BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kualitas Audit Akuntan publik atau auditor independen dalam menjalankan tugasnya harus memegang prinsip-prinsip profesi. Menurut Simamora (2002) ada 8 prinsip yang harus dipatuhi akuntan publik sebagai berikut. 1) Tanggung jawab profesi. Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesi dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2) Kepentingan publik. Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. 3) Integritas. Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. 4) Objektivitas. Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5) Kompetensi dan kehati-hatian professional. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hatihati, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional. 6) Kerahasiaan. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan. 7) Perilaku Profesional. Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8) Standar Teknis. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Standar auditing terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (SPAP, 2001;150:1). 1) Standar umum (1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
(2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, indenpendensi, dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. (3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2) Standar pekerjaan lapangan (1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. (2) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkungan pengujian yang akan dilakukan. (3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan. 3) Standar pelaporan (1) Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum di Indonesia. (2) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. (3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
(4) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan lain. Apabila auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor. Sehingga berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan keuangan yang telah dibuat oleh auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. Selanjutnya menurut De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003: 25) mendefiniskan kualitas audit sebagai kemungkinan (probability) dimana auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam system akuntansi klien. Adapun kemampuan untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan tergantung dari kompetensi auditor
sedangkan kemampuan untuk melaporkan temuan salah saji tersebut tergantung pada independensinya. Menurut AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2003) menyatakan bahwa Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi (keahlian) dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor. Dari pengertian tentang kualitas audit diatas maka akan dapat disimpulkan bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan. Berdasarkan definisi diatas dapat terlihat bahwa auditor dituntut oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajika oleh manajemen perusahaan untuk menjalankan kewajibannya ada 3 komponen yang harus dimiliki oleh auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi dan due professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil, salah satunya tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas audit adalah pendidikan, struktur audit, kemampuan pengawasan (supervisor), profesionalisme dan beban kerja. Sedangkan kualitas audit akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah klien, reputasi auditor, kemampuan teknis dan keahlian yang meningkat. Dalam Nataline (2007) disebutkan ada sembilan elemen pengendalian kualitas yang harus diterapkan oleh kantor akuntan dalam mengadopsi kebijakan dan prosedur pengendalian kualitas untuk memberikan jaminan yang memadai agar sesuai dengan standar profesional di dalam melakukan audit, jasa akuntansi, dan jasa review. Sembilan elemen pengendalian tersebut adalah sebagai berikut. 1) Independensi Seluruh auditor harus independen terhadap klien ketika melaksanakan tugas. Prosedur dan kebijakan yang digunakan adalah dengan mengkomunikasikan aturan mengenai independensi kepada staf. 2) Penugasan personel untuk melaksanakan perjanjian Personel harus memilik pelatihan teknis dan profesionalisme yang dibutuhkan dalam penugasan. Prosedur dan kebijakan yang digunakan yaitu dengan mengangkat personel yang tepat dalam penugasan untuk melaksanakan perjanjian serta memberi kesempatan partner memberikan persetujuan penugasan. 3) Konsultasi Jika diperlukan personel yang dapat mempunyai asisten dari orang yang mempunyai keahlian, judgement, dan otoritas yang tepat. Prosedur dan
kebijakan yang diterapkan adalah mengangkat individu sesuai dengan keahliannya. 4) Supervisi Pekerjaan pada semua tingkat harus disupervisi untuk meyakinkan telah sesuai dengan standar kualitas. Prosedur dan kebijakan yang digunakan adalah menetapkan prosedur-prosedur untuk me-review kertas kerja dan laporan serta menyediakan supervisi pekerjaan yang sedang dilaksanakan. 5) Pengangkatan Karyawan baru harus memiliki karakter yang tepat untuk melaksanakan tugas secara lengkap. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah selalu menerapkan suatu program pengangkatan pegawai untuk mendapatkan karyawan pada level yang akan ditempati. 6) Pengembangan profesi Personel harus memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi tanggung jawab yang disepakati. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah menyediakan progam peningkatan keahlian spesialisasi serta memberikan informasi kepada personel tentang aturan profesional yang baru. 7) Promosi Personel harus memenuhi kualifikasi untuk memenuhi tanggung jawab yang akan mereka terima di masa depan. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah menetapkan kualifikasi yang dibutuhkan untuk setiap tingkat pertanggungjawaban dalam kantor akuntan serta secara periodik membuat evaluasi terhadap personel.
