BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II KERANGKA GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAN STUDI INFILTRASI AIR TANAH DAERAH CIHIDEUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT SKRIPSI

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB VI SEJARAH GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB V SEJARAH GEOLOGI

Bab II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 GEOLOGI REGIONAL 2.1.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi Kuarter, Zona Depresi Tengah Jawa Barat, Kubah dan Pegunungan pada Zona Depresi Tengah, dan Zona Pegunungan Selatan. Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Bandung yang dibatasi oleh gunungapi kuarter di bagian utara dan di bagian selatan merupakan suatu depresi yang dikelilingi oleh kompleks vulkanik (Gambar 2-2). Van Bemmelen (1949) juga menganggap bahwa Zona Bandung ini merupakan puncak dari antiklin Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah pengangkatan. Dataran rendah ini kemudian terisi oleh endapan gunungapi muda. Dalam zona ini juga terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua di antara endapan gunungapi. Gambar 2-2. Fisiografi Jawa Bagian Barat (modifikasi Van Bemmelen, 1949 ) 6

2.1.2 Stratigrafi regional Menurut Martodjojo (1984), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga mandala sedimentasi, yaitu: - Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan Zona Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Bagian Barat oleh Van Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 5000 m. - Mandala Sedimentasi Banten hanya diketahui dari sedikit data. Pada Tersier Awal, mandala ini cenderung menyerupai Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada saat Tersier Akhir, ciri dari mandala ini sangat mendekati Mandala Cekungan Bogor. - Mandala Cekungan Bogor terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen Utara. Pada pembagian zona fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949), mandala ini meliputi Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala ini merupakan mandala sedimentasi yang dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalan sedimen diperkirakan lebih dari 7000 m. Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi di atas, daerah penelitian terletak pada Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984) mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier Kuarter. Mandala ini penyebarannya meliputi beberapa Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Daerah ini umumnya dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf dan batugamping. Mandala sedimentasi di daerah ini dicirikan oleh sabuk pegunungan lipatan yang tersusun atas endapan turbidit. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung yang dibuat oleh Silitonga (1973), daerah Bandung dibagi menjadi sebelas satuan batuan yang dimulai dari Miosen Tengah dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu Formasi Subang, Formasi Cilanang, Formasi Kaliwangu, Formasi Citalang, Batupasir Tufaan 7

Lempung - Konglomerat, Hasil Gunung Api Lebih Tua, Hasil Gunung Api Tua, Hasil Gunung Api Muda, Kolovium, Endapan Danau, dan Aluvium. Gambar 2-3. Stratigrafi umum Bandung (Silitonga, 1973) Pada Miosen Tengah diendapkan secara menjari Formasi Subang dan Formasi Cilanang. Formasi Subang yang memiliki ketebalan berkisar 0 sampai 300 m terdiri atas batupasir andesit, batupasir konglomerat, breksi, lapisan batugamping dan lempung yang mengandung fosil Lepidocyclina, sedangkan Formasi Cilanang dicirikan dengan endapan napal tufaan dan batugamping masif. Formasi Kaliwangu selanjutnya diendapkan secara tidak selaras pada Miosen Atas dengan ketebalan sekitar 600 m. Formasi ini dicirikan oleh endapan batupasir 8

