71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996). Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006). Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Departemen Kesehatan RI 1992). Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Reddy dan Dar 2007). Sorgum memenuhi tiga syarat utama yang sangat diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil yaitu tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi dan biaya produksinya rendah (Medco Energi 2007). Produktivitas sorgum sebagai bahan baku bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman yang umum digunakan sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia seperti tebu, ubi kayu, jagung dan gula bit (Medco Energi 2007). Sorgum memiliki daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, kebutuhan input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain (Hoeman 2007). Sorgum dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi mencapai 1500 m
72 di atas permukaan laut dan dapat ditanam di daerah tropis atau subtropis. Tanaman sorgum memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kondisi iklim yang berbeda-beda (FAO 2002; Hoeman 2007). Selain itu tanaman sorgum memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik dan dapat dibudidayakan dengan hasil yang cukup baik. Sorgum manis ideal untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Lahan kering di Indonesia mencapai 144 juta hektar. Di antara luas lahan kering yang tersedia, baru sekitar 55.6 juta hektar atau sekitar 29.4% yang telah digunakan sebagai lahan pertanian (BPS 2001). Berdasarkan bentuk wilayah (topografi) sekitar 31.5 juta ha merupakan lahan kering dengan topografi yang datar berombak (kemiringan lereng < 8 %) dan sesuai untuk dibangun perkebunan sorgum. Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Kendala yang dihadapi dari potensi lahan kering di Indonesia adalah sebesar 99.5 juta hektar (69.1%) dari total lahan kering tersebut merupakan tanah yang bereaksi masam (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam dicirikan dengan ph < 5.0 dan kejenuhan basa < 50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam juga ditandai oleh tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al 3+, yaitu bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Konsentrasi Al pada larutan tanah mineral berkisar di bawah 1 mg/l (±37 µm) pada ph 5.5 dan akan meningkat dengan penurunan ph tanah. Konsentrasi Al 3+ pada taraf tersebut dapat dengan cepat menghambat pertumbuhan akar (Carver and Ownby 1995). Lahan bertanah masam juga mengalami defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al yang menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Toksisitas Al pada tanaman serealia dapat menurunkan hasil antara 28-63% dari kapasitas optimumnya (Sierra et al. 2005). Aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan (Caniato et al. 2007).
73 Menurut Marschner (1995), terdapat dua model pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi tanah marjinal yaitu dengan pendekatan bermasukan tinggi melalui penerapan agroteknologi seperti pengapuran dan pemupukan, serta dengan pendekatan bermasukan rendah melalui program pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk mendapatkan varietas yang adaptif. Bellon (2001) menyatakan bahwa penggunaan varietas toleran Al merupakan pilihan terbaik dalam mengatasi permasalahan keracunan Al karena pengapuran terlalu mahal dan tidak efektif dalam mengatasi kemasaman tanah pada lapisan tanah yang lebih dalam. Keberhasilan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Dalam upaya tersebut perlu diketahui informasi mengenai kendali genetik karakterkarakter yang akan diperbaiki (Roy 2000; Chahal and Gosal 2003). Sampai sejauh ini informasi mengenai pewarisan toleransi keracunan Al pada tanaman sorgum manis masih sangat sedikit. Program pemuliaan sorgum toleran Al diawali dengan pembentukan populasi dasar dengan variasi genetik yang tinggi sebagai bahan pemuliaan. Populasi dasar yang memiliki variasi genetik tinggi akan memberikan respon yang baik terhadap seleksi karena akan memberikan peluang besar untuk mendapatkan genotipe dengan gabungan sifat-sifat yang diinginkan. Kegiatan selanjutnya adalah menyeleksi galur-galur/varietas-varietas dari koleksi yang dimiliki untuk memperoleh galur/varietas sorgum yang toleran Al. Seleksi pada sorgum akan menunjukkan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi. Jika nilai heritabilitas tinggi, sebagian besar variasi fenotipe disebabkan oleh variasi genetik, maka seleksi akan memperoleh kemajuan genetik (Bernando 2002). Seleksi terhadap sifat yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada generasi awal, sedangkan untuk sifat yang menunjukkan nilai heritabilitas rendah, seleksi dilakukan pada generasi akhir (Zen 1995).
74 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk 1. Memperoleh informasi mengenai pewarisan sifat toleransi Al pada tanaman sorgum manis. 2. Memperoleh karakter untuk seleksi sorgum yang toleran Al. 3. Memperoleh genotipe-genotipe toleran Al melalui seleksi pada generasi F2 di tanah masam. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat di inti. 2. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil bersifat poligenik. 3. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh aksi gen aditif. 4. Terdapat karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al. 5. Terdapat genotipe sorgum generasi F2 toleran terhadap cekaman Al.
75 Plasma Nutfah Seleksi Adaptasi Tanah Masam Dept. AGH IPB Seleksi Produktivitas Bioethanol B2TP-BPPT Galur Toleran Galur Peka Hibridisasi / Persilangan F1/F1R Selfing F2 Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Lapangan Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Kultur Hara Seleksi Individu pada Generasi F2 (segregan) Analisis Data Genotipe F2 Toleran Al Informasi Kendali Gen dan Parameter Genetik Pewarisan Toleransi Al pada Sorgum Karakter Seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al Gambar 1 Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench].