6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tingal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat. 7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. 8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing. 9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. 10. Menjalankan syariat agama masingmasing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya. 5. Peranan Tokoh Masyarakat Poso dalam Penyelesaian Konflik Terlibatnya sejumlah tokoh agama ataupun elit sosial dalam konflik sungguh sangat disesalkan karena bukannya membuat massa kelompoknya untuk berdamai dan menghentikan konflik, di sini justru terlibat atau melibatkan diri dalam konflik, sehingga membuat konflik menjadi semakin rumit dengan nuansa perang agama. Idealnya tokoh agama dan elit sosial ini ketika konflik terjadi di Poso hendaknya berperan untuk memberikan pemahaman dan pengarahan kepada masyarakat agar tidak terpancing ataupun terlibat dalam kerusuhan, karena sesungguhnya konflik yang terjadi bukanlah kekerasaan yang bernuansa agama tetapi konflik pertikaian antar elit politik yang mempolitisasi agama dan etnis untuk mencapai kepentingannya. Jika saja peran tokoh agama ataupun elit sosial masyarakat ini berjalan dengan baik tentu konflik yang terjadi di Poso tidak akan sampai berlangsung rumit dan berkepanjangan, sebagai contoh berfungsinya peran tokoh agama dan elit sosial menjalankan fungsinya menjadi sokoguru dalam menjaga perdamaian dan kerukunan masyarakat adalah di Desa Tangkura wilayah Kecamatan Poso Pesisir. Di Desa Tangkura terdapat fenomena unik yang patut dicontoh dan diterapkan dalam pengelolaan dan penyelesaian konflik, karena ketika situasi konflik Poso sedang memanas dan kekerasan menyebar sangat cepat serta mengancam situasi setiap orang karena identitas agama, di Desa Tangkura melalui peran tokoh agama dan elit sosial isu agama berhasil dikelola dengan baik, sehingga masyarakat tidak mudah

173 Konflik Poso, Igneus Alganih terprovokasi dan menjadikan tidak seorangpun penduduk desa yang meninggal dalam kerusuhan atau terlibat untuk saling membunuh atas nama agama, sebaliknya penduduk Tangkura yang berbeda agama ini saling melindungi satu sama lain (Pamuji. et al, 2008: 35). Selain di Desa Tangkura, inisiatif bersifat mikro yang berusaha mencegah melebarnya konflik terjadi pula antara Kepala Desa dan tokoh agama Tokorondo yang muslim dengan Kepala Desa Masani yang Kristen, kesepakatan yang diperoleh dari kedua desa tersebut adalah jika terjadi penyerangan oleh kelompok tertentu yang datang dari manapun, maka kedua kelompok sepakat untuk bekerja sama dan mempertahankan wilayah (Mashad dan Yustiningrum, 2006: 62). Berdasarkan dua contoh upaya perdamaian atas inisiatif dari elit sosial masyarakat yang berhasil dalam pengelolaan konflik di daerahnya, maka dapat dijadikan rujukan bahwa peran elit sosial seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemimpin masyarakat setempat sangatlah penting untuk dilibatkan dalam menjalin perdamaian dan penyelesaian konflik. PENUTUP Konflik Poso sebenarnya adalah konflik realistik yaitu, perebutan kekuasaan politik antar elit politik lokal di Poso yang kemudian massa dilibatkan dengan identitas agama dan etnis dengan tujuan untuk memobilisasi massa dalam memperoleh kekuasaan. Ketika konflik menyentuh ranah agama membuat pertikaian menjadi konflik non realistik bernuansa SARA dan menjadikan konflik terjadi berkepanjangan. Mudahnya massa termobilisasi dalam konflik komunal di Poso, dipengaruhi juga oleh permasalahan historis yang dimanfaatkan oleh elit politik lokal melalui isu berupa kecemburuan sosial-ekonomi dan sosialpolitik antara penduduk pribumi yaitu etnis Pamona, Mori dan Lore (mayoritas beragama Kristen) yang merasa termarjinalkan terhadap kehadiran dari etnis Jawa, Bugis dan Makkasar (mayoritas beragama Islam). Upaya perdamaian yang sangat berpengaruh hasilnya dalam menghentikan konflik Poso adalah setelah turun tangannya pemerintah pusat melalui Menko Kesra Jusuf Kalla yang ditunjuk menjadi pemimpin mediator dalam upaya damai di Poso. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: AR- RUZZ Media. Amidhan. et al. (2005). Poso, Kekerasaan yang Tak Kunjung Usai: Refleksi 7 Tahun Konflik Poso. Jakarta: Komnas HAM. Aragon, L.V. (2007). Persaingan Elit di Sulawesi Tengah, dalam Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Awaludin, H. (2009). Perdamaian Ala JK: Poso Tenang, Ambon Damai. Jakarta: Grasindo. Damanik, R. (2003). Tragedi Kemanusiaan Poso, Menggapai Surya Pagi Melalui Kegegelapan. Poso: PBHI LPSHAM. Gogali, L. (2009). Konflik Poso Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan. Yogyakarta: Galangpress. Hasrullah. (2009). Dendam Konflik Poso. Jakarta: Gramedia.

JURNAL CRIKSETRA, VOLUME 5, NOMOR 10, AGUSTUS 2016 174 Karnavian, M.T. (2008). Indonesian Top Secret Membongkar Konflik Poso. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Klinken, G.v. (2007). Perang Kota Kecil: Kekerasaan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Muin, H. A. (2008). Sumber-sumber Konflik di Poso dan Penanganannya Dalam Konflik Komunal: Studi Kasus Poso 1998-2007. Tesis Magister pada Program Magister Studi Pembangunan Alur Studi Pertahanan Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Intitut Teknologi Bandung: tidak diterbitkan. Poloma, M. M. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Pers. Purwanto, W. (2007). Menggapai Damai di Poso. Jakarta: CBM Press. Susan, N. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wahid, A.Y. dan Ihsan, B. (2004). SBY dan Resolusi Konflik: Langkah-langkah penyelesaian Konflik di Aceh, Atambua, Papua, Poso dan Sampit. Jakarta: Relawan Bangsa. Winarti, M. dan Puspitasari, R. (2012). Pelajaran dari Kasus Konflik di Poso Sulawesi Tengah, dalam Prosiding International Seminar Social Movement Historical Perpective. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.