BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

V. GAMBARAN UMUM. Secara astronomi, Kota Depok terletak pada koordinat 6 o sampai

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

III. METODE PENELITIAN. Provinsi Lampung adalah data sekunder berupa PDRB tiap kabupaten/kota di

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

Lampiran 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Karo

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

III. METODE PENELITIAN. 2010, serta data-data lain yang mendukung. Data ini diperoleh dari BPS Pusat,

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB III METODE PENELITIAN. ekonomi yang ada di Pulau Jawa. Selain mengetahui struktur juga untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

III. METODELOGI PENELITIAN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke

III. METODE PENELITIAN. Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pringsewu dan Produk Domestik

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di:

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sisterm kelembagaan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan. yang dimiliki oleh daerahnya. Pembangunan nasional dilakukan untuk

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan 1. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Provinsi Jawa Tengah

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

III.METODE PENELITIAN. rakyat setempat bahkan dapat menolong perekonomian daerah secara keseluruhan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pusat dan daerah membawa implikasi mendasar terhadap. yang antara lain di bidang ekonomi yang meliputi implikasi terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini, berfokus pada sektor basis, faktor

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

Lampiran 1. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000 (Jutaan Rupiah)

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,2 %

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

ANALISIS POTENSI SEKTOR BASIS DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

ANALISIS SEKTOR BASIS DAN NON BASIS DI KABUPATEN JAYAPURA. Aurelianus Jehanu 1 Ida Ayu Purba Riani 2

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

Pemerintah Kabupaten Bantul. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir TA 2007 Kabupaten Bantul

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN Chrisnoxal Paulus Rahanra 1

PERTUMBUHAN EKONOMI ASAHAN TAHUN 2013

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

ANALISIS KINERJA SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH DI KOTA BANJAR ABSTRAK

III. METODOLOGI PENELITIAN. sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Struktur

KARAKTERISTIK DAN POTENSI EKONOMI DAERAH Oleh: Dr. H. Ardito Bhinadi, M.Si

Transkripsi:

Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Geografis Kota Depok adalah salah satu wilayah termuda di Jawa Barat mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 Km². Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6º 19 00-6º 28 00 Lintang Selatan dan 106º 43 00-106º 55 30 Bujur Timur. Bentang alam Kota Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah dan perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi antara 50 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Wilayah Kota Depok berbatasan dengan 3 (tiga) Kabupaten dan 1 (satu) Propinsi. Secara lengkap wilayah Kota Depok mempunyai batasbatas sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tanggerang dan wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Secara Administratif Kota Depok terbagi dalam 6 Kecamatan dan 63 Kelurahan. Secara umum letak antar ibukota tiap-tiap Kecamatan dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Jarak Antar Ibukota Kecamatan di Kota Depok (Km) Kecamatan Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Sawangan 0 13 14 18 18 2 Pancoran Mas 13 0 7 13 3 9 Sukmajaya 14 7 0 10 4 16 Cimanggis 18 13 10 0 16 58 Beji 18 3 4 16 0 12 Limo 2 9 16 58 12 0 Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2007 2. Penduduk

Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2007 mencapai 1.470.002 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 761.382 jiwa dan perempuan 708.620 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Kota Depok tahun 2007 3,43 persen. Kecamatan Cimanggis paling besar jumlah penduduknya dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Depok yaitu sebesar 403.037 jiwa, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil adalah kecamatan Beji yaitu 139.888 jiwa. Di tahun 2007, kepadatan penduduk Kota Depok mencapai 7.339,37 jiwa/km². Kecamatan Sukmajaya merupakan kecamatan terpadat di Kota Depok dengan tingkat kepadatan 10.033,61 jiwa/km², kemudian kecamatan Beji dengan tingkat kepadatan 9.782,38 jiwa/km². Sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah adalah kecamatan Sawangan yaitu sebesar 3.634,84 jiwa/km². Tabel 4.2 Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2007 Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan Penduduk (jiwa/ Km²) Sawangan 86.640 79.436 166.076 3.634,84 Pancoran Mas 139.814 129.330 296.144 9.022,59 Sukmajaya 175.033 167.414 342.447 10.033,61 Cimanggis 209.019 194.018 403.037 7.527,27 Beji 73.457 66.431 139.888 9.782,38 Limo 77.419 71.991 149.410 6.553,07

Kota Depok 761.382 708.620 1.470.002 7.339,37 Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2007 3. Ekonomi a. Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Kota Depok terus meningkat sebelum maupun sesudah otonomi daerah dilaksanakan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya sebesar 4,69% atas dasar harga konstan. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Depok dilihat dari kelompok sektor yang terbagi dalam sektor primer, sekunder, dan tersier mengalami penurunan dan peningkatan tiap tahunnya. Laju pertumbuhan Kota Depok pada tahun 2006 sebesar 6,65% mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2005 yaitu sebesar 6,96%, hal itu dikarenakan penurunan yang sangat signifikan dalam sektor primer tahun 2006 sebesar -4,27%, peningkatan yang signifikan terjadi pada sektor tersier yaitu sebesar 7,73% pada tahun 2006. Laju pertumbuhan Kota Depok dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini. Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 1999-2006 Sektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1-2,00 3,04 3,58 2,23 4,24 4,69-4,26 2 - - - - - - - - 3-5,66 7,04 8,57 7,21 7,27 9,00 7,14 4-3,92 4,20 3,87 5,62 5,66 7,85 3,03

5-2,40 6,64 3,84 5,54 5,58 2,00 3,49 6-3,81 5,59 2,67 5,87 5,91 6,06 9,38 7-3,29 3,73 15,38 6,95 6,83 7,94 2,22 8-9,30 5,04 6,69 10,09 10,32 6,64 2,80 9-2,59 4,77 5,21 4,78 4,83 3,93 8,04 PDRB - 4,41 5,89 6,10 6,37 6,50 6,96 6,65 Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2007, data diolah *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa. b. Struktur Ekonomi Sebelum maupun selam pelaksanaan otonomi daerah, struktur perekonomian Kota Depok tidak terjadi pergeseran yang terlalu signifikan, dua sektor ekonomi yaitu sektor industri pengolahan dan

