BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan iuran masyarakat yang diberikan kepada negara secara sukarela namun dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan 1. Pajak yang dipungut dari masyarakat sangat bermanfaat bagi kegiatan kemajuan dan pengembangan bangsa dan negara, sebab pajak merupakan sumber pendapatan terbesar dari negara selain devisa, sumber daya alam, retribusi, sumbangan, Bea dan Cukai, laba dari BUMN dan sumber pendapatan negara lainnya. Pajak dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu, (1) pajak berdasarkan golongan yang terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung; (2) pajak berdasarkan wewenang memungut yang dibagi menjadi pajak pusat dan pajak daerah; dan (3) pajak berdasarkan sifat yang terdiri dari pajak subjektif dan pajak objektif. Ada dua pihak yang terkait dalam pembayaran pajak, yakni Wajib Pajak (WP) dan fiskus. Wajib Pajak merupakan subjek yang dibebani membayar pajak, sedangkan fiskus adalah pihak yang mempunyai kewenangan untuk memungut pajak dari masyarakat atau WP. Beberapa jenis pajak yang dikenal oleh masyarakat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB). 1 Erly Suandy, 2008, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 10. 1
2 Dari beberapa jenis pajak yang telah disebutkan diatas, salah satu pajak yang berhubungan dengan kinerja Notaris/PPAT adalah BPHTB. BPHTB timbul karena adanya peralihan hak atas tanah, misal karena adanya peristiwa jual-beli, hibah, tukar-menukar, warisan, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah. Pajak ini dibayar oleh pihak yang menerima pengalihan hak atas tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Khusus untuk kasus peralihan tanah dengan cara hibah wasiat, pihak yang menjadi Wajib Pajak BPHTB adalah pihak penerima hibah wasiat, dengan tarif 5 % dengan besar Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) diatur dalam Pasal 87 UU PDRD. Kewenangan yang dimiliki Notaris berbeda dengan kewenangan PPAT dalam hal pembuatan akta mengenai peralihan hak atas tanah dengan cara hibah wasiat. Notaris hanya berwenang membuat Akta Wasiat yang berisi memberikan hibah yang dibuat pada saat pewaris masih hidup, sedangkan menurut Pasal 112 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT berwenang membuat Akta Hibah yang dibuat setelah pewaris meninggal dunia berdasarkan Akta Hibah wasiat yang dilakukan oleh pelaksana wasiat atas nama pemberi hibah wasiat
3 sebagai pelaksana dari wasiat yang dikuasakan pelaksanaanya kepada pelaksana wasiat tersebut dengan melampirkan akta wasiat yang telah dibuat dihadapan Notaris. Menurut Pasal 90 ayat (1) huruf d UU PDRD, saat terutangnya BPHTB pada akta hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta yang dipungut berdasarkan besarnya nilai harga pasar. Ketentuan pasal lain, yaitu Pasal 91 ayat (1) UU PDRD yang mengatur tentang syarat bahwa Notaris/PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila WP telah menyerahkan bukti pembayaran pajak. Hal inilah yang menyebabkan keraguan para Notaris/PPAT, karena dalam realitanya, akta yang pada umumnya dikenakan pajak karena peralihan hak atas tanah dan/bangunan adalah akta yang dibuat PPAT seperti akta jual-beli, tukar-menukar, akta hibah, dan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB), sedangkan akta hibah wasiat yang disebutkan dalam Pasal 90 ayat (1) huruf d UU PDRD merupakan akta yang dibuat oleh Notaris. Menurut teori, Akta Wasiat yang berisi hibah bukan merupakan akta peralihan. Dengan kata lain, ketika akta itu dibuat dan ditandatangani belum terjadi peralihan hak, apalagi sewaktu-waktu wasiat dapat diubah jika pembuat wasiat masih hidup atau batal demi hukum karena alasan-alasan tertentu yang mengakibatkan akta wasiat belum tentu dapat dilaksanakan, sehingga seharusnya pada saat akta hibah wasiat dibuat oleh Notaris belum dikenakan BPHTB.
