BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka pernikahan dini di Indonesia terus meningkat setiap tahunya. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN (2012), menyatakan bahwa angka pernikahan dini di perkotaan lebih rendah di bandingkan di pedesaan. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012) Perkotaan Pedesaan Laki-laki Perempuan 5,28 % 11,88% 1,6 % 11,7% Dari data tersebut menunjukan bahwa, Indonesia saat ini dinyatakan sebagai negara yang memiliki angka pernikahan usia dini yang tinggi di dunia. Menurut BKKBN (2012), perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan di bawah usia 20 tahun. Indonesia menempati peringkat 37 dari 158 negara di dunia, dan tertinggi kedua setelah Kamboja di ASEAN. Pada tahun 2010, 158 negara dengan usia legal menikah diatas 18 tahun, sedangkan Indonesia masih diluar dari itu (BKKBN, 2012). Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) menyatakan usia ideal untuk menikah bagi remaja wanita adalah 20-24 tahun, namun masih 1
ada remaja wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun. Untuk laki- laki usia ideal untuk menikah adalah diatas 25 tahun. Pernikahan usia dini yang menjadi fenomena saat ini pada dasarnya merupakan satu siklus fenomena yang terulang di daerah pedesaan yang kebanyakan dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan. Sikap atas persoalan ini terbagi menjadi dua sisi yang beragam. Dengan asalan bahwa menikah usia dini akan menghindari hal-hal yang dilarang baik agama maupun sosial. Alasan lain adalah dengan menikah usia dini mereka masih bisa sehat dan aktif disaat anak-anak mereka sudah tumbuh besar. Dari hasil wawancara yang di lakukan dengan salah satu tokoh masyarakat, Bapak Indra menyatakan bahwa kecenderungan yang terjadi di Kota Wonosobo, remaja yang memutuskan menikah usia dini didorong oleh beberapa faktor diantaranya, faktor ekonomi, hamil diluar nikah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maka orang tua biasanya menyarankan anak untuk segera menikah. Menurut artikel yang dimuat dalam www.wonosobozone.com, dijelaskan bahwa pernikahan usia dini menyumbang angka 20 %, penyebab tingginya perceraian di Wonosobo. Hal ini sangat dimungkinkan, karena pasangan usia dini cenderung masih labil, baik dalam fisik maupun psikis. Untuk perempuan masih kerap menonjolkan emosi yang labil dan laki-laki kerap tidak bertanggung jawab jika terjadi masalah dalam rumah tangga. Sementara menurut Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan Kependudukan Kabupaten Wonosobo, Retno Eko menyampaikan, penyebab pernikahan dini 2
di Wonosobo membuat angka putus sekolah semakin tinggi. Pernikahan dini, juga menjadi penyebab tingginya angka kemiskinan di Wonosobo, termasuk ikut merenggut hak tumbuh kembang anak, seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Usia perkawinan merupakan gambaran lain dimana suatu pernikahan akan bertahan lama. Perceraian yang tinggi cenderung terjadi pada pernikahan usia remaja dibawah 20 tahun dibandingkan mereka yang menikah di atas usia 20 tahun. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui survei yang dilakukan oleh Sudibyo yang dimuat dalam www.helath.kompas.com, menyatakan bahwa 5% pernikahan usia di bawah 15 tahun dan 42% pernikahan dikelompok umur 15-19 tahun dan pada pernikahan tersebut sering terjadi perceraian. Selain usia pernikahan, faktor lain yang mempengaruhi perceraian juga bisa disebabkan oleh strata pendidikan dan penghasilan dalam keluarga (Papalia,2009). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa usia individu dapat mempengaruhi kelangenggan rumah tangga, permasalahan lain yang terjadi dalam pernikahan usia dini yaitu dalam hal seksualitas individu tersebut. Menurut Santrock (2007), sebagian besar remaja menjadi aktif secara seksual di masa remaja dan banyak diantara mereka yang memiliki resiko untuk mengalami masalah-masalah seksual dan masalah-masalah lainya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 16 tahun. 3
Walgito (2000), dalam bukunya yang berjudul Bimbingan dan Konseling Perkawinan dijelaskan bahwa wanita umur 15 tahun dan pria umur 19 tahun belum bisa dikatakan bahwa anak tersebut sudah dewasa secara psikologisnya, dalam menjalani kehidupan rumah tangga pasti tidak terlepas dari permasalahan. Menurut Santrock (2007), masa remaja merupakan suatu masa dimana fluktuasi emosi naik-turun berlangsung lebih sering dan sangat mewarnai perubahan emosional pada remaja. Wahyuningsih (2005), menyampaikan bahwa permasalahan yang sering muncul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena ketidaksamaan kebutuhan, keinginan, dan harapan diantara pasangan suami istri. Disamping itu menurut Susilowati (2008), menjelaskan bahwa pada dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa perjuangan dimana mereka saling mengetahui sifat asli pasanganya dan mereka harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Kesulitan penyesuaian pernikahan hampir semua dialami oleh pasangan suami istri yang memutuskan untuk menikah usia dini, mereka cenderung akan mengalami banyak konflik, di umur mereka yang seharusnya masih memiliki dunia bermain yang luas, masih bergantung pada orang tua, tetapi disini mereka sebagai seorang istri harus bisa mengelola keuangan keluarga dengan baik, mengelola dan mengurus rumah tangga untuk mencapai kesejahteraan rumah tangga. Ketika pasangan itu sudah dikaruniai seorang anak, tanggunga jawab mereka akan meningkat, sebagai suami istri, mereka harus mampu memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak 4
mereka. Oleh karena itu, pasangan suami istri harus mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya nanti. Departemen Agama RI (2002), Menyebutkan bahwa perkawinan yang sukses sulit diwujudkan bagi mereka yang masih mentah secara fisik maupun secara psikologis, karena pada usia tersebut mudah emosional. Dalam kehidupan nyata, tidak semua keluarga dapat tercipta secara harmonis seperti yang dibayangkan banyak orang. Dalam penelitianya Wahyuningsih (2005), menyebutkan bahwa perkawianan dalam ketidakbahagiaan tidak selalu menjadi pilihan, dan banyak juga pasangan usia muda yang mampu mempertahankan perkawinannya, masing-masing pasangan mampu berfikir positif, mampu mejalankan kewajibanya, sehingga dapat mencapai kondisi yang diharapkan oleh setiap pasangannya. Menurut Melinda dalam artikel www.melindahospital.com, menytakan dampak positif pernikahan dini adalah memberikan pelajaran penting bagi pasangan menikah muda. Mereka akan belajar secara langsung bagaimana caranya bertahan hidup dan saling memberikan tanggungjawab bagi kehidupan yang layak pada pasangan di usia belia. Dari kedua hal di atas dapat di katakana bahwa pasangan yang usia dini tidak selalu membawa dampak negatif, namun ada dampak positifnya. Banyak juga pasangan yang menikah usia dini hidup bahagia. Dalam penelitianya Ryff (1989), mengatakan bahwa sikap positif yang ditunjuakan oleh pasangan yang menikah usia dini guna untuk mempertahankan pernikahanya, berfikir positif kepada pasanganya, bertanggung jawab dalam 5
memenuhi kewajibanya sebagai seorang suami istri, meskipun banyak hal yang memicu permasalahan akan mengarah pada terbentuknya fungsi psikologis yang positif (positive psychological functioning), yang membawa kepada terwujudnya kesejahteraan psikologis (psychological well being). Psychological well being adalah konsep psikologis kesejahteraan Individu mampu menerima diri sendiri, tidak memiliki gejala depresi dan selalu memiliki tujuan hidup yang dipengaruhi oleh fungsi psikologi positif dalam bentuk aktualisasi diri, penguasaan lingkungan sosial dan pertumbuhan pribadi Ryff (1989) seorang pelopor penelitian mengenai psychological well being menjelaskan bahwa, psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pencapaian potensi psikologis seseorang, dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang yang lain, mampu mengembangkan potensi diri, mampu mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan hidup. Pada pasangan suami istri yang menikah usia muda mengarah pada kondisi dimana individu mampu menjalani berbagai permasalahan yang ada, mampu melalui kondisi sulit dalam pernikahanya dengan mengendalikan kemampuan yang ada dalam dirinya sehingga individu tersebut dapat merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Kondisi paikologis seseorang akan sangat berperan penting dalam pernikahan. Hal ini terjadi karena banyak permasalahan yang timbul 6
disebabkan oleh faktor psikologis. Individu akan mampu menghadapi tekanan akibat permasalahan yang terjadi dalam pernikahanya. Seseorang yang dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis yang baik (Vina, 2011). Peneliti mengadakan wawancara kepada 2 pasangan suami istri yang menikah usia dini dan bertempat tinggal di Kota Wonosobo sebagai survei awal, kedua pasangan sama-sama menikah pada usia dini. Untuk pasangan A suami menikah usia 19 tahun dan istri 17 tahun, sedangkan pasangan B usia suami 20 tahun dan istri usia 19 tahun. Masing-masing pasangan sudah mempunyai seorang anak. Pasangan A menyatakan bahwa tidak sejahtera terhadap pernikahanya karena konflik yang terus menerus dengan mertua dan komunikasi yang buruk terjadi antara suami istri. Perekonomian pasangan A juga masih di bantu oleh orangtua mereka. Hal tersebut berbeda dengan Pasangan B bahwa pada pernikahan yang sudah berlangsung 2 tahun, Pasangan B merasa bahagia dan harmonis, Pasangan B sudah mempunyai anak. Komunikasi antara suami istri juga baik. Pembagian peran antara suami istri juga baik. Keduanya merasa bahagia dan sejahtera atas pernikahanya. Hasil survei awal peneliti mengindikasikan bawa subjek pasangan suami istri yang menikah usia dini tidak selalu mengalami ketidaksejahteraan. Adanya keterkaitan antara kesejahteraan perkawinan dalam (psychology well being) pada pasangan suami istri yang menikah usia dini yang mendasari peneliti untuk meneliti hal tersebut lebih lanjut. 7
Untuk itu penulis menuangkan penelitian ini dalam kasus Gambaran Psychological Well Being pada Pasangan Suami Istri yang Menikah usia dini (Studi Kasus di Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo). 1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran psychological well being pada pasangan suami istri yang menikah usia dini? 1.3.Tujuan Penelitan Untuk mengetahui gambaran psychological well being pada pasangan suami istri yang menikah usia dini. 1.4.Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan selama kuliah. Selain itu penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai psikologi dan memberikan informasi atau pengetahuan tentang fenomena masyarakat yang berkembang saat ini mengenai gambaran psychological well being pada pasangan suami istri yang menikah usia dini. 8
1.4.2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek Dengan adanya penelitian ini maka para remaja diminta untuk lebih menelaah mengenai gambaran psychological well being pada pasangan suami istri yang menikah usia dini, sehingga tidak akan ada hal-hal negatif yang terjadi pada diri sendiri maupun orang lain. b. Bagi Orang Tua Penelitian ini diharapkan untuk memberikan informasi bagi para orang tua agar mereka lebih mengetahui bahwa pernikahan dini mempunyai banyak permasalahan, sehingga orang tua bisa lebih memprotek ketika anaknya ingin menikah dini. c. Peneliti Hasil dari penelitian ini diharapkan agar dapat menambah informasi dan ilmu pengetahuan bagi peneliti mengenai psychological well being pada pasangan suami istri yang menikah usia dini, selain itu hasil dari penelitian ini diharapkan berkurangnya angka pernikahan usia dini di Indonesia dan para remaja dapat melanjutkan perkembangannya secara fisik, mental dan sosial, sesuai dengan umurnya. 9