BAB I PENDAHULUAN Kerusakan Hutan di Kalimantan : Ancaman Bagi Ladang Berpindah Suku Dayak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA RAPAT KOORDINASI PENANGANAN GANGGUAN USAHA PERKEBUNAN SERTA PENGENDALIAN KEBAKARAN KEBUN DAN LAHAN Hari

Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi ; Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia menjadi potensi besar sebagai paru-paru dunia,

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

1 Informasi tersebut diambil dari sebuah artikel yang dimuat di website:

LUAS KAWASAN (ha)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PERESMIAN PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN DAN PENCANANGAN KOTA TERPADU MANDIRI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN TEMANGGUNG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

SIARAN PERS Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Papua (Walhi Papua) & Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang.

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. perbandingan kebijakan pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia dalam

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 63 TAHUN 2016

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Perkebunan KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. KUTAI BALIAN NAULI DALAM MELAKUKAN PERLUASAN LAHAN

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

Disampaikan pada: SOSIALISASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO.6 TAHUN 2014 TENTANG DESA dan TRANSISI PNPM MANDIRI Jakarta, 30 April 2015

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

Pembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan. komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 2

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

CATATAN : - Peraturan Daerah ini memiliki 7 halaman penjelasan. - Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 25 Februari 2015.

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS. NOMOR 11 Tahun 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH (BKPRD) KABUPATEN KUDUS

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 49 TAHUN 2011 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGEL

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas Tanah

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

Disampaikan dalam Semiloka Refeleksi setahun nota kesepakatan bersama (NKB) Selasa, 11 November 2014 Hotel Mercure Ancol, Ancol Jakarta Baycity

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BUPATI PURWOREJ O, PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 7 TAHUN 2007 TENTANG

Sepenggal kalimat Jania Hasan, seorang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1.1. Kerusakan Hutan di Kalimantan : Ancaman Bagi Ladang Berpindah Suku Dayak Data WALHI 31 Juli 2012 menyebutkan dari sekitar 61 titik api (hotspot) di Kalbar, sebanyak 34 titik di antaranya berada pada 31 konsesi perusahaan perkebunan yang tersebar di sembilan kabupaten di provinsi Kalimantan Barat. Kebakaran hutan ini menghasilkan asap yang bahkan dapat dirasakan di Malaysia dan beberapa negara di Asia Tenggara. Sehingga, dunia internasional mengecap Indonesia sebagai negara penghasil asap. Pembakaran hutan yang dilakukan perusahaan perkebunan tidak mendapat sanksi dari pemerintah, justru terkesan mendapat pembiaran. Seperti pada n 2005/2006 dimana Kementrian Lingkungan Hidup dibawah pimpinan Rachmat Witoelar mendeteksi ada sedikitnya 597 perusahaan penyebab terjadinya kebakaran hutan, namun tidak ada sanksi hukum 1. Justru pemerintah menyalahkan para warga (khususnya Suku Dayak) yang melakukan kegiatan ladang berpindah yang bahkan cakupan luasannya tidak sebanding dengan pembukaan lahan yang dilakukan perkebunan. Tuduhan sebagai perusak hutan yang ditujukan pada Suku Dayak menjadi isu sensitif, mengingat bahwa Suku Dayak melihat hutan (khususnya pada area ladang berpindah) sebagai tanah adat yang harus dijaga. Pada zaman dahulu bahkan, peperangan antar sub-suku Dayak juga sering terjadi karena mempertahankan tanah adat. Pandangan Suku Dayak terhadap tanah adatnya merupakan suatu rangkaian menyeluruh dari budaya perladangan berpindah. Suku Dayak dalam berbagai sumber dijelaskan memiliki hubungan spiritual khusus dengan hutan, tempat mereka tinggal dari zaman dahulu. Suku Dayak menghormati hutan dan memperlakukan hutan secara arif yang termanifestasi dalam berbagai kearifan lokal dalam budaya (sistem) ladang berpindah. Sebagai sebuah sistem, ladang berpindah dikenal secara luas oleh Suku Dayak di penjuru Kalimantan. Penyebabnya adalah adanya kesamaan kondisi geografis di Kalimantan 1 http://readersblog.mongabay.co.id/rb/2014/02/28/api-menyala-di-konsesi-anak-perusahaan-wilmar/. Diakses pada Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul 14:52.

(hutan rimba) yang merupakan syarat utama melakukan sistem ladang berpindah. Penyebab lain adalah adanya tradisi perladangan Suku Dayak yang diwariskan turun-temurun. Pewarisan ini dilakukan supaya tidak terjadi konflik antar keturunan Suku Dayak yang satu dengan lain. Karena dalam perladangan berpindah, sebuah keluarga Suku Dayak terus menerus melakukan perladangan di lokasi yang sama pada area-area yang sudah ditetapkan. Semisal, ada dua keluarga (A dan B) Suku Dayak yang melakukan perladangan. Pada tahun pertama, keluarga A membuka lahan di area 1 sedang keluarga B membuka lahan di area 2. Baik keluarga A maupun B bila telah mencapai siklus perputaran ladang berpindah (misal : 5 tahun kemudian) tidak boleh menempati lahan satu sama lain (keluarga A memakai lahan keluarga B atau sebaliknya) untuk lokasi lahan berikutnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui gambar berikut : Gambar 1. Ladang Berpindah pada Keluarga Suku Dayak Keluarga A : Area 1 Area 2 Area 3 Area 4 Area 5 n 1 atau 6 n 2 atau 7 n 3 atau 8 n 4 atau 9 n 5 atau Keluarga B : n 1 atau 6 n 2 atau 7 n 3 atau 8 n 4 atau 9 n 5 atau Area 1b Area 2b Area 3b Area 4b Area 5b (sumber : data diolah) Keterangan gambar : Dapat dilihat bahwa baik keluarga A maupun B memiliki lokasi ladang sendiri-sendiri, dalam siklus rotasi ladang masing-masing pula. Keluarga A di area 1 sampai 5; keluarga B di area 1b sampai 5b. Area 1 pada keluarga A adalah awal dari siklus rotasi ladang berpindah keluarga A yang dalam siklus rotasi ladang berpindah keluarga B ditandai dengan area 1b. Sehingga setelah tahun ke- 5, keluarga A kembali ke area 1 sedangkan keluarga B kembali ke area 1b. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, pada zaman dahulu, rotasi ladang berpindah Suku Dayak bisa mencapai 10 tahun. Dengan demikian, bila keluarga A telah mencapai area 10 (atau tahun ke-10), maka mereka akan kembali ke area 1, atau dengan kata lain di tahun 11 perladangan keluarga A kembali ke area 1 yakni area awal mereka membuka lahan. Begitu pula dengan keluarga B, pada tahun 11 perladangan mereka akan kembali ke area 1b yang merupakan lokasi awal mereka berladang. Selama siklus ladang berpindah berjalan, maka lahan yang sebelumnya digunakan untuk berladang kemudian dinamakan tembawang. Tembawang adalah area hutan yang ditinggalkan setelah ditanami penduduk (umumnya diperuntukkan ladang berpindah). Cara mengetahui sebuah area merupakan tembawang adalah melihat batas-batas buatan maupun bambu-bambu di sekitar lahan 2. Selain itu, Suku Dayak biasa menanami durian pada lahan yang telah ditanami sehingga menjadikan tanda bahwa lahan tersebut sudah ada yang memiliki. Selain durian, jenis tanaman lain yang ditanam pada tembawang antara lain tengkawang, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa, pinang, pisang dan lain-lain. Umumnya yang menjadi prioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Penanda tembawang yang lain adalah adanya pepohonan yang dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang. Sebagai catatan, area-area perladangan dan tembawang ini tidak hanya diisi oleh satu keluarga saja. Bisa jadi dalam satu area terdapat dua atau tiga keluarga yang berladang. Hal ini tergantung oleh luasan lahan perladangan yang dibuka. Semakin luas area perladangan, semakin banyak pula kapling-kapling ladang. Hal inilah yang rawan memicu konflik di masa depan apabila lahan-lahan tersebut tidak diwariskan secara turun-temurun. Normalnya, anakanak dalam keluarga Suku Dayak sudah diajak ke hutan untuk berladang dan berburu sejak kecil, sehingga lokasi-lokasi lahan yang biasa dipakai orangtuanya dapat diketahui. Hal ini dikarenakan Suku Dayak primitif belum mengenal pewarisan hak milik tanah dalam bentuk sertifikat. Mereka hanya menceritakan dan menunjukkan lokasi-lokasi yang biasa mereka pakai tersebut pada anak-anak mereka. Selain metode cerita dan penunjukan lokasi secara manual, pewarisan tanah ini juga dapat dilakukan dengan bertanya kepada Ketua Adat. Ketua Adat biasa diajak dalam proses pembukaan lahan Suku Dayak sehingga mereka banyak mengerti lokasi-lokasi di dalam hutan yang diperuntukkan untuk berladang, berikut dengan 2 Wawancara dengan Bp. Ahau Kadoh selaku Ketua Forum Masyarakat Adat Bidayuh BiJagoi

keluarga pemilik ladang. Selanjutnya, Ketua Adat pulalah yang menyepakati tanda alam tertentu sebagai batas area perladangan. Biasanya bila dijumpai bukit atau sungai, dua tanda alam tersebut yang banyak digunakan untuk batas ladang. Adapun untuk batas buatan, bambu paling banyak digunakan untuk menandai area-area yang telah diperuntukkan untuk ladang berpindah di hutan. Bambu tersebut ditanam di batas terluar area ladang. Selain menjadi penanda warisan, batas-batas tersebut juga menjadi penanda teritorial bagi sub-suku Dayak. Suku Dayak pada umumnya memiliki aturan yang sama dalam menentukan batas wilayahnya. Aturan tersebut menyebutkan jika ada tembawang maka area tersebut telah berpenghuni, sehingga bagi sub-suku Dayak lain yang akan menggunakan lahan di sekitar tembawang wajib meminta izin pada sub-suku Dayak pemilik tembawang. Selanjutnya, kumpulan tembawang yang dimiliki suatu sub-suku Dayak tertentu akan menjadi hutan adat dalam status kepemilikan komunal. Maksudnya, selama tembawang tersebut diklaim dan diakui oleh sub-suku Dayak, maka selamanya tanah tersebut akan diwariskan turun-temurun kepemilikannya kepada generasi Suku Dayak berikutnya. Dari penjelasan mengenai ladang berpindah serta kaitannya dengan tanah adat diatas, nampak bahwa berbagai tuduhan yang dialamatkan terhadap masyarakat dayak sebagai perusak hutan tidaklah beralasan. Terdapat suatu kearifan lokal tersendiri bagi Suku Dayak dalam mengelola hutan-hutan mereka. Terlebih, dengan adanya sifat kearifan lokal dalam perladangan yang diwariskan turun-temurun, Suku Dayak justru menghadapi suatu permasalahan dimana hutan yang mereka jaga sedemikian rupa dirusak oleh perusahaanperusahaan swasta. Kondisi yang cukup memprihatinkan, mengingat diawal telah dijelaskan bahwa pemerintah justru menyalahkan perladangan Suku Dayak dalam kerusakan hutan di Kalimantan. Maka bukanlah sebuah kebetulan apabila banyak dijumpai konflik agraria yang terjadi di Kalimantan, dimana Suku Dayak terus menerus kehilangan hutan adat mereka.

1.1.2. Konflik Agraria di Kalimantan Barat : Industri Sawit yang Merampas Tanah Adat Suku Dayak Bidayuh Hutan adat sering menjadi permasalahan umum konflik agraria di Indonesia. Di Kalimantan Barat, berdasarkan Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar sepanjang 2011 tercatat sebanyak 67 kasus konflik agraria yang hampir terjadi pada semua kabupaten di provinsi itu, 18 kasus diantaranya dikategorikan kriminalisasi pihak perkebunan sawit dan pertambangan dengan masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya 3. Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Sintang yang tercatat sebanyak 19 kasus, lalu Ketapang 19 kasus, Sambas tujuh kasus, Sanggau delapan kasus, Landak empat kasus, Bengkayang sembilan kasus, Kabupaten Pontianak enam kasus, dan Kabupaten Kubu Raya lima kasus 4. Selanjutnya, bila dilihat lebih menyeluruh, permasalahan konflik agraria di Indonesia memang terjadi karena adanya tumpang tindih kebijakan pemerintah seperti yang tertera pada tabel berikut : Tabel 1. Tumpang Tindih UU Agraria Kelompok UU / PP Yang Kepentingan Kepentingan (Instansi digunakan Objektif / Umum Subjektif Pemerintah) Kehutanan UU 41/1999 PP 10/2010 Pelestarian Hutan Kewenangan eksklusif pengelolaan Kawasan Hutan Kemen PU UU 26/2007 PP 26/2008 PP 15/2010 Koordinasi Penataan Ruang Kemudahan pengembangan infrastrukutur jalan (tol) 3 Colchester, Marcus. dan Chao, Sophie (editor). Ekspansi Sawit di Asia Tenggara: Kecenderungan dan Implikasi Bagi Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Juni 2011. Bogor: Sawit Watch 4 Ibid.

BPN UU 5/1960 PP 11/2010 Reforma Agraria Mempertahankan Kewenangan terpusat hak guna tanah Bappenas UU 25/2004 Koordinasi Sistem Perencanaan Nasional PEMDA UU 32/2004 Pembangunan Daerah Superioritas kebijakan sistem perencanaan nasional, termasuk yg berdimensi spasial Otonomi lebih luas tata kelola SDA daerah Meningkatkan PAD KLH UU 32/2009 Pembangunan Berwawasan Lingkungan Kewenangan perencanaan & pengendalian yang lebih luas dalam pengelolaan SDA, Lingkungan & wilayah Pertanian UU 41/2009 Ketahanan Pangan Mencegah alih fungsi lahan sawah perlindungan usaha agribisnis (perkebunan) ESDM Pembangunan Energi & SD devisa Nasional Akses penambangan di kawasan lindung Hak eksklusif kawasan tambang (Sumber: Koordinator P4W-IPB, Dr. Ernan Rustiadi 5 ) 5 Stiawati, Liza. Analisis Kesiapan Masyarakat Petani Ladang Berpindah dan Fallow System bagi Pengembangan Agropolitan (Studi Kasus di Kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat). 2004. Bogor: Thesis Institut Pertanian Bogor.

Tabel diatas merupakan rekam jejak pemerintah dalam pengaturan SDA di Indonesia. Nampak bahwa masing-masing kebijakan memiliki standing point yang tumpang tindih antara satu dengan lain. Terkait dengan kriminalisasi tanah adat sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kewenangan daerah dalam otonomi yang diatur UU 32/2004 belum mampu menyelesaikan problem tanah adat yang merupakan imbas dari ketidaktegasan pemerintah dalam UU 5/1960 dan PP 11/2010. Pada permasalahan yang sama (kriminalisasi tanah adat), ditemukan pula tumpang tindih kebijakan di lokasi penelitian (Suku Dayak Bidayuh, Desa Jagoi Babang) yang telah dan akan memunculkan konflik tanah adat. Dalam agenda pembangunan nasional 2010-2014, pemerintah melalui BNPP (Badan Nasional Penglola Perbatasan) menerapkan sebelas prioritas pembangunan dimana salah satu poin yang mendapat perhatian lebih adalah pembangunan daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik (3T) 6. Kebijakan BNPP ini sebelumnya selalu berfokus pada masalah keamanan dan ketahanan (Hankam). Sedangkan dalam agenda pembangunan nasional 2010-2014, kebijakan 3T lebih berokus pada upaya penyejahteraan masyarakat dengan menggali potensi daerah. Dengan dasar itulah, BNPP pada n 2010 disahkan melalui Perpres RI NO. 12 n 2010. Tugas BNPP antara lain 7 : 1. Melakukan penyusunan dan perumusan rencana induk dan rencana aksi, pengoordinasian penyusunan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan, dan pemanfaatan potensi Kawasan Perbatasan. 2. Melakukan inventarisasi potensi sumber daya dan membuat rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan Perbatasan. 3. Mengoordinasikan penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan potensi Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas. 4. Melakukan pengendalian, pengawasan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembangunan serta pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan. 6 Zaini, Helmy Faishal. Membangkit Batang Terpendam. www.kemenegpdt.go.id/uploads/.../membangkit_batang_terendam.pdf diakses pada 1d uni sk1d pukul skaid 7 Berdasarkan tulisan Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan dalam http://potensibnpp.com/profil/read/sekilas-bnpp. Diakses pada 13 Juni 2013 Pukul 21:01

Berdasarkan tugas BNPP tersebut, diketahui bahwa inventarisasi potensi SDA perbatasan Kalimantan menitikberatkan pada pengelolaan kawasan hutan. BNPP diwajibkan untuk memaksimalkan potensi hutan kawasan perbatasan guna menaikkan taraf hidup penduduk perbatasan. Untuk Provinsi Kalimantan Barat, potensi perbatasan yang terinventarisasi BNPP ialah penanaman tumbuhan perkebunan yakni karet dan sawit. Fokus dari tugas BNPP ini beresiko menimbulkan ke-tumpang-tindihan dengan UU Desa No. 6 n 2014. Dalam UU ini, pemerintah memberikan kewenangan pada desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Poin penting dalam kebijakan ini ialah adanya penguatan bentuk desa adat, sebagai sebuah institusi pemerintah terbawah. Desa adat diharapkan mampu memperoleh PADesa secara mandiri melalui pendayagunaan beragam asetnya seperti tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, hutan milik desa, dsb. Dengan adanya inventarisasi asset desa adat (yang meliputi pula hutan adat); bisa terjadi pergesekan di lapangan karena BNPP di sisi lain masih giat mendayagunakan asset hutan perbatasan untuk sawit. Adanya fokus pembangunan yang dicanangkan BNPP ini disatu sisi memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menghidupkan potensi ekonomi daerah 3T. Namun disisi lain perlu dicermati benar, apakah beragam potensi yang telah dipetakan tersebut sesuai dengan kaidah pembangunan kawasan yang berbasis local wisdom sebagaimana tersirat dalam UU Desa. Hal tersebut dikarenakan banyak kasus pembangunan perkebunan sawit di hutan-hutan Kalimantan yang menimbulkan konflik dengan penduduk setempat. Seperti terjadinya konflik tanah di Dabong, Kubu Raya. Sejak tahun 1982 Departemen Kehutanan RI sudah menetapkan kawasan hutan bakau di Desa Dabong sebagai hutan lindung. Tetapi belakangan Departemen Kelautan dan Perikanan malah mengeluarkan izin untuk pertambakan di areal tersebut. Kasus lain yang sangat menarik adalah yang terjadi di Desa Sindur, Kecamatan Subangki, Kalimantan Barat terdapat praktek penipuan yang dilakukan pihak swasta selaku pemilik perkebunan. Tanah-tanah warga dibeli dengan harga yang sangat murah secara sepihak, melibatkan oknumoknum desa 8. Khusus pada kasus yang terjadi di Bengkayang, peneliti sempat melihat sendiri satu kasus yang terjadi di Desa Jagoi Babang yakni adanya kriminalisasi perusahaan sawit swasta 8 Colchester, Marcus. dan Chao, Sophie (editor). Ekspansi Sawit di Asia Tenggara: Kecenderungan dan Implikasi Bagi Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Juni 2011. Bogor: Sawit Watch