tufa, konglomerat, batulempung, dan terkadang lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Selain itu terdapat juga lapisan tipis gambut (peat) dan lignit. Fosil moluska banyak hadir pada batupasir dan konglomerat. Kemudian di atas Formasi Kaliwangu ini diendapkan secara selaras Formasi Citalang dengan ketebalan sekitar 500 sampai 600 m pada Pliosen. Formasi ini terdiri dari lapisan napal tufaan yang diselingi oleh batupasir tufaan dan konglomerat. Batupasir Tufaan Lempung Konglomerat dan Hasil Gunung Api Lebih Tua yang berumur Plistosen Bawah diendapkan secara menjari diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Citalang. Batupasir Tufaan Lempung Konglomerat memiliki lapisan-lapisan yang mendatar dan membentuk dataran terdiri dari batupasir tufa yang terkadang mengandung batuapung yang mengandung sisa-sisa tumbuhan, konglomerat, breksi, dan pasir halus. Sedangkan Hasil Gunung Api Lebih Tua dengan ketebalan sekitar 600 m terdiri dari breksi, lahar dan pasir tufa yang berlapis-lapis dengan kemiringan kecil, selain itu juga terdapat sisipan endapan sedimen dalam pada satuan ini dengan ciri lempung kehitaman yang mengandung sisa-sisa tumbuhan. Pada Plistosen Tengah diendapkan secara selaras Hasil Gunungapi Tua. Satuan ini dicirikan oleh endapan breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang seling yang termasuk dalam Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan (Qvu), endapan lava yang menunjukkan kekar kolom dan kekar berlembar dengan susunan basalt dan sebagian telah terpropilitisasi yang termasuk dalam Hasil Gunung Api Tua Lava (Qvl), dan endapan breksi gunungapi serta lahar yang tersusun dari komponen basalt dan andesit yang termasuk dalam Hasil Gunung Api Tua Breksi (Qvb). Hasil Gunungapi Muda selanjutnya diendapkan pada Plistosen Atas sampai Holosen yang terdiri dari tuf berbatuapung, breksi dan aglomerat, lava, dan tuf pasir. Sumber erupsi dari Hasil Gunungapi Muda ini yaitu Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Tampomas. Lava yang terdapat pada satuan ini bersifat basalt dan banyak terdapat lubang-lubang gas merupakan hasil erupsi tipe B. Pada Holosen diendapkan secara bersamaan secara menjari Kolovium dan Endapan Danau. Kolovium merupakan endapan yang berasal dari reruntuhan pegunungan-pegunungan hasil gunungapi tua berupa bongkah-bongkah batuan beku antara andesit-basalt, breksi, batupasir tufa dan lempung tufa. Sedangkan Endapan 9

Danau terdiri lempung tufaan, batupasir tufaan, kerikil tufaan yang membentuk bidang-bidang perlapisan mendatar di beberapa tempat membentuk kongkresikongkresi gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar, dan tulang binatang bertulang belakang. Aluvium merupakan endapan yang masih diendapkan sampai sekarang yang terdiri dari lempung, lanau, pasir, dan kerikil. Peneliti lain yang telah membuat stratigrafi di daerah Bandung yaitu Koesoemadinata dan Hartono (1981) yang membagi Bandung menjadi 5 satuan stratigrafi yaitu Formasi Cikapundung (Plistosen Bawah), Formasi Cibeureum dan Formasi Kosambi (Plistosen Atas), Formasi Cikidang (Holosen), dan Endapan Sungai (Resen). Formasi Cikapundung dicirikan oleh konglomerat dan breksi gunungapi, tuf, dan sisipan lava andesit yang kemudian diendapkan secara tidak selaras di atasnya Formasi Cibeureum yang merupakan perulangan breksi - tuf dengan fragmen skoria. Formasi Kosambi yang diendapkan menjari dengan Formasi Cibeureum dicirikan oleh endapan batulempung gunungapi, batulanau gunungapi, dan batupasir gunungapi yang mengandung sisa tumbuhan. Gambar 2-4. Stratigrafi daerah Bandung (Koesoemadinata dan Hartono, 1981) Pada Holosen diendapkan Formasi Cikidang yang dicirikan oleh hadirnya lava basalt berstruktur kekar kolom, konglomerat gunungapi, tuf kasar yang berlapis sejajar dengan breksi gunungapi. Endapan sungai yang kemudian diendapkan pada 10

