BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006).

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya

Sigit Sanyata

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat.

BAB II LANDASAN TEORI. Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

PENILAIAN KINERJA BIMBINGAN DAN KONSELING AMIN BUDIAMIN. Oleh JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI

BAB I PENDAHULUAN. Bab satu memaparkan latar belakang masalah pembahasan masalah,

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi sendiri kesulitan-kesulitan dan ingin melakukan hal-hal untuk dan oleh

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

PERTEMUAN 13 PENYELENGGARAAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA JALUR PENDIDIKAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

PROFESIONALITAS GURU BIMBINGAN DAN KONSELING OLEH: DRA. WIRDA HANIM M.PSI

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

KOMPETENSI KONSELOR. Kompetensi Konselor Sub Kompetensi Konselor A. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dan tolong menolong. Memberikan pertolongan atau menolong sesama termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. masa depan. Hal tersebut diamanatkan dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah

Sebuah Rekonseptualisasi Yang Dilatarbelakangi Oleh Sebuah Fakta

BAB I PENDAHULUAN. dimana kedua aspek tersebut terjadi secara bersama-sama. Sebagai makhluk

Sebuah Rekonseptualisasi Yang Dilatarbelakangi Oleh Sebuah Fakta

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP

KONTEKS TUGAS DAN EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Kompleksitas masalah-masalah berujung pada konflik-konflik dan rintangan

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. individu tentang dirinya sendiri inilah yang disebut konsep diri.

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini disajikan uraian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kunci keberhasilan dan kesuksesan seseorang

Kemandirian sebagai Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling Kompetensi SISWA yang dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling adalah kompetens

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sebagai sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara

BAB I PENDAHULUAN. yang disetujui bagi berbagai usia di sepanjang rentang kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Dasar dari konsep diri

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

HUBUNGAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 SALATIGA TAHUN PELAJARAN 2012/2013

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa awal periode akhir masa remaja (Hurlock, 1999). Buss dan Perry (1992) mendefinisikan perilaku agresif sebagai suatu

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

RESUME PRESENTASI KULIAH BIMBINGAN DAN KONSELING. #1: Keterkaitan, Keunikan, Tugas Guru dan Konselor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu tahapan yang harus dilalui seorang individu untuk bergerak ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

KISI KISI UKG 2015 GURU BK/KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang diperoleh melalui tahap-tahap perkembangan. Seseorang yang mandiri adalah individu yang mampu membuat rencana-rencana untuk bertindak di masa sekarang dan masa mendatang secara mandiri, tidak bergantung kepada orang tua dan orang dewasa lainnya. Seseorang yang mandiri adalah orang yang telah mencapai kemandirian personal atau pribadi, mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya, dan mencapai jaminan kemandirian ekonomi Havighurst (1972). Kemandirian remaja dapat dilihat dalam hal kemandirian emosi dimana remaja tidak lagi tergantung secara emosi dengan orang tua ataupun dengan orang dewasa lainnya. Kemandirian ekonomi, dimana remaja mulai memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja sehingga tidak tergantung secara ekonomi pada orang tua. Kemandirian intelektual ditunjukkan dengan kemampuan menggunakan keterampilan dan konsep-konsep dalam situasi praktis. Kemandirian sosial ditunjukkan dengan kemampuan mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dengan orang lain (Havighurst, 1972). 10

Untuk mencapai kemandirian remaja harus diberi dukungan secara emosional yang mendasar dan dukungan atau dorongan dari keluarga serta lingkuan sekitarnya, agar dapat mencapai kemandirian atas dirinya sendiri (Havighurst, 1972). 2.1.2 Perkembangan Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia dan pertambahan kemampuan. Perkembangan kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia 0 2 tahun; usia 2 6 tahun; usia 6 12 tahun; usia 12 15 tahun dan pada usia 15 18 tahun. a. Usia 0 sampai 2 tahun : Sampai usia dua tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya, mengembangkan gerak-gerik fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak masih sangat bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. b. Usia 2 sampai 6 tahun : Pada masa ini anak mulai belajar untuk menjadi manusia sosial dan belajar bergaul. Mereka mengembangkan otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai kemampuan dan keterampilan seperti keterampilan berlari, memegang, melompat, memasang dan berkata-kata. Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet training, yaitu melatih anak dalam buang air kecil atau air besar. c. Usia 6 sampai 12 tahun : 11