dengan koperasi kelompok perkebunan sawit yang terjadi pada Juni-Agustus 2012 silam. Diketahui bahwa beberapa oknum koperasi kelompok perkebunan sawit Bumi agoi Indah secara sepihak telah menjual hak guna tanahnya kepada perusahaan sawit PT. Surya Indah. Hal ini memicu kemarahan penduduk Desa Jagoi Babang, sehingga dalam kurun waktu tersebut (Juni-Agustus 2012) penduduk khususnya yang bekerja di Bumi Jagoi Indah mengundang pihak-pihak yang terkait : pemilik saham BJI, pihak PT Surya Indah, dan juga kepolisian daerah. Namun dari beberapa pertemuan itu, selalu warga dan kepolisian saja yang hadir. Dalam akhir masa penelitian, sempat terjadi ketegangan di Balai Adat Jagoi Babang dimana peneliti mendengar adanya statement dari kepala Adat Dayak Bidayuh, Bapak Ahau Kadoh yang mengancam akan mengajak masyarakat Suku Dayak Bidayuh untuk berdaulat menjadi warga negara Malaysia. Statement ini beredar manakala undangan pertemuan yang digagas pekerja-pekerja BJI lagi-lagi tidak ditanggapi oleh pemegang saham BJI dan perusahaan sawit swasta. Kasus lain yang masih diusut hingga kini ialah kasus perampasan tanah adat oleh perusahaan sawit PT. Ledo Lestari yang terjadi di Dusun Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kalimantan Barat. Diketahui bahwa hutan adat yang terletak di Dusun Semunying Jaya secara diam-diam diambil alih hak guna lahannya oleh PT. Ledo Lestari. Menurut kepala desa Semuning jaya, Perusahaan PT. Ledo lestari tidak pernah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat untuk menggarap hutan adat seluas1420 hektar hutan adat, 3 hektar tanah sawah dan 117,3 hektar lahan warga itu. Sehingga masyarakat yang biasa berladang di daerah tersebut kaget dengan penanaman sawit di tanah yang secara turun-temurun diwariskan dalam hutan adat. Masyarakatpun menggugat Bupati Bengkayang dan perusahaan PT. Ledo Lestari. Tapi yang terjadi di lapangan justru pemerintah Kabupaten Bengkayang melindungi perusahaan sawit tersebut bahkan menambah jumlah ijin penggunaan lahan hutan seluas 9.000 hektar pada tanggal 21 Juni tahun 2010 9. Dua kasus diatas merupakan contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi di penjuru Kalimantan Barat, kaitannya dengan invasi lahan sawit. Sawit memang merupakan komoditas unggulan Kalimantan Barat sebagaimana tercantum dalam Laporan Kajian Potensi Ekonomi Lokal Kawasan Perbatasan Darat 2011, yang memperlihatkan bahwasanya potensi ekonomi 9 http://mimbaruntan.com/2015/06/25/melihat-perjuangan-warga-semunying-jaya-merebut-haknya/. Diakses pada 7 Juni 2016 Pukul 20.45 WIB

