BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan bagian dari Ilmu Kesehatan Masyarakat yang berkaitan dengan semua pekerjaan yang berhubungan dengan faktor potensial yang mempengaruhi kesehatan pekerja (Fitri, 2013). Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan suatu kondisi atau faktor-faktor yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan karyawan atau pekerja lainnya (termasuk pekerja sementara dan kontraktor), tamu, atau orang lain di tempat kerja (OHSAS 18001, 2007). Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan pasal 23 tahun 1992, menyebutkan upaya kesehatan kerja sebagai upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya. Melalui upaya kesehatan kerja akan terwujud tenaga kerja yang sehat sehingga mampu mencapai produktivitas kerja yang optimal. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu sistem yang dirancang untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel di tempat kerja agar tidak menderita luka maupun menyebabkan penyakit di tempat kerja dengan mematuhi aturan keselamatan dan kesehatan kerja (Kusuma, 2011). Oleh karena itu, sudah sewajibnya seluruh industri memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja para pekerjanya, karena secara langsung dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kinerja para pekerja sehingga secara tidak langsung juga dapat menurunkan perkembangan suatu industri.
Salah satu jenis industri yang cukup berkembang di Indonesia adalah industri garmen. Menurut Astuti (2009), industri garmen memiliki risiko kesehatan yang cukup tinggi dimana penyakit atau injuri yang paling banyak terjadi pada industri ini adalah penyakit yang berhubungan dengan otot dan rangka atau yang dikenal dengan sebutan musculosceletal disorders. Keluhan-keluhan yang dialami oleh pekerja di industri garmen ini disebabkan karena sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah. Wulandari (2013) juga menegaskan bahwa penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada sektor industri garmen, seringkali tidak diperhatikan oleh pemilik usaha. Hasil penelitian yang dilakukan Hong Kong christian industrial committee pada industri garmen di Cina (2004) melaporkan bahwa tidak terdapat kesadaran pemilik pabrik dalam memperhatikan keselamatan dan kesehatan pekerjanya, sehingga penjahit mengeluhkan jam kerja yang terlalu lama (duduk dan berdiri), fasilitas kursi jahit yang tidak layak, pengulangan gerakan kerja dan lain lain. Seharusnya setiap industri melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sesuai peraturan Undang-undang nomor satu tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan peningkatan produksi. Perlindungan K3 pada sektor industri garmen memiliki beberapa kelemahan karena keterbatasan faktor ekonomi dan sosial budaya, kecilnya jumlah pekerja yang terlindungi karena terkendala oleh kemampuan finansial pekerja untuk membayar iuran, dan kurang pahamnya pekerja terhadap program jamsostek atau sejenisnya (Yani, 2012). Alasan terhambatnya penerapan K3 pada industri garmen adalah K3 dianggap tidak memberikan keuntungan pada perusahaan atau pemilik perusahaan, prioritas manajemen K3 yang masih rendah, kurangnya program promotif tentang K3
di perusahaan sehingga banyak pemilik yang tidak mengetahui tentang pentingnya K3 (Indriastuti, 2013). 2.2 Industri Tekstil (Garmen) Industri tekstil (garmen) merupakan salah satu industri yang memproses bahan baku seperti kain, kulit dan sebagainya menjadi barang jadi yang hasilnya akan dijual kepada konsumen. Produksi dalam industri garmen dilakukan secara cepat yang menyebabkan penjahit melakukan pengulangan pekerjaan secara terus-menerus, dimana hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit saraf, mati rasa dan nyeri. Pekerjaan industri garmen membutuhkan banyak pekerja untuk mengolah bahan baku dalam jumlah yang besar menggunakan mesin, cara duduk pekerja di bangku mesin jahit juga yang tidak seimbang sehingga dapat menyebabkan gangguan atau sakit pada pergelangan tangan, punggung, dan cedera kaki (OSHA, 2000). Penjahit merupakan salah satu aset penting yang dimiliki oleh garmen, karena tingkat produktivitas garmen ditentukan oleh kegiatan produksi dari penjahit. Dalam melakukan pekerjaannya, penjahit menggunakan tangan maupun dengan mesin jahit. Penjahit bekerja dengan risiko terpapar panas mesin jahit, bau menyengat dari bahan baku jahitan, bertinteraksi dengan benda tajam seperti jarum, gunting dan pisau potong, banyaknya debu-debu serat, terpaan kebisingan, getaran, dan lain lain. Kaergaard dan Andersen (2000) menyebutkan karakteristik pekerjaan penjahit adalah pekerjaan yang monoton dengan repetisi pekerjaan tinggi, dan postur duduk yang cenderung membungkuk ke arah mesin jahit. Faktor-faktor risiko ini disebabkan tidak lain oleh pekerjanya sendiri, pergerakan yang berulang sebagai tuntutan dari pekerjaan, desain tempat kerja seperti tempat duduk yang tidak memadai, tinggi meja yang tidak sesuai, kurangnya pencahayaan, penempatan pedal yang membuat postur
