BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total kematian di dunia. Pada tahun 2010, prevalensi stroke secara global mencapai 33 juta orang, dengan 16,9 juta orang menderita stroke untuk yang pertama kali. Stroke menjadi penyebab kematian keempat di Amerika Serikat, membunuh sekitar 129.000 orang setiap tahunnya. Diperkirakan ada 1 orang di Amerika Serikat menderita stroke setiap 20 detik (American Heart Association, 2014). Mengacu pada laporan yang dikeluarkan oleh The Centers for Disease Control and Prevention (2013) stroke merupakan penyebab kematian utama semua kalangan umur di Indonesia. Menyumbang sekitar 8% dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia.Data ini menunjukkan bahwa ancaman mortalitas dan morbiditas akibat stroke masih sangat tingi di negara negara berkembang seperti Indonesia. Stroke merupakan sindrom defisit neurologis baik yang bersifat fokal maupun global dan terjadi secara akut, lebih dari 24 jam, yang terjadi akibat gangguan peredaran darah 1
2 otak. Berdasarkan proses patologinya, stroke dibagi menjadi 2 jenis utama, yaitu stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke non-hemoragik atau yang sering disebut sebagai stroke iskemik terjadi akibat adanya oklusi atau sumbatan pada aliran darah menuju otak. Oklusi pada stroke non-hemoragik dapat disebabkan karena terbentuknya thrombosis ataupun emboli pada pembuluh darah. Stroke hemoragik atau stroke perdarahan terjadi akibat rupturnya pembuluh darah yang disebabkan oleh hipertensi, aneurisma, arteriovenous malformation, dan lain-lain. Pada populasi ras Kaukasia diperkirakan sekitar 80% dari total kasus stroke berupa stroke iskemik, 10-15% berupa stroke perdarahan intraserebral, 5% berupa stroke perdarahan subaraknoid, dan sisanya akibat sebab stroke yang lainnya. Pada penelitian yang dilakukan di negara - negara Asia, proporsi penyebab stroke akibat perdarahan intraserebral lebih tinggi 20 30% dibandingkan ras Kaukasia. Data epidemiologi di Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, serta Indonesia menunjukkan bahwa proporsi stroke iskemik dan stroke hemoragik bervariasi dari 17% - 33% (Truelsen et al., 2000). Gangguan paling sering pada pasien stroke adalah kelemahan anggota gerak, inkontinensia urin, disfagia, gangguan kesadaran, dan gangguan kognitif (Enas et al., 2001)
3 Stroke merupakan penyebab paling umum dari kejang yang terjadi pada pasien usia lanjut. Pada sekitar 5% dari pasien stroke akan mengalami kejang setelah beberapa minggu dari onset stroke. Sulit untuk memprediksi jenis stroke mana yang akan menyebabkan gejala sisa berupa kejang. Onset kejang biasanya akan muncul dalam 24 jam setelah onset stroke. Gejala kejang lebih sering terjadi pada pasien yang menderita stroke parah, stroke akibat perdarahan otak (stroke hemoragik), atau stroke yang melibatkan bagian corteks serebri (National Stroke Association, 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sibel et al., (2001) terhadap 1174 pasien yang masuk rumah sakit karena stroke untuk pertama kali, 180 (15,3%) penderita akan berkembang menjadi kejang pasca stroke. Sementara kajian oleh Kessler et al., (2002) menunjukkan bahwa kejang pasca stroke ada pada 6 10% pasien stroke (Gunarto et al., 2003). Beranjak dari data penelitian-penelitian sebelumnya tentang insidensi kejang pasca stroke, banyak peneliti yang akhirnya melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan stroke dengan kejadian kejang pasca stroke. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui hubungan antara jenis patologi stroke dengan ouctcome kejang pada pasien stroke di RSUP Dr Sardjito. Penulis merasa penelitian ini perlu dilakukan, karena jika penelitian ini memberikan hasil yang signifikan
4 untuk membedakan antara jenis patologi stroke dengan kejadian kejang pasca stroke, diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi dunia medis sebagai salah satu acuan dalam penentuan penanganan yang cepat dan tepat untuk mengurangi kejadian kejang pasca stroke. I.2 Perumusan Masalah Kejang merupakan salah satu gejala yang dapat muncul setelah onset stroke. Dengan mempelajari hubungan antara jenis patologi stroke dengan kejang, diharapkan dapat memberikan gambaran untuk manajemen dari setiap jenis patologi stroke dalam mencegah terjadinya kejadian kejang pasca stroke.