Pada masa ini anak belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan bertanggung jawab. Pada masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban pelajaran merupakan tuntutan agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri. d. Usia 12 sampai 15 tahun : Pada usia ini anak menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa ini merupakan masa remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri dan melalui proses pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan kemandirian mengalami proses pertumbuhan. e. Usia 15 sampai 18 tahun Pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri menuju proses pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru menikah. Pada masa ini mereka diharapkan dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya tanpa tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa depan. 2.1.3 Aspek-Aspek Kemandirian Menurut Havighurst (1972) bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut adalah: a. Aspek Intelektual, yang merujuk pada kemampuan berpikir, menalar, memahamai beragam kondisi, situasi, dan gejala-gejala masalah sebagai dasar 12

usaha mengatasi masalah. Kemandirian intelektual ditunjukkan dengan kemampuan menggunakan keterampilan dan konsep-konsep dalam situasi praktis. b. Aspek Sosial, berkenaan dengan kemampuan untuk berani secara aktif membina relasi sosial,namun tidak tergantung pada kehadiran orang lain di sekitarnya. Pada tahap perkembangan remaja, para remaja mulai mendefinisikan tujuan hidupnya secara realistik. Remaja memiliki persepsi yang semakin berkembang mengenai masyarakat secara keseluruhan dan berupaya untuk terintegrasi ke dalam masyarakat dan secara mandiri terlepas dari keluarganya sendiri. Remaja mengembangkan kemampuan sosial untuk sampai pada kemandirian. Pada periode ini remaja berusaha mencoba bertanggung jawab sebagai orang dewasa. c. Aspek Emosi, menunjukkan kemampuan individu untuk mengelola serta mengendalikan emosi dan reaksinya, dengan tidak tergantung secara emosi kepada orang tua. Untuk mencapai kemandirian emosional remaja menjadi terbebas dari ketergantungan kekanak-kanakan pada orang tua, mengembangkan rasa sayang kepada orang tua tanpa terlalu bergantung kepada mereka, mengembangkan rasa hormat kepada orang dewasa tanpa terlalu bergantung kepada mereka. d. Aspek Ekonomi, menunjukkan kemandirian dalam hal mengatur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi. Remaja mulai memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja sehingga tidak tergantung secara ekonomi pada orang tua. 13

2.1.4 Kemandirian dalam Konsep Bimbingan dan Konseling Perkembangan kemandirian pada remaja merupakan salah satu isu yang sama penting dan menarik untuk dikaji secara serius dengan isu perkembangan identitas. Pentingnya kajian secara serius terhadap isu perkembangan kemandirian pada remaja didasarkan pada pertimbangan bahwa pencapaian kemandirian remaja merupakan dasar untuk menjadi individu yang sempurna. Kemandirian dapat mendasari individu dalam menentukan sikap, mengambil keputusan dengan tepat, serta keajegan dalam menentukan dan melakukan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan. Gambaran pentingnya kemandirian dimiliki oleh remaja tampak pada komitmen profesi bimbingan dan konseling yang menyatakan bahwa bimbingan dan konseling yang diharapkan terjadi pada jalur pendidikan formal adalah bimbingan dan konseling yang memandirikan (Ditjen PMPTK, DEPDIKNAS. 2007). Terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu pendekatan yang berorientasi tradisional, remidial, klinis, dan terpusat pada guru pembimbing atau konselor ke pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan Bimbingan dan Konseling Perkembangan atau Developmental Guidance and Counseling, atau Bimbingan dan Konseling Komperhensif atau Comprehensive Guidance and Counseling. Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan pada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi dan pengentasan maslah siswa. Tugastugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang perlu dicapai siswa hingga pendekatan disebut Bimbingan dan Konseling Berbasis Standar atau 14