8) Penerimaan dan kelangsungan kerjasama dengan klien Kantor akuntan publik harus meminimalkan penerimaan penugasan sehubungan dengan klien yang memiliki manajemen dengan integritas yang kurang. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah menetapkan kriteria dalam mengevaluasi klien baru serta me-review prosedur dalam kelangsungan kerja sama dengan klien. 9) Inspeksi Kantor akuntan harus menentukan prosedur-prosedur yang berhubungan dengan elemen-elemen yang lain yang akan diterapkan secara efektif. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah mendefinisikan luas dan isi program inspeksi serta menyediakan laporan hasil inspeksi untuk tingkat yang tepat. 2.1.2 Kompetensi Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat dan seksama (due professional care). Oleh karena itu, maka setiap auditor wajib memiliki kemahiran profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor. Bedard (1986) dalam Lastanti (2005) mengartikan keahlian atau kompetensi sebagai seorang yang
memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas dengan ditunjukkan dalam pengalaman audit. Roe (2001) mengemukakan definisi dari kompetensi yaitu kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan. Pendapat lain dari Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai suatu keahlian yang cukup secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007) membedakan proses pemerolehan keahlian menjadi 5 tahap. 1) Tahap pertama disebut Novice, yaitu tahapan pengenalan terhadap kenyataan dan membuat pendapat hanya berdasarkan aturan-aturan yang tersedia. Keahlian pada tahap pertama ini biasanya dimiliki oleh staf audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi. 2) Tahap kedua disebut Advanced Beginner. Pada tahap ini auditor sangat bergantung pada aturan dan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk merasionalkan segala tindakan audit, namun demikian, auditor pada tahap ini mulai dapat membedakan aturan yang sesuai dengan suatu tindakan. 3) Tahap ketiga disebut Competence. Pada tahap ini auditor harus mempunyai cukup pengalaman untuk menghadapi situasi yang kompleks.
Tindakan yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ada dalam pikirannya dan kurang sadar terhadap pemilihan, penerapan, dan prosedur aturan audit. 4) Tahap keempat disebut Profiency. Pada tahap ini segala sesuatu menjadi rutin, sehingga dalam bekerja auditor cenderung tergantung pada pengalaman yang lalu. Intuisi mulai digunakan dan pada akhirnya pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh analisis yang substansial. 5) Tahap kelima atau terakhir adalah Expertise. Pada tahap ini auditor mengetahui sesuatu karena kematangannya dan pemahamannya terhadap praktek yang ada. Auditor sudah dapat membuat keputusan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan demikian segala tindakan auditor pada tahap ini sangat rasional dan mereka bergantung pada intuisinya bukan pada peraturan-peraturan yang ada. De Angelo (1981) dalam Kartika Widhi (2005) memproksikan kompetensi ke dalam dua komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman. 1) Pengetahuan Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam. Selain itu, auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard, et al., 1987).
Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Secara umum ada lima jenis pengetahuan yang harus dimiliki auditor yaitu (1) pengetahuan umum, (2) area fungsional, (3) isu akuntansi, (4) industri khusus, dan (5) pengetahuan bisnis umum serta penyelesaian masalah. 2) Pengalaman Menurut Loeher (2002) dalam Elfarini (2007), pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan. Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman kerja. Pengalaman kerja akan meningkat seiring dengan meningkatnya kompleksitas kerja (Herliansyah dan Meifida, 2006). Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. al, 1985) dalam Mayangsari (2003). Sedangkan Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman auditor berhubungan positif dengan kualitas audit.
2.1.3 Independensi Dalam melaksanakan proses audit, akuntan publik memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, auditor harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan publik itu sendiri. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2003). Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan ada pada diri seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Supriyono (1988) membuat kesimpulan mengenai pentingnya independensi akuntan publik sebagai berikut. 1) Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi akuntan publik untuk memulai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada pemakai informasi.
2) Independensi diperlukan oleh akuntan publik untuk memperoleh kepercayaan dari klien dan masyarakaat, khususnya para pemakai laporan keuangan. 3) Independensi diperoleh agar dapat menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. 4) Jika akuntan publik tidak independen maka pendapat yang dia berikan tidak mempunyai arti atau tidak mempunyai nilai. 5) Independensi merupakan martabat penting akuntan publik yang secara berkesinambungan perlu dipertahankan. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas auditnya, seorang auditor tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian saja, tetapi juga dituntut untuk bersikap independen. Walaupun seorang auditor mempunyai keahlian tinggi, tetapi dia tidak independen, maka pengguna laporan keuangan tidak yakin bahwa informasi yang disajikan itu kredibel. Faktor-faktor yang mempengaruhi indepensi akuntan publik, yaitu: 1) Ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, 2) Pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien, 3) Lamanya hubungan akuntan publik dengan klien. 2.1.3.1 Lama Hubungan dengan Klien (Audit Tenure) Di Indonesia, masalah audit tenure atau masa kerja auditor dengan klien sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik. Keputusan menteri tersebut membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan
Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi. 2.1.3.2 Tekanan dari Klien Dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yakni tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang dihasilkan itu tidak sesuai dengan keinginan klien. Pada situasi ini, auditor mengalami dilema. Pada satu sisi, jika auditor mengikuti keinginan klien maka ia melanggar standar profesi. Tetapi jika auditor tidak mengikuti klien maka klien dapat menghentikan penugasan atau mengganti KAP auditornya. Kondisi keuangan klien berpengaruh juga dalam kemampuan auditor untuk mengatasi tekanan klien (Knapp, 1985) dalam (Harhinto,2004). Klien yang memiliki kondisi keuangan yang kuat dapat memberikan fee audit yang cukup besar dan juga dapat memberikan kualitas yang baik bagi auditor. Selain itu probabilitas kebangkrutan klien yang mempunyai kondisi keuangan baik relatif kecil. Pada situasi ini auditor menjadi puas diri sehingga kurang teliti dalam melakukan audit. Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik,
standar profesi dan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. Setiap auditor harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya dengan bertindak jujur, tegas, tanpa pretensi sehingga dia dapat bertindak adil, tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan pribadinya. 2.1.3.3 Telaah dari Rekan Auditor (Peer Review) Tuntutan pada profesi akuntan untuk memberikan jasa yang berkualitas menuntut tranparansi informasi mengenai mengenai pekerjaan dan operasi Kantor Akuntan Publik. Kejelasan informasi tentang adanya sistem pengendalian kualitas yang sesuai dengan standar profesi merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap klien dan masyarakat luas akan jasa yang diberikan. Oleh karena itu pekerjaan akuntan publik dan operasi Kantor Akuntan Publik perlu dimonitor dan di audit guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Peer review dirasakan memberikan manfaat baik bagi klien, Kantor Akuntan Publik yang direview dan auditor yang terlibat dalam peer review. Manfaat yang diperoleh dari peer review antara lain mengurangi resiko litigation, memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yg diberikan.
