BAB I PENDAHULUAN. dan memenuhi tanggung jawab mereka sebagai bagian dari warga negara. berguna untuk pekerjaan dalam jangka panjang.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

KELUARGA DAN PANGGILAN HIDUP BAKTI 1

RELIGIUS SEBAGAI MISTIK DAN NABI DI TENGAH MASYARAKAT Rohani, Juni 2012, hal Paul Suparno, S.J.

BAB III HIERARKI DAN AWAM A. KOMPETENSI

BAB IV HIERARKI DAN AWAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi

TANTANGAN RELIGIUS DALAM MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DI ZAMAN GADGET

BAB I PENDAHULUAN. dimana seseorang menilai keseluruhan kehidupannya secara positif

BAB I. PENDAHULUAN. Dalam Gereja Katolik ada berbagai macam tarekat hidup bakti (yang

KISI-KISI PENULISAN SOAL. kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern seperti ini, kekayaan, kedudukan dan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam agama Katolik, terdapat struktur kepemimpinan gereja. Pemimpin tertinggi

5 Bab Empat. Penutup. Dalam bab empat ini akan dibahas mengenai kesimpulan yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjadi seorang murid Kristus memiliki jalan yang berbeda-beda. Panggilan itu ada dua

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Dunia dalam berbagai bidang kehidupan mempengaruhi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

ANAK MAS DI BIARA SEBAGAI UNGKAPAN SEKSUALITAS Rohani, April 2012, hal Paul Suparno, S.J.

BAB I PENDAHULUAN. Driyakara dalam buku Selibat Para Imam menyatakan bahwa manusia

BAB III GEREJA DAN SAINS

BAB I PENDAHULUAN. sementara di lingkungan Gereja Kristen Protestan disebut Pendeta. Sebelum menjadi

PERAYAAN HARI HIDUP BAKTI SEDUNIA Rohani, Maret 2012, hal Paul Suparno, S.J.

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

Caroline Anita Widiastuti, Y. Sudiaritara Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata ABSTRAKSI

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN

Latar Belakang Gereja Waldensis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Bekerja merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan

Menjadi seorang imam dalam Gereja Katolik berarti pula menjalani hidup. selibat, yaitu hidup tidak menikah dengan alasan-alasan keimanan (O'Collins &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I MENGENAL GEREJA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUNDA MARIA IBU BIARAWAN-BIARAWATI Rohani, Oktober 2012, hal Paul Suparno, S.J.

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

Gereja Menyediakan Persekutuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses dan pemaknaan tentang arti perkawinan itu sendiri selama pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai individu, bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPUASAN PERKAWINAN. alasan ekonomi dan atau reproduksi (Gladding, 2012: 434).

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB IV PENUTUP. suatu biara atau tempat ibadah. 1 Biarawati memilih untuk hidup selibat

KELUARGA KATOLIK: SUKACITA INJIL

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan atau laba. Untuk mencapai tujuan itu, perusahaan

KEPEMIMPINAN KRISTIANI SEBAGAI PELAYAN DI BIARA Rohani, Juni 2013, hal Paul Suparno, S.J.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

MEMBANGUN BONUM CONIUGUM DENGAN MEMBINA RELASI INTERPERSONAL DALAM HIDUP BERKELUARGA MENURUT KANON KITAB HUKUM KANONIK 1983 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

NAFSU: TANTANGAN KAUL DARI DALAM BIARA KITA Rohani, September 2013, hal Paul Suparno, S.J.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

UJIAN SEMESTER I SEKOLAH BINA NUSANTARA Tahun Ajaran

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lainnya

BAB I PENDAHULUAN. bagi mahasiswa-mahasiswi sangat beragam. Mereka dapat memilih jurusan sesuai

BAB II LANDASAN TEORI

MAKNA HIDUP PADA BIARAWAN. Charlys 1 Ni Made Taganing Kurniati 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Tanda nyata dari cinta Tuhan kepada manusia dinyatakan melalui sakramen-sakramen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika seseorang memasuki tahapan dewasa muda, menurut Erickson