sektor perdagangan, hotel, dan restoran tetap menjadi sektor yang dominan dalam konstribusi PDRB Kota Depok dengan rata-rata konstribusi pembentukan PDRB sebelum maupun sesudah otonomi daerah diatas 30%. Berdasarkan tabel 4.4 sektor ekonomi yang memberikan konstribusi terkecil terhadap pembentukan PDRB tahun 2006 adalah sektor pertanian dengan konstribusi sebesar 2,65% Tabel 4.4 Persentase Distribusi Sektor Ekonomi Kota Depok Atas Dasar Harga Berlaku 2000 Tanpa Migas Tahun 1999-2006 (dalam persen) Sektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 3,59 4,02 3,84 3,92 3,59 3,23 2,99 2,65 2 - - - - - - - - 3 37,56 38,45 38,24 38,38 38,30 38,52 38,49 37,54 4 3,23 3,47 3,37 3,97 4,34 4,09 4,81 4,73 5 7,04 6,60 6,33 5,81 5,87 5,98 5,27 4,86 6 30,86 30,49 30,61 30,54 30,44 30,60 30,07 32,32 7 5,06 5,04 5,48 5,72 5,66 5,64 6,81 6,42 8 3,81 3,80 3,82 3,65 3,82 3,94 3,85 3,53 9 8,44 8,12 8,32 8,02 7,98 8,00 7,71 7,94 jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2007 *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa. c. PDRB Perkapita Selama kurun waktu 1999-2006 PDRB per kapita Kota Depok menunjukkan perkembangan yang positif tiap tahunya berdasarkan PDRB atas harga konstan maupun atas dasar harga berlaku. Rata-rata

perkembangan PDRB per kapita atas dasar konstan per tahunnya sebesar 2,78% sedangkan menurut harga berlaku sebesar 12,79%. Perkembangan terbesar PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 terdapat pada tahun 2005 yaitu sebesar 3,61% sedangkan atas dasar harga berlaku pertumbuhan terbesar terdapat pada tahun 2005 sebesar 15,38%. Tabel 4.5 PDRB Per Kapita Penduduk Kota Depok Tahun 1999-2006 Tahun Atas harga berlaku AHK 2000 1999 2.762.532,99 2.987.765,43 2000 3.051.691,68 3.051.691,68 2001 3.470.917,29 3.113.484,58 2002 3.957.922,09 3.190.869,66 2003 4.382.013,52 3.283.308,19 2004 4.827.071,63 3.385.720,44 2005 5.569.813,08 3.508.084,49 2006 6.408.948,6 3.620.579,94 Rata-rata Pertumbuhan (%) 12,79% 2,78% Sumber: PDRB Kota Depok 2007

B. Hasil Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Deskritif a. Analisis Kontribusi Sektoral Untuk melihat perubahan struktur ekonomi di Kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah dapat dilihat melalui analisis kontribusi sektoral. Salah satu indikator perubahan struktur ekonomi adalah terjadinya pergeseran kontribusi tiap-tiap sektor di dalam Produk Domestik Regional Bruto, pergeseran kontribusi sektoral dengan adanya kenaikan maupun penurunan kontribusi salah satu sektor ekonomi. 1) Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat terdapat 2 sektor yang memberikan kontribusi terbesar untuk PDRB pada masa sebelum otonomi daerah (1999-2000) adalah pertama, sektor industri pengolahan dengan rata-rata kontribusi pada saat sebelum otonomi daerah sebesar 38,34%, sektor kedua yang memberikan kontribusi

terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan ratarata kontribusi sebelum otonomi daerah adalah sebesar 30,43%. Sementara itu sektor ekonomi di Kota Depok yang memberikan kontribusi terendah selama masa sebelum otonomi daerah adalah sektor listrik, gas, dan air bersih dengan rata-rata kontribusi sebesar 3,45% dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan rata-rata kontribusi sebesar 3,71% terhadap PDRB Kota Depok. Tabel 4.6 Kontribusi Sektor dalam PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Sebelum Otonomi Daerah (1999-2000) Sektor 1999 2000 Rata-rata % 1 138.024,16 140.296,96 137.583,93 4,08 2 - - - - 3 1.269.880,45 1.341.787,5 1.293.511,10 38,34 4 116.576,57 121.146,47 116.539,76 3,45 5 224.806,84 230.202,21 226.410,99 6,71 6 1.024.932,59 1.063.970,73 1.026.457,79 30,43 7 170.317,88 175.920,32 171.300,25 5,08 8 121.469,26 132.762,05 125.109,07 3,71 9 276.074,64 283.227,19 276.529,53 8,20 PDRB 3.342.082,421 3.489.313,42 3.373.442,43 100 Sumber: BPS Kota Depok, data diolah *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa

2) Sesudah Otonomi Daerah Setelah berjalannya otonomi daerah (2001-2006), kontribusi tiap-tiap sektor ekonomi terhadap PDRB tidak terlalu banyak terjadi perubahan. Sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB tetap terdapat pada sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor industri pengolahan memberikan rata-rata kontribusi pada masa serelah otonomi daerah sebesar 40,36% dengan terjadi kenaikan kontribusi dilihat dari saat sebelum otonomi daerah, Sektor selanjutnya yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan rata-rata kontribusi setelah otonomi daerah sebesar 29,43%. Sementara itu untuk sektor yang memberikan kontribusi terendah mengalami perubahan, pada masa setelah otonomi daerah sektor yang memberikan kontribusi terendah adalah sektor listrik, gas, dan air bersih dan sektor pertanian. Sektor pertanian memberikan rata-rata kontribusi sebesar 3,59% sedangkan sektor listrik, gas, dan air minum memberikan rata-rata kontribusi sebesar 3,31% Tabel 4.7 Kontribusi Sektor dalam PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Setelah Otonomi Daerah (2001-2006) Sektor 2001 2002 2005 2006 Rata-rata % 1 144.562,46 149.731,67 167.053,64 159.921,17 155.649,56 3,59 2 3 1.436.273 1.559.431,51 1.954.749,67 2.094.461,49 1.751.688,42 40,36

4 126.236,53 131.126,7 157.837,97 162.625,11 143.777,41 3,31 5 245.483,27 254.911,08 289.734,93 299.855,37 273.845,28 6,31 6 1.123.483,29 1.153.513,37 1.371.884,46 1.500.643,82 1.277.356 29,43 7 182.490,44 210.548,51 259.654,73 265.439,68 230.640,87 5,31 8 139.448,38 148.777,26 192.688,45 198.084,51 170.580,29 3,93 9 296.744,96 312.192,16 356.430,25 385.097,91 336.753,84 7,76 PDRB 3.694.722,33 3.920.232,26 4.750.034,1 5.066.129,06 4.340.291,67 100 Sumber: BPS Kota Depok, data diolah *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa b. Analisis Pertumbuhan Analisis laju pertumbuhan menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 dan atas dasar harga berlaku. PDRB atas dasar harga konstan mengambarkan perubahan PDRB tanpa dipengaruhi oleh perubahan harga yang biasanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku yaitu dengan memperhitungkan pengaruh harga. 1) Sebelum Otonomi Daerah