2.1.3.4 Jasa Non Audit Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan (Kusharyanti, 2002). Adanya dua jenis jasa yang diberikan oleh suatu KAP menjadikan independensi auditor terhadap kliennya dipertanyakan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas audit. Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan pada auditor agar bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa pengecualian (Barkes dan Simnet (1994), Knapp (1985) dalam Harhinto (2004). Pemberian jasa selain jasa audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian laporan keungan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut. Kemudian auditor tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya. Maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas audit dari auditor tersebut. 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Elfarini (2007) melakukan penelitian terhadap kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kompetensi dan independensi auditor pada kualitas audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan kompetensi dan independensi berpengaruh pada kualitas audit dan
hasil secara parsial menunjukkan bahwa variabel kompetensi dan independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada objek penelitian, yaitu penelitian ini dilakukan di Kantor Akuntan Publik di Bali. Intan (2011) meneliti tentang pengaruh kompetensi, independensi, dan etika profesi auditor pada kualitas audit kantor akuntan publik di Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kompetensi, independensi, dan etika profesi auditor pada kualitas audit Kantor Akuntan Publik di Bali. Hasil analisis regresi berganda dengan mengamati Goodness of Fit-nya menunjukkan bahwa variabel kualitas audit dapat dijelaskan oleh variabel kompetensi, independensi, dan etika profesi auditor sebesar 66,2 persen. Uji statistik F menunjukkan bahwa model yang digunakan mampu memprediksi kualitas audit dan signifikan secara statistik. Pengujian hipotesis dengan uji statistik t menunjukkan bahwa variabel kompetensi, independensi, dan etika profesi auditor berpengaruh positif pada kualitas audit dan signifikan secara statistik. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya yaitu penggunaan teknik audit sekitar komputer. Kusharyanti (2003) meneliti tentang temuan penelitian mengenai kualitas audit dan kemungkinan topik penelitian di masa datang. Variabel yang diteliti adalah faktor-faktor kualitas audit menurut De Angelo dan Catanach Walker. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai penelitian mengenai kualitas audit yang telah dilakukan dengan menggunakan model kualitas audit De Angelo yang difokuskan pada dua dimensi, yaitu kompetensi dan independensi. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat banyak faktor memainkan peran penting
dalam mempengaruhi kualitas audit dari sudut pandang auditor individual, auditor tim maupun KAP yang dapat dijadikan sebagai kemungkinan topik penelitian mengenai kualitas audit di masa mendatang seperti, besaran KAP, auditor tenure, audit fee, jasa nonaudit, serta pilihan pemakaian jasa audit. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya penggunaan pendekatan teknik audit sekitar komputer. Perbedaan lainnya terletak pada jenis penelitian, yaitu penelitian ini merupakan penelitian asosiatif. Berdasarkan penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Kompetensi berkaitan dengan pengetahuan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Sedangkan independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, tidak memihak kepentingan siapapun serta jujur kepada semua pihak yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan meneliti pengaruh kompetensi dan independensi pada kualitas audit. Dimana kompetensi diproksikan pada 2 (dua) sub variabel yaitu pengetahuan dan pengalaman, sedangkan independensi diproksikan dalam 4 (empat) sub variabel yakni lama hubungan dengan klien, tekanan dari klien, telaah dari rekan audit dan jasa non audit.
2.3 Kerangka Berpikir dan Pengembangan Hipotesis Kompetensi 1. Pengetahuan 2. Pengalaman Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Independensi 1. Lama Hubungan dengan Klien 2. Tekanan dari Klien 3. Telaah dari Rekan Auditor 4. Jasa Non Audit Kualitas Audit Sumber : Data diolah, 2011 Keterangan : 1) Garis putus-putus = Hubungan simultan. 2) Garis bersambung = Hubungan secara parsial. 2.3.1 Hipotesis Berbagai penelitian tentang kualitas audit yang pernah dilakukan menghasilkan temuan yang berbeda mengenai faktor pembentuk kualitas audit. Namun secara umum menyimpulkan bahwa untuk menghasilkan audit yang berkualitas, seorang akuntan publik yang bekerja dalam suatu tim audit dituntut untuk memiliki kompetensi yang cukup dan independensi yang baik. Berdasarkan logika dari paparan di atas maka dikembangkan hipotesis, yaitu: 1) Kompetensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Kompetensi auditor adalah yang dengan pengetahuan dan pengalamannya yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara
objektif, cermat dan seksama. Kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dank ode etik akuntan publik yang relevan. Dapat dipahami bahwa seorang auditor yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai akan lebih memahami dan mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam dan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks dalam lingkungan audit kliennya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kompetensi yang dimiliki auditor maka semakin tinggi pula kualitas audit yang dihasilkannya. 2) Independensi Auditor Berpengaruh Positif terhadap Kualitas Audit. Independensi merupakan sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Oleh karena itu cukuplah beralasan bahwa untuk menghasilkan audit yang berkualitas diperlukan sikap independen dari auditor. Karena jika auditor kehilangan independensinya maka laporan audit yang dihasilkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.