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih besar, sebab seiring dengan bertambahnya usia seseorang maka

KELUARGA KATOLIK MENUJU ERA PERADABAN KASIH INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PASTORAL DIALOGAL. Erik Wahju Tjahjana

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. ke arah positif maupun negatif, maka intervensi edukatif dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia adalah agama. Terdapat enam

LEMBAR KERJA SISWA AGAMA KATOLIK 2 ROMBONGAN KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

SUSI RACHMAWATI F

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Permasalahan. Manusia diciptakan oleh Allah secara berpasang-pasangan agar mereka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Gereja adalah komunitas yang saling berbagi dengan setiap orang dengan

Bagaimana Berjalan Dalam Roh Bagian ke-3

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kehidupan dirasakan semakin sulit. Biaya kebutuhan hidup

LITURGI SABDA. Tahun C Minggu Paskah III. Bacaan Pertama Kis. 5:27b b-41. Kami adalah saksi dari segala sesuatu: kami dan Roh Kudus.

SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2018 KELUARGA KATOLIK YANG BERKESADARAN HUKUM DAN MORAL, MENGHARGAI SESAMA ALAM CIPTAAN

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, fenomena pernikahan dini kian lama

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan permulaan dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki tahap pencapaian kedewasaan dengan segala tantangan yang lebih beragam bentuknya. Sebagai contoh misalnya seperti, memulai jalan hidup dengan memilih dan meniti karir yang menjadi tanggung jawab sebagai kelangsungan hidup individu, mulai membina dan menghadapi hubungan dengan orang lain yang lebih luas dan beragam, memikirkan untuk memulai dan menjalankan kehidupan berkeluarga, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi tingkatannya, serta mulai menemukan kelompok sosial yang sesuai dan memenuhi tanggung jawab mereka sebagai bagian dari warga negara. Beberapa hal tersebut merupakan tanggung jawab dan kegiatan-kegiatan yang orang-orang awam laksanakan saat menginjak dan masuk dalam usia yang terbilang dalam masa dewasa. Menurut Arnett, masa dewasa awal atau dewasa muda (young adult) adalah masa yang sudah mulai memiliki pekerjaan yang stabil dan peralihan dari masa remaja ke masa dewasa muda yang disebut dengan emerging adult merupakan fase yang menjalani pendidikan serta pelatihan yang berguna untuk pekerjaan dalam jangka panjang. (Arnett, 2000) 1

Dalam pandangan Erik Erikson (dalam Monks, Knoers, dan Haditono, 2001) mengemukakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain). Seperti yang dikemukakan diatas oleh Erikson, hal tersebut terjadi di kehidupan dewasa muda pada para kaum biarawati yang menjalani kehidupan mereka dengan tidak berkeluarga dan mengabdikan diri mereka kepada Tuhan. Biarawati adalah wanita yang memfokuskan hidupnya dalam kehidupan membiara dan hidup dengan memegang teguh kaul suci yang mereka hayati. Gaya hidup seorang biarawati atau suster adalah hidup untuk lebih melayani sesama dan menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa. Melayani sesama ini diwujudnyatakan pada semangat kerasulan Ordo atau tarekat yang mereka ikuti, baik di bidang pendidikan, sosial, kesehatan, ataupun pastoral. Kemudian menghayati ajaran-ajaran Injil dalam hidup berdoa baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Selain itu biarawati atau suster biara hidup dengan berpegang teguh oleh kaul suci yang mereka hayati dan peraturan-peraturan biara menurut Ordo mereka masing-masing. Kaul-kaul suci yang mereka hayati meliputi Kaul Keperawanan(Selibat), Kaul Ketaatan, dan Kaul Kemiskinan. (Dikutip dari Penelitian Deskriptif : Subjective Well-Being pada Biarawati di Yogyakarta, 2015) Pada pengertiannya, agama sendiri merupakan ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan 2

karakteristik utama dalam memahami makna agama. Agama dalam pengertian C.Y. Glock dan R. Stark adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalanpersoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). (Ancok dan Suroso, 2005) Menurut Dick Hartoko (1974), yang disarikan pada buku yang berjudul Perjalanan yang Tidak Ada Habisnya : Hidup Membiara dari Abad ke Abad yang dikutip dari Buku Hidup Membiara di Zaman Modern (Suparno, 2016) menceritakan bahwa saat sebelum abad IV, hidup sebagai perawan sudah dimulai pada zaman para rasul. Pada waktu itu sudah ada putri-putri dan janda-janda yang memutuskan untuk tidak menikah. Mereka menuruti nasihat Santo Paulus (dalam Kitab 1 Korintus 7) yang menyatakan bahwa mereka yang belum kawin supaya tetap tidak kawin karena waktunya singkat. Waktu itu diramalkan bahwa hari kiamat sudah dekat, maka dianjurkan supaya mereka tidak kawin. Tampak bahwa keperawanan dikaitkan dengan hidup yang akan datang, yaitu hidup ekskatologis (yaitu hidup kebahagiaan nanti, tidak akan kawin dan dikawinkan ; tetapi hidup seperti malaikat). Dalam pandangan dan tulisan dari Bernard R. Bornot beliau membagi tahapan hidup selibat dalam empat tahap dengan berdasarkan pemikiran Erik Erikson. Dalam empat tahap tersebut, pandangan hidup selibat pada masa dewasa awal yaitu termasuk pada tahap Generative Celibacy. Pada tahap ini, hidup selibat menyangkut kebutuhan akan munculnya keinginan untuk menjadi Bapak/Ibu (orang tua). Dalam masa dewasa awal ini, mereka yang disibukkan dengan kegiatan selibat diisyaratkan supaya tetap menjalankan hidup selibat dengan 3

mencari dan memenuhi makna dari hidup tersebut serta hidup seksual secara tidak aktif. Pada 30 tahun yang lalu formasi hidup selibat membatasi tantangan keintiman dengan larangan yang keras terhadap teman eksklusif dan membatasi kontak dengan keluarga. Orang dewasa yang masih mudah menghayati hidup selibat umumnya tidak menghadapi tantangan yang mendalam dalam keintiman. Sebagai biarawan-biarawati muda dalam pelayanannya di paroki atau bidang lain yang perlu berhadapan dengan keluarga-keluarga muda dan anak-anak. Hal ini, makin disadari bahwa konsekuensi serta pilihan untuk tidak memiliki pasangan hidup dan keturunan (anak) adalah sebagai bentuk bahwa kematian generasinya. (Bornot dalam Human Development, 1985) Selibat Katolik sendiri dibagi pada sebuah hirarki dan terdiri atas beberapa tingkatan. Namun, mereka memiliki kewajiban serta tanggung jawab yang setara yaitu melayani para umatnya dan terjun didalam kegiatan-kegiatan sosial umum lainnya. Paus sebagai pemimpin gereja Katolik, para Uskup sebagai perpanjangan tangan melalui Vatikan dan sebagai pemimpin umat dalam area pastoral keuskupan, Imam (Pastor) adalah wakil uskup disetiap jemaat-jemaat setempat, dan Diakon sebagai pembantu Uskup dan Imam dalam pelayanan terhadap para umat Gereja. (Kitab Hukum Kanonik (KHK kan.) no. 330). Biarawati bukanlah termasuk dalam anggota hierarki di dalam Gereja. Tetapi biarawati masih merupakan anggota kelompok kebiaraan dan hidup membiara yang bukan disebabkan oleh fungsi gerejawi, melainkan corak kehidupan. Oleh karena itu, Konsili Vatikan II mengajarkan, Meskipun status yang terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil, tidak termasuk susunan hierarkis Gereja, namun juga tidak dapat diceraikan dari kehidupan dan 4

kesucian Gereja (Lumen Gentium 44), sebab hidup membiara berkembang dari kehidupan Gereja sendiri, bahkan nasihat-nasihat Injil didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan (Lumen Gentium 43). Tetapi apa yang berupa nasihat dari Yesus, oleh usaha pimpinan Gereja, di bawah bimbingan Roh Kudus berkembang menjadi bentuk-bentuk penghayatan nasihat Injil yang tetap. Namun status religius itu bukanlah jalan tengah antara hidup para imam dan kaum awam. Perbedaan antara awam dan imam itu soal fungsi atau jabatan, sedangkan perbedaan dengan biarawan-biarawati menyangkut corak kehidupan. Hidup membiara tidak ditentukan oleh fungsi atau pekerjaan, melainkan oleh corak atau cara kehidupan, khususnya kehidupan yang di dalamnya orang dengan kaul-kaul atau ikatan suci lainnya mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasihat Injil, yaitu selibat atau keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan (Lumen Gentium 44). Pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk memilih biarawati sebagai subjek penelitian. Sebab, biarawati memiliki peran sosial yang tinggi pada mayoritas masyarakat umum dan banyak berinteraksi dengan masyarakat yang beragam baik masyarakat kaum menengah atas ataupun menengah bawah. Dikutip dari jurnal penelitian Celibacy, Culture, and Society: The Anthropology of Sexual Abstinence oleh Nicolle Merritt (2003) menjelaskan bahwa peran gender yang terbentuk pada hidup selibat, dapat dilihat secara implisit atau eksplisit, oleh berbagai konstruksi pantangan. Kawami mengemukakan bahwa wanita tidak dipandang dari "kemampuan seksualnya" karena mereka tidak terlalu berhasrat seksual yang tinggi dibandingkan laki-laki. Pada teks tersebut, Kawami menjelaskan tentang wanita selibat menunjukkan pentingnya masalah ini namun penulis tidak mengejar hal itu terlalu jauh. Teks 5

tersebut menjabarkan wanita yang tidak menikah terkadang perlu menghadapi sebuah "lingkaran setan yaitu obsesi dan hasrat seksual" sedangkan para wanita selibat sendiri sering menyatakan bahwa mereka "menahan keinginian seks" sebagaimana salah satu keharusan sumpah selibat. (Baumeister, 2000) Masa dewasa awal pada wanita umumnya, hampir sama dengan masa dewasa awal yang dijelaskan oleh para ahli sebelumya. Masa dewasa awal dapat ditandai dengan berbagai macam kegiatan seperti masuk ke perguruan tinggi (baik kuliah penuh waktu ataupun paruh waktu), bekerja (penuh waktu ataupun paruh waktu), meninggalkan rumah orang tua dan hidup sendiri, menikah, memiliki anak, dan sebagainya (Schulenberg, O Malley, Bachman, & Johnson, 2005). Namun, hal ini dibedakan dari masa reproduktif wanita di masa ini. Tentunya pada masa ini, sebelum usia 30 tahun yang merupakan masa reproduksi dimana seorang wanita sudah siap menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu dan keinginan untuk memiliki keturunan. (Hurlock, 1986). Maka dari gambaran dewasa awal pada wanita, peneliti ingin mengetahui dan memahami bagaimana para biarawati memenuhi kebutuhan dasarnya pada masa dewasa awal. Mengingat di usia masa dewasa muda para wanita pada umumnya menginginkan untuk berkeluarga serta memiliki keturunan, sedangkan sebagai biarawati perlu menjalankan pantangan-pantangan dalam bermati raga serta lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan mampu membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan. Oleh karena itu, teori Hierarki Kebutuhan dari Abraham Maslow yang akan membedah tentang pemenuhan kebutuhan pada kaum biarawati. Abraham 6

Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs atau Hierarki Kebutuhan. Kehidupan keluarga Maslow dan pengalaman hidupnya memberi pengaruh atas gagasan gagasan psikologisnya. Setelah perang dunia ke II, Maslow mulai mempertanyakan bagaimana psikologpsikolog sebelumnya tentang pikiran manusia. Walau tidak menyangkal sepenuhnya, namun ia memiliki gagasan sendiri untuk mengerti jalan pikir manusia. (Sarlito, 2002). Psikolog humanis percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Untuk membuktikan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, tapi untuk mencapai sesuatu yang lebih, Maslow mempelajari seseorang dengan keadaan mental yang sehat, dibanding mempelajari seseorang dengan masalah kesehatan mental. Hal ini menggambarkan bahwa manusia baru dapat mengalami "puncak pengalamannya" saat manusia tersebut selaras dengan dirinya maupun sekitarnya. Dalam pandangan Maslow, manusia yang mengaktualisasikan dirinya, dapat memiliki banyak puncak dari pengalaman dibanding manusia yang kurang mengaktualisasi dirinya. (Maslow, 1986) Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang 7

disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. (Abduhhak, 2007) Abraham Maslow adalah salah satu psikolog yang mencoba mensintesis sebuah penelitian besar yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia (Maslow 1943 & 1954). Dalam karya awalnya, Maslow mengidentifikasi lima kebutuhan dasar manusia berdasarkan tatanan hirarkis : yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan memiliki atau kebutuhan kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri. Namun, tujuh belas tahun kemudian, Maslow memodifikasi teori hierarki kebutuhan awalnya dengan menambahkan 3 tingkat lagi ke daftar awal tingkat kebutuhan dasar manusia. Maslow memodifikasi daftar tingkat kebutuhan manusia dalam urutan hirarkis terdiri dari : kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan estetika, aktualisasi diri, dan transendensi diri. (Maslow 1971; Maslow & Lowery 1998). Peneliti tertarik untuk meneliti tentang pemenuhan kebutuhan menurut Abraham Maslow pada kaum biarawati, karena mengetahui banyak fenomenafenomena menarik yang ada serta bagaimana bentuk pemenuhan kebutuhan dalam mencapai tingkat transendensi diri yang termasuk pada Hierarki Kebutuhan yang juga menunjukkan seberapa besar untuk mendorong diri individu tersebut dalam mengatasi masalah ataupun halangan untuk tetap memberikan saran bijak pada sesama, baik umat maupun dengan sesama biarawati yang menjalankan kehidupan membiara yang sama dengannya. Serta perlakuan seperti apa yang perlu diambil untuk menghadapi masalah-masalah yang tergolong duniawi. 8

1.2.Rumusan Masalah Sesuai apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, biarawati adalah para wanita yang memilih untuk tidak berkeluarga dengan beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa mereka memilih dan menjalani kehidupan tersebut. Maka, sebagai rumusan masalahnya : Bagaimana Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Kaum Biarawati pada Masa Dewasa Awal yang Ditinjau dari Teori Abraham Maslow 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Menjelaskan dan menggambarkan secara menyeluruh bagaimana pemenuhan kebutuhan kaum biarawati pada masa dewasa awal. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai daripenulisan proposal ini, diharapkan proposal ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya, yaitu manfaat dari segi teoritis dan dari segi praktis. 1.4.1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis serta dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran untuk ilmu psikologi humanisme pada saat ini. 9

1.4.2. Praktis a. Bagi penulis Untuk menambah wawasan penulis bagaimana pemenuhan kebutuhan yang dilakukan bagi individu yang menjalankanhidup tidak menikah. b. Bagi para kaum biarawati Diharapkan melalui penelitian ini dapat mengetahui dan memahami tentang bagaimana memenuhi kebutuhan yang diperlukan didalam hidup tidak menikah (selibat) serta menjadikan bentuk arah tujuan hidup yang bermakna bagi hidup mereka di masa depan. c. Bagi masyarakat awam Diharapkan melalui penelitian ini dapat membuka wawasan, pengertian, dan memberikan dorongan bagi mereka yang menjalani hidup selibat, serta mengerti makna hidup positif yang didapat dari kehidupan yang mereka jalani. d. Bagi peneliti berikutnya Dapat dijadikan sebagai bahan referensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut terhadap penelitian yang berkenaan tentang pemenuhan kebutuhan pada kaum biarawati/kaum hidup selibat lainnya. 10