BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Waria (wanita-pria) adalah laki laki yang secara fisik mereka adalah lakilaki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan seperti kaum perempuan lainnya (Koeswinarno, 2004: 35). Dunia waria merupakan bentuk kehidupan yang unik bagi banyak orang. Di kalangan masyarakat, saat ini fenomena waria dapat dijumpai di setiap sudut kota. Mereka berbaur dengan masyarakat setempat, ada masyarakat yang menerima kehadiran waria, tetapi tidak sedikit pula yang menolak kehadiran mereka. Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja. Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun mengenali mereka dengan sebutan banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat. Keberadaan kaum waria di tengah masyarakat kini bukan merupakan hal yang asing lagi. Meski tidak termasuk ke dalam salah satu identitas gender normatif (laki dan perempuan), namun hampir setiap orang pasti mengenal waria. Waria terbentuk karena adanya suatu kepercayaan dalam diri bahwa sesungguhnya dirinya adalah seorang perempuan (male-to-female transexual). Mereka yakin bahwa mereka adalah seorang perempuan, hal itu terbukti dengan gaya bicara, penampilan, perilaku, sikap, dan bahkan sifatnya yang dalam seharihari terlihat seperti wanita pada umumnya. Namun, ada juga waria yang terbentuk karena faktor lain, yaitu faktor ekonomi atau atas dasar tuntutan hidup. Karena kebutuhan yang meningkat, dan sulitnya lapangan pekerjaan, membuat sebagian laki-laki normal memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang yang banyak dan
dengan cara yang mudah. Sebagian dari mereka ada yang memilih jalan kotor dengan menjadi pekerja seks, namun ada juga yang memilih jalan yang lebih baik, yaitu dengan menjadi penari waria di Cabaret Show. Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar. Bagi peneliti, waria merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk, serta cara mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa mereka sendiri dengan satu sama lain. Konstruksi tentang waria yang selama ini berkembang dimasyarakat dianggap sangat menjijikkan. Waria dianggap sebagai identitas gender yang harus di musnahkan. Salah satu dasar waria harus di musnahkan adalah bahwa dalam perspektif banyak agama keberadaan waria tidak diakui. Pemahaman atas teks agama selama ini tentang waria memang sangat tidak mengakomodasi keberadaannya. Selain itu, waria juga dianggap sebagai kelainan seksual sekaligus kelainan sosial yang harus diberantas. Keberadaan waria dianggap sebagai sosok yang menyalahi kodrat, sehingga pada akhirnya berbuah penolakan. Tidak hanya itu, waria juga dianggap sebagai perusak moral bangsa, sehingga harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Atas dasar ini pula, aparatur ideologi/represi negara yang dalam bentuknya seperti Polisi, Satpol PP, atau Dinas Sosial kerap melakukan operasi penggerebekan terhadap pangkalan waria saat mereka beroperasi. Bahkan dalam banyak kasus, atas klaim penertiban sosial, banyak PSK (Pekerja Seks Komersil) dan waria mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara saat terjadi operasi. Kadang-kadang Satpol PP melakukan sweeping dengan cara yang kurang santun, sehingga menjadi santapan empuk bagi media massa untuk menayangkan peristiwa tersebut dengan cara yang kurang mengindahkan etika penyiaran. Di layar kaca dapat kita saksikan para waria lari terbirit-birit dikejar hingga masuk ke gorong-gorong dan tempat sampah untuk bersembunyi. Peristiwa tersebut akhirnya di konsumsi oleh jutaan masyarakat penikmat tontonan layar televisi dan meng-hegemoni masyarakat hingga terbentuklah citra sesuai dengan pilihan
ketidaksadarannya bahwa waria adalah komunitas yang selalu identik dengan halhal negatif. Beban berat di dalam diri seorang waria adalah beban psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya. Kehadiran seorang waria didalam keluarga seringkali dianggap sebagai aib, sehingga waria senantiasa mengalami tekanan-tekanan sosial dan konflik. Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak seorang waria kerap mereka hadapi. Mereka dipukuli, ditendang, diinjak-injak bahkan diancam akan dibunuh oleh keluarganya sendiri. Tekanan dan konflik tidak hanya dirasakan didalam keluarga, namun juga di lingkungan sekitar, mereka sering mendapat cemooh, pelecehan, hingga pengucilan. Meskipun tidak semua waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami keadaan mereka sebagai waria (Oetomo, 2003: 290). Perlakuan buruk tersebut serta ketidakbebasan waria mengekspresikan jiwa kewanitaannya memicu mereka untuk meninggalkan keluarga dan lebih memilih untuk berkumpul bersama dengan waria lainnya. Seperti yang telah dipaparkan diatas, berperilaku menjadi waria tentu memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah yaitu penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun nonverbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2003:31) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat sama halnya seperti manusia lainnya. Mereka ada yang bersikap baik dan ada pula yang bersikap sebaliknya. Ada yang memiliki nilai-nilai moral, etika dan estetika serta sebaliknya adapula yang kurang bermoral, tidak memiliki etika dan estetika. Semua itu kembali lagi kepada sikap pribadi perorangan masing-masing individu. Kebanyakan dari kaum waria mencoret citra dirinya sendiri, dikarenakan gaya
hidup waria yang dinilai berlebihan dalam mengeksplorasi keerotisan. Pergaulan waria yang banyak memiliki teman perempuan nakal menjadikan sebagian besar kaum waria berprofesi sebagai mucikari (penjual wanita). Selain itu kebanyakan dari mereka pun berprofesi menjadi seorang PSK. Hal ini membuat perspektif pandangan masyarakat semakin memburuk terhadap waria. Menyukai sesama jenis dan identik dengan sikap yang berganti-ganti pasangan mengakibatkan penilaian masyarakat bahwa waria adalah manusia yang kotor dan sumber penyakit. Dalam kenyataannya, tidak semua citra negatif yang ditujukan kepada waria itu benar. Dalam perspektif lain, tidak sedikit pula waria yang terlahir dari sentuhan keindahan masyarakat yang tanpa ragu mengakuinya. Mereka tumbuh dan berbaur dengan masyarakat tanpa menyinggung status sosialnya. Tidak sedikit dari kaum waria menjadi sukses dengan bakat-bakat serta potensi yang dimilikinya. Dengan bakat seperti kebanyakan perempuan yang dimilikinya, kaum waria banyak yang menjadi make upartist, perancang busana, hair stylist, model, presenter, artis, dan pengusaha yang membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Contohnya seperti Ivan Gunawan dan juga Oscar Lawalata yang merupakan perancang busana papan atas Indonesia, kemudian Dorce yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Banyak hal positif yang dilakukan oleh presenter yang cukup akrab menyapa para pemirsa televisi setiap harinya. Waria cenderung berkelompok, dikarenakan adanya persamaan dan juga latar belakang. Para waria berkelompok disebabkan karena mereka sulit untuk menemukan lingkungan yang dapat menerima kondisi mereka sebagai waria. Hingga kemudian mereka membutuhkan sebuah kelompok yang para anggotanya dapat saling menerima kondisi masing-masing. Dalam berkomunikasi, para waria menggunakan lambang-lambang tertentu ataupun berupa komunikasi dalam bentuk verbal berupa penggunaan bahasa binan atau waria. Bahasa ini memang sangat berbeda dengan tatanan bahasa Indonesia. Mereka menggunakan bahasa ini sebagai sandi dalam berkomunikasi akrab dengan sesama kaum waria, namun tidak jarang ada beberapa kata bahasa binan ini menjadi bahasa gaul dan juga populer di kalangan masyarakat. Kita lihat saja bagaimana kata eike bisa sangat populer digunakan sebagai pengganti untuk istilah kata saya. Memanggil teman
kita dengan sebutan nek, dan istilah lekong sebagai pengganti untuk sebutan pria. Itu semua tidak hanya digunakan oleh para waria sebagai bahasa mereka dalam berkomunikasi, namun sudah menjadi istilah umum bagi siapa saja.bahasa waria atau bahasa binan ini memang sudah lazim didengarkan, namun lebih sering lagi ketika kita bertemu dengan sekumpulan waria yang sedang berkomunikasi satu sama lain. Pengalaman seseorang dalam berkomunikasi juga menentukan keefektifan dalam komunikasi. Rasa takut tidak dihargai atau mendapat penolakan menjadi sebuah alasan dimana seseorang akan memposisikan dirinya sebagai komunikator yang terbuka. Persepsi buruk yang sudah terkontruksi dalam pikiran seseorang pasti akan mengarahkan komunikasi yang dilakukan itu berjalan efektif atau bahkan sebaliknya. Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya, lingkungan sekitarnya, bahkan apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu yang tinggi memaksa manusia untuk perlu berkomunikasi. Everett (Cangara, 2006: 1) mengemukakan bahwa komunikasi sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia, sepanjang manusia hidup maka ia perlu berkomunikasi. Sifat manusia untuk menyampaikan keinginan dan untuk mengetahui hasrat orang lain merupakan awal manusia berkomunikasi. Tanpa melakukan komunikasi, maka seseorang akan mengalami kesulitan untuk melangsungkan hidupnya, itu sebabnya manusia dianggap sebagai makhluk yang paling unik dengan kemampuan yang dimilikinya dalam menyampaikan gagasan, ide, serta pendapat dalam proses berkomunikasi. Menjalin komunikasi tidaklah semudah yang dipikirkan, hal ini dapat dilihat dari permasalahan waria berkomunikasi satu sama lain. Agar merasa nyaman tanpa diketahui oleh masyarakat dan lingkungan sekitar tentang apa yang sedang mereka bicarakan, mereka memilih untuk menggunakan bahasa binan (bahasa waria) agar merasa nyaman dalam berkomunikasi dengan sesama waria. Kalangan waria menggunakan bahasa binan untuk membicarakan sesuatu yang bersifat privacy atau rahasia, agar lingkungan sekitar (yang bukan waria) tidak paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Oleh sebab itu peneliti tertarik dengan fenomena ini, dan akan melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa binan
padakalangan waria di Kota Kisaran. Peneliti memilih lokasi ini dikarenakan belum adanya penelitian tentang waria yang dilakukan di Kota Kisaran. 1.2 Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan bahwa fokus masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah penggunaan bahasa binan pada kalangan waria di Kota Kisaran? 2. Bagaimanakah hambatan komunikasi yang dihadapi waria saat berkomunikasi menggunakan bahasa binan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan serta fokus penelitian yang telah di tetapkan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui penggunaan bahasa binan pada kalangan waria di Kota Kisaran. 2. Untuk mengetahui hambatan komunikasi dalam penggunaan bahasa binan pada kalangan waria di Kota Kisaran. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pengetahuan bidang komunikasi, memperluas bahan penelitian komunikasi dan menjadi bahan referensi bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 2. Secara Teoritis, penelitian diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan wawasan di bidang Ilmu Komunikasi. 3. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dapat dijadikan referensi bagi pihak-pihak yang yang membutuhkan informasi dan dapat digunakan sebagai pemberian masukan bagi pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi, terutama bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya.