BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Ikan kerapu bernilai ekonomis tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga penangkapan dan budidayanya bisa berkembang. Ikan ini mempunyai nilai komersial yang tinggi karena rasa dagingnya yang enak. Namun saat ini untuk memenuhi permintaan pasar masih didominasi hasil tangkapan di alam (Anonim, 2001). Sedangkan hasil budidaya masih terbatas dan hanya berasal pada daerahdaerah tertentu saja terutama yang dekat dengan pusat pemasaran, seperti Bali, Tanjung Pinang, Batam, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan lain-lain (Langkosono, 2007). Menurut Wardana, 1994 dalam Sudirman (2008) ciri-ciri morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut: bentuk tubuh pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil dari pada panjang dan tinggi tubuh, rahang atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat, mulut lebar, serong ke atas dengan bibir bawah yang sedikit menonjol melebihi bibir atas, sirip ekor berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang dimana bagian yang berjari-jari keras kurang lebih sama dengan yang berjari-jari lunak, posisi sirip perut berada di bawah sirip dada, badan ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid. Ikan kerapu genus Epinephelus tubuh ditutupi oleh bintikbintik berwarna cokelat atau kuning, merah atau putih, tinggi badan pada sirip punggung pertama biasanya lebih tinggi dari pada sirip dubur, sirip ekor berbentuk bundar. Ikan kerapu macan masuk ke dalam ordo Perciformes; famili Serranidae, Genus Epinephelus dan spesies Epinephelus fuscoguttatus. Ikan ini termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas air yang fluktuatif, perlu
cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 26 o C, panjang rata-rata maksimal 90 cm. Tubuh kerapu macan dipenuhi sisik yang berukuran kecil yang berbentuk sikloid. Nama kerapu diberikan biasanya untuk empat genus Serranidae yaitu Epinephelus, Variola, Plectropampus dan Cromileptes. Di Indonesia Epinephelus sendiri mempunyai 38 spesies. Sebagian besar famili Serranidae hidup di perairan dangkal dengan dasar pasir berkarang, walaupun beberapa jenis dapat ditemukan di perairan dalam (Burgess et al., 1990). Ikan kerapu macan mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lain (Endrawati et al., 2008). Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, menjadi sumber devisa dan merupakan komoditi ekspor unggulan ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Amerika (Feliatra et al., 2004). Ikan kerapu macan sebagai komoditi ekspor menyumbang devisa negara sebesar 580 juta US $ pada tahun 2003 (Anonim, 2004). Ikan kerapu macan hidup di daerah karang sehingga biasa disebut kerapu karang. Dalam dunia perdagangan internasional dikenal dengan nama flower atau carped cod (Ghufran & Kordi, 2004). Ikan kerapu di Indonesia banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Pulau Buru, Pulau Jawa, Sulawesi, dan Ambon. Salah satu indikator adanya ikan kerapu adalah perairan karang. Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumber daya ikan kerapu sangat besar (Sudirman, 2008). Menurut Anonimous (2001) bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu macan berlangsung baik pada suhu berkisar antara 25 o C-32 o C, salinitas berkisar antara 20 ppt-32 ppt, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 4 ppm - 8 ppm dan ph berkisar antara 7,5-8,3. Sedangkan menurut Akbar & Sudaryanto (2001) bahwa ada keterkaitan pertumbuhan dan kondisi lingkungan perairan pada lokasi budidaya ikan kerapu, seperti suhu berkisar 27 o C-29 o C, salinitas 30-33 ppt, ph berkisar antara 8,0-8,2 dan oksigen terlarut (DO) lebih besar dari 5 ppm. Ikan kerapu macan bisa juga hidup di perairan muara sungai dengan kisaran kadar garam 15-30 ppt, suhu air 24 o C- 31 o C, dan kadar oksigen terlarut antara 4,9-9,3 mg/l.