resen secara tidak selaras di atas Formasi Cikidang terdiri dari bahan lepas tidak berkonsolidasi yang berukuran lempung sampai bongkah. Penelitian terbaru di daerah penelitian dilakukan oleh Kartadinata (2009), dalam hasil penelitian ini dipaparkan umur absolut untuk menceritakan urut-urutan endapan vulkanik yang terjadi. Endapan tertua yaitu endapan yang dihasilkan oleh Gunung Pra Sunda berupa aliran lava dan jatuhan ignimbrite (Cisarua Ignimbrite) berumur 0,506±0,500 juta tahun yang lalu. Selanjutnya hadir Gunung Sunda dan mengalami dua letusan besar yaitu pada 0,210±0,310 juta tahun yang lalu menghasilkan aliran lava dan pada 0,105 juta tahun yang lalu menghasilkan jatuhan ignimbrite terutama di daerah Manglayang sehingga disebut sebagai Manglayang Ignimbrite. 0,105 ma 0,210±0,310 ma 0,506±0,500 ma Gambar 2-5. Stratigrafi daerah Bandung (Kartadinata, 2009) Letusan terakhir pada Gunung Sunda itulah yang kemudian menyebabkan runtuhnya gunung ini dan menghasilkan kaldera. Dari kaldera Gunung Sunda itu kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu, endapan dari gunung dibagi menjadi dua anggota yaitu Endapan Tangkubanparahu Tua (berumur > 10.000 tahun) yang terdiri 11

dari endapan lava basalt, breksi piroklastik, dan tuf skoria melalui mekanisme aliran dan Endapan Tangkubanparahu Muda (berumur < 10.000 tahun) yang terdiri dari endapan tuf halus melalui mekanisme jatuhan. 2.1.3 Struktur geologi regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan yang kemenerusannya dapat ditarik dari Burma di sebelah barat laut Andaman, Sumatra, sampai ke Lengkung Banda di Indonesia bagian timur. Interaksi konvergen antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia menghasilkan sistem busur kepulauan ini. Struktur geologi regional yang berkembang di Pulau Jawa merupakan hasil dari interaksi antara Lempeng Hindia- Australia dan Lempeng Eurasia. Interaksi ini terjadi dengan lempeng Hindia- Australia bergerak ke utara yang menunjam kebawah lempeng Eurasia yang relatif tidak bergerak (Hamilton, 1979). Hasil interaksi ini berupa jalur vulkanik-magmatik yang membentang dari Pulau Sumatra ke arah timur hingga Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Busur Sunda. Selain membentuk jalur vulkanik-magmatik, interaksi lempeng tersebut juga menghasilkan pola-pola struktur yang berkembang di Pulau Jawa. Pada zaman Kapur-Paleosen, jalur subduksi ini dapat ditelusuri dari Jawa Barat bagian selatan (Ciletuh), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian timur sampai ke bagian tenggara Kalimantan dengan jalur magmatik yang terdapat pada daerah lepas Pantai Utara Jawa. Jalur subduksi ini akan membentuk punggungan bawah permukaan laut yang terletak di selatan Pulau Jawa selama Zaman Tersier. Hal ini menunjukkan pada akhir Zaman Kapur hingga Oligo-Miosen terjadi pergerakan jalur subduksi ke arah selatan. Pada Zaman Neogen sampai Kuarter, jalur magmatik Pulau Jawa kembali bergerak ke arah utara dengan jalur subduksi yang relatif tidak bergerak. Hal ini menunjukkan pada Zaman Neogen penunjamannya lebih landai dibanding dengan pada Zaman Paleogen. Evolusi tektonik di atas dikuatkan oleh hasil penelitian Martodjojo dan Pulunggono (1994), yang menyimpulkan bahwa pada dasarnya di Pulau Jawa terdapat tiga arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 2-6), yaitu: 12

- Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya, diwakili oleh Sesar Cimandiri di Jawa Barat, yang dapat diikuti ke timurlaut sampai batas timur Cekungan Zaitun dan Cekungan Biliton. - Pola Sunda yang berarah utara-selatan, diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. - Pola Jawa yang berarah barat-timur, diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis, serta sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi Van Bemmelen (1949). 0 400 km Gambar 2-6. Pola struktur Pulau Jawa (Martodjojo dan Pulonggono, 1994) Menurut Koesoemadinata (1985) dalam Martodjojo dan Pulonggono (1994), Jawa Barat memiliki tatanan tektonik yang lebih rumit dan tidak memiliki arah umum tektonik seperti halnya Sumatra. Pola struktur pada bagian timur Jawa Barat memiliki arah baratlaut tenggara, pada daerah Banten berarah baratdaya-timurlaut, sedangkan pada dataran rendah Jakarta pola strukturnya berarah utara-selatan. Pada bagian tengah Jawa Barat, sebelah barat dari Bandung, pola stukturnya memiliki arah baratdaya-timurlaut. Hal ini dapat dilihat pada punggungan Rajamandala yang kemenerusannya dapat ditarik dari Sukabumi hingga Lembah Cimandiri di daerah 13