Standard Based Gidance and Counseling. Standar itu dirumuskan dalam Standar Kompetensi Kemandirian yang melingkupi upaya mengembangkan dan mewujudkan potensi diri siswa secara penuh dalam aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier serta upaya memfasilitasi perkembangan potensi siswa, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier serta dipadukan dengan pengembangan pribadi siswa sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual) (Ditjen PMPTK, DEPDIKNAS. 2007). 2.1.5 Kemandirian Sebagai Tujuan dan Wilayah Studi Bimbingan Konseling Sebagai upaya pedagogis tujuan bimbingan dan konseling harus sejalan dengan tujuan pendidikan. Bimbingan dan Konseling sama dengan pendidikan, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang hakikat manusia. Keberadaan bimbingan terintegrasi dengan pendidikan mengandung arti bahwa upaya bimbingan dan pendidikan terarah kepada tujuan yang sama, yakni membantu manusia mencapai kemandirian, membantu manusia agar mampu menolong diri sendiri (Kartadinata, 2011). Kaitan bimbingan dan konseling dengan kemandirian ialah bahwa kemandirian mengandung segi-segi kehidupan normatif, kesadaran akan sistem nilai dan budaya, tanggung jawab, kemampuan bertindak etis dan religius atas dasar pemahaman yang bermakna. Dalam menghampiri masalah kemandirian, tujuan bimbingan yang bersifat pengembangan lebih penting daripada tujuan terapeutik atau klinis. Ini bertolak dari asumsi bahwa kemandirian tumbuh dalam proses individual yang terwujud dalam interaksi yang sehat antara individu 15

dengan budaya atau lingkunganya. Pandangan ini melihat bahwa perkembangan adalah proses perubahan yang berpola dan bergerak ke arah perilaku yang dikehendaki oleh individu maupun masyarakat dalam sistem nilai tertentu. Fungsi bimbingan dan konseling didalam pemikiran ini ialah menciptakan kemudahan bagi terjadinya perkembangan kepribadian individu secara normal. Hasil bimbingan dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan tugas-tugas perkembangan atau peningkatan perkembangan dari tingkat satu ke tingkat berikut yang lebih tinggi. Bertolak dari asumsi yang mengatakan bahwa kemandirian merupakan tingkat perkembangan dinamika kepribadian individu, maka cukup alasan jika kemandirian menjadi wilayah studi dan bahkan sebagai tujuan bimbingan dan konseling (Kartadinata, 2011). Bimbingan dan konseling bertugas mengembangkan atau menyiapkan lingkungan yang mampu memperkaya kehidupan kemandirian individu dalam hubungannya dengan kehidupan orang lain dan dunianya. Esensi tujuan bimbingan dan konseling adalah memandirikan individu; kemandirian adalah tujuan bimbingan dan konseling. Kemandirian yang sehat akan tumbuh melalui interaksi yang sehat antara inividu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya yang sehat pula. Disinilah letak esensi upaya pedagogis dalam proses bimbingan dan konseling. Dalam konteks pengembangan kemandirian, tujuan bimbingan dan konseling tidak sebatas sebagai proses pemecahan masalah yang hanya bersifat kekinian, melainkan terarah kepada penyiapan individu untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan masa depan dan menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa. 16

Bimbingan dan konseling bertugas memfasilitasi individu menguasai perilaku jangka panjang yang diperlukan didalam kehidupannya, dalam mengambil keputusan sosial-pribadi, pendidikan, dan karier (Kartadinata, 2011). 2.1.6 Cara Mengukur Kemandirian Terdapat beberapa cara mengukur kemandirian, antara lain dengan menggunakan metode wawancara, observasi dan juga skala sikap. Pada penelitian ini kemandirian siswa diukur dengan menggunakan skala kemandirian yang disusun oleh Kurtines (1978) yang didasarkan atas aspek-aspek kemandirian dari Hurvighurs (1972) yaitu aspek intelektual, aspek sosial, aspek emosi, dan aspek ekonomi. 2.2 Konformitas Teman Sebaya 2.2.1 Pengertian Konformitas Teman Sebaya Konformitas adalah seseorang yang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut. Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Seseorang melakukan konformitas, disebabkan adanya ketakutan untuk tidak diterima oleh kelompok, menghindari celaan, dan ketakutan dianggap menyimpang (Sears, dkk 1999). Sears, dkk (1999) menjelaskan orang-orang benar-benar menyesuaikan diri meskipun melakukannya dan menentang persepsinya sendiri. Mereka tidak selalu mau menerima apa yang dikatakan orang lain, seringkali mereka tetap yakin bahwa penilaian mereka adalah benar. Namun, bila diminta untuk 17