5 I.3 Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat hubungan antara jenis patologi stroke dengan outcome kejang pasca stroke. I.4 Keaslian Penelitian Kejadian kejang pasca stroke merupakan permasalahan medis yang masih butuh untuk dipelajari. Dampak dari kejadian kejang pasca stroke tidak hanya dirasakan oleh penderita sebagai bentuk gangguan yang membatasi aktifitas sehari hari, namun juga berdampak pada kecemasan pihak keluarga selama proses perawatan penderita. Beranjak dari permasalahan ini, telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai kejadian kejang pada pasien stroke. Berikut ini adalah beberapa penelitian terkait kejadian kejang pada pasien stroke yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian dari Untung Gunarto et al., (2003) menunjukkan bahwa lokasi lesi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kemungkinan timbulnya kejang pada stroke. Kejang pada stroke kemungkinan akan lebih sering terjadi pada tipe lesi perdarahan daripada tipe lesi infark. Dan kejang juga kemungkinan akan lebih sering terjadi pada lokasi lesi superfisial dibanding lokasi lesi dalam.
6 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2012) didapatkan hasil bahwa tingkat kesadaran saat masuk pada onset stroke akut merupakan salah satu variable yang mempengaruhi terjadinya kejang. Kejadian kejang lebih banyak terjadi pada stroke dengan penurunan kesadaran saat masuk dibanding kesadaran penuh dengan kejadian 5 : 2. Penelitian lain mengenai kejang pasca stroke juga dilakukan oleh Askarina (2015) yang meneliti kejadian kejang pasca stroke berdasarkan angka gula darah sewaktu dengan menggunakan metode penelitian kohort retrospektif. Dalam penelitiannya didapatkan hasil bahwa kejadian kejang pasca stroke pada pasien stroke dengan hipoglikemia dan hiperglikemia lebih tinggi dibandingkan dengan normoglikemia. Sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara jenis patologi stroke dengan outcome kejang pada pasien stroke sebelumnya. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara jenis patologi stroke dengan outcome kejang pada pasien stroke.
7 I.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara jenis patologi stroke (stroke hemoragik dan stroke non-hemoragik) dengan outcome kejang di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. I.6 Manfaat Penelitian 1. Bagi tenaga kesehatan Apabila pada penelitian ini mampu membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis patologi stroke dengan kejadian kejang pada pasien stroke, diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi tenaga kesehatan dalam menentukan prognosis berupa kejang dari masing-masing jenis stroke yaitu stroke hemoragik maupun stroke nonhemoragik. Dengan adanya informasi mengenai prognosis kejang ini, maka tenaga kesehatan dapat merencanakan penanganan yang tepat, cepat dan akurat bagi penderita stroke untuk mencegah timbulnya sisa gejala berupa kejang setelah onset stroke muncul.
8 2. Bagi masyarakat Manfaat hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan berguna bagi masyarakat luas sebagai informasi mengenai gejala sisa stroke berupa kejang yang dapat terjadi pada jenis stroke tertentu. Hasil penelitian penulis juga dapat meningkatkan kewaspadaan bagi penderita stroke maupun keluarga penderita mengenai gejala kejang yang dapat muncul setelah onset stroke. 3. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini juga dapat digunakan bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya bagian ilmu syaraf untuk memperdalam kajian mengenai stroke dan komplikasinya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan mendorong dilakukannya penelitian penelitian lain terkait stroke serta komplikasinya yang pada akhirnya mampu ikut berperan dalam mengurangi mortalitas dan morbiditas penderita stroke di dunia.