Kalimantan Barat antara lain perkebunan, peternakan, pertambangan, dan juga pariwisata 10. Sehingga menjadi wajar apabila pemerintah secara sadar menggenjot penambahan luasan areal perkebunan sawit di Kalimantan Barat. Hal ini diperjelas dengan data pertambahan jumlah areal sawit yang diambil dari BPS Kabupaten Bengkayang n 2007 hingga 2011 mengalami kenaikan yang signifikan. Berturut-turut dari n 2007 hingga 2011 luas perkebunan sawit di Kabupaten Bengkayang adalah sebagai berikut : 30.482 Ha, 31.292 Ha, 41.560 Ha, 45.335 Ha, 51.762 Ha. Peningkatan ini juga terjadi di Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang memiliki luasan lahan 39.575 Ha. Dari lahan seluas 39.575 Ha tersebut, 26.348 Ha nya diperuntukkan untuk perkebunan sawit. Bila ditambah dengan komoditas perkebunan lain seperti karet dan lada, maka luasan perkebunan di Kecamatan Jagoi Babang 27.373 Ha. Dengan kata lain, sebanyak 70% dari penggunaan lahan di Kecamatan Jagoi Babang adalah diperuntukkan untuk komoditas perkebunan. Tabel 2. Luas Perkebunan di Kecamatan Jagoi Babang 2012 No Jenis Perkebunan Luas Lahan Luas Tanam Produksi 1 Karet 651 ha - 720 Kg 2 Kakao 73 ha - 620 Kg 3 Lada 127 ha - 720 Kg 4 Kopi 189 ha - - 5 Sawit 26.348ha - 2.125 Kg 6 Kelapa dalam 2 ha - 550 Kg 7 Kemiri 2 ha - - 9 Kelapa Hybrida 1 ha - - (Sumber : Laporan nan Kecamatan Jagoi Babang n 2012) 10 Muta ali, Lutfi. Christanto, Joko. Marfai, Muh Aris. Gagasan Pembangunan Kawasan Perbatasan Darat Di Bidang Pengelolaan Potensi (Upaya Mewujudkan Blue Print). Gama Press dan Pusat Kajian Pemukiman, Transmigrasi, dan Perbatasan : Yogyakarta, 2013.

Dari sekian banyak tanaman perkebunan, kelapa sawit adalah tanaman yang paling banyak ditanam. Sebanyak 14.847 Ha lahan di Kecamatan Jagoi Babang diperuntukkan untuk perkebunan sawit, baik itu milik pribadi (penduduk), kelompok tani, maupun perusahaan. Sebenarnya, kelapa sawit memang merupakan tanaman yang menjadi primadona penanaman karena selain masa panennya yang lama, keuntungan yang didapatkan juga sebanding dengan pengeluaran yang harus dibayarkan. Penduduk Desa Jagoi Babang-pun perlahan mulai meninggalkan tradisi ladang berpindah mereka dan beralih menjadi petani sawit. Namun tidak semua penduduk bisa menjadi juragan sawit atau pekerja perkebunan yang mandiri secara ekonomi. Masih banyak pula penduduk yang bekerja di perkebunan sawit sembari mengurusi ladangnya di hutan. Hal tersebut dikarenakan tidak semua penduduk memiliki biaya yang cukup untuk membuka lahan sawit. Memang berdasarkan wawancara dengan narasumber di lapangan, pembukaan lahan sawit baru membutuhkan biaya yang mahal, konon hingga mencapai milyaran rupiah. Hal tersebut menjadi wajar, mengingat pembukaan lahan sawit harus memperhatikan beberapa faktor, seperti ketersediaan akses jalan, pembakaran hutan, hingga kesiapan sarana angkut sawit (truck). Solusinya, penduduk yang akan membuka lahan sawit bisa mendaftarkan diri sebagai koperasi yang berbadan hukum di Dinas Perkebunan Bengkayang. Namun, lagi-lagi bentuk koperasi perkebunan sawit juga mayoritas dibentuk oleh penduduk yang memiliki modal. Penduduk dengan tingkat ekonomi pas-pasan rata-rata menjadi buruh perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam perkebunan sawit milik perusahaan, terdapat dua jenis kebun berdasarkan penggunaannya. Yang pertama adalah lahan inti yang merupakan lahan yang digarap oleh pihak perusahaan. Lahan inti sepenuhnya menjadi hak perusahaan, sehingga penduduk tidak bisa sembarangan mengakses lahan inti ini. Yang kedua adalah lahan plasma, yakni lahan yang disediakan perusahaan untuk digarap penduduk sekitar perkebunan, dengan sistem kredit. Lahan plasma ini yang banyak diminati oleh penduduk dengan kondisi ekonomi pas-pasan, mengingat syarat untuk bekerja di lahan plasma tidak perlu menyetor saham (modal) seperti yang dilakukan pada koperasi perkebunan sawit. Sebagai contoh apabila perusahaan memberikan hutang pada warga Rp 100 juta dari lahan plasma, maka dengan penghasilan warga dari 1 hektar sawit yang bisa mencapai 5 sampai 6 juta per-panen, maka setelah beberapa tahun bila hutang tersebut lunas kebun plasma sepenuhnya menjadi kepemilikan warga. Kredit tersebut merupakan bagi hasil warga