kaki dan lutut menjadi salah, serta ukuran mesin yang tidak sesuai dengan postur pekerja dimana hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit akibat kerja seperti musculosceletal disorders (Burgel, dkk., 2004). 2.3 Musculosceletal Disorders (MSDs) 2.3.1 Gambaran umum musculosceletal disorders (MSDs) Salah satu jenis penyakit akibat kerja yang paling banyak muncul dalam dunia kerja adalah musculosceletal disorders (gangguan muskuloskeletal) (Yusnani, dkk., 2012). Occupational Safety and Health Administration (2000) mendefinisikan musculosceletal disorders sebagai gangguan yang terletak pada jaringan lunak (otot, tendon, ligamen, sendi, dan tulang rawan) dan sistem saraf yang dapat mempengaruhi semua jaringan, termasuk saraf selubung tendon, serta paling sering melibatkan lengan dan punggung. Tarwaka, dkk., (2004), menambahkan bahwa musculosceletal disorders merupakan keluhan pada otot-otot skeletal yang dirasakan seseorang terkait aktivitas fisik yang dilakukan dan sikap tubuh yang tidak alamiah. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) (1997) menguraikan bahwa musculosceletal disorders disebabkan oleh kejadian yang cepat atau tiba-tiba (seperti tergelincir, tersandung, dan jatuh) yang berkembang sedikit demi sedikit yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan ringan hingga fatal. Secara garis besar keluhan musculosceletal dapat dikelompokkan menjadi dua (Tarwaka, dkk., 2004), yaitu: 1. Keluhan sementara (reversible) Merupakan keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent) Merupakan keluhan otot yang bersifat menetap walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Studi tentang musculosceletal disorders pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah (Wardaningsih, 2010). 2.3.2 Penyebab musculosceletal disorders (MSDs) Tarwaka, dkk., (2004) menjelaskan bahwa, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan musculosceletal, yaitu: 1. Peregangan otot yang berlebihan Peregangan otot yang berlebihan (overexertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja. Aktivitas kerja yang berat menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat, apabila peregangan sering dilakukan maka dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. 2. Aktivitas berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus, seperti mengangkut, membungkuk, berdiri, duduk dan lain lain, sehingga otot akan
menerima beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan berelaksasi. 3. Sikap kerja tidak alamiah Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Sikap kerja yang tidak alamiah ini terjadi karena tuntutan tugas, alat kerja dan tempat kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja 4. Faktor penyebab sekunder Yaitu adanya penyebab sekunder seperti: tekanan (terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak), getaran (getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan konstraksi otot bertambah), dan mikroklimat (paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot). 5. Penyebab kombinasi Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja harus melakukan aktivitas di bawah tekanan panas matahari seperti pada pekerja bangunan. Menurut Bukhori (2010), rasa sakit yang mengganggu sistem musculosceletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng serta dapat menekan saraf, hal ini dapat menyebabkan cedera atau bahkan menyebabkan kelumpuhan, rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-
perubahan pada organ-organ di luar kesadaran hingga berpotensi menimbulkan musculosceletal disorders. Menurut Tarwaka, dkk., (2004), terdapat beberapa ahli yang menjelaskan bahwa terdapat faktor individu dan organisasi yang berpengaruh terhadap risiko mengalami keluhan musculosceletal disorders, meliputi: 1. Umur Degenerasi pada tulang terjadi seiring meningkatnya umur dan keadaan ini mulai terjadi saat seseorang berumur 30 tahun, pada umur 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, serta pengurangan cairan yang menyebabkan berkurangnya stabilitas pada tulang dan otot, dengan kata lain, semakin tua seseorang, semakin tinggi risiko orang tersebut mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang memicu timbulnya gejala musculosceletal disorders. Umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk otot leher dan bahu. Pada umur 50-60 tahun kekuatan otot menurun sebesar 25%, kemampuan sensoris motoris menurun sebanyak 60%, selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berumur lebih dari 60 tahun hanya mencapai 50% dari umur orang yang berumur 25 tahun. Penelitian yang dilakukan Hadler di tahun 2005 dalam Ariani (2009) pada pekerja di Swedia menunjukkan hasil bahwa sekitar 70% di antara yang mengalami keluhan pada punggung berusia antara 35-40 tahun, hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun. 2. Jenis kelamin Pria dan wanita memiliki karakteristik berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan fisik tubuh wanita rata-rata sekitar dua per tiga dari pria (Wardaningsih,
2010). Jenis kelamin mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot dan rangka seseorang, hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria (Karuniasih, 2009). Berdasarkan beberapa prevalensi penelitian tentang musculosceletal disorders ditemukan bahwa keluhan musculosceletal lebih banyak dirasakan wanita dibandingkan pria (NIOSH, 1997). 3. Masa kerja Masa kerja merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi risiko terjadinya musculosceletal disorders pada pekerja, terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi, sehingga semakin lama masa kerja seseorang semakin tinggi risiko terjadinya gangguan musculosceletal. 4. Indeks massa tubuh (IMT) Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Indeks massa tubuh merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal walaupun pengaruhnya relatif kecil. Seseorang yang gemuk cenderung memiliki risiko kerusakan otot skeletal dan sendi yang lebih tinggi dibandingkan seseorang yang kurus. Keluhan otot skeletal yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh ini disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban berat tubuh. Temuan lain menunjukkan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering diderita sakit punggung, namun tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan leher, bahu, dan pergelangan tangan. 5. Jam kerja Badan Pusat Statistik (BPS) (2012), menjelaskan bahwa jumlah jam kerja pekerja Indonesia rata-rata adalah delapan jam sehari dan lima hari dalam seminggu.
Jam kerja yang tidak menentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi kesehatan dan dapat berakibat pada penurunan produktivitas kerja. Jam kerja merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan musculosceletal disorders, karena jam kerja yang terlalu lama dapat menyebabkan kelelahan pada otot terutama untuk pekerjaan yang bersifat berulang-ulang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto (2013) menunjukkan bahwa karyawan dengan jam kerja lebih dari empat jam, merasakan keluhan musculosceletal disorders sedangkan yang bekerja di bawah empat jam, tidak merasakan keluhan musculosceletal disorders. Hasil penelitian tersebut menjadi acuan untuk para pekerja agar melakukan istirahat setelah empat jam bekerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumekar dan Natalia (2008) juga menunjukkan adanya hubungan antara jam kerja terhadap keluhan nyeri punggung yaitu dari 63 responden terdapat 37 (58,7%) responden mengeluh keluhan nyeri punggung akibat kerja selama lebih dari empat jam secara terus-menerus. 2.3.3 Keluhan musculosceletal disorders (MSDs) pada penjahit Pekerjaan menjahit mengharuskan pekerja membungkukkan pungunggnya ketika menjahit, karena jarak pandang mata dengan kain yang dijahit harus dekat agar jarum jahit dan benang dapat terlihat jelas. Keluhan yang dirasakan penjahit biasanya berupa sakit pada bagian tubuh tertentu, rasa sakit tersebut bisa salah satu maupun gabungan dari rasa pegal, nyeri, kesemutan, panas, kejang, kaku, dan bengkak. Hasil penelitian yang dilakukan Aryanto (2008) pada penjahit pakaian dengan menggunakan pengukuran Nordic Body Map, menemukan hasil bahwa keluhan musculosceletal paling sering dialami adalah bagian pinggang sebesar 82,5%, serta diikuti leher bagian atas, pantat, punggung, bahu kanan dan bahu kiri dengan presentase mencapai 25 hingga 49%.
2.4 Pengukuran Musculosceletal Disorders (MSDs) Terdapat beberapa cara dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk mengetahui keluhan musculosceletal disorders yang dikemukakan Tarwaka, dkk (2004), diantaranya: 1. Checklist Checklist adalah alat ukur ergonomi yang terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan untuk mengidentifikasi sumber keluhan. Untuk mengetahui sumber keluhan otot, daftar pertanyaan dibagi menjadi dua, yaitu: pertanyaan yang bersifat umum dan pertanyaan yang bersifat khusus. Pertanyaan umum mengarah pada pengumpulan data, tingkat beban kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kondisi lingkungan kerja, waktu dan sikap kerja. Pertanyaan khusus ditujukan untuk memperoleh data yang lebih spesifik seperti berat badan, jarak angkat, jenis pekerjaan, dan frekuensi kerja. Keunggulan alat ergonomi ini mudah untuk digunakan namun memiliki kelemahan pada hasil yang kurang teliti, oleh karena itu checklist lebih cocok untuk studi pendahuluan dan identifikasi masalah. 2. Pengukuran dengan videotape Pengukuran dengan videotape yaitu melalui rekaman dari setiap tahapan aktivitas kerja, selanjutnya hasil rekaman digunakan sebagai dasar analisis terhadap sumber terjadinya keluhan otot. Keunggulan videotape adalah mudah untuk dilakukan dan hasilnya mudah dipahami. Kekurangan dari pengukuran ini adalah jangkauannya yang terbatas dan memerlukan biaya yang mahal. 3. Model biomekanik Model ini menerapkan konsep mekanika teknik pada fungsi tubuh untuk mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan beban kerja. Berdasarkan teori
keseimbangan, besarnya analisis peregangan otot akibat beban dan sikap kerja yang ada akan dievaluasi apakah peregangan yang terjadi melampaui kekuatan maksimal otot untuk kontraksi. Walaupun model biomekanik dapat dipakai untuk mengenali penyebab terjadinya keluhan otot skeletal, namun dalam penerapannya, model biomekanik lebih banyak digunakan untuk mendesain tingkat beban dan sikap kerja yang aman bagi pekerja. 4. Tabel psikofisik Psikofisik merupakan cabang ilmu psikologi yang digunakan untuk menguji hubungan antar persepsi dari sensasi tubuh terhadap rangsangan fisik. Tingkat kekuatan seseorang dalam menerima beban kerja dapat diukur melalui perasaan subjektif. Persepsi seseorang terhadap beban kerja dapat digunakan untuk mengukur efek kombinasi dari tekanan fisik dan tekanan biomekanik akibat aktivitas kerja yang dilakukan. Dalam metode tabel psikofisik, hal yang perlu diingat adalah pengukuran sangat bergantung dari persepsi perorangan dan sebagai konsekuensinya, kemungkinan besar terjadi perbedaan antara persepsi yang satu dengan lainnya. 5. Model fisik Salah satu penyebab timbulnya keluhan otot adalah beban kerja yang berlebihan. Tingkat beban kerja dapat diketahui dari indikator denyut nadi, konsumsi oksigen, dan kapasitas paru. Melalui indikator tingkat beban kerja dapat diketahui tingkat risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Bila beban kerja melebihi kapasitas kerja maka risiko terjadinya keluhan otot akan semakin besar. 6. Pengamatan melalui monitor Alat monitor mengukur aktivitas fisik yang meliputi posisi, kecepatan, dan percepatan gerakan. Alat ini terdiri dari sensor mekanik yang dipasang pada bagian
tubuh pekerja yang akan diukur. Melalui monitor dapat dilihat langsung karakteristik dari perubahan gerak yang dapat digunakan untuk mengestimasi risiko keluhan otot yang akan terjadi sekaligus menganalisis solusi ergonomi yang tepat untuk mencegah terjadinya keluhan tersebut. Kekurangan pada pengukuran ini adalah membutuhkan biaya yang cukup besar karena memakai suatu alat monitor. 7. Metode analitik Metode analitik direkomendasikan oleh NIOSH untuk pekerjaan mengangkat dengan menghitung lifting index (LI) dan recommended weight limit (RWL) yaitu berat beban yang masih aman untuk dikerjakan oleh pekerja dalam waktu tertentu tanpa meningkatkan risiko gangguan sakit pinggang. Cara ini merupakan cara sederhana untuk mengestimasi kemungkinan terjadinya peregangan otot yang berlebihan. Kekurangan pengukuran ini adalah tidak diketahui pasti bagian mana yang mengalami peregangan. 8. Nordic Body Map (NBM) Nordic Body Map merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengetahui bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak nyaman sampai sangat sakit. Dengan melihat dan mengestimasi peta tubuh maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh pekerja. Untuk mengurangi bias, pengukuran Nordic Body Map dilakukan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas. Nordic Body Map sangat sederhana, namun memiliki keterbatasan, yaitu mengandung tingkat subjektivitas yang tinggi. Dari berbagai jenis pengukuran musculosceletal disorders, pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nordic Body Map. Alasan yang mendasari peneliti menggunakan Nordic Body Map dikarenakan metodenya sederhana dan mudah dilakukan. Nordic Body Map memiliki 28 pertanyaan mengenai bagian tubuh
yang mengalami keluhan musculosceletal disorders sehingga penggunaan metode ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui bagian tubuh yang mengalami keluhan musculosceletal disorders. Nordic Body Map merupakan checklist ergonomi yang sudah terstandarisasi dan tersusun rapi untuk mengetahui bagian tubuh mana dari pekerja yang terasa sakit sesudah melakukan pekerjaan. Menurut pendapat Kurniawati (2009), keunggulan pengukuran dengan Nordic Body Map yaitu peneliti dapat mengestimasi jenis dan bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit) hingga sangat sakit, sehingga memperkuat keyakinan peneliti untuk menggunakan metode ini. 2.5 Lokasi Penelitian Penelitian gambaran keluhan musculosceletal disorders ini dilakukan pada penjahit di Kota Denpasar, Bali. Kota Denpasar merupakan kota yang memiliki potensi sangat besar dalam ekspor garmen ke luar negeri, hal ini didukung oleh pernyataan dari Bapak Putu Bagiada selaku kepala seksi ekspor pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. Kondisi tersebut menjadikan jumlah penjahit kian bertambah serta menuntut penjahit untuk bekerja keras meningkatkan kualitas hasil karyanya sehingga disenangi konsumen. Badan Pusat Statistik Denpasar (2013) mencatat jumlah populasi dari penjahit di empat wilayah Kecamatan Kota Denpasar berjumlah 2680 orang. Penyebaran penjahit pada penelitian ini yaitu: wilayah Kecamatan Denpasar Barat dengan 797 orang, Kecamatan Denpasar Timur dengan 115 orang, Kecamatan Denpasar Selatan dengan 1208 orang, dan Kecamatan Denpasar Utara dengan 560 orang.
14