2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN) Viral Nervous Necrosis (VNN) yang juga dikenal sebagai virus encephalophaty dan retinopathy (VER) adalah penyakit berbahaya yang menyerang larva dan juvenil ikan budidaya di Asia, Australia, Eropa dan Amerika Utara (Yukio, 2004). Agen penyebab VNN telah diindentifikasi sebagai anggota baru dari Nodaviridae dari karakter genom dan proteinnya (Chi et al., 2001). Keluarga Nodaviridae terdapat dua jenis yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi ikan. Betanodaviruses (famili Nodaviridae) adalah agen penyebab serangan VNN pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak punya kapsid dengan genom yang terdiri atas dua ikatan tunggal (Yukio, 2007). Virus ini terdiri dari dua segmen (RNA1 dan RNA2) dari utas tunggal RNA (ssrna) dengan segmen RNA2 mengandung segmen sebagai pembungkus protein virus. Segmen RNA2 dapat diisolasi dan digunakan sebagai target deteksi RNA virus melalui metode molekular dan pelindung protein virus pada metode imunitas (Moody & Herwood, 2008). Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku ikan terserang berenang tak menentu dan ikan mengapung dengan perut di atas disebabkan oleh pembengkakan selaput renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem saraf pusat dan retina (Thie ry et al., 2006). Virus dapat menjadi agensia penyakit atau agensia hereditas. Sebagai agensia penyakit, virus dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan perubahan-perubahan yang merugikan pada sel inang yang diinfeksinya, sehingga sel inang rusak atau bahkan mati. Sedangkan sebagai agensia hereditas virus dapat masuk ke dalam sel inang dan menyebabkan perubahan-perubahan yang dapat diwariskan (Jutono, 1975).
2.3 Kualitas air Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya (Irawan et al., 2009). Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis dahulu. Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan ikan yang dipelihara. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit (Daelami, 2002). Faktor-faktor lain yang mensifati kualitas air laut antaranya adalah salinitas, suhu dan kandungan oksigen (Romimohtarto, 2008). Derajat keasaman (ph) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup pada selang ph tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai ph maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan ikan (Effendi, 2003). Untuk nilai ph yang sesuai untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,5, sedangkan nilai yang baik untuk oksigen yang terlarut dalam air untuk menunjang kehidupan organisma di dalam air yaitu minimal 2 ppm dan nilai amoniak yang tidak berbahaya untuk kelangsungan hidup ikan yaitu tidak melebihi dari 1 ppm (Setyadi, 2007). ph di perairan penting untuk reaksi-reaksi kimia dan senyawa-senyawa yang mengandung racun. Perubahan asam atau basa di perairan dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. ph air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik (Ghufran & Kordi, 2004). Nilai ph juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas (Effendi, 2003). ph air berfluktuasi mengikuti kadar CO 2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik,
semakin tinggi kandungan CO 2 perairan, maka ph akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO 3 (Irawan, 2009). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) tentang baku mutu air laut untuk biota laut tertera pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Baku mutu air laut untuk biota laut Parameter Satuan Baku mutu Fisika Kecerahan m coral: >5 mangrove: - lamun: >3 Kebauan - alami Kekeruhan NTU >5 Padatan tersuspensi total mg/l coral: 20 lamun: 20 Sampah - nihil Suhu ºC alami coral: 28-30 mangrove: 28-32 lamun: 28-30 Lapisan minyak - nihil Kimia ph - 7-8,5 Salinitas alami mangrove: s/d 34 coral: 33-34 lamun: 33-34 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5 BOD 5 mg/l 20 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3 Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015 Nitrat (NO3-N mg/l 0,008 Sianida (CN-) mg/l 0,5 PAH (Poliaromatik mg/l 0,003 hidrokarbon) Senyawa Fenol total mg/l 0,002 PCB total (poliklor bifenil) μg/l 0,01 Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1 Minyak & lemak mg/l 1 Pestisida μg/l 0,01
TBT (tributil tin) μg/l 0,01 Logam terlarut Raksa (Hg) mg/l 0,001 Kromium heksavalen (Cr(VI) mg/l 0,005 Arsen (As) mg/l 0,012 Kadmium (Cd) mg/l 0,001 Tembaga (Cu) mg/l 0,008 Timbal (Pb) mg/l 0,008 Seng (Zn) mg/ 0,05 Nikel (Ni) mg/l 0,05 Biologi Coliform (total) MPN/100 ml 1000 Patogen sel/100 ml nihil Plankton sel/100 ml tidak bloom Radio Nuklida Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4