dari 1 kali panen sawit. Semisal dalam panen sawit yang menghasilkan 5 sampai 6 juta tadi, 2 jutanya diperuntukkan untuk membayar hutang ke perusahaan. (Wawancara dengan Bapak Sutarno Kabid Dinas Perkebunan Kabupaten Bengkayang) Kembali pada kasus BJI yang terjadi di Desa Jagoi, PT. BJI sebenarnya merupakan koperasi perkebunan sawit yang menjalankan sistem inti-plasma. PT. BJI yang sebelumnya dimiliki oleh pengusaha setempat menjual lahannya kepada PT. Surya Prima yang melakukan ekspansi sawit di 2 desa di perbatasan yakni Desa Sekida dan Desa Jagoi Babang di Kecamatan Jagoi Babang. Warga yang sebelumnya banyak bekerja di PT. BJI sebagai buruh perkebunan di lahan plasma melihat bahwa penjualan lahan PT. BJI kepada PT. Surya Prima sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Karena dengan penjualan lahan PT. BJI tersebut rakyat akan kehilangan sumber pencaharian yang selama ini didapat dari memburuh di lahan plasma PT. BJI. Gambar 2. Area perkebunan sawit PT. BJI (Sumber : Dokumentasi Penelitian)

Disinilah letak permasalahan yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik besarbesaran. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh Bp. Ahau Kadoh dalam wawancara yang dilakukan peneliti, beliau menuturkan bahwa adanya PT. Surya Prima yang akan menguasai 6000 Ha di sekitarnya membuat resah warga. Hal tersebut dikarenakan tanah-tanah yang menjadi hak rakyat menjadi menyempit. Beliau menjelaskan bahwa luasan lahan di Desa Sekida ditambah dengan Desa Jagoi Babang kurang lebih seluas 7000 hingga 8000 Ha. Sehingga, lahan yang tersisa untuk warga sangat sedikit. Penggunaan lahan seluas 6000 Ha juga menempati wilayah-wilayah hutan adat yang merupakan tanah ulayat warga. Setelah mendengar berita mengenai tanah adat yang hendak dibeli di sekitar daerahnya, warga Desa Jagoi Babang segera menyegel tanah tersebut dengan mendirikan tempayan di sekitar lokasi. Tempayan merupakan sebuah simbol yang diberikan Suku Dayak Bidayuh kepada orang asing agar tidak mengganggu sebuah wilayah tertentu yang ditentukan. Pemindahan tempayan hanya bisa diadakan dengan ritual adat, yang berarti sebelumnya pihak perusahaan harus mengadakan sebuah dialog dengan warga. Pemindahan tempayan secara paksa merupakan tanda permusuhan, sehingga penduduk akan siap berperang dengan siapa saja pelaku pemindahan tempayan tersebut. Gambar 3. Tempayan di Desa Jagoi Babang Sumber : Dokumentasi Penelitian

1.1.3. Konsekuensi Penyempitan Area Perladangan Suku Dayak Bidayuh Kasus PT. BJI merupakan kasus yang menarik, mengingat kesamaannya dengan kasuskasus lain yang terjadi di Kalimantan Barat. Benang merahnya terdapat pada adanya konflik hutan adat yang melatarbelakangi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, hutan adat bagi Suku Dayak merupakan sebuah area yang wajib dipertahankan. Hutan yang diwariskan oleh leluhur mereka merupakan sebuah manifestasi dari nilai-nilai kearifan lokal Suku Dayak itu sendiri. Oleh sebabnya ketidaktegasan pemerintah dalam menjaga hal tersebut sangat disayangkan. Suku Dayak di penjuru Kalimantan selama ini sudah teralienasi dengan lingkungannya. Sejak era transmigrasi pada zaman Orde Baru, Suku Dayak seperti terjajah di negara sendiri dengan kemiskinan yang akrab dengan mereka. Tentu belum lepas dari ingatan konflik yang terjadi di Sampit dimana peperangan antar Suku Dayak dengan Suku Madura juga disebabkan salah satunya ada kesenjangan hidup antara pribumi dan pendatang. Kondisi tersisih ini juga dirasakan oleh Suku Dayak Bidayuh yang terpicu dengan kasus PT. BJI. Dijelaskan sebelumnya bahwa saat rapat dengar antara stakeholders pada kasus BJI, Bapak Ahau Kadoh sempat mengeluarkan statement untuk memisahkan Suku Dayak Bidayuh dari NKRI. Hal tersebut sebenarnya sangat beralasan mengingat Suku Dayak Bidayuh yang berdomisili di Desa Jagoi Babang yang terletak di perbatasan RI-Malaysia memiliki saudara serumpun yang lebih makmur di Serawak, Malaysia. Berdasarkan sejarah, dulunya Jagoi Babang merupakan desa yang berada di wilayah Sarawak, Malaysia. Desa ini menjadi bagian dari wilayah NKRI setelah berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia yang ditandai dengan adanya MoU Tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta, sebagai Naskah Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dengan Malaysia 11. Memorandum ini bertujuan untuk menegaskan garis tapal batas antar kedua negara (Indonesia- Malaysia), dimana pada masa sebelum perjanjian dibuat, batas negara Malaysia mencakup hingga Dusun Seluas, Kabupaten Bengkayang (kurang lebih 5km dari batas terluar Indonesia sekarang yang terletak di Dusun Jagoi Babang). Kondisi tersebut menyebabkan Suku Dayak Bidayuh kini berdomisili di dua negara, yakni Malaysia dan Indonesia. Suku Dayak Bidayuh yang bermukim di Malaysia banyak dijumpai di sekitar Distrik Bau, Sarawak, Malaysia. 11 Herlin, Mery. Menggali Konsep Matematika Informal (Etnomatematika) dalam Upacara Gawia Sowak pada Masyarakat Dayak Bidayuh. Juli 2001. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak.