memberikan jawaban secara terbuka, mereka memberikan jawaban keliru yang sama dengan jawaban yang diberikan orang lain. Inilah yang disebut dengan konformitas. Ada dua akibat yang dapat ditimbulkan karena perilaku konformitas yaitu baik dan buruk. Menurut Sears, dkk (1999) konformitas cenderung berkonotasi negatif. Konformitas bergantung pada adanya orang yang selalu memperingatkan timbulnya keyakinan dan kebiasaan yang bertentangan diantara orang-orang disekitar. Kepatuhan terhadap otoritas akan sangat berhasil apabila pihak otoritas tersebut hampir hadir secara fisik. Ganjaran atau hukuman akan berfungsi dengan sangat baik bila ada orang yang senantiasa hadir untuk memberikan ganjaran. Dengan adanya ganjaran ataupun ancaman seseorang akan melakukan apa saja demi diakui oleh orang lain sebagai orang yang tidak menyimpang. Menurut Sears, dkk (1999) didalam melakukan tindakan yang sama dengan orang lain, seseorang akan dinilai bahwa perilakunya sesuai atau tidak sesuai dengan lingkungan orang tersebut berada. Penilaian perilaku konformitas positif dapat dilihat dari perilaku yang ditampilkan oleh seseorang karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut dan dinilai positif dilingkungan orang tersebut berada. Sedangkan penilaian konformitas negatif dapat dilihat dari perilaku yang ditampilkan oleh seseorang karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut dan dinilai negatif dilingkungan orang tersebut berada. 18

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Konformitas Teman Sebaya Menurut Sears dkk (1999) ada beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konformitas, yaitu : a. Pengaruh informasi Orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya, dengan melakukan apa yang orang lain lakukan akan memperoleh manfaat dari pengetahuan orang lain. Oleh karena itu, tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi yang dimiliki orang lain tentang apa yang benar dan sejauh mana mutu informasi yang dimiliki orang lain tentang apa yang benar dan sejauh mana kepercayaan diri terhadap penilaian diri sendiri. b. Kepercayaan terhadap kelompok Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat, oleh karena itu semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, maka individu akan mengikuti apa pun yang dilakukan kelompok tanpa memperdulikan pendapatnya sendiri. Demikian pula, bila kelompok mempunyai informasi penting yang belum dimiliki individu konformitas akan semakin meningkat. c. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri 19

Sesuatu yang meningkatkan kepercayaan individu terhadap penilaiannya sendiri akan menurunkan konformitas. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi, selain itu tingkat kesulitan penilaian yang dibuat juga dapat mempengaruhi keyakinan individu terhadap kemampuannya. Dimana semakin sulit penilaian tersebut, semakin rendah rasa percaya yang dimiliki. d. Rasa takut terhadap celaan sosial dan penyimpangan Alasan seseorang melakukan konformitas salah satunya adalah demi memperoleh persetujuan atau menghindari celaan kelompok. Seseorang tidak mau dilihat sebagai orang lain dari yang lain, seseorang ingin agar kelompok tempatnya berada menyukainnya, memperlakukannya dengan baik dan bersedia menerima dirinya. Seseorang khawatir akan berselisih paham tentang sesuatu dengan anggota kelompok lain, maka kelompok tidak akan menyukainya dan menganggapnya sebagai orang yang tidak ada. Artinya seseorang cenderung menyesuaikan diri untuk menghindari dari akibat-akibat semacam itu. 2.2.3 Meningkatkan dan Menurunkan Konformitas Teman Sebaya 2.2.3.1 Meningkatkan Konformitas Teman Sebaya Menurut Sears, dkk (1999) konformitas dapat ditingkatkan melalui berbagai cara yaitu : 20

a. Memberikan informasi penting yang belum dimiliki individu. Dengan memberikan informasi baru dapat meningkatkan tingkat kepercayaan individu dan penghargaan individu terhadap kelompok. b. Meningkatkan kekompakan agar kekekompakan semakin tinggi. Apabila orang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok, serta semakin besar kesetian mereka, akan semakin kompak kelompok itu. c. Melakukan sesuatu yang berharga. Kelompok yang beranggapan bahwa tugasnya penting atau berharga akan menghasilkan tingkat konformitas yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang memandang suatu tugas sebagai suatu yang tidak penting atau tidak berharga. d. Meningkatkan ukuran kelompok. Semakin besar ukuran kelompok, semakin besar kemungkinan orang lain akan ikut atau bergabung dalam suatu kelompok. 2.2.3.2 Menurunkan Konformitas Teman Sebaya Menurut Sears, dkk (1999) ada beberapa cara untuk menurunkan konformitas yaitu : a. Meningkatkan kepercayaan individu terhadap penilaiannya sendiri akan menurunkan konformitas karena kemudian kelompok bukan merupakan sumber informasi yang unggul lagi. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa 21

percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. b. Membuat seseorang merasa lebih menguasai suatu persoalan. Orang yang lebih menguasai suatu persoalan akan lebih ahli dalam menyelesaikan suatu persoalannya, sehingga kekompakan dan kepercayaan terhadap kelompok akan menurun. c. Mengurangi kesepakatan dalam kelompok. Bila kelompok tidak bersatu, akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas. Bahkan bila satu orang saja tidak sependapat dengan anggota lain dalam kelompok, tingkat konformitas akan turun sekitar seperempat dari tingkat umumnya. d. Konformitas dapat menurun bila adanya anggota kelompok yang menyimpang. Penyimpangan dalam kelompok dapat terjadi karena adanya perbedaan antara anggota satu dengan anggota lain. 2.2.4 Aspek-Aspek Konformitas Teman Sebaya Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri yang khas. Sears, dkk (1999) mengemukakan secara eksplisit bahwa konformitas ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut: 1. Kekompakan Kekompakan adalah jumlah total kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggota suatu kelompok. Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan 22

kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. a. Penyesuaian diri terhadap kelompok teman sebaya Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin inggi. Alasan utamanya adalah bahwa orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi kelompok untuk mengakui seseorang, dan semakin menyakitkan bila kelompok mencela seseorang. Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila seseorang mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. b. Perhatian terhadap kelompok teman sebaya Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah diketahui, penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak meyetujui kelompok. 2. Kesepakatan 23

Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. a. Kepercayaan terhadap kelompok teman sebaya Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan. b. Persamaan/keterikatan pendapat terhadap kelompok teman sebaya Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi. c. Penyimpangan terhadap pendapat kelompok teman sebaya Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain seseorang akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila orang lain mempunyai pendapat yang berbeda, seseorang tidak akan dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan bahwa orang yang 24

menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas. 3. Ketaatan Ketaatan merupakan suatu tindakan kerena seseorang diminta oleh orang lain meskipun tidak ingin melakukannya. Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. a. Tekanan karena ganjaran, ancaman, atau hukuman Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang. b. Harapan orang lain Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Gejala ini sangat mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul. 25

2.2.5 Cara Mengukur Konformitas Teman Sebaya Pada penelitian ini konformitas diukur dengan skala konformitas teman sebaya yang disusun oleh Jennifer L. Hernandez (1999) yang didasarkan aspekaspek konformitas teman sebaya dari Sears, dkk (1999) yaitu aspek kekompakan, aspek kesepakatan, dan aspek ketaatan. 2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian Hurlock (1999), menemukan bahwa teman-teman sebaya juga turut mempengaruhi kemandirian seseorang, dimana seseorang yang terlalu conform akan sulit untuk mengembangkan kemandiriannya. Hasil penelitian dari Ariyanti (2007) berjudul hubungan antara konformitas kelompok sebaya terhadap kemandirian dalam pengambilan keputusan pada siswa SMA 17 Agustus 1945 Semarang. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan arah negatif antara konformitas kelompok sebaya dengan kemandirian. Hasil analisis korelasi menunjukkan rxy= -0,296 dengan p=0,000 (p<0,05). Hasil penelitian dari Setyaningrum (2007) yang berjudul hubungan antara konformitas dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan pada Mahasiswa. Hasil Penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan arah negatif antara konformitas dengan kemandirian. Dengan hasil r = -0,433 dan p= 0,001 (p<0,05). Sedangkan hasil penelitian dari Susilowati (2011) diperoleh hasil penelitian bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya 26

dengan kemandirian pada remaja panti asuhan Muhammadiyah Karanganyar, hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi r = 0,123 dan p=0,229 (p>0,05). 2.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Ada hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian siswa kelas XI SMA N 2 Salatiga. 27