Laju pertumbuhan PDRB Kota Depok atas dasar harga konstan 2000 pada masa sebelum otonomi daerah (1999-2000) menunjukkan hasil yang positif di semua sektor lapangan usaha, walaupun cenderung fluktuatif tiap tahunnya. Tabel 4.8 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Sebelum Otonomi Daerah (1999-2000) Sektor 1999 2000 Rata-rata (%) 1. Pertanian 2,67 2,00 2,33 2. Pertambangan dan Penggalian - - - 3. Industri Pengolahan 0,08 5,66 2,87 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 4,18 3,92 4,05 5. Bangunan 0,26 2,40 1,32 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 3,48 3,81 3,64 7. Pengangkutan dan Komunikasi 1,58 3,29 2,43 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 0,31 9,30 4,80 9. Jasa-Jasa 2,14 2,59 2,36 Sumber: BPS Kota Depok, data diolah Berdasarkan tabel 4.8 beberapa sektor di Kota Depok pada masa sebelum otonomi daerah (1999-2000) menunjukkan peningkatan yang tinggi. Dilihat dari rata-rata pertumbuhan, sektor yang menempati peringkat pertama untuk laju pertumbuhannya adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan rata-rata sebesar 4,80%. Sektor selanjutnya yang menunjukkan rata-rata tertinggi kedua adalah sektor listrik, gas, dan air bersih dengan laju pertumbuhan sebesar 4,05%. Sektor dengan rata-rata laju

pertumbuhan terendah dalam masa sebelum otonomi daerah adalah sektor Bangunan dengan rata-rata laju pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 1,32%. Sedangkan berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku pertumbuhan sektor tertinggi sebelum otonomi daerah berlangsung adalah sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 18.14%. Sektor listrik, gas, dan air bersih pada posisi kedua dengan laju pertumbuhan sebesar 14.93%. Sektor dengan rata-rata laju pertumbuhan terendah dalam masa sebelum otonomi daerah adalah sektor Bangunan dengan rata-rata laju pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 7.30%. Tabel 4.9 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Berlaku Sebelum Otonomi Daerah (1999-2000) Sektor 1999 2000 rata-rata (%) 1. Pertanian 9.74 26.55 18.14 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 7.31 15.66 11.48

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 11.72 18.13 14.93 5. Bangunan 4.2 10.4 7.30 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 10.22 10.02 10.12 7. Pengangkutan dan Komunikasi 10.78 10.19 10.49 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4.38 17.49 10.93 9. Jasa-Jasa 11.18 6.16 8.67 Sumber: BPS Kota Depok, data diolah 2) Sesudah Otonomi Daerah Laju pertumbuhan PDRB Kota Depok berdasarkan atas dasar harga konstan 2000 selama masa otonomi daerah (2001-2006) cenderung fluktuatif. Jadi, pada satu tahun mengalami kenaikan, namun pada tahun berikutnya justru mengalami penurunan tingkat pertumbuhan. Dari semua sektor lapangan usaha tingkat pertumbuhannya tetap positif, kecuali pada sektor pertanian. Pada tahun 2006 terjadi penurunan tingkat pertumbuhan hingga negatif 4,26%. Bila diambil rata-rata pertumbuhan selama otonomi daerah maka sektor dengan rata-rata laju pertumbuhan tertinggi ditempati oleh sektor industri pengolahan sebesar 7.70%. Sektor pengangkutan dan komunikasi berada pada peringkat ke dua dengan rata-rata laju pertumbuhan 7.17%. Selanjutnya, pada peringkat ke tiga adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 6.92%. Sektor ekonomi terendah selama masa otonomi daerah di Kota Depok yaitu sektor pertanian dengan rata-rata 2,25%. Tabel 4.10

Laju Pertumbuhan PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Sesudah Otonomi Daerah (2001-2006) Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata (%) 1 3,04 3,58 2,23 4,24 4,69-4,26 2,25 2 - - - - - - - 3 7,04 8,57 7,21 7,27 9,00 7,14 7,70 4 4,20 3,87 5,62 5,66 7,85 3,03 5,04 5 6,64 3,84 5,54 5,58 2,00 3,49 4,51 6 5,59 2,67 5,87 5,91 6,06 9,38 5,91 7 3,73 15,38 6,95 6,83 7,94 2,22 7,17 8 5,04 6,69 10,09 10,32 6,64 2,80 6,92 9 4,77 5,21 4,78 4,83 3,93 8,04 5,26 Sumber: BPS Kota Depok, data diolah *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa Sedangkan berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku, bila diambil rata-rata pertumbuhan selama otonomi daerah maka sektor dengan rata-rata laju pertumbuhan tertinggi ditempati oleh sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar 23.87%. Sektor pengangkutan dan komunikasi berada pada peringkat ke dua dengan rata-rata laju pertumbuhan 22.37%. Selanjutnya, pada peringkat ke tiga adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 18.26%. Sektor ekonomi terendah selama masa otonomi daerah di Kota Depok yaitu sektor pertanian dengan rata-rata 9.33%.

Tabel 4.11 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Depok Atas Dasar Harga Berlaku Setelah Otonomi Daerah (2001-2006) Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 2006 ratarata (%) 1 12.77 20.35 4.77 2.48 10.39 5.23 9.33 2 3 17.37 18.48 14.22 14.43 19.00 15.97 16.58 4 13.92 39.78 25.28 7.12 40.11 17.00 23.87 5 13.24 8.33 15.66 15.92 5.00 9.72 11.31 6 18.48 17.78 14.10 14.33 17.06 27.81 18.26 7 26.9 24.76 13.30 13.35 43.78 12.10 22.37 8 18.32 12.66 19.97 17.35 16.48 9.18 15.66 9 20.84 13.82 13.96 14.10 14.73 22.48 16.66 Sumber: BPS Kota Depok, data diolah *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa 2. Analisis Kuantitatif a. Location Quotient (LQ) Perekonomian Kota Depok terbentuk dari 9 sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Depok, sektor-sektor tersebut yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Kesembilan sektor tersebut sangat