4 Selain itu, kedua pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik aktaakta apa saja yang dimaksud mengenai hibah wasiat ini, apakah BPHTB dikenakan pada Akta yang dibuat oleh Notaris atau Akta yang dibuat oleh PPAT. Pasal 91 ayat (1) UU PDRD juga hanya menyebutkan PPAT/Notaris, tidak menyebutkan akta yang dibuat oleh PPAT saja atau Notaris saja, sehingga dapat ditafsirkan bahwa BPHTB dapat dibebankan terhadap aktaakta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT. Dari penjelasan di atas terdapat 4 (empat) hal yang kemungkinan terjadi terkait pemungutan BPHTB pada hibah wasiat dan kinerja Notaris/PPAT. Pertama, permasalahan yang mungkin timbul apabila pajak dibayar sebelum penandatanganan akta hibah wasiat oleh Notaris seperti yang disebutkan dalam Pasal 90 ayat (1) huruf d UU PDRD, padahal pada saat itu belum terjadi peralihan hak. Kedua, permasalahan yang mungkin timbul apabila PPAT/Notaris mengesampingkan Pasal 91 ayat (1) UU PDRD, artinya belum dibayar pada saat akta hibah wasiat ditandatangani oleh Notaris, karena beranggapan ketika akta hibah wasiat dibuat belum terjadi peralihan hak. Permasalahan ketiga, mengenai keabsahan dan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap akta hibah yang dibuat PPAT akibat dari PPAT/Notaris mengesampingkan Pasal 91 ayat (1) UU PDRD. Permasalahan keempat, mengenai pihak-pihak yang dikenakan BPHTB dan cara pengenaan pajak peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan pada saat pelaksanaan wasiat, apabila pajak dibayarkan menurut ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf d dan Pasal 91 ayat (1) UU PDRD.
5 Hal inilah yang perlu diteliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 90 ayat (1) huruf d dan Pasal 91 ayat (1) UU PDRD tersebut dalam praktek kerja Notaris/PPAT dan juga akibat hukum terhadap Notaris/PPAT dan akta yang dibuatnya apabila pajak dibayar sebelum atau sesudah penandatanganan akta hibah wasiat. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan permasalahan diatas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana seharusnya Pasal 90 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diinterpretasikan dan apa kaitannya dengan pembuatan akta oleh Notaris/PPAT untuk hibah wasiat? 2. Apakah akibat hukum apabila Notaris/PPAT membuat akta hibah wasiat dengan mengesampingkan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 90 Ayat (1) huruf d dan Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Pajak Daerah serta Implikasinya dalam Pembuatan Akta Hibah wasiat oleh Notaris/PPAT sejauh penulis ketahui belum ada yang meneliti tentang ini, namun penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan judul penelitian ini adalah:
6 1. Aries Muzaijanah, 2007 dari Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro dengan judul Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Atas Dasar Hibah Wasiat di Kecamatan Purwokerto Selatan, Kota Purwokerto. Penelitian ini menitik beratkan pada pelaksanaan dan hambatan dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah atas dasar hibah wasiat di Purwokerto. 2. Tini Rusdihatie, 2011 dari Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada dengan judul Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) melalui Hibah wasiat di Jakarta Pusat. Penelitian ini menitik beratkan pada pelaksanaan dan kendala dalam pemungutan BPHTB berdasarkan perolehan hak hibah wasiat. Kedua penelitian tersebut mengambil objek penelitian yang sama yaitu tentang hibah wasiat dengan melakukan penelitian dari segi yuridisempiris. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terletak pada subjek penelitian. Subjek penelitian yang pertama dilakukan di Kantor Pertanahan kota Purwokerto dan subjek penelitian yang kedua dilakukan di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Jakarta Timur, sedangkan penulis menitik beratkan Notaris/PPAT dalam membuat akta Hibah wasiat dan Fiskus dalam menarik BPHTB sebagai subjek penelitian. Tinjauan yuridis yang dijadikan acuan penelitian adalah Pasal 90 ayat (1) huruf d dan Pasal 91
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui implementasi Pasal 90 ayat (1) huruf d dan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam pembuatan akta hibah wasiat oleh Notaris/PPAT. 2. Untuk mengetahui akibat hukum apabila Notaris/PPAT membuat akta hibah wasiat dengan mengesampingkan Pasal 91 ayat (1) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.