Suku Dayak Bidayuh yang berdomisili di Negara Malaysia merupakan suku minoritas yang tergolong penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah. Dibandingkan dengan beberapa suku lain yang ada di Negeri Jiran tersebut, Suku Dayak Bidayuh memiliki tingkat persaingan yang kurang kompetitif, meski beberapa dari suku ini mengecap kesuksesan sebagai doktor, sarjana, maupun beragam profesi lain yang providable 12. Suku Dayak Bidayuh di Malaysia hidup di daerah rural dan pedesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani, wiraswasta (pertokoan), maupun jasa. Namun, didukung dengan beragam kebijakan pemerintah Malaysia yang menjamin kebutuhan dasar hidupnya (khususnya pendidikan, kesehatan, dan pangan), kesejahteraan Suku Dayak Bidayuh di Malaysia relatif lebih baik dibandingkan saudaranya yang terpisah di wilayah NKRI. Upaya peningkatan kesejahteraan Suku Dayak Bidayuh di Indonesia sebenarnya sudah diupayakan pemerintah dengan adanya BNPP sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemerintah masih sering bertindak tidak adil khususnya kepada Suku Dayak Bidayuh, yang memang belum terfasilitasi peraturan tanah adat yang jelas. Maka dari itu menjadi sebuah kewajaran bilamana kasus tanah adat di Jagoi Babang merambat ke isu nasionalisme. Bila tidak segera ditangani secara serius, bukan tidak mungkin di masa mendatang terjadi konflik horizontal seperti yang terjadi di Sampit, yang berimbas pada pemisahan diri dari wilayah NKRI. Konsekuensi lain yang sama-sama mengkhawatirkan adalah adanya perubahan tradisi pada Suku Dayak Bidayuh dikarenakan hutan-hutan adatnya mulai berkurang. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, tradisi perladangan Suku Dayak mensyaratkan adanya hutan yang rimbun dengan vegetasi yang bagus. Diketahui pula, ladang berpindah mensyaratkaan perpindahan lahan setiap satu musim panen. Dengan adanya invasi sawit di penjuru Kalimantan Barat, timbul pertanyaan tentang bagaimana tradisi perladangan berpindah resisten terhadap perubahan di sekitarnya. Hutan-hutan yang mulai menyempit, terlebih kesewenang-wenangan pemerintah dalam penggunaan hutan adat, sedikit banyak pasti merubah pola perilaku Suku Dayak Bidayuh dalam melaksanakan perladangan berpindah. Perubahan-perubahan inilah yang penulis dokumentasikan dalam skripsi ini. 12 Minos, Peter. The Future of The Dayak Bidayuhs In Malaysia. Juni 2000: Lynch Media & Services. Kuching, Sarawak.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, terdapat dua poin utama penelitian yaitu : a) Suku Dayak, khususnya Suku Dayak Bidayuh mengenal sistem ladang berpindah secara turuntemurun; dan b) Terjadi penyempitan area ladang berpindah di Desa Jagoi Babang yang merupakan tempat tinggal Suku Dayak Bidayuh. Oleh karena sifat dari area ladang berpindah yang mengerucut menjadi hutan adat yang bersifat sensitif, maka rumusan masalah penelitian ini adalah, Bagaimana perubahan yang terjadi pada Suku Dayak Bidayuh menyikapi berkurangnya area ladang berpindah di Desa Jagoi Babang? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik Suku Dayak Bidayuh dalam tradisi ladang berpindah secara terperinci. 2. Mengetahui perubahan sikap dan perilaku masyarakat Suku Dayak Bidayuh dalam menyikapi perubahan fungsi hutan di sekitar Desa Jagoi Babang. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat diadakannya penelitian ini antara lain : 1. Menambah kajian pustaka bagi Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Bengkayang, yang dalam rentang waktu penelitian sedang mengarsip kajian etnik Suku Dayak Bidayuh yang berdomisili di Dusun Sebujit. 2. Menambah kajian pustaka bagi Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), mengingat Desa Jagoi Babang merupakan salah satu desa yang tergolong 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). 3. Referensi bagi penelitian berikutnya mengenai Suku Dayak Bidayuh.