BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penyakit ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) 2002-2003 dikatakan bahwa Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia sekitar 35/1000 kelahiran hidup. Untuk itu dalam Millenium Development Goals (MDG) telah dicanangkan komitmen global bidang kesehatan yang akan menurunkan 2/3 kematian balita pada rentang waktu antara tahun 1990-2015. Infeksi saluran pernapasan akut khususnya pneumonia banyak menyebabkan kematian pada balita. Berdasarkan Bryce et al (2005), proportional mortality rate (PMR) balita karena pneumonia di dunia adalah sebesar 26%. Kemudian berdasarkan WHO (2005) dalam Depkes RI (2005) dikatakan bahwa PMR karena pneumonia untuk regional Asia Tenggara 2000-2003 adalah sebesar 19%. Episode batuk pilek pada balita yang menderita ISPA di Indonesia diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali pertahun, berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali pertahun, sehingga sebagian besar kunjungan balita ke sarana pelayanan kesehatan merupakan kunjungan penderita ISPA yaitu sebesar 40%-60% di Puskesmas dan 15%-20% di Rumah Sakit (Depkes RI, 1994).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa PMR bayi akibat ISPA adalah sebesar 28% dan PMR balita akibat ISPA adalah sebesar 25%. Dan berdasarkan Survei Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa PMR bayi akibat ISPA adalah sebesar 23,9% di Jawa-Bali, 15,8% di Sumatera dan 42,6% di Kawasan Timur Indonesia. Sementara itu, PMR balita akibat ISPA adalah sebesar 16,7% di Jawa-Bali, 29,1% di Sumatera dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia (Depkes RI, 2005). Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa jumlah angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama kurun waktu 2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berflutuasi. Pada tahun 2000 terdapat 479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan pada tahun 2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%) (Depkes RI, 2002). Beberapa faktor yang berkaitan dengan tingginya angka insiden ISPA antara lain status gizi balita. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko penting yang mempermudah terjadinya ISPA, hal ini berkaitan dengan ketahanan tubuh balita. Selain itu kejadian ISPA juga dipengaruhi oleh kualitas udara. Perubahan kualitas udara umumnya disebabkan oleh adanya polusi yaitu masuknya bahan pencemar dalam jumlah tertentu yang dapat menyebabkan perubahan komponen atmosfir normal. Salah satu contoh permasalahan polusi akibat asap rokok, gangguan
sirkulasi udara (ventilasi) dan asap yang terjadi di dapur-dapur tradisional ketika memasak (Aditama, 1992). Beberapa faktor yang berkaitan dengan tingginya insiden ISPA antara lain adalah status gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diantara faktor resiko terjadinya ISPA, status gizi merupakan faktor yang paling berhubungan. Berdasarkan penelitian Kartasasmita (1993), diketahui bahwa prevalensi ISPA cendrung lebih tinggi pada anak dengan status gizi buruk. Status gizi merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh dalam kejadian ISPA pada balita. Status gizi yang buruk akan lebih mudah terserang ISPA dan balita yang menderita ISPA dapat menyebabkan balita mengalami gangguan status gizi akibat gangguan metabolisme tubuh. Tingkat keparahan ISPA sangat mempengaruhi terjadinya gangguan status gizi pada balita, semakin parah ISPA yang diderita balita maka akan dapat mengakibatkan status gizi yang buruk pada balita dan sebaliknya balita yang mengalami gizi buruk maka ISPA yang diderita akan semakin parah. Data yang diperoleh dari Puskesmas Pembantu di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan bahwa jumlah kunjungan balita penderita ISPA pada bulan Januari 2008 sebanyak 34 balita, bulan Februari 2008 sebanyak 20 balita, bulan Maret 2008 sebanyak 32 balita, bulan April 2008 sebanyak 36 balita, bulan Mei 2008 sebanyak 15 balita, bulan Juni 2008 sebanyak 39 balita, bulan Juli 2008 sebanyak 27 balita dan bulan Agustus 2008 sebanyak 38 balita. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan ISPA dengan status gizi pada balita di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2009.
1.2. Perumusan Masalah Sesuai latar belakang yang telah dikemukakan, salah satu faktor resiko yang sangat berhubungan dengan kejadian ISPA adalah status gizi. Untuk itu perlu diketahui apakah ada hubungan tingkat keparahan ISPA dengan status gizi pada balita di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2009. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan ISPA dengan status gizi pada balita di Kelurahan Tangkahan Kecamtan Medan Labuhan Tahun 2009. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2009. b. Untuk mengetahui status gizi balita di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2009. c. Untuk mengetahui hubungan frekuensi kejadian ISPA dengan status gizi pada balita di kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2009.
1.4. Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan ISPA pada balita khususnya di wilayah Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan. b. Sebagai bahan informasi dan bahan masukan bagi petugas Puskesmas di Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan tentang kejadian ISPA dan status gizi pada balita sehingga berguna dalam peningkatan pelayanan kesehatan