Pelabuhan Ratu. Tatanan tektonik yang rumit dan tidak memiliki pola umum ini menunjukan struktur batuan dasar yang diperkirakan tersusun atas blok-blok batuan yang saling bergerak satu sama lain dan tersesarkan. Gambar 2-7. Struktur utara-selatan daerah Bandung (Dam, 1994) Struktur utama yang terdapat di daerah Bandung di antaranya adalah Sesar Lembang yang berarah hampir barat-timur, zona patahan naik Rajamandala, dan beberapa patahan normal hampir barat-timur di daerah marjinal bagian selatan dataran Bandung. Daerah-daerah vulkanik Pleistosen yang lebih tua dan bahkan vulkanik Tersier mengalami level erosi yang cukup dalam juga terkena pengaruh patahan-patahan tersebut. Struktur yang lebih tua sebagian tertutup oleh material vulkanik dan sedimentasi memperlihatkan jalur utara-selatan terlihat pada Gambar 2-7 (Dam, 1994). Struktur regional yang menarik di Bandung Utara yaitu Sesar Lembang yang memanjang dari sekitar Cisarua di sebelah barat sampai Gunung Pulusari di sebelah timur (Gambar 2-8). Sesar ini mudah dikenali secara topografi melalui gawirnya yang curam ke arah utara. Aliran sungai yang melewati sesar ini terlihat mengalami pembelokan arah terutama pada aliran Cikapundung (sekitar Maribaya) dan alur Sungai Cimahi. Tjia (1968) menafsirkan pergerakan Sesar Lembang berupa sesar mendatar (strike slip fault) dengan gerakan mengiri (sinistral). Sedangkan peneliti lain seperti Silitonga (1973), Dam (1994) dan Nossin dkk., (1996) menyatakan 14

bahwa sesar ini merupakan sesar normal dengan blok utara bergerak relatif turun terhadap blok selatan. Gambar 2-8. Citra landsat kemenerusan Sesar Lembang (maps.google.com) 2.2 STUDI INFILTRASI LAPANGAN 2.2.1 Teori dasar Infiltrasi merupakan proses masuknya air dari permukaan tanah dan turun menuju permukaan air tanah. Infiltrasi merupakan bagian dari siklus hidrologi (Gambar 2-9). Dalam siklus hidrologi, saat terjadi hujan, sebagian besar air akan diserap oleh tanah, dan sisanya akan menjadi air limpasan atau runoff. Hasil infiltrasi sebagian besar akan menjadi aliran air tanah dan sisanya akan membasahi tanah. Apabila kapasitas kebasahan tanah (soil moisture) terlampaui, maka sisanya akan berperkolasi (mengalir vertikal akibat gravitasi) mencapai air tanah. 15

Gambar 2-9. Siklus hidrologi (Vepraskas dkk., 2001) Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infiltrasi, dan pada penelitian ini lebih memfokuskan pada faktor tanah pelapukan suatu litologi dan morfologi yang erat kaitannya dengan kemiringan lereng. Tanah pelapukan suatu litologi dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu pasiran, lempungan, dan lanauan. Faktor keseragaman butir, porositas, dan permeabilitas sangat penting dalam menentukan laju infiltrasi. Faktor morfologi erat kaitannya dengan topografi dan kemiringan lereng. Klasifikasi kelas lereng yang digunakan adalah kelas lereng menurut Van Zuidam (1985). Proses infiltrasi pada awalnya secara umum berjalan cepat, kemudian melambat dan disusul dengan kondisi konstan (Gambar 2-10) ketika absorpsi maksimum tanah yang bersangkutan telah tercapai (kondisi steady-state). Laju Infiltrasi maksimum yang terjadi pada kondisi tertentu dinyatakan sebagai kapasitas infiltrasi (fc). Kapasitas infiltrasi ini berbeda-beda tergantung sifat fisik dari tanah yang menjadi jalan mengalirnya air sehingga pengamatan sifat fisik tanah tempat pengukuran infiltrasi harus dilakukan. 16

Tabel 2.1. Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,1985) Kemiring an (derajat) Kemiring an (%) Keterangan 0-2 0-2 Datar atau hampir datar. 2-4 2-7 Miring landai 4-8 7-15 Miring 8-16 15-30 Terjal sedang 16-35 30-70 Terjal 35-55 70-140 Sangat terjal >55 >140 Terjal ekstrim Gambar 2-10. Grafik laju infiltrasi terhadap fungsi waktu (Miyazaki dkk., 1993) 17

2.2.2 Metode pengujian infiltrasi Dalam pengukuran infiltrasi digunakan alat bernama infiltrometer. Terdapat beberapa alat jenis infiltrometer untuk mengetahui nilai infiltrasi di suatu daerah, yaitu single-ring infiltrometer, double-ring infiltrometer, ponded infiltrometer, dan tension infiltrometer. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat single-ring infiltrometer dengan spesifikasi terbuat dari pipa paralon dengan panjang 40 cm dan diameter 20 cm. Metode pengujian dengan cara memasukkan infiltrometer kedalam tanah sedalam 10 cm yang telah dihilangkan vegetasi yang terdapat di atas permukaan tanah. Kemudian dimasukkan air kedalam infiltrometer sedalam 30 cm dan proses pengamatannya adalah falling head, yaitu dengan mencatat setiap perubahan/penurunan muka air dalam pipa tersebut pada selang waktu tertentu hingga mencapai keadaan konstan atau dikenal dengan laju infiltrasi akhir. Pengujian di lapangan ditunjukkan pada Gambar 2-11. Gambar 2-11. Prinsip percobaan infiltrasi di lapangan 2.2.3 Metode perhitungan infiltrasi Tinggi air awal yang dituangkan ke dalam infiltrometer yaitu 30 cm (diisi penuh) kemudian air yang meresap dapat dinyatakan dalam nilai laju infiltrasi yaitu cm/menit. Laju infiltrasi yang diperoleh melalui pengukuran tersebut kemudian diplot ke dalam kurva infiltrasi, kemudian dari kurva tersebut dapat ditentukan persamaan laju infiltrasi. Laju infiltrasi akhir adalah rata-rata dari hasil laju infiltrasi 18

hasil pengukuran dan laju infiltrasi perhitungan. Persamaan yang umum digunakan untuk menghitung infiltrasi antara lain yang dikembangkan oleh Kostiakov (1931) dalam Seyhan (1977) dengan persamaan sebagai berikut: f : laju infiltrasi (cm/menit) a,n : konstanta t : waktu (menit) Konstanta dan n dievaluasi dari infiltrasi kumulatif untuk waktu yang ditentukan. Persamaan dari infiltrasi kumulatif tersebut ditulis sebagai berikut: F : laju infiltrasi kumulatif (cm/menit) t : waktu (menit) a,n : konstanta Dengan persamaan di atas maka laju infiltrasi akhir (fc) didapat dengan mengevaluasi data hasil pengukuran infiltrasi kumulatif melalui bantuan peranti lunak Microsoft Excel pada komputer dengan bentuk persamaan logaritmanya adalah: 19

Persamaan dalam mengukur laju infiltrasi juga dilakukan oleh Horton (1945) dalam Bakti (2005) yang menyatakan bahwa laju infiltrasi dimulai pada f 0 kemudian menurun secara eksponensial hingga mencapai laju konstan fc. f(t) = fc + (fo fc)e^-kt f(t) : laju infiltrasi pada waktu t (cm/menit) fc : laju infiltrasi konstan f 0 : laju infiltrasi awal k : konstanta yang menunjukkan pengurangan laju infiltrasi t : waktu (menit) e : 2.71 20