penting untuk dikembangkan sehingga nantinya dapat dijadikan sektor unggulan atau sektor basis bagi Kota Depok. Sektor-sektor yang mempunyai kelebihan produksi sehingga nantinya dapat di ekspor ke daerah lain dikatakan sektor basis, sedangkan sektor-sektor yang tidak mampu mengekspor ke daerah lain dikatakan non basis. Untuk mengindentifikasikan sektor-sektor mana yang dikatakan sektor basis atau sektor non basis digunakan alat analisis sektor basis ekonomi yaitu metode Location Quotient (LQ). Dalam perhitungan metode location Quotient (LQ), jika nilai LQ > 1 maka sektor tersebut dikatakan lebih berspesialisasi atau dominan di tingkat kota/ kabupaten dibandingkan di tingkat propinsi, dapat dikatakan sektor tersebut adalah sektor basis, selanjutnya jika nilai LQ = 1 maka sektor tersebut baik di tingkat kota/kabupaten maupun di tingkat propinsi mempunyai tingkat spesialisasi yang sama, jika LQ < 1 maka sektor tersebut di tingkat kota/kabupaten mempunyai tingkat spesialisasi yang rendah dibandingkan di tingkat propinsi. Berdasarkan penghitungan LQ dari PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 di Kota Depok sebelum dan selama otonomi daerah, dapat diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Location Quotient Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Menurut Lapangan Usaha Tahun 1999 2006 Sektor 1999 2000 Ratarata sebelum otonomi daerah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Ratarata sesudah otonomi daerah 1 0.24 0.25 0.24 0.24 0.25 0.24 0.55 0.23 0.21 0.28 2 - - - - - - - - - - 3 0.88 0.87 0.87 0.89 0.92 0.93 0.95 0.93 0.91 0.92 4 1.78 1,54 1.78 1.54 1.5 1.43 1.34 1.37 1.39 1.42 5 2.31 2.24 2.27 2.35 2.24 2.28 2.17 1.8 1.84 2.11 6 1.47 1.50 1.48 1.52 1.47 1.46 1.457 1.4 1.45 1.45 7 1.25 1.25 1.25 1.13 1.2 1.23 1.17 1.28 1.18 1.19 8 1.24 1.26 1.25 1.19 1.09 1.21 1.25 1.25 1.3 1.21 9 1.14 1.17 1.15 1.02 0.98 0.95 0.89 1.05 1.04 0.98 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa Berdasarkan tabel 4.12 diatas sebelum otonomi daerah berlangsung yaitu kurun waktu 1999-2000 sektor yang mempunyai nilai LQ > 1 atau dapat dikatakan sektor basis adalah sektor listrik, gas, dan air minum dengan rata-rata LQ sebesar 1,78, sektor bangunan

dengan rata-rata LQ sebesar 2,27, sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan rata-rata LQ sebesar 1,48, sektor pengangkutan dan komunikasi dengan rata-rata LQ sebesar 1,25, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan rata-rata LQ sebesar 1,25, dan sektor jasa-jasa dengan rata-rata nilai LQ sebesar 1,15. Sedangkan untuk sektor-sektor ekonomi di Kota Depok pada masa sebelum otonomi daerah yang mempunyai nilai LQ < 1 atau sektor non basis adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan dengan rata-rata indeks LQ sebesar 0,24 dan 0,87. Setelah berjalannya otonomi daerah, sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan atau sektor basis di Kota Depok tidak banyak mengalami perubahan, rata-rata kurun waktu 2001-2006 hanya sektor jasa-jasa yang tadinya pada saat sebelum otonomi daerah merupakan sektor basis dengan rata-rata LQ sebesar 1,15 bergeser menjadi sektor non basis setelah berjalannya otonomi daerah dengan rata-rata LQ sebesar 0,98. Sementara itu sektor-sektor seperti sektor listrik, gas, dan air minum, sektor bangunan dengan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan tetap menjadi sektor basis atau sektor yang diunggulkan di Kota Depok. b. Dynamic Location Quotient (DLQ)

Analisis Location Quotient (LQ) hanya dapat memberikan gambaran posisi sektoral pada satu titik waktu, hal itu merupakan kelemahan dari analisis LQ, sebab suatu sektor ekonomi pada tahun tertentu dapat dikatakan sektor unggulan belum tentu untuk tahun berikutnya menjadi sektor yang unggul. Untuk mengatasi kelemahan dari metode LQ maka digunakan metode Dynamic Location Quotient (DLQ). Dengan membandingkan proporsi laju pertumbuhan sektor terhadap laju pertumbuhan PDRB daerah studi yaitu Kota Depok dengan daerah referensi yaitu Propinsi Jawa Barat, maka hasil perhitungan DLQ di Kota Depok sebelum maupun sesudah berjalannya otonomi daerah adalah sebagai berikut: 1) Sebelum Otonomi Daerah Untuk melihat posisi dan reposisi sektoral dari PDRB Kota Depok pada saat sebelum berjalannya otonomi daerah (1999-2000) dapat diketahui dari nilai DLQ tiap-tiap sektor usaha yang ada, Untuk sektor industri pertanian nilai DLQ sebelum berjalannya otonomi daerah adalah 1.01 hal ini berarti proporsi laju pertumbuhan sektor pertanian terhadap laju pertumbuhan PDRB Kota Depok lebih tinggi dibandingkan proporsi laju pertumbuhan sektor yang sama pada PDRB daerah referensi yaitu Propinsi Jawa Barat. Selanjutnya sektor yang merupakan sektor unggulan pada hasil analisis DLQ adalah sektor industri pengolahan dengan nilai DLQ sebesar 1.72. Sebelumnya pada hasil perhitungan LQ sebelum otonomi daerah, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang tidak diunggulkan dengan nilai LQ

< 1. Sektor lain yang merupakan sektor unggulan pada masa sebelum otonomi daerah berdasarkan hasil perhitungan DLQ adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan nilai DLQ sebesar 2.39, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan nilai DLQ sebesar 1.25. Tabel 4.13 Hasil Perhitungan Dynamic Location Quotient PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 2000 Tanpa Migas Sebelum Otonomi Daerah 1999-2000 Kota Depok Lapangan Usaha PDRB Kota PDRB propinsi 1999 2000 1999 2000 gin Gi DLQ 1 138,024.16 140,296.96 27,794,645.79 28,784,186.59 1.65 3.56 1.01 2 - - - - - - - 3 1,269,880.45 1,341,787.50 72,627,988.55 76,805,910.87 5.66 5.75 1.72 4 116,576.57 121,146.47 3,266,271.72 3,882,660.88 3.92 18.87 0.43 5 224,806.84 230,202.21 4,822,443.68 5,254,511.71 2.40 8.96 0.59 6 1,024,932.59 1,063,970.73 34,696,085.82 35,567,824.82 3.81 2.51 2.39 7 170,317.88 175,920.32 6,572,743.18 7,314,261.24 3.29 11.28 0.61 8 121,469.26 132,762.05 4,720,666.76 5,351,150.09 9.30 13.36 1.25 9 276,074.64 283,227.19 12,240,871.41 12,099,818.43 2.59-1.15-41.29 PDRB 3,342,082.42 3.489.313,42 166.741.716,9 175.645.077,78 32.62 63.14 Rata-rata 4.08 7.89 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa

2) Sesudah Otonomi Daerah Setelah berjalannya masa otonomi daerah kurun waktu 2001-2006 terdapat banyak pergeseran posisi dari tiap-tiap sektor. Sektor pertanian tetap menjadi sektor yang dapat diunggulkan untuk tahuntahun yang akan datang dikarenakan berdasarkan hasil perhitungan DLQ sesudah otonomi daerah nilai sektor pertanian DLQ > 1 yaitu 3.26. Nilai tersebut berbeda dengan hasil perhitungan LQ sektor pertanian pada masa setelah otonomi daerah yang menunjukkan nilai LQ < 1. Sektor lain yang tetap menunjukkan hasil DLQ > 1 adalah sektor industri pengolahan dengan nilai 2.81. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran tetap menjadi sektor basis dengan hasil DLQ sebesar 3.28. Sementara itu sektor-sektor yang berdasarkan hasil perhitungan analisis DLQ < 1 atau sektor non basis adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan yang pada penghitungan DLQ sebelum otonomi daerah merupakan sektor basis dengan nilai DLQ > 1 setelah otonomi daerah menjadi sebesar 0.56. Sektor jasajasa bergeser menjadi sektor basis setelah masa otonomi daerah dengan sebelumnya merupakan sektor non basis. Sektor usaha yang tetap menjadi non basis sebelum maupun sesudah otonomi daerah adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Secara keseluruhan sebelum dan sesudah otonomi daerah sektor ekonomi yang dapat diunggulkan pada masa mendatang adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor jasa-jasa.

Tabel 4.14 Hasil Perhitungan Dynamic Location Quotient PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 2000 Tanpa Migas Menurut lapangan Usaha Sesudah Otonomi Daerah 1999-2006 Kota Depok PDRB Kota PDRB propinsi gin gn DLQ Lapangan Usaha 1999 2006 1999 2006 1 134,430.67 159,921.17 24,481,594.60 34,725,766.21 18.96 41.84 3.26 2 3 1,268,865.35 2,094,461.49 72,208,314.04 111,977,367.50 65.07 55.07 2.81 4 111,896.23 162,625.11 2,899,517.50 5,755,519.24 45.34 98.49 0.112 5 224,223.92 299,855.37 4,935,928.98 8,112,532.09 33.73 64.35 0.688 6 990,470.06 1,500,643.82 33,529,274.58 50,609,675.67 51.51 50.94 3.28 7 167,662.54 265,439.68 6,465,762.18 11,143,253.97 58.32 72.34 0.660 8 121,095.91 198,084.51 4,362,125.22 7,672,322.47 63.58 75.88 0.56 9 270,286.75 385,097.91 12,020,383.87 18,200,096.05 42.48 51.41 2.596 PDRB 3,288,931.45 5,066,129.06 160,902,901.00 248,810,922.86 378.97 510.36 Rata-rata 47.37 63.79 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa

c. Analisis Shift Share Untuk Menentukan Faktor Perubahan Sektor Unggulan Metode LQ dan DLQ hanya menunjukkan posisi dan reposisi sektoral dalam pertumbuhan ekonomi daerah tanpa membahas sebab terjadinya perubahan tersebut. Analisis Shift Share digunakan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya reposisi sektoral, dengan mengetahui faktor penyebab dari reposisi sektoral tersebut maka suatu daerah dapat mengetahui kemampuan perekonomian daerah untuk mempertahankan sektor unggulan mereka. 1) Menentukan Indeks Total Keuntungan Daerah (ITKD) Indeks total keuntungan daerah (ITKD) diperoleh dari selisih rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kota Depok selama tahun 1999-2006 sebesar 4,71% dan rata-rata laju pertumbuhan PDRB Jawa Barat sebesar 5,23%. Maka besarnya indeks total keuntungan daerah Kota Depok adalah sebesar minus 0,528, nilai ITKD tersebut menunjukkan kerugian yang diderita oleh Kota Depok dibanding daerah lain dalam satu wilayah Jawa Barat 2) Menentukan Total Shift Share (TSS) Total Shift Share (TSS) ditentukan untuk melihat apakah daerah bagian (Kota Depok) mengalami keuntungan atau mengalami kerugian

dengan cara membandingkan laju pertumbuhan daerah bagian (Kota Depok) dengan daerah himpunan yaitu Jawa Barat mempunyai laju pertumbuhan yang sama. Hasil perhitungan TSS Kota Depok sebesar minus 1764619,502 didapat dengan cara mengalikan hasil ITKD Kota Depok sebesar minus 0,528 dengan PDRB Kota Depok tahun awal penelitian yaitu PDRB tahun 1999 sebesar 138024,16. Dengan hasil TSS sebesar minus 1764619,502 dapat dikatakan bahwa Kota Depok mengalami kerugian sebesar 1.764.619,502 juta atau sekitar 1,76,- triliun rupiah dengan laju pertumbuhan Kota Depok sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Hal tersebut dapat memberikan gambaran untuk Kota Depok akan mengalami kerugian apabila bertumbuh sesuai dengan laju pertumbuhan saat ini (1999-2006) yaitu dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,71% sedangkan rata-rata laju pertumbuhan Jawa Barat sebesar 5,23%. Kerugian yang dialami Kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah sekitar 1,76,- milyar tersebut disebabkan karena sektor-sektor ekonomi yang dianggap unggulan berdasarkan perhitungan DLQ seperti sektor pertanian memiliki nilai Structural Shift Share (LSS) positif sedangkan nilai Locational Shift Share (LSS) negatif, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan memiliki nilai Structural Shift Share (LSS) positif sedangkan nilai Locational Shift Share (LSS) negatif, dan sektor jasa-jasa ternyata memiliki nilai Structural Shift Share (LSS) negatif dan Locational Shift Share (LSS) yang juga negatif. Sebagai contoh sektor pertanian di Kota Depok,

tidak tersedianya lahan untuk pertanian membuat sektor ini sulit untuk berkembang dikarenakan banyaknya lahan di Kota Depok diubah dari lahan pertanian untuk menjadi lahan pemukiman atau perumahan. Walaupun sektor-sektor yang dianggap unggulan berdasarkan perhitungan LQ maupun DLQ bernilai negatif pada perhitungan Shift Share bukan berarti sektor-sektor tersebut harus ditinggalkan, sebaiknya sektor-sektor tersebut tetap ditingkatkan dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan struktural maupun lokasionalnya. Tabel 4.15 Analisis Shift Share Kota Depok Terhadap Propinsi Jawa Barat Tahun 1999 2006 Sektor G g 1999 SSS LSS TSS 1 5.8970 2.2500 138.024,16 430497.355-503374.1115-72876.75648 2 0 0 0 0 0 0 3 4.8450 5.2880 1.269.880,45-1233053.917 562557.0394-670496.8776 4 11.2910 4.5460 116.576,57 724756.5357-786308.9647-61552.42896 5 5.5030 2.9220 224.806,84 461528.4425-580226.454-118698.0115 6 4.5360 4.7800 1.024.932,59-791247.9595 250083.552-541164.4075 7 6.8930 4.8060 170.317,88 265525.5749-355453.4156-89927.84064 8 8.5150 5.8650 121.469,26 257757.7697-321893.539-64135.76928 9 3.9450 3.8140 276.074,64-109601.6321-36165.77784-145767.4099 PDRB 5.2390 4.7110 3.342.082,42 6162.16938-1770781.671-1764619.502 ITKD -0.5280 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa d. Model Rasio Pertumbuhan

Model Rasio Pertumbuhan (MRP) digunakan untuk melihat deskripsi sektor ekonomi yang potensial di daerah Kota Depok berdasarkan kriteria pertumbuhan. Dengan analisis ini dapat diketahui deskripsi kegiatan struktur ekonomi di Kota Depok pada masa sebelum dan sesudah otonomi daerah dengan perbandingan dengan Propinsi Jawa Barat. 1) Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan uji MRP di Kota Depok kurun waktu sebelum otonomi daerah (1999-2000) menunjukan bahwa bila dilihat secara klasifikasi dalam empat kategori, maka hanya terdapat 3 (tiga) kategori yang muncul pada pengujian atas semua sektor, yaitu: a) Sektor yang pada tingkat referensi dan tingkat studi memiliki pertumbuhan yang menonjol (kategori dominan), sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. b) Sektor yang pada tingkat referensi memiliki pertumbuhan yang menonjol, tetapi di tingkat studi kurang menonjol (kategori potensial), sektor tersebut adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. c) Sektor yang pada tingkat referensi dan tingkat studi memiliki pertumbuhan yang kurang menonjol (kategori terbelakang), sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor jasa-jasa Tabel 4.16

Hasil Perhitungan Analisis Model Rasio Pertumbuhan Kota Depok Tahun Sebelum OTDA (1999-2000) Menggunakan Data PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tanpa Migas PDRB Kota Depok PDRB Jawa Barat RPr RPs Sektor 1999 2000 1999 2000 R N R N 1 138.024,16 140.296,96 27.794.645,79 28.784.186,59 0.68-0.38-2 - - - - - - 3 1.269.880,45 1.341.787,5 72.627.988,55 76.805.910,87 1.07 + 1.27 + 4 116.576,57 121.146,47 3.266.271,719 3.882.660,88 3.13 + 0.89-5 224.806,84 230.202,21 4.822.443,675 5.254.511,71 1.62 + 0.56-6 1.024.932,59 1.063.970,73 34.696.085,82 35.567.824,82 0.48-0.87-7 170.317,88 175.920,32 6.572.743,183 7.314.261,24 2.00 + 0.75-8 121.469,26 132.762,05 4.720.666,761 5.351.150,09 2.32 + 2.02 + 9 276.074,64 283.227,19 12.240.871,41 12.099.818,43-0.23-0.60 - PDRB 3.342.082,42 3.489.313,42 166.741.716,90 175.645.077,8 11.08 7.34 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa 2) Sesudah Otonomi Daerah Berdasarkan uji MRP di Kota Depok kurun waktu setelah dilaksanakannya otonomi daerah (2001-2006) menunjukan bahwa terdapat pegeseran kategori dibandingkan pada kurun sebelum otonomi daerah. Lebih lanjut bila dilihat secara klasifikasi dalam empat kategori, maka pada kurun waktu sesudah OTDA terdapat 4 (empat) kategori yang muncul pada pengujian atas semua sektornya, yaitu:

a) Sektor yang pada tingkat referensi dan tingkat studi memiliki pertumbuhan yang menonjol (kategori dominan), sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi yng bergeser menjadi kriteria dominan pada kurun waktu sesudah OTDA yang sebelumnya pada kriteria potensial. b) Sektor yang pada tingkat referensi memiliki pertumbuhan yang menonjol, tetapi di tingkat studi kurang menonjol (kategori potensial), sektor tersebut adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebelumnya pada kurun waktu sebelum OTDA memiliki kriteria sektor terbelakang tetapi begeser menjadi potensial saat OTDA berlangsung. c) Sektor yang pada tingkatan referensi kurang menonjol, tetapi ditingkat studi mempunyai pertumbuhan menonjol (kategori potensial) adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, sektor tersebut saat sebelum OTDA merupakan sektor kriteria dominan. d) Sektor yang pada tingkat referensi dan tingkat studi memiliki pertumbuhan yang kurang menonjol (kategori terbelakang), sektor tersebut adalah sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Kedua sektor tersebut tetap menjadi sektor kriteria terbelakang meskipun diberlakukannya otonomi daerah. Tabel 4.17

Sektor Hasil Perhitungan Analisis Model Rasio Pertumbuhan Kota Depok Tahun Setelah OTDA (2001-2006) Menggunakan Data PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tanpa Migas PDRB Kota Depok PDRB Jawa Barat RPr RPs 2001 2006 2001 2006 R N R N 1 144.562,46 159.921,17 29.554.466,83 34.725.766,21 0.57-0.35-2 - - - - - - 3 1.436.273 2.094.461,49 80.094.286,53 111.977.367,50 1.10 + 1.16 + 4 126.236,53 162.625,11 4.169.157,26 5.755.519,24 1.06 + 0.83-5 245.483,27 299.855,37 5.143.936,70 8.112.532,09 1.41 + 0.67-6 1.123.483,29 1.500.643,82 36.403.261,68 50.609.675,67 1.08 + 0.93-7 182.490,44 265.439,68 7.925.724,28 11.143.253,97 1.11 + 1.15 + 8 139.448,38 198.084,51 5.885.016,62 7.672.322,47 0.90-1.09 + 9 296.744,96 385.097,91 14.532.915,56 18.200.096,05 0.78-0.85 - PDRB 3.694.722,33 5.066.129,06 184.304.148,84 248.810.922,86 8.02 7.04 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa e. Matrik Potensi Analisis matrik potensi sektor / sub sektor ekonomi merupakan penilaian kinerja sektor / sub sektor yang didasarkan pada 2 (dua) indikator perbandingan, yaitu: (1) Perbandingan pertumbuhan (ratio pertumbuhan) yang membandingkan pertumbuhan sektor / sub sektor dengan pertumbuhan total PDRB sebagai rujukan; dan (2) Perbandingan peranan (ratio kontribusi) yaitu membandingkan nilai sektor / sub sektor dengan nilai rata-rata PDRB per sektor / sub sektor. Kedua indikator perbandingan itu masing-masing membentuk 2 (dua) golongan dengan nilai kritis sama dengan 1 (satu), artinya pada ratio pertumbuhan ada sektor / sub sektor nilainya lebih dari 1 (satu) atau kurang sama dengan 1 (satu). Sedangkan pada ratio kontribusi nilai

yang mungkin didapat terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu lebih dari 1 (satu) atau kurang sama dengan 1 (satu). Dari uraian diatas, maka Status Sektor / Sub Sektor dalam analisis ini dibedakan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu: 1) Prima, bila ratio pertumbuhan lebih besar dari 1 dan ratio kontribusi juga lebih besar dari 1. 2) Potensial, bila ratio kontribusi lebih besar dari 1, sementara ratio pertumbuhan bernilai kurang dari atau sama dengan 1. 3) Berkembang, bila ratio pertumbuhan lebih besar dari 1, sementara ratio kontribusi kurang dari atau sama dengan 1. 4) Terbelakang, bila ratio pertumbuhan kurang dari atau sama dengan 1 dan ratio kontribusi juga kurang dari atau sama dengan 1. Hasil analisis Matrik Potensi pada kurun waktu sebelum OTDA (1999-2000) dapat dilihat dari tabel 4.18 berikut ini, Tabel 4.18 Matrik Potensi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Sebelum Otonomi Daerah (1999-2000) Lapangan Usaha 1999 2000 1. Pertanian Berkembang Terbelakang 2. Pertambangan dan Penggalian - -

3. Industri Pengolahan Potensial Prima 4. Listrik, Gas dan Air Bersih Berkembang Terbelakang Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata 5. Bangunan Terbelakang Terbelakang 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran Prima Potensial 7. Pengangkutan dan Komunikasi Berkembang Terbelakang 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Terbelakang Berkembang 9. Jasa-Jasa Berkembang Terbelakang Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. Dari hasil analisis matrik potensi yang terdapat pada tabel 4.18 maka dapat dilihat sektor ekonomi yang merupakan sektor prima maupun potensial pada kurun waktu sebelum otonomi daerah (1999-2000) adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Untuk sektor bangunan, pada kurun waktu sebelum OTDA dengan menggunakan analisis matrik potensi merupakan sektor terbelakang, sedangkan untuk sektor lainnya juga pada rata-rata sektor terbelakang pada sebelum OTDA. Hasil analisis matrik potensi pada kurun waktu sesudah otonomi daerah (2001-2006) dapat dilihat pada tabel 4.19 berikut ini, Tabel 4.19

1 2 3 4 5 6 7 8 Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang - - - - - - - Prima Prima Prima Prima Prima Prima Prima Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Berkembang Terbelakang Terbelakang Berkembang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Potensial Potensial Potensial Prima Potensial Terbelakang Berkembang Berkembang Berkembang Berkembang Terbelakang Berkembang Terbelakang Berkembang Berkembang Berkembang Terbelakang Terbelakang Berkembang 9 Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Berkembang Terbelakang Matrik Potensi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Sesudah Otonomi Daerah (2001-2006) Sumber : BPS Kota Depok, data diolah. *) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa Dari hasil analisis matrik potensi dapat dilihat berdasarkan tabel 4.19 sektor ekonomi yang mempunyai rata-rata prima pada kurun waktu sesudah OTDA adalah sektor industri pengolahan, hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil perhitungan pada kurun waktu sebelum OTDA, kemudian sektor yang mempunyai rata-rata potensial adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Untuk sektor yang menunjukkan hasil rata-rata sektor berkembnag adalah sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Sektor-sektor yang merupakan sektor terbelakang adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas, dan air minum, sektor bangunan, dan sektor jasa-jasa f. Indeks Williamson

Untuk melihat kondisi dan posisi perekonomian di tingkat kecamatan dikaitkan dengan kondisi dan perkembangan perekonomian di tingkat Kota Depok dapat dilakukan dengan menggunakan alat analisis indeks williamson. Indeks williamson mengukur tingkat ketimpangan pendapatan regional di suatu daerah/wilayah yang diperoleh dengan menghitung penyebaran PDRB per kapita tiap-tiap kecamatan yang ada di Kota Depok terhadap tingkat rata-rata PDRB yang lebih tinggi. Nilai Indeks Williamson (IW) berkisar antara 0 dan 1. Bila IW mendekati 0 (nol) maka suatu Daerah/wilayah dikatakan tidak mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan regional atau tingkat pemerataan pendapatan regional cukup baik. Sementara itu, bila IW mendekaati 1 (satu) berarti di suatu Daerah/wilayah dapat dikatakan mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan regional. Dengan mengunakan IW ini, akan dapat diketahui ketimpangan antara Daerah dan kecenderungannya, apakah semakin melebar (divergensi) ataukah semakin menyempit (konvergensi). Hasil analisis atau perhitungan IW di Kota Depok dapat dilihat pada tabel 4.20 berikut ini. Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Indeks Williamson Kota Depok Tahun 1999-2006 Tahun 1999 2000 Rata -rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata -rata Indeks Williamson 0,320 0,330 0,325 0,350 0,362 0,375 0,395 0,404 0,389 0,379 Sumber : BPS Kota Depok, data diolah Berdasarkan tabel diatas, hasil perhitungan indeks williamson kurun waktu sebelum otonomi daerah (1999-2000) tingkat ketimpangan

pendapatan regional cenderung meningkat pada tahun 1999 sebesar 0,320 menjadi 0,330 pada tahun 2000. Namun dengan rata-rata hasil Indeks Williamson sebelum OTDA sebesar 0,325 dapat dikatakan Kota Depok pada kurun waktu sebelum OTDA tidak mengalami ketimpangan distribusi pendapatan regional. Setelah dilaksanakannya otonomi daerah yaitu kurun waktu 2001-2006, hasil perhitungan Indeks Williamson Kota Depok mengalami kenaikan dan penurunan, pada tahun 2001-2005 hasil IW terus meningkat dengan hasil pada tahun 2001 sebesar 0,350 dan hasil pada tahun 2005 sebesar 0,404. Akan tetapi hasil perhitungan IW pada tahun 2006 menurun dibandingkan tahun 2005 yaitu sebesar 0,389. Rata-rata Indeks Williamson setelah otonomi daerah dapat dikatakan tetap baik untuk tingkat distribusi pendapatan regional Kota Depok yaitu sebesar 0,379. g. Tipologi Klassen Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di suatu daerah/wilayah dikaitkan dengan perekonomian di atasnya. Variabel yang dijadikan alat analisis ini adalah pertumbuhan ekonomi Daerah/Wilayah dan pendapatan per kapita Daerah/Wilayah. Kondisi Daerah yang diamati dapat dibagi menjadi 4 (empat) kriteria, yaitu: 1) Daerah maju dan cepat tumbuh

2) Daerah maju tapi tertekan 3) Daerah berkembang pesat 4) Daerah relatif tertinggal Hasil analisis Tipologi Klassen untuk mengetahui kedudukan Kota Depok terhadap Propinsi Jawa Barat dan kedudukan kecamatankecamatan terhadap Kota Depok dapat dilihat pada tabel 4.21 dan tabel 4.22 berikut ini. Tabel 4.21 Tipologi Klassen Kota Depok dan Kecamatan-Kecamatan di Kota Depok Sebelum Otonomi Daerah (1999-2000) Kriteria 1999 2000 Daerah Maju dan Cepat Tumbuh Daerah Berkembang Cepat Daerah Maju tapi Tertekan 1. Kec. Cimanggis 1. Kec. Limo 1. Kec. Sawangan 1. Kota Depok 1. Kota Depok Daerah Relatif Tertinggal 2. Kec. Sukmajaya 3. Kec. Pancoran Mas 4. Kec. Beji Sumber : BPS Kota Depok, data diolah Berdasarkan tabel 4.21 dapat dilihat bahwa posisi perekonomian Kota Depok terhadap Propinsi Jawa Barat pada masa sebelum otonomi daerah berada pada kriteria daerah relatif tertinggal yang berarti pendapatan per kapita Kota Depok maupun Laju pertumbuhan PDRB Kota Depok berada dibawah Propinsi Jawa Barat. Untuk tiap-tiap kecamatan di Kora Depok pada masa sebelum otonomi daerah rata-rata

terdapat di kriteria daerah relatif tertinggal seperti Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Pancoran Mas, dan Kecamatan Beji. Untuk Kecamatan Cimanggis berada di kriteria daerah maju dan cepat tumbuh, Kecamatan Limo daerah berkembang cepat, dan Kecamatan Sawangan daerah maju tapi tertekan. Setelah berlangsungnya otonomi daerah terdapat pergeseran pada hasil analisis Tipologi Klassen, pergeseran hasil Tipologi Klassen pada masa setelah otonomi daerah dapat dilihat pada tabel 4.22 berikut ini. Tabel 4.22 Tipologi Klassen Kota Depok dan Kecamatan-Kecamatan di Kota Depok Setelah Otonomi Daerah (2001-2006) Kriteria 2001 2002 2003 Daerah Maju dan Cepat Tumbuh 1. Kec. Cimanggis 1. Kec. Cimanggis 2. Kec. Sawangan 1. Kec. Cimanggis Daerah Berkembang Cepat 1. Kota Depok 2. Kec. Limo 1. Kota Depok 2. Kec. Sukmajaya 3. Kec. Limo 1. Kota Depok 2. Kec. Sukmajaya 3. Kec. Beji Daerah Maju tapi Tertekan 1. Kec. Sawangan 1. Kec. Sawangan 1. Kec. Sukmajaya 1. Kec. Pancoran Mas 1. Kec. Pancoran Mas Daerah Relatif Tertinggal 2. Kec. Pancoran Mas 3. Kec. Beji 2. Kec. Beji 2. Kec. Limo Sumber : BPS Kota Depok, data diolah Dilanjutkan.. Lanjutan.

Lanjutan Kriteria 2004 2005 2006 Sum ber: BPS Kota Dep ok, data diola h Daerah Maju dan Cepat Tumbuh Daerah Berkemban g Cepat 1. Kec. Cimanggis 1. Kec. Cimanggis 2. Kec. Sukmajaya 1. Kota Depok 1. Kota Depok 3. Kec. Limo 1. Kota Depok 2. Kec. Beji 3. Kec. Pancoran Mas 4. Kec. Limo 5.Kec. Sawangan Daerah Maju tapi B Tertekan e 1. Kec. Sawangan 1. Kec. Sawangan 1. Kec. Cimanggis 3. Kec. Sukamjaya 1. Kec. Sukmajaya 1. Kec. Pancoran Mas rdaerah Relatif Tertinggal d a 2. Kec. Pancoran Mas 3. Kec. Limo 4. Kec. Beji 2. Kec. Beji sarkan tabel diatas, setelah berlangsungnya otonomi daerah ternyata membawa perubahan terhadap perekonomian Kota Depok. Hal itu terlihat dari hasil analisis Tipologi Klassen kurun waktu 2001-2006 posisi Kota Depok berubah dari sebelum otonomi adalah kriteria daerah relatif tertinggal menjadi daerah yang berkembang cepat setelah berlangsungnya otonomi daerah, hal itu berarti tingkat pertumbuhan ekonomi di Kota Depok lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat walaupun pendapatan per kapita Kota Depok masih lebih rendah dibandingkan pendapatan per kapita Jawa Barat. Untuk posisi tiap-tiap kecamatan yang ada di Kota Depok mempunyai rata-rata dalam kriteria daerah berkembang cepat dan

daerah maju tapi tertekan. Seperti pada tahun 2006, kecamatan Pancoran Mas dan kecamatan Beji yang pada saat sebelum otonomi daerah terdapat dalam kriteria daerah relatif tertinggal namun sesudah otonomi daerah bergeser menjadi daerah yang berkembang cepat, selain itu kecamatan sukmajaya bergeser dalam kriteria daerah maju tapi tertekan setelah otonomi daerah. Untuk Kecamatan Cimanggis yang dari awal tahun penelitian tahun 1999 hingga tahun 2005 termasuk dalam kriteria daerah maju dan cepat tumbuh, namun pada akhir tahun penelitian yaitu tahun 2006 bergeser dalam kriteria daerah maju tapi tertekan, hal itu dikarenakan tingkat pertumbuhan Kecamatan Cimanggis lebih rendah dibandingkan dengan Kota Depok walupun pendapatan per kapita Kecamatan Cimanggis lebih besar dibandingkan dengan Kota Depok. h. Analisis Koefisien Spesialisasi Penggunaan alat analisis koefisien spesialisasi adalah untuk mengetahui tingkat spesialisasi antar daerah kecamatan di Kota Depok. Kriteria pengukurannya adalah bila indeks spesialisasi regional mendekati 0 (nol) maka kedua daerah j dan k tidak memiliki spesialisasi, dan bila indeks spesialisasi mendekati 2 (dua) maka daerah tersebut memiliki spesialisasi (Kim, 1995:883). Batas tengah antara angka nol dan dua tersebut adalah satu, oleh karena itu nilai indeks spesialisasi yang lebih besar dari satu dapat dianggap sebagai sektor

yang memiliki spesialisasi. Untuk melihat tinggi rendahnya tingkat spesialisasi suatu daerah terhadap daerah lainnya, sebagai pembanding digunakan nilai rata-rata indeks spesialisasi seluruh daerah. 1) Sebelum Otonomi Daerah Perubahan koefisien spesialisasi pada tahun 1999-2000 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan koefisien spesialisasi sebesar 0,099. Dengan peningkatan tersebut berarti secara keseluruhan tingkat spesialisasi atas sektor-sektor ekonomi pada kecamatankecamatan di Kota Depok antara kurun waktu tersebut mengalami peningkatan. Kecamatan yang mengalami peningkatan spesialisasi antara lain Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Pancoran Mas, dan Kecamatan Sawangan. Sedangkan kecamatan yang mengalami penurunan spesialisasi antara lain Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Limo, dan Kecamatan Beji Hasil analisis indeks spesialisasi pertahun menunjukkan bahwa pada tahun 1998 dan 2000 tidak satu pun kecamatan di Kota Depok yang berspesialisasi secara penuh, hal ini dapat dilihat dari koefisien spesialisasi semua kecamatan yang kurang dari 0,5 (lihat tabel 4.20). Urutan kecamatan yang memiliki koefisien spesialisasi tertinggi adalah Kecamatan Pancoran Mas dengan koefisien spesialisasi sebesar 0,0915 sedangkan kecamatan yang memiliki koefisien spesialisasi terendah adalah Kecamatan Limo dengan koefisien spesialisasi sebesar minus 0,0208.